Bab IV : Etika Keluarga Konfusian
4.2 Individu (ren/ 人 ) Menempa Diri dan Ditempa dalam Keluarga
4.2.1 Lima Hubungan (Wŭ Lún/ 五伦 ) sebagai Dasar
keutamaan dalam konteks pembelajaran untuk melawan kemalasan setelah
156 lih. Lun Yu XVII, 6
76
kemajuan ekonomi terjamin. Mencius memandang bahwa kondisi alamiah manusia per se baik. Namun bekal yang dilihat Mencius sebagai baik adanya ini, dalam keadaan mapan membuat manusia menjadi malas.157 Melalui lima hubungan, Mencius ingin membantu individu untuk mengerti hubungan yang perlu dijalin sekaligus mencapai tujuan dari relasi yang dijalin. Keutamaan a la Mencius ini bermaksud untuk mengentaskan keprihatinannya prihal kemalasan dengan memperkenalkan pola hubungan dalam kehidupan harian. Mencius menyatakan:
Lima hubungan (Wŭ Lún/五伦) merupakan pemberian raja bijak atas keprihatinannya, dan Ia menunjuk Hsieh sebagai menteri pendidikan untuk mengajarkan kepada rakyat mengenai relasi kemanusiaan; cinta (Rén/仁) antara ayah dan anak, tanggungjawab (zé rèn/责任) antara penguasa dan menteri, penghargaan (zàn shăng/赞赏) antara suami dan istri, saling menghormati (jìng/敬) antara yang tua dan yang muda dan saling mempercayai (xin/信) antara teman.158
Mencius membuat klasifikasi hubungan dalam relasi antar: ayah–anak (Fu-zi/ 父-子), kaisar–menteri (jun-chen/君-臣), suami–istri (fú-fù/夫-婦), tua-muda (zhăng-yòu xù/长-有序), antar teman (peng you/朋友).159
Relasi ayah–anak (Fu-zi/父-子) dimaksud untuk menunjukkan hubungan yang tepat antara orangtua dengan anak dan saling mencintai lebih daripada sekedar kepatuhan. Mencius memberikan nasehat berkenaan dengan relasi ayah-anak:
Kung-sun ch’ou berkata, “mengapa seorang ayah tidak memberikan pengajarannya sendiri kepada anaknya?” “karena sifat alamiah dari orang tersebut (=ayah),” jawab Mencius, “pengajaran seperti itu tidak akan berdampak. Seorang guru harusnya mengajar demi perbaikan, dan
157 lih. Walter H. Slote dan George A. DeVos (ed.), Op. Cit., hlm. 125; bdk. Julia Ching, Confucianism and Christianity: A Comparative Study, New York, Harper & Row Publishers, 1977, hlm. 96
158 lih. Walter H. Slote dan George A. DeVos (ed.), Op. Cit., hlm. 126
159 idem.
77
jika perbaikan tidak dapat dicapai maka akan berakhir dengan keburukan.
