Bab II : Tinjauan Sosiologis Atas Hidup Berkeluarga
2.2 Keluarga dalam Hubungannya dengan Masyarakat
Kenyataan bahwa hidup berkeluarga dan realitas perkawinan menjadi umpan sekian banyak ilmu sudah menyingkapkan gejala sosio-kultural yang serba majemuk. Sulit untuk merumuskan suatu formula yang tepat untuk mewadahi
16 lih. C. Groenen, Perkawinan Sakramental: Anthropologi dan Sejarah Teologi, Sistematik, Spiritualitas, Pastoral, Kanisius, Yogyakarta, 1993, hlm. 20
12
berbagai dimensi dari hidup berkeluarga dan perkawinan. Keluarga dan perkawinan adalah hubungan yang lebih kurang mantap dan stabil yang terarah pada kesejahteraan suami-istri dan pengadaan keturunan.17 Meskipun perkawinan dan keluarga berkaitan satu sama lain, namun secara hakiki kedua hal itu berbeda.
Perkawinan terkait dengan kesepakatan untuk membangun kebersamaan hidup yang terarah pada kesejahteraan dan keturunan. “Marriage means stabilized patterns of norms and roles associated with mutual relationship between husband and wife”.18 Perkawinan menyatukan laki-laki dan perempuan sebagai suami-istri dan membawa kedua keluarga besar ke dalam suatu hubungan kekerabatan.
Perkawinan menjadi pangkal terbentuknya keluarga. Secara etimologis keluarga berasal dari kata sansekerta yakni kawula yang berarti abdi dan warga yang berarti anggota. Artinya keluarga merupakan kumpulan individu yang memiliki rasa pengabdian tanpa pamrih demi kepentingan seluruh individu yang bernaung di dalamnya.
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu dan anak.19 Hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antara sesama anggota keluarga dan antara keluarga dengan masyarakat menjadi tiang pokok dalam suatu masyarakat. Keluarga adalah institusi sosial yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah, atau adopsi sesuai dengan adat istiadat yang berlaku dan diakui masyarakat, yang memiliki pola interaksi dan korporasi berdasarkan norma-norma, peran sosial dan posisi status yang ditetapkan dalam masyarakat.
Keluarga mempunyai susunan dan interaksi yang menimbulkan peran sosial bagi
17 ibid. hlm. 19
18 lih. David Levinson, Encyclopedia of Marriage and the Family, MacMillan Reference Books, USA, 1995, hlm. 471
19 ibid. hlm. 287
13
masing-masing anggotanya.20 Hubungan peran (role relations) itu seperti: ayah sebagai kepala dan tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah, ibu sebagai pendamping keluarga yang mengontrol, mengasuh dan mengatur rumah tangga, anak sebagai ungkapan cinta orangtua yang berupaya untuk mencecap sosialisasi dalam keluarga sehingga siap terjun dalam masyarakat kelak. Walaupun halnya tidak mutlak demikian, pembagian peran dalam keluarga tetap ada dan bahkan harus ada. Melalui pembagian peran inilah bahtera rumah tangga dapat berlayar mengarungi kehidupan dengan segala dinamikanya.
Dalam masyarakat dikenal tiga bentuk keluarga. Varian bentuk keluarga ini didasarkan pada hubungan peran (role relations) yang terjalin di dalamnya.
Bentuk-bentuk keluarga itu adalah sebagai berikut21:
a. Keluarga inti/batih (nuclear family) terdiri atas suami-istri yang bersatu dalam ikatan perkawinan bersama-sama dengan anak-anak yang lahir dari persatuan mereka. Hubungan peran dalam keluarga inti didasarkan pada tanggung jawab, hubungan darah dan kesejahteraan keluarga sebagaimana ikrar yang disampaikan dalam kesepakatan perkawinan.
b. Keluarga gabungan (joint family) terdiri atas keluarga inti dan saudara-saudara lainnya. Hubungan peran pada keluarga gabungan bernuansa kekerabatan (kinship), berdasarkan pada pertalian hubungan persaudaraan karena hubungan darah (semenda) atau perkawinan (affinitas).
c. Keluarga luas (extended family) terdiri atas anggota-anggota yang tidak memiliki hubungan darah. Hubungan peran dalam keluarga luas
20 lih. YB. Suparman, Rachmanto. W, S. Pardiman, Kamus Istilah Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB), Kanisius, Yogyakarta, 1990, hlm. 98; bdk. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 1988, hlm. 413; bdk. W. J. S.
