• Tidak ada hasil yang ditemukan

a Prinsip-prinsip Manajemen Bencana

Manajemen Bencana

1.1.1.70 a Prinsip-prinsip Manajemen Bencana

Back to basic

Pada hakekatnya yang disebut back to basic dalam manajemen bencana adalah kewaspadaan dan kesiapsiagaan untuk mengurangi atau menghindari ancaman bahaya yang dapat berpotensi menimbulkan bencana yang merugikan, yaitu memahami bahwa manajemen bencana adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam pembangunan berkelanjutan. Manajemen bencana harus memenuhi persyaratan, yaitu aspek yang jelas (kelembagaan, organisasi, tata cara), fungsi yang berjalan (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan), dan unsur kelengkapan (sumber daya manusia, keuangan, perlengkapan alat dan sejenisnya). Pada dasarnya manajemen bencana berbasis masyarakat adalah upaya meningkatkan kesadaran dan kapasitas masyarakat dalam mengurangi kerentanan masyarakat itu sendiri.

Kesemestaan

Manajemen bencana harus bersifat kesemestaan, yaitu melibatkan semua pihak, baik pemerintah, TNI, swasta maupun masyarakat. Pemerintah memiliki keterbatasan-keterbatasan karena itu semua harus mampu menjadi pelaku yang setara dan berbagi peran sesuai kompetensi. Sasaran dasarnya adalah masyarakat sadar bencana sehingga peduli terhadap ancaman bahaya di

150

lingkungan masing-masing, dan kemudian mereka mampu menolong dirinya sendiri Manajemen bencana adalah bagian dari "habluminallah, habluminannas, habluminalam".

Non diskriminatif

Semua korban bencana mendapat hak dan perlakukan pertolongan tanpa diskriminasi suku, agama, ras, dan golongan atau partai. Prioritas pertolongan diberlakukan semata-mata karena pertimbangan kekritisan dan peluang keselamatan jiwa. Pertolongan kepada korban yang memiliki kemungkinan diselamatkan jiwanya harus diprioritaskan daripada korban yang sudah meninggal saat tim pertolongan sampai ditempat kejadian. Tindakan diskriminatif kepada sekelompok korban dengan memprioritaskannya akan melukai, menyakiti dan menambah penderitaan sebagian korban lainnya. Tindakan diskriminatif biasanya terjadi dengan masuknya tim-tim pertolongan dari organisasi massa, keagamaan, dan perorangan yang secara langsung terjun ke daerah bencana yang justru tidak menghendaki berkoordinasi dengan Satlak PBP pemerintah setempat. Tindakan tim seperti ini di satu pihak menolong korban dan membantu meringankan beban Satlak PBP, namun di pihak lain dapat mengganggu fungsi koordinasi Satlak PBP dan menimbulkan ketidakharmonisan antar warga korban bencana karena adanya kecemburuan akibat ketidakmerataan pertolongan.

Strategi kedaruratan

Manajemen bencana, terutama pada tahap tanggap darurat, memiliki dimensi darurat/emergency. Karena itu strategi kedaruratan dan tindakan reaksi cepat diperlukan dalam manajemen bencana. Implikasinya pengalokasian anggaran (termasuk cara-cara audit anggaran), rekruitmen, pengerahan dan distribusi personel dan barang bantuan perlu perlakuan berbeda. Siap, mudah, cepat tetapi tetap transparansi dan akuntabiltasnya terjaga melandasi strategi kedaruratan. Menyangkut anggaran, secara khusus APBN dan APBD harus mengalokasikan dana siap pakai untuk penanggulangan bencana. Mekanisme pencairan dan penggunaan harus disusun sedemikian rupa agar mudah digunakan pada waktunya guna menghindarkan korban bencana dari ancaman penderitaan, penyakit dan kematian.

Besaran bencana merupakan akumulasi berbagai ancaman bahaya dengan rangkaian kerentanan yang ada di masyarakat. Rangkaian kerentanan ini antara lain terdiri dari kemiskinan, kurangnya kewaspadaan, kondisi alam yang

151

berpotensi membahayakan, dan ketidak-berdayaan.. Kerentanan satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain berbeda akar masalahnya, demikian pula ancaman bahayanya pun berbeda-beda jenisnya.

Berbagai jenis ancaman bahaya, berdasar penyebabnya dapat diklasifikasikan menjadi empat, yaitu bencana geologi, bencana iklim, bencana lingkungan, dan bencana sosial. Bencana geologi antara lain gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, dan tanah longsor. Bencana iklim antara lain banjir, kekeringan, dan badai. Bencana lingkungan antara lain pencemaran lingkungan (air, udara, tanah), eksploitasi sumber daya alam berlebihan termasuk penjarahan hutan, alih fungsi lahan dankawasan, penerapan teknologi yang keliru, dan munculnya wabah penyakit. Bencana sosial antara lain kehancuran budaya akibat infiltrasi budaya asing, kerusakan etika politikdan konflik-konflik yang ditimbulkannyakesenjangan sosial ekonomi budaya akibat pilihan kebijakan pembangunan, konflik dan kerusuhan sosial.