Ketika hal ini terjadi maka sebagai gantinya ayah dan anak akan saling menyakiti. ‘ayah mengajarkan anak dengan mengoreksi anak, tetapi ayah tidak mengoreksi dirinya sendiri.’ Maka ayah dan anak akan saling bersitegang. Pada jaman dahulu orang-orang mengajarkan anak satu sama lain. Ayah dan anak saling berbagi kebaikan, bukan dilakukan untuk saling menjauhkan tetapi untuk semakin mendekatkan hubungan personal antara ayah dengan anak.160
Menurut Mencius dalam pendidikan informal di dalam keluarga ayah bukan serta merta menjadi otoritas tunggal dalam mendidik anak. Karena secara afektif, cinta antara ibu dan anak lebih natural terjalin. Maka tanggungjawab bukan bertepuk sebelah tangan pada figur ayah melainkan dalam kebersamaan antara ayah dan ibu sebagai orangtua. Relasi dalam keluarga yakni antara ayah (orangtua) harus sampai pada ci/慈 sebagai tujuannya; yakni rasa sayang, peduli, asuh atau dengan kata lain orangtua bertanggungjawab atas anaknya. Seorang ayah (orangtua) dalam hubungannya dengan anak berkeutamaan untuk menyayangi, mengasuh dan memperhatikan anak sebagai wujud tanggungjawab. Seorang ayah bukan tampil sebagai superior yang menekankan kepatuhan pada anaknya namun menabur benih cinta dan dengan sendirinya anak akan membalas161 dengan berbakti (xiào/孝) kepada orangtua. Dalam kutipan yang menyatakan bahwa pada jaman dahulu orang-orang mengajarkan anak satu sama lain demi semakin mendekatkan hubungan personal antara ayah dan anak maksudnya adalah pada jaman dahulu pendidikan informal dilakukan dengan saling menukar anak. Hal ini dilakukan untuk mencegah kemalasan anak, merangsang anak untuk berkembang secara lebih efektif, belajar berrelasi dengan orang lain di luar keluarga, dan agar
160 lih. Walter H. Slote dan George A. DeVos (ed.), Op. Cit., hlm. 125-126
161 hubungan timbal balik dan empati sesuai dengan pinsip shù/恕
78
relasi ayah dan anak semakin dekat sekaligus tercapai transfer ilmu menuju perbaikan.
Dalam etika keluarga Konfusian, relasi ayah (baca: orangtua) –anak (Fu-zi/父-子) merupakan hubungan yang paling penting. Karena relasi ini membuahkan perasaan bakti (xiào/孝) anak kepada orangtuanya. Gagasan dan prinsip bakti
(xiào/孝) merupakan prinsip perkembangan pribadi, keluarga dan kehidupan sosial. Dalam tradisi Konfusian, bakti merupakan sumber yang lebih menonjol untuk menunjukkan identitas dari tradisi Cina. Konfusius menterjemahkan bakti sebagai langkah awal menuju kebaikan moral. Langkah awal ini menjadikan individu mencapai kepenuhan dirinya karena hubungan di dalam keluarga.
Keluarga sebagai pijakan awal individu melangkah menjadikan individu bukan hanya untuk sekedar taat pada otoritas orangtua tetapi mengenali dan menghormati sumber dari hidup itu sendiri.162 Keluarga merupakan realisasi dari suatu dialog dengan orang lain secara berkesinambungan dalam struktur hubungan antar manusia. Dalam keluarga, sumber pengkayaan dan inspirasi dalam sistem support atau dukungan sebagai sarana realisasi diri ternyatakan. Diri harus berkembang dalam berbagai perannya, baik sebagai anak, ayah (-ibu), maupun sebagai saudara. Dengan demikian individu dapat menggali lebih dalam segi kemanusiaan yang ada.163
Dalam tradisi Konfusian, berbakti dikategorikan menjadi tiga bagian.
Kategorisasi itu berasal dari Konfusius yang menyatakan:
162lih. Walter H. Slote dan George A. DeVos (ed.), Op. Cit., hlm. 13
163lih. Tu Wei-Ming, Op. Cit., hlm. 8
79
”Ada tiga macam laku bakti.Bakti yang kecil menggunakan tenaga; yang lebih besar menggunakan jerih-payah; dan yang paling besar tidak dapat diukur dengan pikiran.”164(Lee Ki XXIV; 20/2)
Berbakti tanpa pengorbanan (jerih-payah) hanya melibatkan ketaatan pada otoritas tanpa disertai ketulusan untuk memberikan penghormatan kepada orang yang dibaktikan. Bakti macam ini masuk dalam kategori bakti dengan tenaga. Berbakti disertai dengan semangat pengorbanan merupakan bakti yang tulus dan menjunjung cinta terhadap orang yang dibaktikan. Bakti seperti ini dikatakan sebagai bakti dengan jerih-payah. Berbakti dengan pengorbanan merupakan bakti yang tanpa kesudahan dan dapat dikatakan sebagai penggenapan kebajikan. Bakti seperti ini tidak dapat diukur dengan pikiran karena nilai rasionalnya tidak memadai namun ikatan relasi tetap terwakili. Dalam tradisi Cina dikenal perayaan Ceng-beng yakni upacara bakti anak kepada orangtua yang telah meninggal. Pada perayaan ini, biasanya seorang anak melakukan ritual bersih-bersih makam orangtua dan leluhur sebagai ungkapan bakti. Ketika Konfusius ditanya mengenai bakti anak kepada orangtua, Konfusius menjawab:
"ketika mereka hidup layanilah sesuai dengan upacara keagamaan; dan apabila mereka meninggal, kuburlah mereka sesuai dengan upacara keagamaan dan persembahkanlah korban bagi mereka sesuai upacara keagamaan."165
Bakti yang tidak dapat dipikirkan atau berbakti yang besar adalah melayani orang yang masih hidup dan yang sudah meninggal sesuai dengan upacara keagamaan (li/礼) serta mempersembahkan korban sebagai peringatan (anamnesis) dan penghormatan kepada orang yang dibaktikan sesuai dengan li/礼.
