هُللاَ
رُ بَ كْ بَ رُ للبَ رُ بَ كْ بَ رُ للبَ رُ بَ كْ بَ رُ للبَ ،رُ بَ كْ بَ رُ للبَ رُ بَ كْ بَ رُ للبَ رُ بَ كْ بَ رُ للبَ ،رُ بَ كْ بَ رُ للبَ رُ بَ كْ بَ رُ للبَ رُ بَ كْ بَ
بَ بَ بَ بَ رُ بَ كْ بَ بَ بَ بَ ،رُ بَ كْ بَ رُ لل ابَ إِ بَ للٰإِ ابَ ،اً لكْ إِ بَ بَ اًبَ !كْ"رُ إِ لل #بَا%بَكْ &رُبَ اً كْ 'إِبَ إِ للٰلإِ رُ (كْ%بَلكْ بَ اً كْ إِ بَ كْ بَ كْ بَ رُ للبَ
دُمْحَلاَ هُللوَ رُبَكْأَ هُللاَ ،رُبَكْأَ هُللاَوَ هُللاَ لَّاإِ هُلإِلَّا ،هُدُحْوَ بَاَزَحْلْأَاَ مَزَهَوَ هُدُنْجُ زَعَأَوَ هُدُبَعَ
. . .
اً (بَ%بَ)رُ ابَ بَ يِّ &بَ #بَبَ رُ +بَ,كْبَ بَ -ةٍ/بَ&إِ بَ -ةٍ(بَكْ 0بَ كْ 1رُ رُ لل ابَإِ بَ للٰإِ ابَ #كْبَ رُ +بَ,كْبَ بَ -إِ2بَ%إِلكْ ي1إِ إِ 4كْبَ 5كْ)إِ 6إِ7كْبَلكْ 8بَ9لٰ ىلبَإِ ا;بَ<بَلبَ"بَبَ -إِبَ %إِ=كْارُكْ >إِ"كْ8بَ"إِ ابَ بَ )بَبَ يكْ8إِلبَ إِ للٰلإِ رُ (كْ%بَلكْ
!يِّبَنْلاَ #دُمْحَمُ انَدُ!يِّسَ ىلعَ كْرِابَوَ مْ!لسَوَ !لِّصَ مْهُللأَ ةُعَافَشَّلاَ هُنْمُ ىجُرُتُ يْذِلاَ هُلوْسَرِوَ هُدُبَعَ . ةُمُايِّقِلاَ مَوْيَ ىلإِ نِيِّمُزِلَاتَمُ ا>مُلَاسَوَ >ةًلَاصَ ،ةُمْيِّلسَّلاَ لِوْقِعُلاَ يْوَذَ هُبَاحَصَأَوَ هُلاَ ىلعَوَ ،ةُمْحْرُلاَ
:
5كْ)بَبَ ?ەۚ Aبَكْ9إِلٰ "كْإِ 6رُاBبَ)بَ Cتٌ;لٰيِّ "بَ CتٌتٌۢFلٰلٰ إِ كْGإِ Aكْكْ إِ بَ ل 5إِ(بَكْ بَ ل إِ لل AإِHكْ"إِ #إِآ كْ Bرُلكْ إِ "إِاJبَإِ يGإِ LإِMإِاBبَلكْ ،#إِا;بَ(بَل إِ لل ى7بَBكْJبَ"إِ يHإِOكْبَ بَ Aكْ!رُكْ إِ كْ رُ ييِّ اGبَ ،5إِ(لٰكْ بَ ل Pبَابَ إِ ،رُ /كْ"بَ ا)بَبَ
5إِبَ يتٌ;إِQبَ بَ للٰل #بَاإِGبَ بَ Oبَبَ 5كْ)بَبَ اۗ لاًكْإِ &بَ إِ كْلبَإِ SبَاTبَJبَ&كْ 5إِ)بَ Cإِكْ بَلكْ Uرُإِ Vإِا;بَل ىلبَبَ إِ للٰلإِبَ ااۗ;اً)إِلٰ #بَابَ هٗ لبَXبَPبَ
. . . : .
