Bab V : Etika Keluarga Katolik dalam Komparasi dengan Etika Keluarga
5.1.2 Perbedaan
5.1.2.3 Relasi Individu dan Keluarga dengan Masyarakat
Tradisi Konfusian dan ajaran Katolik memiliki pandangan yang sama bahwa keluarga menjadi tempat bagi individu untuk mengembangkan diri. Di dalam keluarga, individu disiapkan untuk terjun dalam masyarakat dan membangun tata masyarakat yang manusiawi, sejahtera dan damai. Tradisi Konfusian mengartikan perkawinan bukan hanya sekedar persatuan antara laki-laki dan perempuan menjadi suami-istri, namun mempersatukan pula keluarga besar kedua belah pihak dalam suatu kekerabatan. Perkawinan menjadi dasar pola relasi yang digarap dalam etika keluarga Konfusian. Melalui perkawinan terbentuklah keluarga yang membuka relasi orangtua dan anak, kakak dan adik, suami-istri dan selanjutnya berkembang dalam relasi antar sahabat dan penguasa.
Perbedaan Visi dan titik tolak pandangan tentang pertalian antara individu, keluarga dan masyarakat bermula dari pandangan tentang manusia. Tradisi Konfusian bertolak dari kondisi alamiah manusia (human nature/ren xing/人性) sebagai baik adanya. Kondisi ini memungkinkan manusia untuk tumbuh
245 lih. Yak. 2:22
122
berkembang menjadi manusia seutuhnya (jūn zĭ /君子). Telaah Konfusius dalam ide kondisi alamiah manusia sebagai baik adanya bermula dari pengamatannya bahwa bayi belum dapat mengambil keputusan logis dari tindakannya, namun bayi dapat menolak sesuatu yang tidak dikehendakinya yang menandakan dirinya dapat berpikir. Konfusius menyimpulkan bahwa manusia mempunyai sifat alamiah untuk mampu berpikir. Kemampuan berpikir menjadi pijakan bagi manusia untuk berrefleksi. Dalam tradisi Konfusian, refleksi merupakan visi Konfusius dalam mengelola masyarakat.246 Refleksi disebut sebagai xin (心) yang merupakan eksplisitasi kemanusiaan. Xin mencakup hati sekaligus pikiran. Xin merupakan perwujudan dari suara hati dan kesadaran.247 Pemilahan antara suara hati sebagai bentuk persetujuan internal dengan kesadaran sebagai bentuk kesadaran kognitif merupakan segmen refleksi diri. Melalui suara hati manusia diajak untuk berbuat seturut dengan gema dalam hatinya; dan melalui kesadaran, manusia diajak untuk menyadari apa yang telah dibuatnya. Momen inilah yang membawa manusia pada refleksi diri. Terkait refleksi diri, Konfusius berkata,
“Setiap hari, aku memeriksa diriku dalam tiga bidang. Apakah aku memanfaatkan orang lain? Apakah aku tidak setia terhadap teman-temanku? Apakah aku menerapkan pelajaran-pelajaran yang telah kudapatkan?”248
Tiga bidang refleksi yang dilakukan Konfusius menyiratkan nilai kemanusiaan yang diperjuangkan yakni nilai kebaikan (benevolence), kejujuran (honesty),
246 Visi Konfusius dalam mengembangkan moral masyarakat adalah melalui refleksi diri (lih. Wei-Ming Tu, Confucius dan Confucianism, hlm 12). Ia menyebut dirinya sebagai trasmiter yang berarti orang yang membawa pesan atau menjadi perantara (lih. Lun Yu VII,1). Melalui refleksi yang diolahnya, Konfusius membidani kelahiran kurikulum pembelajaran menjadi manusia yang akan dibahas dalam bagian selanjutnya. (Lih. Wei-Ming Tu, Op. Cit, hlm 9)
247 lih. Tu Wei-Ming, Op. Cit., hlm. 66
248 lih. Lun Yu I, 4
123
kesetiaan (loyalty) dan ketekunan (deligence). Nilai-nilai kemanusiaan ini ada dalam diri manusia dan menunjukkan bahwa manusia secara alamiah adalah baik.