Poerwadarya, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1976, hlm. 471
21 lih. Su’adah, Op. Cit., hlm. 90-93
14
berdasarkan semangat patriotis, nasionalis, kesamaan iman, kesatuan tempat tinggal atau daerah asal, dll.
Bentuk keluarga mempengaruhi hubungan peran yang harus dilakoni masing-masing individu. Kesiapan dan kesanggupan untuk menjalankan peran itu memungkinkan individu mampu hidup bersama secara proporsional dan tepat.
2.2.1 Keluarga dan Individu
Hubungan individu dalam keluarga sangat khas karena berlangsung dalam kurun waktu seumur hidup. Kekhasan hubungan ini ditandai antara lain oleh keintiman dalam berelasi. Kualitas hubungan yang intim ini didasarkan pada ikatan emosional yang kuat di dalam keluarga. Keluarga inti dan keluarga gabungan menjadi titik tolak bagi individu untuk bersiap diri terjun dalam masyarakat (keluarga luas). Untuk kesiapan itu, individu perlu dipersiapkan dan persiapan itu diawali dalam keluarga. Secara etimologis individu berakar kata Latin individuum, yang berarti tak terbagi.22 Individu merupakan kesatuan yang paling kecil dan tak terbatas. Namun ilmu sosial menyingkapkan pemahaman prihal individu hanya secara parsial, tidak secara keseluruhan. Para ahli ilmu sosial tidak membahas individu dalam keseluruhannya yang sulit-rumit dan beragam; melainkan kepada kenyataan-kenyataan yang tidak seberapa mempengaruhi kehidupan manusia.23 Manusia merupakan makhluk pluri-dimensional. Sifat pluridimensional ini merupakan suatu seruan yang mengikat manusia secara etis.24 “Being man is having to be man”, tutur Luijpen.25 Manusia
22 lih. Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, Rineke Cipta, Jakarta, 2003, hlm. 113
23 ibid. hlm. 114
24 lih. Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat: Manusia Paradoks dan Seruan, Kanisius, Yogyakarta, 2004, hlm. 15
15
adalah makhluk sosial yang berkat kesosialannya membentuk eksistensinya sebagai manusia. Manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa relasi dengan sesamanya. Diri sesama hadir dari awal dan dalam segala kegiatan yang khas manusiawi. Aku menjadi aku karena kamu dan aku dipanggil untuk menjadi aku untuk kamu. 26
Manusia yang pluri-dimensional lahir dalam keluarga. Keluarga merupakan unit sosial dalam masyarakat yang terdiri dari beberapa individu.
Lahirnya individu dalam keluarga menunjukkan bahwa manusia tidak pernah dapat hidup dari dirinya sendiri. Bayi lahir dari hubungan kasih suami-istri dan tumbuh menjadi pribadi yang perlu dibina, dijaga, dirawat, diasuh dan dididik.
Manusia tidak dapat hidup untuk dirinya sendiri terlepas dari orang lain dan masyarakat. Secara psikologis, sejak balita anak melakukan kontak dalam keluarganya, kemudian setelah remaja dalam masyarakat yang lingkupnya lebih luas. Secara sosiologis manusia melakukan kontak sosial karena ia membutuhkan orang lain dalam menjalani hidup. “No matter how far back into the past one goes, there is no sign that man ever existed except in groups. From the start we are dealing, not with individual, but with society” kata Auguste Comte.27 Individu barulah menjadi individu apabila pola perilakunya yang khas dari dirinya itu diproyeksikan dalam interaksi dengan orang lain pada suatu lingkungan sosial yang disebut masyarakat. Keluarga dan masyarakat menjadi arena bagi individu untuk berinteraksi dan melakoni peran yang dimiliki, diemban dan dijalankannya.