164lih. Kitab Bakti (Xiao Jīng/孝经). Matakin, 2001 hlm. 50
165lih. Lun Yu II, 5
80
Relasi kaisar–menteri (jun-chen/君臣) dalam pemaknaan yang lebih luas berarti relasi penguasa-rakyat (jun-min/君-民). Mencius menyarankan pemulihan kepercayaan rakyat kepada penguasa sebagai prasyarat untuk membangun kembali hubungan yang tepat. Semangat yang mendasari hubungan ini adalah mutualisme. Dalam konteks hubungan kaisar dengan menteri, Mencius menegaskan bahwa kaisar harus mendapat dukungan dari para menterinya. Para menteri berlaku sesuai apa yang dilakukan kaisar kepada mereka. Mencius berkata:
Jika kaisar memperlakukan para menterinya sebagai kaki dan tangan (baca: orang kepercayaan), maka sebaliknya mereka akan memperlakukan kaisar sebagai nadi dan hati (baca: hidup) mereka. Jika mereka diperlakukan kaisar sebagaimana kuda atau anjing pemburu (baca: tidak manusiawi), mereka akan memperlakukan kaisar tidak lebih sebagai teman senegara. Jika kaisar memperlakukan mereka sebagai lumpur dan alang-alang, mereka akan memperlakukan kaisar sebagai maling.166
Dalam relasi kaisar–menteri (jun-chen/君臣), inspirasi tentang kasih bersumber dari relasi antara ayah dan anak. Penanaman dalam keluarga merupakan basis bagi tumbuh berkembangnya pemahaman nilai-nilai kemanusiaan dan keutamaan.
Maka Mencius menegaskan:
Beberapa ungkapan yang dikenal, “kekaisaran, pemerintahan sipil, keluarga.” Kekaisaran merupakan basis dalam pemerintahan sipil, pemerintahan sipil berada dalam keluarga, dan keluarga berdiri pada dirinya sendiri.167
Yang ditekankan Mencius merupakan prinsip fundamental dari perluasan diri menuju keluarga, pemerintahan sipil, dunia dan dunia ‘seberang’. Pemahaman mengenai dunia yang diperoleh dalam keluarga menjadi dasar perkembangan individu. Dalam relasi kaisar–menteri (jun-chen/君臣), menteri harus sampai pada
166 lih. lih. Walter H. Slote dan George A. DeVos (ed.), Op. Cit., hlm. 126 dalam Kitab Mencius IVB, 3
167 Idem. ; dalam Kitab Mencius IVA, 5
81
Jìng (敬) yakni perasaan hormat. Dan kaisar harus sampai pada Rén (仁)yakni kasih. Keutamaan saling menghormati (Jìng/敬) dan saling mengasihi (Rén/仁) dalam relasi kaisar-menteri (jun-chen/君臣) menjadi sinergi dalam membangun kekaisaran (negara). Dalam konteks ini Konfusius pernah ditanya oleh Bupati Ding tentang hubungan kaisar–menteri (jun-chen/君臣), Konfusius menjawab:
”Biarkan raja mempekerjakan menteri-menterinya sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan biarkan para menteri mengabdi kepada rajanya dengan setia."168
Kaisar tidak hanya memperlakukan para menterinya sebagai bawahan belaka namun sebagai orang kepercayaan. Dan sebaliknya menteri pun akan memperlakukan kaisar setulus hati dan setia atas titah yang kaisar berikan.