Gagasan bahwa kondisi alamiah (ren xing/人性) manusia itu baik dilanjutkan oleh Mencius (Mengzi/孟子), filosof kedua terpenting dalam tradisi Konfusian. Mencius memberitakan ajaran Konfusius dalam tema besar pemeliharaan moral masyarakat dengan membentuk peraturan yang bijak dan mencetak manusia yang bermoral. Bercermin dari ajaran Konfusius, Mencius menyatakan bahwa kualitas moral tertentu inheren dalam sifat manusia.249 Mencius menyatakan bahwa “tidak ada manusia yang tidak mempunyai kecenderungan untuk mengarahkan dirinya pada kebaikan.”250 Pada diri manusia ditemukan kualitas moral dalam sifat-sifatnya. Kualitas-kualitas itu dapat merupakan kualitas kognitif maupun afektif seperti humanitas, kebenaran, kebijaksanaan, kebajikan, dll. Mencius percaya bahwa manusia diberkati sumber daya yang memungkinkan dirinya berkembang. Gagasan prihal xin yang mencakup hati sekaligus pikiran juga diangkat Mencius dalam menjelaskan keadaan alamiah manusia. Ia menyatakan,
“manusia mempunyai hati yang berbelas kasih. Manusia juga mempunyai hati untuk merasa malu. Manusia mempunyai hati untuk menghormati.
Manusia mempunyai hati untuk menyetujui dan menolak. Hati yang berbelas kasih adalah benih awal kemanusiaan. Hati yang merasa malu adalah benih awal kebajikan. Hati yang penuh hormat adalah benih awal kesopanan (kesusilaan), dan hati yang dapat menyetujui dan menolak adalah benih awal kebijaksanaan (kearifan). Kemanusiaan, kebenaran, kesopanan dan kebijaksanaan tidak dapat dibangun dari luar diri manusia. Melainkan ada pada diri manusia.”251
Dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa:
249 lih. Tu Wei-Ming, Op. Cit., hlm 58
250 lih. JeeLoo Liu, Op. Cit., hlm. 73
251 lih. Philip Ivanhoe, Op. Cit., hlm.143
124
1. semua manusia secara alamiah mempunyai perasaan simpati, kesadaran akan rasa malu dan perasaan tidak suka diremehkan, keinginan untuk dihormati dan menghormati, dan kebijaksanaan untuk memilah yang benar dan yang salah.
2. simpati merupakan benih awal tumbuhnya kemanusiaan, kesadaran akan rasa malu dan perasaan tidak suka diremehkan merupakan benih pemula tumbuhnya kebajikan, keinginan untuk dihormati dan menghormati merupakan benih dasar tumbuhnya kesopanan atau kesusilaan, perasaan akan benar dan salah merupakan benih awal tumbuhnya kebijaksanaan.
3. kemanusiaan, kebajikan, kesopanan (kesusilaan), kebijaksanaan merupakan akar kebajikan
4. semua manusia pada dasarnya mempunyai sifat alamiah baik.
Sifat alamiah manusia yang baik menghantar dirinya pada perkembangan kualitas kebijaksanaan dan kebajikan. Manusia sebagai pusat (antroposentris) merupakan titik pijak etika Konfusian dalam orientasi pembentukan manusia seutuhnya (jūn zĭ /君子). Etika Konfusian menekankan kemanusiaan (humanity) dan penggalian diri (self-cultivation) yang diupayakan oleh individu melalui penempaan diri dan hubungan relasi (Wŭ Lún/五伦). Titik pijak dan orientasi inilah yang menjadi perbedaan dengan ajaran Katolik prihal pertalian antara individu dan keluarga dengan masyarakat.