Terkait dengan hal tersebut diatas, maka manajemen bencana setiap negara merupakan siklus, yang meliputi (A disaster manager’s handbook. Asian Development Bank, 1991): Prevention (pencegahan); Mitigation (mitigasi atau memperkecil efek bencana); Preparedness (kesiap-siagaan); Response (respon atau reaksi cepat); Recovery (perbaikan); Development (pengembangan).

Dengan berlandaskan siklus penanggulangan bencana dari Asian Development Bank tersebut, United Nation Development Program (UNDP) dalam Program Pelatihan Manajemen Bencana yang diselenggarakan tahun 1994 (UNDP, 2000), dan dalam Pelatihan Manajemen Bencana Berbasis Komunitas tahun 2003 (Sobirin, 2005), menyusun tahapan manajemen bencana dengan membagi empat tahapan, yaitu:

Tahap 1: Kesiapsiagaan meliputi perencanaan siaga serta peringatan dini Tahap 2: Tanggap darurat meliputi kajian darurat, rencana operasional,

bantuan darurat

Tahap 3: Pasca darurat meliputi pemulihan, rehabilitasi, penuntasan, dan pembangunan kembali

Tahap 4: Pecegahan dan mitigasi meliputi : mitigasi, perencanaan kesiapan, dan pencegahan

Pengalaman menunjukkan, dari keempat tahap tersebut tahap kedua yaitu tahap tanggap darurat penuh "hiruk pikuk" dan menampakkan kelemahan yang selama ini tersembunyi, yaitu buruknya koordinasi antar lembaga. Pada tahap

152

ketiga, yaitu pasca darurat, nuansa rehabilitasi dan rekonstruksi seringkali menggunakan pendekatan "projek". Pada tahap keempat, yaitu pencegahan dan mitigasi, semua pihak mulai melupakan peristiwa bencana yang lalu, hampir semua tidak peduli lagi harus berbuat apa. Kembali ke tahap pertama, yaitu kesiapsiagaan, bisa dipastikan semua pihak tidak siap dan tidak siaga, dan bila terjadi bencana, kembali kecolongan, terkaget-kaget dan panik. Padahal penanganan keempat tahap sejak kesiapsiagaan, tanggap darurat, pasca darurat, pencegahan dan mitigasi masing-masing memiliki bobot keseriusan yang sama. Oleh karenanya, untuk daerah-daerah yang kerap tertimpa bencana baik yang diakibatkan oleh manusia (banjir, longsor, luapan lumpur, dll.) ataupun bencana alam yang tidak dapat diduga secara awam (gempa tektonik, vulkanik, angin puting beliung, dll.), sebaiknya menyusun tahapan-tahapan kerja penanggulangan bencana secara detail. Setiap tahapan itu adalah sebagai berikut:

(1). Riset yang mencakup pemetaan rawan bencana untuk pelajari fenomena alam dan potensi ancaman bahayanya yang terjadi secara umum atau khusus di satu daerah. Peta rawan bencana terdiri dari rawan bencana geologi/tektonik, vulkanik, longsor, tsunami, banjir, kekeringan- kelaparan, kebakaran (hutan), badai (puting beliung), ledakan-ledakan amunisi, kimia, energi alam, dan potensi atau rawan bencana akibat tindakan manusia seperti pencemaran udara, perairan, suara, gelombang elektromagnit, abrasi pantai, penyebaran dan penularan penyakit manusia dan hewan, dan rawan bencana sosial budaya seperti konflik antar etnis, infiltrasi atau “penjajahan” budaya asing, narkoba dan pembajakan/pencurian karya budaya dan hak intelektual.

(2). Analisis Kerawanan dan Kajian Risiko (Vulnerabilities Analysis and Risk Assessment): ada beberapa variabel yang bisa menyebabkan bencana ataupun keadaan darurat terjadi di satu daerah. Matriks atas variabel ini patut didaftar untuk kemudian dikaji risiko atau dampaknya jika satu variabel atau paduan beberapa variabel terjadi.

(3). Sosialisasi dan Kesiapan Masyarakat: pengetahuan atas fenomena alam hingga tindakan antisipatif setiap anggota masyarakat menjadi suatu hal mutlak dilakukan oleh Pemerintah ataupun kalangan akademisi yang telah melakukan kajian-kajian dan pemantauan atas fenomena alam di daerahnya.