Dengan demikian relasi menjadi harmonis dan implikasinya negara akan makmur dan rakyat sejahtera.
Dalam relasi suami–istri (fú-fù/夫-婦), pijakan dalam keluarga dibangun.
Relasi ini menjadi basis bagi pengajaran dan penanaman nilai-nilai kemanusiaan dan keutamaan dalam keluarga. Pondasi dari relasi suami–istri (fú-fù/夫-婦) adalah Rén (仁) yakni cinta. Cinta antara keduanya menuai benih keutamaan dan kemanusiaan dalam proses edukasi anak yang menjadi buah hati. Dalam tradisi Konfusian, suami berperan sebagai kepala rumah tangga yang mengatur orientasi perkembangan keluarga. Namun bukan berarti istri yang adalah perempuan tidak berperan. Seperti yang dikatakan Mencius tentang relasi ayah-anak, justru kasih antara ibu-anak yang lebih natural dan mengena, karena ada ikatan psikologis di antaranya. Maka hubungan suami-istri haruslah setara. Relasi suami-istri haruslah mencapai tujuan yakni kesetiaan (zhong/忠) dan penghargaan (zàn shăng/赞赏) di
168 lih. Lun Yu III, 19
82
antara keduanya. Dengan demikian terjadi Rén (仁) sempurna yakni kasih yang tak berkesudahan.
Relasi tua-muda (zhăng-yòu xù/长-幼序) disejajarkan dengan relasi kakak–
adik (xiōng-dì/兄弟). Walau demikian, relasi tua-muda (zhăng-yòu xù/长-幼序) harus tetap didahulukan dan diutamakan melebihi saudara kandung.169 Distingsi antara tua dan muda dilihat dari sisi perbedaan usia. Namun usia tidak serta merta membuat orang patut dituakan (dihormati). Hal ini dikatakan oleh Konfusius demikian:
“jika pada masa muda, tidak rendah hati seperti junior; pada masa dewasa, tidak melakukan perbuatan yang bermanfaat. Dan sepanjang hidupnya hanya menjadi tua dan semakin tua dan menjadi wabah yang tidak berguna.170
Dari pernyataan ini jelas bahwa usia tua tidak menjadikan orang patut dihormati.
Orang yang dituakan adalah status sosial yang diberikan karena ia lebih berpengalaman, bijak dan bajik. Mencius meneruskan gagasan yang diwariskan oleh Tseng Tzu (Zeng Zi) –salah satu murid yang disayangi Konfusius- dalam melihat gradasi yang ada dalam kehidupan. Ia mengatakan:
“Ada tiga hal yang harus diakui sebagai gradasi dalam kehidupan yakni:
Pangkat/kedudukan, umur dan kebajikan. Dalam pengadilan, kedudukan menjadi hal penting; di dalam pemukiman, usia yang menentukan; tetapi dalam kehidupan keseluruhan dan dalam menguasai orang-orang, hal yang paling penting dan menentukan adalah kebajikan”.171
Tradisi Konfusian lebih mengutamakan kebajikan dari pada kedudukan dan usia. Kebajikan bertujuan membangun sikap yang membentuk kesadaran berbakti (xiào/孝) dan semangat persaudaraan (qíng/情). Etika Konfusian lebih
169 lih. Confucianism and the Family,1998, hlm. 127
170 lih. Lun Yu, XIV, 46
171 lih. Confucianism and the Family,1998, hlm. 128 dalam Kitab Mencius, II B, 2
83
menekankan kualitas perkembangan nilai moral dari pada penghormatan terhadap yang lebih tua berdasarkan usia dan kedudukan.