Bagian ketiga dalam Familiaris Consortio membahas prihal peranan keluarga Katolik. Sub-bab ketiga dari bagian ini secara khusus menggali peranan keluarga dalam pengembangan masyarakat: “Keluarga adalah sel pertama dan vital bagi masyarakat, karena Pencipta alam semesta telah menetapkan
125
persekutuan suami-istri menjadi asal mula dan dasar masyarakat manusia”.252 Keluarga merupakan persekutuan hidup dan cinta kasih. Persekutuan hidup berarti persatuan antara suami-istri (pribadi-pribadi/communio personarum) dalam kebersamaan seluruh hidup (consortium totius vitae). Dasar cinta kasih merupakan pondasi bangunan rumah tangga. Cinta kasih adalah pemberian diri sepenuh hati dan total.253 Terkait cinta kasih Paus Yohanes Paulus II menyatakan demikian,
“Allah menciptakan manusia menurut citra-keserupaan-Nya sendiri.254 Ia memanggil manusia menjadi kenyataan karena cinta kasih-Nya, sekaligus untuk mencintai...Allah menggoreskan dalam kodrat manusiawi pria maupun wanita panggilan, dan karena itu juga kemampuan serta tanggungjawab untuk mengasihi dan hidup dalam persekutuan.255 Oleh karena itu cinta kasih merupakan panggilan yang sangat mendasar bagi setiap manusia dan sudah tertera dalam kodratnya.”256
Cinta kasih dalam perkawinan diungkapkan dengan cara yang khas karena memadukan segi manusiawi dan ilahi. Cinta kasih yang terjalin dan diungkapkan suami-istri merupakan representasi cinta Allah. Karena Cinta, Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupaNya (imago et similitudo Dei) yakni sebagai citra Allah yang mampu mengenal dan mencintai PenciptaNya.257 Di sinilah ditemukan dasar perbedaan titik pijakan tentang manusia menurut tradisi Konfusian dengan ajaran Katolik. Sifat alamiah manusia (human nature) dalam ajaran Katolik menurut kodratnya adalah baik adanya. Dalam kitab Kejadian,
252 lih. Familiaris Consortio, art. 42, bdk. Dekrit Apostolicam Actuositatem tentang kerasulan awam, art. 11
253St. Paulus merumuskan cinta kasih itu sabar; murah hati; dan tidak cemburu. Cinta kasih tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Cinta kasih tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.
Tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Cinta kasih menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan (I Kor. 13: 4-8)
254 bdk. Kej 1:26-27
255 bdk. Gaudium et Spes art. 12
256 lih. Familiaris Consortio, art. 11
257 lih. Kej. 1:26-27
126
kisah penciptaan manusia ditempatkan pada bagian terakhir. Penciptaan lain tampil seperti produksi masal yang diperkenalkan dengan pernyataan yang diulang-ulang, “Jadilah petang dan jadilah pagi”.258 Ketika Allah menciptakan manusia, Allah mempunyai perhatian penuh dengan menyatakan, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita”.259 Manusia mempunyai kemiripan dengan Allah karena manusia merupakan “cermin” Allah. Allah membagikan kebijaksanaan dan kebaikanNya kepada manusia untuk mengatur, melestarikan ciptaan lain dan ambil bagian dalam karya penciptaanNya.260 Kodrat alamiah manusia sebagai yang baik bukan merupakan upaya manusia. Kodrat manusia sebagai yang baik menunjuk pada Pencipta manusia yakni Allah sendiri.
Manusia merupakan pancaran dari kebaikan Ilahi. Hal ini ditegaskan Konstitusi Ekumenis Vatikan II demikian,
“Tetapi Allah tidak menciptakan manusia seorang diri: sebab sejak awal mula “Ia menciptakan mereka pria dan wanita” (Kej 1;27). Rukun hidup mereka merupakan bentuk pertama persekutuan antar pribadi. Sebab dari kodratnya yang terdalam manusia bersifat sosial; dan tanpa berhubungan dengan sesama ia tidak dapat hidup atau mengembangkan bakat-pembawaannya.”261
Tidak pernah ada keluarga yang dapat hidup untuk dan bagi keluarganya sendiri.