هُللاَ قَدُصَ رُتَبَلْأَاَ وْهَ كَئَنَاشَ نَّإِ رُحَنَاَوَ كَ!بَرُل !لِّصَفَ رُثَوْكَلاَ كْانْيِّطَعَأَ انَإِ ا>ضًيَاَ لِاقَوَ نِيِّمْلعُلاَ
مْيِّظِعُلاَ
دُمْحَلاَ هُللوَ رُبَكْأَ هُللاَ ،رُبَكْأَ هُللاَوَ هُللاَ لَّاإِ هُلإِلَّا ،رُبَكْأَ هُللاَ ،رُبَكْأَ هُللاَ ،رُبَكْأَ هُللاَ
Ma’asyiral Muslimin Jama’ah idul adha rahimakumullah,
Mengawali khutbhah idul adha pada pagi hari ini, kami selaku khatib berwasiat kepada kita semua, terutama kepada diri kami pribadi, untuk senantiasa berusaha meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala, kapan pun dan di mana pun kita berada serta dalam keadaan sesulit apa pun dan dalam kondisi yang bagaimana pun, imtisalu awamirillah wajtinabu nawahihi, yakni dengan cara melaksanakan semua kewajiban dan menjauhi semua larangan Allah SWT.
Allahu Akbar (3x) walillahilhamdu, Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Keluarga Nabi Ibrahim adalah keluarga yang saleh. Istri dan kedua anaknya semuanya adalah hamba- hamba Alloh yang saleh. Saleh (shalih) artinya memenuhi hak Allah dan hak sesama hamba. Kesalehan tidak akan dicapai kecuali dengan ilmu dan amal. Tanpa ilmu, seseorang tidak akan mampu beramal dengan benar sesuai tuntunan syariat. Dan ilmu tanpa amal tidak akan mendekatkan diri sesorang kepada Allah sehingga tidak akan mengantarkan ia menjadi pribadi yang saleh. Ada banyak sekali sisi kesalehan keluarga Nabi Ibrahim yang dapat kita teladani. Di antaranya adalah hal-hal sebagai berikut.
Pertama, Nabi Ibrahim sangat kuat memegang teguh akidah dan syariat. Allah ta’ala berfirman:
:# ( لآ 5بَكْإِ إِ 4كْ(رُلكْ 5بَ)إِ #بَابَ ا)بَبَ ااۗ(اًلإِHكْ)رُ اOاًكْ;إِبَ #بَابَ 5كْ!إِللٰبَ ااًإِ بَ كْ بَ ابَ بَ اFاًPإِ7كْ+رُFبَ Aرُكْ9إِلٰ "كْإِ #بَابَ ا)بَ ( ٦٧
)
Maknanya: “Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, melainkan dia adalah seorang yang memegang teguh agma Islam. Dia bukan pula termasuk (golongan) orang-orang musyrik.”
(QS Ali ‘Imran: 68)
Nabi Ibrahim sebagaimana nabi-nabi yang lain adalah orang yang ma’shum (selalu dijaga oleh Allah) dari perbuatan syirik, dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil, baik sebelum maupun setelah diangkat menjadi nabi. Nabi Ibrahim tidak pernah sedikit pun meragukan ketuhanan Allah. Beliau tidak pernah menyembah selain Allah, tidak pernah menyembah bulan, bintang dan matahari. Nabi Ibrahim tidak pernah menjual berhala bersama ayahnya. Dan Nabi Ibrahim tidak pernah meragukan sifat qudrah (Mahakuasa) Allah ta’ala. Beliau juga tidak pernah berdusta dalam setiap ucapannya. Nabi Ibrahim sangat kuat memegang teguh akidah dan syariat
Allahu Akbar (3x) walillahilhamdu, Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Kesalehan keluarga Nabi Ibrahim yang dapat kita teladani yang Kedua adalah, Nabi Ibrahim berdakwah dengan penuh hikmah. Hal tersebut tercermin tatkala Nabi Ibrahim mengajak ayahnya untuk masuk ke dalam agama Islam sebagaimana diceritakan dalam QS al-An’am ayat 41-44. Nabi Ibrahim dengan menjaga adab seorang anak kepada orang tuanya menjelaskan dengan santun kepada ayahnya yang
menyembah berhala bahwa berhala tidaklah dapat mendengar doa penyembahnya dan tidak dapat melihat penyembahnya. Yang demikian itu, bagaimana mungkin ia dapat memberi manfaat kepada penyembahnya, memberi rezeki kepadanya atau menolongnya. Ibrahim mengajak ayahnya untuk menyembah kepada Allah semata, satu-satunya Tuhan yang berhak dan wajib disembah. Dengan cara inilah Nabi Ibrahim Berdakwah, dengan cara Hikmah Yakni menyampaikan dakwah dengan cara yang arif bijaksana, yaitu melakukan pendekatan sedemikian rupa sehingga pihak obyek dakwah mampu melaksanakan dakwah atas kemauannya sendiri, tidak merasa ada paksaan, tekanan maupun konflik Allahu Akbar (3x) walillahilhamdu, Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Kesalehan keluarga Nabi Ibrahim yang dapat kita teladani yang Ketiga, adalah berilmu, memiliki hujjah (alas an, bukti atau argumentasi ) yang kuat dan beramar ma’ruf nahi mungkar dengan penuh keberanian. Nabi Ibrahim telah diberi hujjah yang kuat oleh Allah ta’ala sehingga selalu dapat mematahkan berbagai dalih yang dilontarkan oleh musuh-musuh Islam ketika berdebat. Karena memiliki hujjah yang kuat inilah, Nabi Ibrahim berhasil membungkam para penduduk daerah Harraan yang menganggap bulan, bintang dan matahari sebagai tuhan. Nabi Ibrahim menjelaskan kepada mereka bahwa bulan, bintang, dan matahari tidak layak disembah karena mereka adalah makhluk yang mengalami perubahan, terbit lalu tenggelam. Sesuatu yang berubah dari satu keadaan ke keadaan yang lain pasti bukan tuhan. Karena sesuatu yang berubah pasti membutuhkan kepada yang mengubahnya.
