• Tidak ada hasil yang ditemukan

Good Governance on Disaster Management Tata kelola penanggulangan bencana hendaknya menerapkan prinsip Good

Kebijakan Pembangunan Berwawasan Resiko Bencana; Upaya Menuju Kebijakan PB yang Integratif

1.1.1.73 Good Governance on Disaster Management Tata kelola penanggulangan bencana hendaknya menerapkan prinsip Good

Govenance on Disaster Management dengan mengembangkan tiga pilar yaitu:

transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. Oleh karena itu, perlu adanya penataan kelembagaan pemerintahan, perekrutan yang lebih bersih dan ketat, serta percepatan penegakan hukum lingkungan satu atap. Terkait dengan hal tersebut, maka manajemen menghadapi bencana untuk tiap negara merupakan siklus, yang meliputi (A disaster manager’s handbook. Asian Development Bank, 1991): Prevention (pencegahan); Mitigation (mitigasi atau memperkecil efek bencana); Preparedness (kesiap-siagaan); Response (respon atau reaksi cepat); Recovery (perbaikan); Development (pengembangan). Disamping itu

158

juga akan berkaitan dengan aspek pendanaan. Karena dana tersebut dalam kerangka tata kelola penanganan bencana dialokasikan untuk; penelitian dan pengembangan, kesiapsiagaan menghadapi bencana, pelestarian tanah nasional dan pemulihan serta pembangunan kembali pascabencana.

Implikasi dari penerapan tata kelola penanganan bencana tersebut maka para pemangku kepentingan akan berada pada satu sistem mulai dari penanganan saat pra bencana, bencana hingga saat pasca bencana. Penerapan Good Disaster Governance tersebut juga sangat terkait dengan mitigasi bencana. Bila ini diterapkan maka sistem penanganan bencana akan dapat mereduksi tingkat kerusakan maupun korban yang selanjutnya juga berdampak pada upaya pemulihan dan rekonstruksi.

Bencana dapat menjadi pelajaran sekaligus guru yang berharga bagi masyarakat, selain berserah diri pada-Nya juga ada suatu upaya kongkrit yang dilaksanakan secara faktual dalam memahami dan mengantisipasi kondisi alam secara teoretis logis, salah satu wujudnya melalui konservasi alam perbukitan yang akan menjadi kawasan penyangga (daerah resapan dan cadangan air) kehidupan manusia dan ekosistem lainnya. Bentuk upaya kongkrit publik tersebut adalah berbagi peran dalan pelaksanaan pemeliharaan kawasan hijau, posisi birokrat sebagai pelaksana dan pembuat policy diharapkan dapat mengakomodir persoalan serta melegitimasi hak masyarakat. Gerakan yang sinergitas antara masing-masing elemen komponen tersebut dalam menyelamatkan alam lingkungan,yang diharapkan dapat meminimalisir dampak negatif pasca bencana. Pemulihan (recovery) kondisi masyarakat pasca bencana akan lebih solid ketika kita mencoba membangun manajemen bencana (disaster management) agar siklus normalisasi kehidupan termasuk rehabilitasi tercapai dengan rentang waktu yang sesingkat-singkatnya. Pengendalian itu dimulai dengan membangun kesadaran kritis masyarakat dan pemerintah atas masalah bencana alam, menciptakan proses perbaikan total atas pengelolaan bencana, penegasan untuk lahirnya kebijakan lokal yang bertumpu pada kearifan lokal yang berbentuk peraturan nagari dan peraturan daerah atas menejemen bencana. Yang tidak kalah pentingnya dalam manajemen bencana ini adalah sosialisasi kehatian-hatian terutama pada daerah rawan bencana.

Sebagai negara yang sarat bencana dengan bentangan alam yang luas serta jumlah penduduk yang jauh lebih banyak, semestinya Indonesia dapat mengambil pelajaran dari pengalaman Jepang yang begitu reaktif dan responsif dalam menghadapi bencana alam. Program-program dan kegiatan-kegiatan kesiapsiagaan terhadap bencana harus segera dirintis dan dikembangkan.

159

Pendidikan sadar bencana dan latihan menghadapi bencana mesti segera dibiasakan. Pusat-pusat studi dan pelatihan menghadapi bencana wajib untuk dimunculkan dan didukung sepenuhnya. Juga, kebijakan dan manajemen penanggulangan bencana mesti segera ditata dan dilahirkan.

Indonesia perlu menyegerakan lahirnya kebijakan penanganan bencana yang komprehensif dan integratif . Demikian halnya turunan UU Penanggulangan Bencana, karena satu Undang-Undang saja tidak cukup untuk mengatur ribuan permasalahan di bidang penanggulangan bencana. Maka, perlu ada kebijakan yang integratif. Semisal, mengamandemen UU terkait di wilayah lain (kehutanan, lingkungan hidup, pertambangan, sumber daya air, dll), supaya selaras dengan semangat penanggulangan bencana. Ataupun membuat UU baru di wilayah yang belum banyak dijangkau selama ini. Jepang misalnya, memiliki UU tentang sungai, tentang banjir, tentang polusi di laut, tanah longsor, hingga penanggulangan bahaya nuklir.