Karena keluarga merupakan kumpulan dari individu yang terarah pada sesama dan dari kodratnya individu adalah makhluk sosial. Keterbukaan keluarga untuk berrelasi dan berbagi cinta kasih dengan sesama dalam masyarakat merupakan perwujudan fungsi keluarga dalam konteks sosial. Untuk mewujudkan fungsi itu, keluarga menjadi gelanggang latihan bagi tiap individu dalam menghayati
258 lih. Kej. 1: 5, 8, 13, 19, 23, 31
259 lih. Kej. 1: 26
260 lih. Maurice Eminyan, Op. Cit., hlm. 26
261 lih. Gaudium et Spes art. 12; bdk. Dekret ApostolicamActuositatem tentang Kerasulan Awan, art. 11
127
keutamaan-keutamaan sosial sebagai prinsip kehidupan dan perkembangan masyarakat.262 Familaris Consortio menyebut dua sumbangan keluarga kepada masyarakat, pertama, pengalaman persekutuan dalam keluarga yang berakar pada cinta kasih dan kedua, semangat saling berbagi yang dijiwai dan dibimbing oleh hukum ketulusan. Pengalaman persekutuan dalam keluarga yang berakar pada cinta kasih menelurkan sikap hormat terhadap martabat pribadi manusia, tidak meremehkan orang lain, menjunjung tinggi kesetaraan harkat dan martabat manusia. Sumbangan dari semangat saling berbagi yang dijiwai dan dibimbing oleh hukum ketulusan menghadirkan semangat toleransi, dialog yang mendalam, sikap tersedia tanpa pamrih, pengabdian dengan kemurahan hati dan sikap setia kawan.263
Ajaran Katolik terkait pertalian individu dan keluarga dengan masyarakat berawal dari pandangan tentang keluarga sebagai persekutuan pribadi-pribadi yang berdasarkan pada cinta kasih. Persekutuan cinta kasih itu berorientasi vertikal dan horizontal. Orientasi vertikal terkait dengan hubungan antara manusia dengan Allah dan orientasi horizontal terkait dengan hubungan manusia dengan sesamanya. Orientasi ini dirangkum oleh Yesus dalam pernyataan,
“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”.264
5.1.2.4 Sikap Hormat Kepada Orangtua
Pondasi tatanan etika Konfusian adalah keluarga. Keluarga dalam tradisi Konfusian bukan hanya sekedar menegaskan ikatan sedarah. Makna keluarga
262 lih. Familiaris Consortio, art. 43
263 idem.
264 lih. Mat 22: 37,39
128
dapat diperluas dalam arti masyarakat dan negara. Keluarga menjadi pondasi masyarakat dan masyarakat menjadi pilar negara. Etika keluarga Konfusian bukan hanya membahas keluarga dalam arti di dalam rumah; pembahasan terkait pula dengan keluarga dalam dimensi global yakni dalam pembentukan keadaban publik. Di dalam keluarga, individu ditempa dan menempa dirinya. Tujuan akhir dari penempaan ini adalah mengantar individu menjadi manusia utuh (jun zi/君子).
Nilai yang ditempa dalam keluarga akan menghantarkan individu menjadi manusia seutuhnya (jun zi/君子), adalah bakti (xiao/孝) dalam cakrawala kasih (Ren/仁). Bakti (xiao/孝) dalam tradisi Konfusian merupakan buah dari sikap hormat (jing/敬) dan kepedulian (xi/喜).265 Melalui semangat cinta (Ren/仁), bakti (xiao/孝) menjadi tulus dan lurus sehingga sejalan dengan dao.266 Dengan bakti individu diajak untuk membangun sebuah relasi yang tepat (li/禮) dan berjalan pada garis lurus sesuai dengan kebenaran (yi/義). Kepatuhan anak (bakti) adalah ekspresi Ren/仁. Cinta yang mengorbankan segalanya tanpa pamrih terhadap keluarga merupakan prinsip utama. Ketika keluarga diperlakukan seturut Ren/仁
berarti individu melakukan kebajikan. Maka peran keluarga sebagai agen sosialisasi adalah menaburkan benih cinta di dalam diri anak sehingga tumbuh kesadaran menjadi manusia yang bermoral, tahu keutamaan dan bijak atau menjadi manusia seutuhnya (jun zi/君子). Keluarga dalam tradisi Konfusian merupakan unit sosial awal dan penting dalam mengembangkan sifat alamiah dan perasaan individu. Keluarga menjadi peletak awal moralitas individu.
265 lih. Confucianism for the Modern World, 2005, hlm. 243 (Mencius, buku IV, B: 30; 7 dan Lun Yu 2:7)
266 lih. A Sourcebook in Chinese Philosophy, 1973, hlm. 20 atau Chinese Thought From Confucius To Mao Tse-Tung, 1953, hlm. 33
129
Keluarga berperan sebagai penempa individu untuk berkembang dalam keutamaan dan kebijaksanaan menuju manusia seutuhnya (jūn zĭ/君子).
