BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Anatomi Hidung
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi
kavum nasi kanan dan kiri. Tiap kavum nasi mempunyai 4 dinding, yaitu
dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah
septum nasi. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan
dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh
mukosa hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Konka
inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan
bagian dari labirin etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral
hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Meatus inferior
terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral
rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat ostium duktus
nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal,
maksila dan etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan
ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus
etmoid posterior dan sinus sfenoid. Kompleks Ostiomeatal (KOM)
merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka
media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk
KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris,
bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit
fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus
yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal
(Soetjipto 2007). Epitel yang melapisi vestibulum adalah keratinized,
squamous cell epithelium dan ditumbuhi rambut hidung serta
mengandung kelenjar sebasea. Dari tepi konka inferior menuju posterior,
columnar respiratory epithelium. Pada bagian posterior nasofaring, epitel
berubah lagi menjadi nonkeratinized, squamous cell epithelium (Hwang
dan Abdalkhani, 2009).
2. 2 Fisiologi Hidung
Menurut Corey & Yilmaz (2009), ada lima fungsi hidung:
1. Fungsi respirasi.
2. Fungsi pertahanan lokal.
Adanya rambut hidung dan klirens mukosiliar adalah bagian
terpenting dalam mekanisme pertahanan terhadap patogen dan
toksin yang terhirup bersama udara.
3. Sebagai pengatur suhu dan kelembaban udara.
Hidung sangat berperan penting dalam mengatur suhu dan
kelembaban udara yang akan memasuki pari-paru.
4. Fungsi penghidu.
Di rongga hidung terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir udara
untuk menampung stimulus penghidu.
5. Fungsi resonansi suara
Kualitas suara sangat ditentukan oleh vibrasi suara di faring,
rongga mulut dan rongga hidung.
2. 3 Polip Hidung
2.3.1 Definisi
Polip hidung merupakan penyakit inflamasi kronik dari mukosa hidung
yang ditandai dengan massa edematosa yang lunak di dalam rongga
hidung, mengandung banyak cairan, berbentuk seperti buah anggur,
berwarna putih keabu-abuan, bertangkai dan dapat digerakkan
(Kirtsreesakul 2005, Mangunkusumo & Wardani 2007).
2.3.2 Epidemiologi
Prevalensi polip hidung di Swedia sekitar 2,7% dengan laki-laki lebih
dominan 2,2:1. Di Finlandia, prevalensi polip hidung sekitar 4,3%. Di
hidung dari seluruh orang dewasa Thailand sekitar 1-4%. (Bachert et al.
2005, Storms, Yawn & Fromer 2007, Bachert 2011). Di Indonesia,
Sardjono Soejak dan Sri Herawati melaporkan penderita polip hidung
sebesar 4,63% dari semua pengunjung poliklinik THT-KL RS. Dr.
Soetomo Surabaya dengan rasio pria dan wanita 2-4:1. Munir (2008)
melakukan penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan selama Maret 2004
sampai Februari 2005 dan mendapatkan kasus polip hidung sebanyak 26
orang terdiri dari 17 pria (65%) dan 9 wanita (35%). Selama Januari
sampai Desember 2010, Dewi mendapatkan kasus polip hidung sebanyak
43 orang terdiri dari 22 pria (51,2%) dan 21 perempuan (48,8%).
Sembiring (2014) melaporkan, terdapat 29 kasus polip baru di RSUP. H.
Adam Malik Medan selama Januari 2013 sampai Juni 2014, yang terdiri
dari 19 pria dan 10 wanita.
2.3.3 Patogenesis polip hidung
Terdapat beberapa teori patogenesis terbentuknya polip hidung, yaitu :
1. Obstruksi mekanik atau fenomena Bernaouli
Dalam hal ini dinyatakan bahwa udara yang mengalir melalui tempat
yang sempit akan menghasilkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya.
Jaringan yang lemah akan terhisap oleh tekanan negatif sehingga
mengakibatkan edema mukosa dan terbentuk polip (Lund 1995).
2. Infeksi
Peranan infeksi diperkirakan mempunyai peranan penting pada
pembentukan beberapa polip. Ini berdasarkan beberapa studi
eksperimental dimana terjadinya gangguan epitel yang multipel dengan
adanya proliferasi jaringan ikat yang diawali dengan infeksi bakteri oleh
Streptococcus pneumonia, Staphylococcus aureus atau Bacteroides
fragilis (merupakan patogen pada rinosinusitis) atau Pseudomonas
aeruginosa, dimana sering ditemukan pada kistik fibrosis (Kirtsreesakul
2005).