Keberhasilan menjalankan peran dalam konteks sosial tidak lepas dari pendidikan
25 lih. W. Luijpen, The Existential Phenomenology, Duquesne University Press, Louvain, 1996, hlm. 269. “Diri manusia (being man) merupakan suatu seruan etis untuk manusia (having to be man)”
26 lih. Adelbert Snijders, Op. Cit., hlm. 36
27 lih. James. A. C. Brown, The Evolution of Society, Watt and company, London, 1966, hlm. 84
16
dalam keluarga dan kemampuan individu untuk beradaptasi dengan lingkungan.
Kemampuan individu beradaptasi dengan lingkungan sosial tertentu bukan bersifat naluriah atau herediter dari orangtua kepada anaknya. Kemampuan adaptasi merupakan kemampuan habitual, hasil dari suatu proses pembelajaran terus menerus yang membentuk kemampuan penyesuaian dengan lingkungan.28 Adaptasi habitual mengajak individu untuk berjalan selaras dengan keluarga ataupun masyarakat.
2.2.2 Keluarga dan Masyarakat
Bentuk keluarga yang ketiga, yakni keluarga luas (extended family), menunjukkan kaitan erat antara keluarga dengan masyarakat. Keterkaitan itu nampak dalam ciri keluarga luas yang terdiri atas anggota-anggota yang tidak memiliki hubungan darah atau kekerabatan. Konsep bahwa keluarga harus diatur dan diwujudkan demi kepentingan masyarakat didasarkan pada keyakinan bahwa keluarga merupakan bagian dari masyarakat. Namun ada konsep yang lain, yakni bahwa masyarakat harus diatur dan diwujudkan demi kepentingan keluarga, karena masyarakat diciptakan dan dibentuk demi kepentingan keluarga. Dua pandangan ekstrem ini dapat didamaikan, dengan konsep bahwa keluarga dan masyarakat merupakan dua entitas yang terkait satu sama lain.29
Dalam bahasa Inggris masyarakat disebut society, dari akar kata Latin yakni socius yang berarti kawan. Interaksi antar individu membentuk aturan hidup, yang tidak disusun oleh manusia perseorangan, melainkan oleh beberapa
28 lih. Soejono Soekanto, Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 219
29 lih. Al. Purwa Hadiwardaya, Keluarga dan Masyarakat, dalam BASIS, No. 05-06, tahun ke-52, edisi Mei-Juni, 2003, hlm. 59
17
unsur dalam lingkungan sosial.30 Unsur-unsur itu menurut Maclver, J.L, Gillin dan J.P. Gillin adalah nilai-nilai, norma-norma, cara-cara, dan prosedur.
Masyarakat merupakan kesatuan orang-orang yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu, yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.31 Dengan kata lain masyarakat dapat ditunjukkan dengan kesatuan individu-individu yang terintegrasi dalam satu kesatuan sosial yang memiliki norma-norma bersama di dalamnya. Masyarakat dalam arti seluas-luasnya merupakan sejumlah manusia yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.32 Masyarakat merupakan kumpulan keluarga yang mengemban tanggung jawab untuk melayani keluarga, dan keluarga berkewajiban untuk ambil bagian dalam hidup bermasyarakat dengan cara-cara yang khas.
Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dan institusi yang menghubungkan individu dengan masyarakat. Melalui keluarga, nilai-nilai, norma-norma, adat-istiadat, dan kebiasaan yang ada di dalam masyarakat ditransfer melalui proses sosialisasi. Pengenalan prihal nilai, norma, adat istiadat dan kebiasaan yang ada di dalam masyarakat merupakan proses persiapan individu untuk berinteraksi dengan masyarakat. Keluarga juga merupakan institusi yang menjamin keberadaan masyarakat melalui fungsi prokreasi yang disandangnya. Pelaksanaan fungsi prokreasi dalam keluarga yang terbuka akan kelahiran individu-individu menjadi basis eksistensi suatu masyarakat. Kaitan antara keluarga dengan masyarakat tidak terpisahkan. Keluarga membutuhkan
30 lih. Abu Ahmadi, Op. Cit., hlm. 122
31 lih. Thomas J. Sullivan, Sosiology: Concept and Aplication In A Diverse World, New York, Pearson Education, Inc, 2004, hlm. 123
32 lih. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 1988, hlm. 541
18
dukungan dari masyarakat dan sebaliknya masyarakat butuh ditopang oleh keluarga.