Penempaan itu bermaksud untuk mempersiapkan individu dalam berperan serta membangun keadaban masyarakat dan negara. Konfusius menyatakan,
“jika ada kebenaran dalam hati, akan ada keindahan dalam watak. Jika ada keindahan dalam watak, akan ada keserasian dalam rumah tangga.
Jika ada keserasian dalam rumah tangga, akan ada ketertiban dalam bangsa. Jika ada ketertiban dalam bangsa akan ada perdamaian dunia.”267
Nilai ditempa individu di dalam keluarga. Salah satu keutamaan penting dalam tradisi Konfusian adalah sikap bakti (xiào/孝).268 Bakti (xiào/孝) dalam aksara mandarin merupakan bentukan dari dua kata yakni lăo/老 yang berarti orangtua dan zi/子 yang berarti anak. Bakti (xiào/孝) secara harafiah digambarkan dalam aksara mandarin dengan seorang anak yang menggendong orangtuanya. Tradisi Konfusian sangat menekankan sikap hormat (bakti) kepada orangtua karena sikap ini merupakan perwujudan dari keutamaan kasih (Rén/仁).269 Ren/仁 adalah idealisme moral tertinggi yang melandasi nilai moral lain yaitu benar (yi/義), susila (li/禮), bijaksana (zhī/知), dan dapat dipercaya (xin/信). Titik sentral ajaran Konfusius termuat dalam keutamaan kasih (Rén/仁). Lima sifat Ren/仁 (wu chang/五常) yakni kemurahan hati, cinta yang agung, kebijaksanaan, belas kasih, kesetaraan mengekspresikan dào/道kemanusiaan.270 Kelima sifat ini nyata dalam praktik sikap hormat kepada orangtua. Kebenaran dan kesusilaan berasal dari kasih (Rén/仁) dan diungkapkan dalam kasih (Rén/仁). Kasih (Rén/仁)
267 lih. Kitab Pembelajaran Agung (Dà Xúe/大学) pada lampiran 1
268 lih. Cromwell Crawford, Handbook on Ethical Issues in Aging: A Religiously Diverse Society, Johnson Tanya Fusco (ed.), Greenwood Prees, London, 1999, hlm. 72
269 lih. Lun Yu I, 2, “Berbakti kepada orangtua dan hormat pada saudara dua hal yang menjadi dasar dan akar dari kebajikan dan kebenaran."
270lih. Alexander Simpkins dan Annellen Simpkins, Op. Cit., hlm. 55
130
diaktualisasikan dengan sikap bakti kepada orangtua. Sikap bakti tidak hanya diungkapkan kepada orangtua semasa hidup namun juga ketika ajal menghampiri orangtua. Sikap bakti yang demikian ingin menunjukkan bakti yang tidak lekang waktu sebagai wujud kasih yang tak berkesudahan.271 Bakti dalam tradisi Konfusian merupakan akar lahirnya keutamaan moral lainnya.272 Secara skematis gagasan Konfusius prihal bakti dapat digambarkan demikian:
Bakti (xiao/孝)
Kasih ( Ren/仁)
Kebenaran (yi/義) Kesusilaan (li/禮)
Ren/
仁 merupakan sumber utama keluhuran dan bentuk eksplisitasinya terungkap dalam yi/義 kebenaran dan li/禮 Aturan bertindak benar (ritual). Dalam gagasan dasar Konfusius, konkretisasi dari Ren/仁, yi/義 dan li/禮 ternyatakan dalam xiao/孝(bakti). Dalam Kitab Bakti (Xiào Jīng/孝经) Rén/仁 sebagai pokok bakti (xiào/孝) diungkapkan demikian,
“Seorang yang dapat berlaku bakti dan rendah hati, tetapi suka menentang atasan, sungguh jarang terjadi; tidak suka menentang atasan, tetapi suka mengacau, ini belum pernah terjadi. Maka seorang Kuncu273 mengutamakan pokok; sebab, setelah pokok itu tegak, jalan suci akan tumbuh. Laku bakti dan rendah hati itulah pokok peri cinta kasih.”274
Bakti dan kerendahan hati merupakan aktualisasi Rén/仁. Konfusius menterjemahkan bakti sebagai langkah awal menuju kebaikan moral. Gagasan dan