Pada yang alergi ditemukan tiga faktor, yaitu : gambaran histologis
polip dijumpai 90% atau lebih eosinofil, biasanya bersamaan dengan
asma dan pada penderita polip juga mengeluhkan gejala serta tanda
alergi (Lund 1995).
4. Ketidakseimbangan vasomotor
Teori ini dikemukakan oleh karena kebanyakan dari penderita polip
hidung bukan atopi dan tidak jelas ditemukannya alergen. Polip hidung
hampir selalu mempunyai vaskularisasi yang sangat sedikit dengan
kurangnya inervasi vasokonstriktor. Terganggunya regulasi vaskular dan
peningkatan permeabilitas vaskular dapat menyebabkan edema dan
pembentukan polip (Kirtsreesakul 2005).
2.3.4 Patomekanisme polip hidung
Karakteristik polip hidung adalah edematosa dan terdapatnya infiltrasi
sel-sel subepitelial yang mengalami inflamasi. Sel inflamasi yang paling
sering dijumpai adalah eosinofil, akan tetapi tak jarang dijumpai juga sel
netrofilik. Meskipun demikian terdapat juga polip dengan karakteristik
hipertrofi glandular, infiltrat sel mononuklear, fibrosis dan sel mast tanpa
eosinofil. Secara histologis polip ditandai dengan adanya kerusakan sel
epitel, penebalan membran basalis dan penurunan glandula mukosa.
Penyebab polip sendiri merupakan multifaktorial, dari banyak penelitian
yang dilakukan orang disebutkan bahwa terbentuknya polip diawali oleh
proses inflamasi akibat jejas pada mukosa. Jejas pada mukosa tersebut
menstimulus ekspresi dari sitokin, kemokin, adhesi molekul-molekul dan
molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) Class II yang mengontrol
regulasi imun dan presentasi antigen. Perkembangan polip sendiri
berawal dari metabolisme asam arakidonat yang terganggu dan
penurunan apoptosis eosinofil akibatnya antiinflamasi prostaglandin E2
yang berperan sebagai penghambat efek eosinofil menjadi berkurang,
sehingga regulasi enzim yang membantu metabolisme leukotrien
meningkat (Marcello 2010).
Karakteristik polip hidung yang matang ditandai dengan proses
dan penumpukan sel-sel radang di subepitel, dimana EG2+ (teraktivasi)
eosinofil adalah sel yang dominan (sekitar 80%). Albumin dan protein
plasma yang lain menumpuk didalam pseudokista bersama infiltrasi
eosinofil. Karakteristik histomorfologi polip didominasi oleh epitel yang
rusak, membran basalis yang menebal dan meradang dan terdapat sedikit
jaringan stroma yang mengalami fibrosis, dengan minimal pembuluh darah
dan kelenjar serta tidak adanya struktur saraf. Pada polip yang kecil yang
tumbuh dari mukosa meatus media yang normal pada penderita polip
hidung bilateral, dijumpai sejumlah EG2+ eosinofil pada masa awal
pertumbuhan polip. Dari sini diduga ada penumpukan protein plasma yang
diatur oleh eosinofil. Peradangan merupakan prinsip utama dalam
patogenesis pembentukan dan pertumbuhan polip. Hingga saat ini,
pencetus utama yang menyebabkan peradangan eosinofil pada polip
hidung belum dapat diketahui pasti. Ada banyak hipotesa, antara lain
alergi, bakteri, jamur, mikoplasma atau infeksi virus. Penelitian banyak
dilakukan terhadap metalloproteinase, yang dapat merusak protein matrix
ekstraseluler. Konsentrasi matrix metalloproteinase (MMP)-9 dan MMP-7
dijumpai meningkat secara signifikan pada polip sementara antagonis
alaminya yakni tissue inhibitor of metalloproteinase (TIMP)-1 tidak
dijumpai. MMP-9 dijumpai dalam jumlah besar pada formasi pseudokista,
mengindikasikan bahwa metalloproteinase ini mungkin terlibat dalam
proses degradasi jaringan. Pengobatan dengan antagonis MMP diyakini
dapat menjadi harapan bagi terapi polip dimasa yang akan datang
(Bachert et al. 2005).
Salah satu faktor yang memperantarai kaskade inflamasi adalah TNF
alfa yang meningkatkan ekspresi permeabilitas sel epitel. Tumor necrosis
factor alpha (TNF-α) dikatakan memiliki peranan penting dalam
patogenesis polip hidung karena sitokin pro-inflamasi ini berperan dalam
proses inflamasi pada polip hidung dengan mendorong proses sintese
immunoglobulin. Sintese mediator inflamasi di fibroblast seperti matrix
metalloproteinase-1, COX-2 dan IL-6 juga di stimulasi oleh TNF-α (Shun
2.3.5 Makroskopis
Secara makroskopik polip hidung tampak sebagai lesi non-neoplastik
yang merupakan edema mukosa sinonasal, yang prolaps ke dalam
rongga hidung (Choi et al. 2006).