(4). Pencegahan, yaitu tindakan tegas dalam rangka menjaga keamanan. Pencegahan meliputi : 1) penegakan dan pentaatan terhadap peraturan perundangan, misal tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Kawasan Lindung, dan tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Reward

153

and punishment perlu diselenggarakan dengan tegas, 2) Review terhadap peraturan perundangan yang hanya sekedar use oriented dan tidak pro lingkungan, karena pada dasarnya peraturan perundangan itu seharusnya bersifat environment and sustainable oriented, 3) -Penyusunan norma, standar, pedoman, dan manual sebagaipanduan dalammembangun infrastruktur yang berwawasan lingkungan dan memiliki faktor keamanan yang handal.

(5). Kesiapsiagaan, yaitu persiapan bila terjadi bencana meliputi sistem peringatan dini dan kesiapan sumber daya, antara lain: sumber daya manusia, sumber daya perlengkapan evakuasi, sumber daya kebutuhan pokok, sumber daya keuangan, dan lain-lainnya.

(6). Mitigasi, yaitu upaya menjinakkan atau mengurangi dampak ancaman bahaya, meliputi metode fisik dan metode non-fisik. Metode fisik seperti pemulihan kawasan lindung, pemeliharaan drainase alami dan buatan, pembangunan infrastrukur berbasis phytotechnology, tidak membangun infrastruktur buatan secara sembarangan. Metoda non fisik adalah mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas masyarakat, menggali kepedulian masyarakat (community based disaster mitigation).

Perlu dilakukan pemantauan efektivitas keorganisasian yang sudah dibentuk seperti Satla dan Satgas PBP dalam kesiapan menghadapi bencana. Kemudian mengembangkan kesiapan masyarakat menghadapi dengan membentuk organisasi-organisasi SAR dan TRC (Tim Reaksi Cepat) serta pelatihan dan simulasi kebencanaan.

(7). Warning atau peringatan bencana: di saat tanda-tanda bencana akan terjadi, sosialisasi bahaya yang lebih besar selayaknya juga dilakukan tidak hanya dengan upaya persuasif. Tindakan memaksa selayaknya juga diterapkan, tentu ada sosialisasi tindakan ini harus diambil, jauh sebelum bencana ini terdeteksi. Teriakan melalui pengeras suara masjid ataupun kentongan hingga SMS Blast ke setiap pemilik telepon selular di daerah tersebut bisa menjadi alternatif peringatan bagi warga masyarakat.

(8). Tindakan Penyelamatan: jika yang terjadi adalah angin puting beliung, tentulah tempat paling aman berada di bawah tanah dengan kedalaman dan persiapan logistik yang memadai. Jika yang terjadi adalah banjir, penyelamatan barang pribadi ke tempat lebih tinggi menjadi kewajiban selain logistik dan perahu karet jika diperlukan.

(9). Komunikasi: faktor komunikasi tetap harus terjaga, yang bisa dilakukan dengan sistem telepon satelit (www.psn.co.id untuk alat komunikasi langsung ke satelit), agar bala-bantuan hingga kepastian keadaan sesaat

154

setelah terjadi bencana bisa terdeteksi dari Jakarta ataupun pusat pemerintah provinsi.

(10). Penanganan Darurat: jika ada anggota masyarakat yang memerlukan perawatan medis ataupun adaanggota masyarakat yang dinyatakan hilang, kesiapan regu penyelamat harus terkoordinasi dengan baik.

(11). Keberlangsungan Penanganan: jika banjir tidak surut dalam waktu satu-dua hari ataupun lokasi bencana tidak memiliki jalur transportasi yang memadai, upaya yang berkelanjutan adalah kewajiban pemerintah daerah ataupun pusat dengan selalu berkoordinasi di lapangan.

(12). Upaya Perbaikan: tahapan pasca-bencana ataupun pasca-keadaan darurat adalah “proses pengobatan” yang memakan waktu lama. Jika peristiwa Tsunami Aceh memakan korban jiwa dan harta yang sangat besar, merancang perbaikan harus dilakukan secara seksama mengingat biaya yang besar yang dikumpulkan dari masyarakat, bahkan masyarakat internasional. Jika peristiwa banjir yang tiap tahun melanda pinggiran Kali Ciliwung, tentunya lebih baik dilakukan tindakan antisipatif yang lebih komprehensif dalam kerangka perbaikan di masa mendatang.

(13). Pelatihan dan Pendidikan: untuk mendapatkan hasil terbaik untuk mengantisipasi hingga mengupayakan perbaika pasca-bencana, setiap daerah harus memiliki petugas-petugas yang cakap dan berpengetahuan. Untuk itu diperlukan pendidikan dan pelatihan yang selalu sejalan dengan penemuan teknologi penanganan bencana termutakhir.

(14). Simulasi: setelah memiliki petugas yang cakap dan berpengetahuan, setiap daerah harus melaksanakan simulasi penanganan bencana atapun keadaan darurat agar setiap anggota masyarakat bisa mengantisipasi hingga menyelamatkan diri dan anggota keluarganya , sehingga beban daerah ataupun kerugian pribadi dapat diminimalisasi.