271 lih. Lun Yu I, 9; II, 5; IV, 20
272 lih. Crawford Cromwell, Op. Cit., hlm. 72
273 Kuncu adalah manusia seutuhnya jun zi/君子, Matakin mengindonesiakan pinyin dari junzi menjadi kuncu
274 lih. Kitab Bakti (Xiao Jīng/孝经), Matakin, 2001 hlm. 39
131
prinsip bakti (xiào/孝) merupakan prinsip perkembangan pribadi, keluarga dan kehidupan sosial. Dalam tradisi Konfusian, bakti merupakan sumber yang lebih menonjol untuk menunjukkan identitas tradisi Cina.275 Norma dalam keluarga Konfusian meliputi dimensi vertikal dan horizontal. Dimensi vertikal terungkap dalam kaidah bakti (xiào/孝) yang menjadi pondasi utama dalam keluarga Konfusian. Dimensi horizontal norma keluarga Konfusian terungkap dengan berbakti (xiào/孝) dalam kebersamaan masyarakat kolektif. Dalam masyarakat kolektif, individu mempraktikan nilai-nilai.276 Dimensi vertikal dan horizontal dari norma keluarga Konfusian tersurat dalam Kitab Ritus yang menyatakan,
“Tubuh ialah warisan orangtua. Dalam memperlakukan warisan orangtua dapatkah dengan tidak hormat? Hidup dengan cara tidak tepat, itu tidak berbakti. Mengabdi kepada pemimpin yang tidak setia, itu tidak berbakti.
Memangku jabatan dengan tidak bersungguh-sungguh, itu tidak berbakti.
Bergaul dengan sahabat yang tidak bekerja giat, itu tidak berbakti.
Bertugas di medan pertempuran tidak mempunyai keberanian, itu tidak berbakti”.277
Berbakti bukan hanya terkait hubungan anak dengan orangtua. Dalam tradisi Konfusian, makna bakti terkait pula dengan konteks sosial dan nasional. Bakti yang dilakukan individu mereferensi gagasan tentang kondisi alamiah (ren xing/人性) manusia sebagai yang baik. Berkat kodrat bawaannya, manusia mampu mengaktualisasikan cinta (Rén/仁) melalui sikap bakti. Fokus perhatian etika Konfusian berpijak pada kewajiban dan tanggungjawab manusia secara manusiawi. Fokus ini menghantar etika Konfusian pada corak deontologis dan mengarah pada kehidupan sosial.
275 lih. Hsieh Yu-wei, Filial Piety and Chinese Society, dalam The Chinese Mind, Charles A.
Moore (ed.), Honolulu, University Press of Hawai, 1977, hlm. 174-175
276 lih. Gordon S. Redding, Jiwa Kapitalisme Cina, Abdi Tandur, Jakarta,1993, hlm. 58-62
277 lih. Kitab Ritus (Book of Rites/Lǐjīng/ 禮經) XXIV:14
132
Ajaran Katolik menempatkan sikap hormat kepada orangtua dalam
“sepuluh perintah Allah”. Dalam Dekalog point keempat dikatakan, “Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu” (Kel. 20:12, Ul. 5:16). Perintah ini merupakan local wisdom dan memuat janji Allah akan usia lanjut bagi Israel (Ams. 20:20; 30:11, 17; Yes.
1:2; Mal. 1:6). Kata hormat dalam bahasa Ibrani disebut kabed berasal dari kata (k-b-d). Dalam Perjanjian Lama kata k-b-d sering digunakan untuk menyebut kemuliaan YHWH.278 Refleksi Israel prihal nilai ketaatan dan hormat kepada orangtua meliputi dua dimensi penting yakni: (a) orangtua sebagai pencipta menghantar manusia untuk mengakui Allah sebagai pencipta, (b) ungkapan syukur atas kelahiran diaktualisasikan dalam sikap hormat kepada orangtua dan kepada Allah sang pemberi hidup.279 Dua dimensi ini memberi isyarat bahwa sikap hormat kepada orangtua dimaksudkan untuk menghantar individu sampai pada Allah. Menghormati orangtua berarti memuji Allah sang pemberi kehidupan.