2.3.6 Mikroskopis
Secara mikroskopik didapatkan perubahan struktur epitel yaitu
hiperplasia sel goblet, metaplasia skuamosa serta infiltrasi sel-sel radang
seperti eosinofil, limfosit dan sel plasma. Selain itu terdapat pula edema
hebat lamina propria disertai dengan akumulasi matriks protein dan
penebalan membran basal. Pada tingkat seluler, proses inflamasi akan
melibatkan epitel, sel dendritik, sel endothelial dan sel inflamasi seperti
limfosit, eosinofil, neutrofil dan sel mast. Pada tingkat molekular banyak
sekali gen-gen pro-inflamasi yang sudah dapat diidentifikasi (Liu et al.
Tabel 2.1. Theories behind the formation of nasal polyps.
Study Proposed Mechanisms of Action
Ramanathan et al1 ↓ Local Th-1 based immune response
↑ Th-2 based activity
↑ eosinophils
Ramanathan et al2 ↓ Toll-like receptors-9 Lane et al ↑ Toll like receptor-2
Qiu et al ↑ Expression surviving
Kowalski et al ↓ Apoptosis of eosinophils
Meyer et al ↑ Expression eotaxin
Olze et al ↑ RANTES
↑ Eosinophils
Rudack et al ↑ Eosinophils related cytokine IL-5
Ohori et al ↑ VCAM-1 enhanced by TNF-α
Kim et al Abcense of lymphangiogenesis in inflamed
sinonasal mucosa
↑ Stromal edema and polyp formation
Lechapat-Zalcman et
al
Up-regulation of MMP-9 in the glands and
vessels
Bernstein et al ↑ Production of staphylococcus aureus
superantigen
Van Zele et al Activation of Th-1 and Th-2 cytokines
Cannady et al Abnormalities in NO metabolism
2.3.7 Tumor necrosis factor alpha (TNF-α)
Tumor necrosis factor alpha (TNF-α) merupakan mediator utama pada
respons inflamasi akut terhadap bakteri gram negatif, dan berperan dalam
respons imun bawaan terhadap berbagai mikroorganisme penyebab
infeksi yang lain, serta bertanggung jawab atas banyak komplikasi
sistemik yang disebabkan infeksi berat. Infeksi yang berat dapat memicu
produksi TNF dalam jumlah besar yang menimbulkan reaksi sistemik. TNF
disebut TNF-α atas dasar historis untuk membedakannya dari TNF- atau
limfotoksin. Sumber utama TNF adalah fagosit mononuklear dan sel T
yang diaktifkan antigen, sel NK dan sel mast. LPS merupakan rangsangan
poten terhadap makrofag untuk mensekresi TNF. IFN- yang diproduksi
sel T dan sel NK juga merangsang makrofag antara lain meningkatkan
sintesis TNF. TNF-α diproduksi oleh berbagai jenis sel termasuk
makrofag, sel T, B, NK, astrosit dan Kupfer. Pembentukan terjadi sebagai
respons terhadap rangsangan bakteri, virus dan sitokin (GM-CSF, 1,
IL-β, IFN ), kompleks imun, komponen komplemen C5a dan reactive oxygen intermediates (ROI). TNF-α dahulu dikenal dengan berbagai nama, yaitu
cachectin, necrosin, sitotoksin makrofag atau faktor sitotoksik. TNF-α
terbukti juga merupakan modulator respons imun kuat yang
memperantarai induksi molekul adhesi, sitokin lain dan aktivasi neutrofil
(Kresno 2010, Baratawidjaja & Rengganis 2012).
Penelitian oleh Shun dkk. pada tahun 2005, menyatakan bahwa TNF-α
memegang peranan penting terhadap patogenesis dari polip hidung.
Sitokin proinflamatori ini dapat mengawali proses inflamasi pada polip
hidung dengan mendukung sintesis dari immunoglobulin. Lebih lanjut,
didemonstrasikan sintesis aktif dari MMP-1, COX-2 dan IL-6 mediator
inflamatori pada fibroblast yang berasal dari polip hidung yang distimulasi
oleh TNF-α.
Yoshifuku dkk. (2008) di Jepang, mendapatkan bahwa TNF-α
meningkatkan sekresi dari VCAM-1 dan RANTES oleh fibroblast yang
berasal dari polip hidung yang kaya eosinofil (phE) maupun polip hidung
IL-4 meningkatkan sekresi dari VCAM-1 dan eotaxin, tetapi tidak dengan
RANTES. Lebih lanjut, TNF-α dan IL-4 ketika ditambahkan
bersama-sama, menginduksi sebuah efek sinergistik pada sekresi dari VCAM-1 dan
eotaxin.