2.2.3 Afiliasi dalam Keluarga
Sebagai makhluk sosial, manusia cenderung untuk berafiliasi dengan sesamanya. Kecenderungan ini berakar kuat pada masa kecil atau masa pertumbuhan (infancy) ketika anak mengalami kasih orang dewasa. Seorang bayi mengalami kasih dari orang yang paling sering berinteraksi dengannya. Bayi merasa lebih nyaman dan aman ketika menghabiskan waktu bersama dengan orang yang memperhatikannya. Perasaan kasih itu kemudian berproses dalam dua arah sehingga terjadi keterkaitan antara dikasihi dan mengasihi. Afiliasi merupakan cara untuk memuaskan kebutuhan akan kehangatan, pertalian, dan kerja sama dengan orang lain. Dalam analisis yang dikemukakan Robert Weiss (1974)33, ada enam dasar hubungan sosial yakni: pertama, kasih sayang sebagai dasar dalam berafiliasi. Kasih sayang menelurkan rasa aman dan tentram bagi individu dan komunitasnya. Kasih sayang menjadi pintu masuk individu untuk berafiliasi dengan orang lain. Rumah tangga pun didirikan atas dasar kasih sayang. Kedua, integritas sosial (kerjasama individu-kelompok) yang merupakan perasaan menjadi bagian dalam suatu kelompok. Perasaan menjadi bagian dalam suatu kelompok merupakan kelanjutan dari kasih sayang yang memotivasi individu untuk berafiliasi. Integritas sosial merupakan tujuan dari norma-norma, nilai, pola dan hubungan tidak hanya memuat dimensi eksternal namun dibatinkan dalam diri seseorang sehingga memuat dimensi personal juga. Ketiga, harga diri
33 lih. Thomas J. Sullivan, Op. Cit., hlm. 129
19
sebagai prasyarat yang menjadi ketentuan dalam afiliasi. Kasih sayang dan integritas sosial tidak menghapus harga diri individu melainkan justru mengafirmasinya. Harga diri ditemukan dalam eksistensi individu sebagai manusia. Keempat, persatuan yang dapat dipercaya karena individu merasa aman dan nyaman dalam berafiliasi. Integritas sosial dan harga diri membawa individu pada persatuan. Kasih sayang menjadikan persatuan itu dapat dipercaya sehingga afiliasi menjadi solid. Kelima, bimbingan berupa petunjuk-petunjuk, pengarahan untuk memperkokoh bangunan afiliasi. Bimbingan bermaksud memberi arahan atau nasehat untuk menjadikan individu tepat sasaran dalam berafiliasi. Keenam, kesempatan untuk mengasuh sebagai dasar afiliasi yang memberikan individu perasaan tanggung jawab terhadap orang lain. Kesempatan ini memperkuat rasa persatuan dan harga diri individu dalam afiliasi karena memberikan momen bagi dirinya untuk mengambil bagian dalam membentuk afiliasi.
Keenam dasar di atas menjadi pondasi bagi manusia untuk berafiliasi.
Dalam keluarga keenam dasar untuk berafiliasi ini juga ada. Kesepakatan untuk membentuk suatu keluarga bermuara pada kebutuhan afiliasi, bahwasanya individu membutuhkan orang lain. Keenam dasar afiliasi menghantar keluarga pada kesatuan yang solid dan mengakar. Dasar pertama adalah kasih sayang antara sesama anggota keluarga, yang membuahkan perasaan aman, saling membutuhkan dan tentram. Kasih sayang ini membentuk dasar kedua yakni integritas keluarga. Kasih sayang dan integritas membuat individu dalam keluarga berharga bagi dirinya dan orang lain. Perasaan berharga merupakan dasar ketiga dalam afiliasi yang kemudian membuahkan persatuan yang dapat dipercaya sebagai dasar keempat. Agar anggota keluarga dapat berlaku secara tepat dan
20
proporsional, diperlukan suatu bimbingan berupa arahan, nasehat dan petunjuk yang menjadi dasar kelima. Dan akhirnya kesempatan untuk mengasuh menjadi dasar keenam.