Kitab Maleakhi secara eksplisit menyatakan demikian,
“Seorang anak menghormati bapanya dan seorang hamba menghormati tuannya. Jika Aku ini bapa, di manakah hormat yang kepada-Ku itu? Jika Aku ini tuan, di manakah takut yang kepada-Ku itu? Firman TUHAN semesta alam.”280
Perintah untuk menghormati orangtua dalam Dekalog memuat unsur teosentris lebih daripada antroposentris. Unsur teosentris ini melekat dalam kebudayaan
278 lih. Yu Chi-Ping, Theology of Filial Piety: an Initial Formulation, dalam The Asia Journal of Theology, Vol. 3, No. 2, edisi Oktober 1989, hlm. 497
279 Gerald. Blidstein, Honor Thy Father and Mother: Filial Responsibility in Jewish Law and Ethics, Ktav Publishing House, inc., New Jersey, 2005, hlm. 1
280 lih. Mal. 1:6
133
Yahudi yang menempatkan agama sebagai pusat sehingga Allah menjadi premis utama.281
Dalam Perjanjian Baru, local wisdom prihal hubungan orangtua dan anak secara eksplisit diungkapkan dalam surat rasul Paulus kepada Jemaat di Efesus.
Paulus menyatakan,
“Hai anak-anak, taatilah orangtuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu -- ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi. Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan”.282
Latar belakang sebagai seorang Yahudi mempengaruhi Paulus. Ia memberi tekanan terhadap local wisdom Israel dengan mengatakan, “ini adalah suatu perintah yang penting”. Perintah itu mengkaitkan anak dengan orangtua dan manusia dengan Tuhan.283 Kaitan itu nampak dalam perikop sebelumnya Ef. 5:
22:33, ketika Paulus membahas hubungan antara suami dan istri dalam metafor relasi Kristus dengan GerejaNya dan pada perikop selanjutnya Ef 6:1-4
,
Paulus membahas hubungan antara tuan dan hamba.284 Cinta anak kepada orangtua merupakan gambaran dari tanggapan manusia atas cinta Allah.Sikap taat dan hormat kepada orangtua merupakan rangkaian nilai yang menjadi etika keluarga Israel (household codes). Etika keluarga Israel tentang sikap hormat kepada orangtua diadopsi oleh ajaran Katolik. Ajaran Katolik
281 lih. Yu Chi-Ping, Theology of Filial Piety: an Initial Formulation, dalam The Asia Journal of Theology, Vol. 3, No. 2, edisi Oktober 1989, hlm. 500; bdk. Wing-hung Lam, Chinese Theology in Construction, William Carey Library, Pasadena, California,1983, hlm. 66
282 lih. Ef. 6:1-4, bdk. Kol. 3:18 – 4:1
283 lih. Adrian Thatcher. Theology for Parents, dalam INTAMS, Journal for study of marriage and spiritual, Vol. 13- No. I-2007, hlm. 65; lih. Kel 33:22; Mzm. 19:1; Yes 59:19
284 Etika keluarga dalam Perjanjian Baru bercorak sosial karena mengungkapkan hubungan antara tuan dan hamba. Namun penulis menggunakan term etika keluarga berdasarkan definisi keluarga oikos (Yunani) atau Familia (Latin) yang mencakup pula pekerja dan hamba di dalamnya.
134
menggarap nilai hormat kepada orangtua sebagai peluang mendasar untuk membangun persekutuan antar pribadi. Familiaris Consortio menyatakan demikian,
“Peluang mendasar untuk membangun persekutuan itu terletak pada pertukaran yang bernilai bina antara orangtua dan anak-anak285, yang ditandai saling memberi dan saling menerima. Dengan mencintai,
“Peluang mendasar untuk membangun persekutuan itu terletak pada pertukaran yang bernilai bina antara orangtua dan anak-anak285, yang ditandai saling memberi dan saling menerima. Dengan mencintai,