Konfusius sebagai guru kemanusiaan membangun cita-citanya dalam kepedulian dengan sesama. Ia berkata tentang kepedulian terhadap sesama:
“memberikan kenyamanan kepada orang yang lebih tua, memberi kepercayaan kepada teman dan memberi penghargaan kepada orang yang lebih muda.”172
Kepedulian terhadap sesama merupakan perwujudan nilai kemanusiaan. Dalam relasi tua-muda (zhăng-yòuxù/长-幼序) perlu tindakan mutual yakni orang muda memberikan rasa nyaman kepada orang yang lebih tua; dan sebaliknya orang yang lebih tua memberikan penghargaan terhadap orang yang lebih muda.
Dengan demikian hubungan akan menjadi harmonis dan manusia semakin dapat memanusiakan sesamanya.
Hubungan (Wŭ Lún/五伦) kelima adalah relasi antar teman (peng you/朋友). Relasi pertemanan ini bukan dilandaskan dari distingsi kedudukan maupun usia namun dalam semangat saling berbagi dan tindakan timbal balik.
Maka konteks dalam hubungan antar teman ini luas. Etika Konfusian mengandung tema dominan yang hirarkis namun dalam semangat saling berbagi dan tindakan timbal balik. Dalam aplikasi relasi suami dan istri contohnya;
dalam semangat cinta, berbagi dan tindakan timbal balik, relasi ini dapat dilihat dalam paradigma “kesetiaan antar teman”.173 Inti dalam hubungan pertemanan ini adalah dorongan saling menasehati yang menjadi kontrol satu sama lain demi tercapainya perluasan perkembangan nilai moral pada masing-masing pribadi.
172 lih. Lun Yu V, 26
173 lih. Walter H. Slote dan George A. DeVos (ed.), Op. Cit., hlm. 128
84
Maka Konfusius, ketika ditanyai oleh salah satu muridnya mengenai makna persahabatan, menjawab:
"tegurlah temanmu dengan bijak jika mereka melakukan kesalahan;
kemudian bimbinglah mereka dengan lembut ke jalan yang benar."174 Relasi pertemanan bukan dilakukan dalam nuansa negatif dalam arti mendukung teman yang melakukan kesalahan. Seorang teman harus berani menegur dan membimbing teman lainnya yang berbuat kesalahan pada jalan kebenaran. Dengan demikian relasi pertemanan menjadi kontrol dan pengembangan nilai-nilai. Relasi antar teman (pengyou/朋友) bertujuan untuk mencapai tahap saling percaya (xiang xin/相信). Rasa saling percaya merupakan komitmen dari benih semangat berbagi dan tindakan timbal balik. Tanpa kepercayaan pertemanan hanyalah topeng dari sebuah intensi tertentu. Dalam pribahasa Cina dikatakan bahwa pertemanan yang tidak mendalam adalah manis bagaikan madu. Tetapi pertemanan yang mendalam adalah tidak mudah dimengerti seperti air.
Gagasan lima hubungan (Wŭ Lún/五伦) yang dipopulerkan Mencius merupakan pola relasi yang relevan dalam tradisi Konfusian. Dalam sistem relasi ini, Mencius juga mencantumkan tujuan yang harus dicapai dari setiap relasi agar terbina hubungan yang harmonis. Pola lima hubungan (Wŭ Lún/五伦) berprinsip shù/恕 yakni hubungan timbal balik yang melibatkan masing-masing individu. Maka corak hubungan yang hirarkis bukan menjadi tekanan. Namun dalam gagasan kemudian, sistem lima hubungan (Wŭ Lún/五伦) ini dipadatkan dalam suatu sistem hirarkis yang dikenal sebagai tiga ikatan (Sān Gāng/三纲) yang merangkum lima hubungan (Wŭ Lún/五伦).
174 lih. Lun Yu XI, 23
85
4.2.2 Tiga Ikatan (Sān Gāng/三纲) sebagai Kesatuan Etika Keluarga