Sesuatu yang membutuhkan kepada yang lain, berarti ia lemah. Dan sesuatu yang lemah tidak mungkin disebut tuhan yang layak disembah. Perkataan Nabi Ibrahim kepada kaumnya sebagaimana dikisahkan dalam QS al-An’am ayat 76-78 adalah dalam konteks mendebat kaumnya dan menjelaskan bahwa bulan, bintang, dan matahari tidak layak disembah. Perkataan tersebut tidak berarti Ibrahim menetapkan bulan, bintang, dan matahari sebagai tuhan. Karena Nabi Ibrahim tidak pernah mengalami fase kebingungan mencari-cari Tuhan. Sebelum perdebatan itu, bahkan sebelum diangkat menjadi nabi, beliau telah mengetahui dan meyakini bahwa satu-satunya Tuhan yang berhak disembah hanyalah Allah. Dialah satu-satunya pencipta segala sesuatu, Tuhan yang menghendaki terjadinya segala sesuatu dan yang berbeda dengan segala sesuatu. Allah ta’ala berfirman:
:ءا ا 5بَكْ(إِلإِلٰ هٖ "إِ ا;بَرُ بَ Lرُكْ\بَ 5كْ)إِ هٗ بَ ,كْ0رُ Aبَكْ9إِلٰ "كْإِ اآ;بَكْ]بَلٰ كْ Bبَلبَبَ( ٥١
)
Maknanya: “Sungguh, Kami benar-benar telah menganugerahkan kepada Ibrahim petunjuk sebelum masa kenabiannya dan Kami telah mengetahui dirinya” (QS al-Anbiya’: 51). Perkataan Nabi Ibrahim:
ي"0 89
kepada kaumnya dengan maksud mengingkari bukan dengan tujuan menetapkan: “Inikah Tuhanku?”.
Seakan-akan beliau ingin mengatakan: “Wahai kaumku, inikah tuhanku seperti yang kalian sangka?. Ini jelas bukan tuhanku karena ia berubah, terbit lalu terbenam.” Demikianlah yang dikatakan oleh para ulama tafsir. Ibrahim adalah seorang nabi yang ma’shum dari kemusyrikan sebelum maupun setelah menjadi nabi.
Keempat, dalam berjuang menegakkan agama Allah, tidak ada yang perlu ditakuti dan dikhawatirkan.
Rezeki telah diatur. Ajal sudah termaktub. Hal itu dibuktikan ketika Raja Namrud hendak melemparkannya ke dalam api yang berkobar-kobar, Nabi Ibrahim tidak gentar sedikit pun. Ia yakin sepenuhnya bahwa Allah akan menolong hamba-Nya yang memperjuangkan agama-Nya.
Kelima, tawakal sepenuhnya kepada Allah tanpa meninggalkan ikhtiar. Hal itu tercermin pada peristiwa di mana Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail yang masih bayi di Makkah yang tandus dan tiada sumber air. Nabi Ibrahim meninggalkan keduanya karena menjalankan perintah Allah, dan Hajar rela ditinggal di tempat itu.