Pedoman tentang manajemen bencana telah terserak dalam pelbagai instrumen internasional seperti pada Humanitarian Charter and Minimum Standards in Humanitarian/ Disaster Relief yang disponsori oleh Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional dan beberapa lembaga internasional seperti OCHA (UN Office for Coordination of Humanitarian Affairs) ataupun lembaga lain yang bergerak di bidang intervensi kemanusiaan. Secara simultan mestinya Pemerintah dan DPR dapat meratifikasi Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 (Convention Relating to the Status of Refugees) Karena, tidak jarang dari korban konflik dan bencana di Indonesia lahir banyak pengungsi yang hijrah dan terlantar di negara lain. Selain pengungsi, masalah yang juga urgent

adalah menangani pengungsi dalam negeri (Internally Displaced Persons - IDPs) yang keberadaannya di luar yurisdiksi dari Konvensi Pengungsi 1951 yang hanya mengatur pengungsian antara negara. Masalah perlindungan pengungsi dalam negeri ini harus diintegrasikan dengan UU Penanggulangan Bencana atau dibuatkan Undang-Undang tersendiri. Rujukannya adalah pada

The Guiding Principles on Internal Displacement yang diproduksi oleh Office for Coordinating of Humanitarian Agencies (OCHA) PBB pada tahun 1998.

Mengacu UU No. 24 tahun 2007 Bab 1. Ketentuan Umum dan Pasal 1, penyelenggaraan penanggulangan adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang beresiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi (Gambar....). Landasan bagi pembangunan nasional dan daerah yang berwawasan resiko bencana sudah dicanangkan dalam draft Peraturan Pemerintah (PP)) khususnya :

160

(1). Pasal 9 Ayat 1; setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai resiko tinggi menimbulkan bencana wajib dilengkapi dengan analisis resiko bencana yang dilakukan oleh pemrakarsa kegiantan.

(2). Pasal 11 Ayat 1; Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pemaduan penanggulangan bencana dalam perencanaan pembangunan melalui koordinasi, integrasi dan sinkronisasi, serta pengarusutamaan dalam perencanaan pembangunan nasional dan daerah; Ayat 2: Pemaduan penanggulangan bencana dalam perencanaan pembangunan dilakukan dengan cara mencantumkan unsur-unsur penanggulangan bencana kedalam rencana pembngunan nasinal dan daerah.

Oleh karena itu untuk mengintegrasikan penanggulangan bencana dalam konstruksi pembangunan nasional dan daerah, maka penetapan kebijakan pembangunan menjadi kerangka dasar pembangunan yang dijiwai oleh filisofi penanggulangan bencana. Hal ini menjadi semakin penting ketika para pemikir (intelektual-teknokrat) dan para pengambil keputusan bercermin dan merefleksikan diri kepada bagaimana pembangunan kurang mempertimbangkan resiko bencana yang selama ini berlangsung, justru menimbulkan berdampak bencana langsung maupun tidak langsung. Pemerintah pusat maupun daerah perlu merancang pembangunan berwawasan resiko bencana yang dilandasi atau didukung penelitian dan pengembangan, sebagaimana dimaksud dalam draft Peraturan Pemerintah (PP) Pasal 5 Ayat 2 : untuk mendukung penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui penelitian dan pengembangan di bidang perencanaan. Pasal 14 Ayat 1, menjabarkannya yaitu Penelitian dan pengembangan di bidang kebencanaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) dilakukan untuk mengidentifikasi potensi bencana dan pengembangan tehnologi kebencanaan.

Pembuatan rancangan pembangunan pada pusat dan daerah yang berwawasan resiko bencana, akan didukung komunitas (masyarakat) manakala pemerintah memberdayakan masyarakat dengan meningkatkan wawasan kebencanaan. Hal ini merupakan implementasi dari Draft PP pasal 12 yaitu :

(1). Ayat 1: pemerintah melakukan peningkatan pengetahuan tentang kebencanaan melalui pendidikan dan latihan kepada seluruh masyarakat berupa pendidikan formal, non formal dan informal

161

(2). Ayat 2: pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, ketrampilan, kesiapsiagaan dan kemampuan masyarakat menghadapi bencana

(3). Ayat 3: instansi/lembaga/organisasi yang terkait dengan penanggulangan bencana menyelenggarakan pendidikan dan latihan penanggulangan bencana secara teratur dan berkala

(4). Ayat 4: pendidikan dan pelatihan penanggulangan bencana dapat dilakukan melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan dasar, lanjutan dan tehnis, serta simulasi dn gladi.