Dikemukakan bahwa terdapat hubungan di antara pengurangan dari
ukuran polip hidung dengan penurunan level TNF-α pada sekret hidung
dari pasien non atopi serta hubungan dari pengurangan dari ukuran polip
hidung dengan penurunan level IL-12 pada sekret hidung dari pasien atopi
(Peric et al. 2012). Infiltrasi eosinofil diregulasi oleh sejumlah kemokin dan
molekul adhesi seperti eotaxin, regulated on activation of normal T cell
expressed and secreted (RANTES), dan vascular cell adhesion molecule
(VCAM-1). Untuk menginfiltrasi daerah inflamasi, eosinofil meninggalkan
aliran darah dan lewat melalui endothelium melalui empat langkah, yaitu
rolling, adhesi, migrasi transendotel dan kemotaksis. Molekul adhesi,
seperti VCAM-1 memainkan peranan penting selama proses adhesi ke sel
endotel. Percobaan oleh Ohori dkk. seperti yang dikemukakan oleh Peric
dkk. menunjukkan bahwa TNF-α meningkatkan produksi VCAM-1 pada
fibroblast hidung dan mengaktivasi transmigrasi dari eosinofil di mana
lebih lanjut akan memproduksi TNF-α dan mempercepat penumpukan dari
eosinofil pada polip hidung (Peric et al. 2010).
2.3.8 Diagnosis polip hidung
2.3.8.1 Anamnesis
Keluhan utama penderita polip hidung adalah hidung tersumbat.
Rinore mulai yang jernih sampai purulen atau post nasal drips, gangguan
penghidu, suara sengau serta rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala
(Lund 1995).
2.3.8.2 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat massa yang berwarna
pucat dan mudah digerakkan. Adanya fasilitas naso-endoskopi akan
sangat membantu diagnosis kasus polip stadium dini (Mangunkusumo &
2.3.8.3 Pemeriksaan radiologi
CT scan diindikasikan pada kasus polip yang gagal terapi
medikamentosa, ada komplikasi sinusitis dan rencana tindakan bedah
terutama bedah sinus endoskopi fungsional (Mangunkusumo & Wardani
2007).
2.3.9 Stadium polip
Tabel 2.2. Stadium Polip Menurut Mackay & Lund (1995)
Kondisi Polip Stadium
Tidak ada polip 0
Polip terbatas pada meatus media 1
Polip sudah keluar dari meatus media tetapi belum
memenuhi rongga hidung
2
Polip yang massif (memenuhi rongga hidung) 3
Sumber: Assanasen & Naclerio (2001)
Pada penelitian ini peneliti menggunakan naso-endoskopi untuk
menilai polip hidung dan menentukan stadium berdasarkan stadium polip
menurut Mackay & Lund.
2.3.10 Penatalaksanaan polip hidung
Penatalaksanaan polip hidung dengan medikamentosa, operasi atau
kombinasi (Aouad & Chiu 2011). Berdasarkan guideline PERHATI-KL,
stadium 1 (menurut Mackay & Lund 1995) dapat diterapi dengan
medikamentosa (polipektomi medikamentosa), untuk stadium 2 dapat
diterapi medikamentosa atau operasi dan stadium 3 dianjurkan untuk
Gambar 2.1. Penatalaksanaan Polip Hidung dan Sinus Paranasal menurut
Tujuan penatalaksanaan polip hidung (Mygind & Lildholdt 1996) :
1. Eliminasi polip hidung atau mengurangi ukuran polip sebesar
mungkin.
2. Membuka kembali jalan nafas melalui hidung.
3. Meredakan gejala.
4. Penciuman kembali normal.
5. Mencegah kekambuhan polip hidung.
6. Mencegah komplikasi.
Syarat terapi polip hidung yang ideal (Mygind & Lildholdt 1996) :
1. Kepatuhan pasien (dipengaruhi rasa nyeri atau ketidaknyamanan,
biaya pengobatan, lamanya pengobatan dan lamanya efek
pengobatan.
2. Tidak ada efek samping yang berbahaya.
2.4 Kerangka Teori
LP S
IFN-¥
Makrofa g
Antige n
Sel NK
Sel Mast Sel T
Sel B
Astrosit Kupfer TNF-α
VCAM-1
RANTE S
Inflamasi
Polip Hidung
Kerangka konsep
Keterangan :
Variabel yang tidak diteliti
Variabel yang diteliti
TNF-α
VCAM-1
RANTE S
Inflamasi
Polip Hidung