Keenam, bersegera menjalankan perintah Allah, seberat dan sebesar apapun resikonya. Setelah penantian yang begitu panjang, akhirnya Allah mengaruniakan kepada Ibrahim seorang putra yang kemudian diberi nama Ismail. Putra yang sangat dicintainya itu setelah tumbuh menjadi seorang remaja, Ibrahim diperintahkan Allah untuk menyembelihnya. Dengan ketundukan yang total kepada Allah, Ibrahim bersegera menjalankan perintah itu tanpa ada keraguan sedikit pun. Sang putra juga menyambut perintah itu dengan kepasrahan yang total tanpa ada protes sepatah kata pun. Ma sya Allah!. Sebuah potret keluarga saleh yang lebih mengutamakan perintah Allah dibandingkan dengan apa pun selainnya. Ayah dan anak saling menolong dan menyemangati untuk melaksanakan perintah Allah. Dialog indah antara keduanya terekam dalam al-Qur’an sebagaimana dikisahkan oleh Allah:
:تاGا ل ىاۗلٰ ]بَ 1بَا)بَ كْ _رُكْ اGبَ `بَ%رُ"بَ1كْبَ يكْآيِّ بَ 6إِا;بَ(بَلكْ ىGإِ ى0لٰبَ يكْآيِّإِ يبَ;بَرُFلٰ لبَا\بَ( ١٠٢
)
Maknanya: “... Ibrahim berkata: “Duhai putraku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu?” (QS ash-Shaffat: 102). Sebagaimana kita tahu bahwa mimpi para nabi adalah wahyu. Sedangkan perkataan Nabi Ibrahim kepada putranya, “Maka pikirkanlah apa pendapatmu?,” bukanlah permintaan pendapat kepada putranya apakah perintah Allah itu akan dijalankan ataukah tidak, juga bukanlah sebuah keragu-raguan. Nabi Ibrahim hanya ingin mengetahui kemantapan hati putranya dalam menerima perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Lalu dengan kemantapan dan keteguhan hati, Nabi Ismail menjawab dengan jawaban yang menunjukkan bahwa kecintaannya kepada Allah jauh melebihi kecintaannya kepada jiwa dan dirinya sendiri:
:تاGا ل 5بَFكْإِ إِ لٰ ل 5بَ)إِ رُ للٰل ءبَااۤ,بَ #كْإِ يكْآإِ رُ 2إِJبَ&بَ رُرُۖ)بَcكْ]رُ ا)بَ Lكْ/بَGكْ Cإِ"بَابَFلٰآ لبَا\بَ( ١٠٢
)
Maknanya: “Ismail menjawab: “Wahai ayahandaku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, in sya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS ash-Shaffat: 102). Jawaban Ismail yang disertai “In sya Allah” menunjukkan keyakinan sepenuh hati dalam dirinya bahwa segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah. Apa pun yang dikehendaki Allah pasti terjadi, dan apa pun yang tidak dikehendaki Allah pasti tidak akan terjadi. Allahu Akbar (3x) walillahilhamdu, Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Demi mendengar jawaban dari sang putra tercinta, Nabi Ibrahim lantas menciumnya dengan penuh kasih sayang sembari menangis terharu dan mengatakan kepada Ismail:
إِ للٰل إِ )كْبَ ىلبَبَ يبَ;بَ"رُ اFبَ Cبَكْبَ #رُ7كْ/بَلكْ Aبَ/كْإِ
“Engkaulah sebaik-baik penolong bagiku untuk menjalankan perintah Allah, duhai putraku.” Nabi Ibrahim kemudian mulai menggerakkan pisau di atas leher Ismail. Akan tetapi pisau itu sedikit pun tidak dapat melukai leher Ismail. Hal ini dikarenakan pencipta segala sesuatu adalah Allah subhanahu wa ta’ala. Pisau hanyalah sebab terpotongnya sesuatu. Sedangkan pencipta terpotongnya sesuatu dan pencipta segala sesuatu tiada lain adalah Allah ta’ala. Sebab tidak dapat menciptakan akibat. Baik sebab maupun akibat, keduanya adalah ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala. Hadirin yang berbahagia, Berkat takwa, sabar dan tawakal serta ketundukan total yang ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail serta Hajar, Allah kemudian memberikan jalan keluar dan mengganti Ismail dengan seekor domba jantan yang besar dan berwarna putih yang dibawa malaikat Jibril dari surga. Hal itu dikisahkan dalam QS ash- Shaffat: 106-107. Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Akhirnya kita berdoa, semoga Allah menganugerahkan kepada kita kekuatan untuk meneladani kesalehan Nabi Ibrahim dan keluarganya.
Amin Ya Rabbal ‘alamin.