• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pasca Bencana

1.1.1.25 b Organisasi dan Kelembagaan

Dalam era desentralisasi dan otonomi daerah, penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan termasuk pelayanan publik semakin didekatkan pada warga. Pemerintah daerah sebagai pihak yang diberi mandat oleh para pemilih di daerah, berkewajiban antara lain untuk menciptakan kesejahteraan dan memastikan perlindungan atas warganya. Penanggulangan bencana merupakan salah satu perwujudan fungsi pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap rakyat. Agar dapat memberikan perlindungan yang optimal, pemerintah daerah perlu memiliki rencana penanggulangan bencana yang terstruktur, sistematis dan dapat dilaksanakan dengan efektif.

Efektivitas pemerintahan di Pemkab Bantul terlihat dari kesiapan aparat dalam menanggulangi bencana. Salah satu indikatornya adalah meskipun bencana 27 Mei 2006 terjadi pada masa libur panjang cuti bersama (sejak 25 Mei), dengan komando Sri Sultan HB X (Gubernur DIY) dan Bupati Bantul, fungsi-fungsi pemerintahan tetap berjalan. Di Kabupaten Bantul, para karyawan yang notabene kondisi rumahnya rusak, tetap dipanggil untuk segera “cancut tali wanda” menangani dampak bencana alam, khususnya dalam rangka mendistribusikan bantuan logistik bahan makanan dan obat-obatan yang diterima dari banyak pihak.

Disamping seruan gubernur dan bupati, efektivitas pemerintahan tetap berjalan dengan adanya petunjuk presiden RI dalam penanganan bencana, yang mencakup : (1) selamatkan para korban, mereka yang terluka, barulah harta benda (2) perbaikan infrastruktur, listrik dan jalan, supaya logistik bisa didistribusikan, serta untuk penyelamatan korban jiwa (3) pastikan makanan cukup, koordinasikan dengan baik, dan (4) identifikasi seberapa banyak rumah maupun bangunan yang rusak untuk nantinya direhabilitasi dan direkonstruksi. Efektivitas pemerintahan juga tercermin dalam pendataan korban. Atas arahan Menko Kesra RI pada tanggal 31 Mei 2006, Pemkab Bantul pada tanggal 1 Juni (hari ke lima setelah gempa 27 Mei 2006) mengadakan rapat koordinasi yang

71

melibatkan seluruh jajaran pemerintahan daerah sampai dengan kepala desa, untuk memulai pendataan, yang pelaksanaannya dilakukan oleh ketua-ketua RT dan disaksikan masyarakat korban.

Selanjutnya Pemda Bantul, melakukan pendataan dengan blanko yang telah ditentukan (Form 1) berdasarkan Surat dari Bakornas PB nomor 01/PBP/VI/2006 tanggal 2 Juni 2006, perihal Pedoman Umum Bantuan Tanggap Darurat, sebagai berikut:

Sebagai dasar pelaksanaan pemberian bantuan/santunan tanggap darurat korban bencana gempa bumi sebagaimana dimaksud perlu dilakukan pendataan dengan baik bila mungkin telah selesai secara final seluruhnya pada tanggal 4 Juni 2006”

Sebagai landasan operasionalnya Pemkab Bantul menindaklanjuti dengan Surat Keputusan Bupati Bantul Nomor 169 tanggal 2 Juni 2006 tentang penetapan klasifikasi kecamatan sebagai dasar pemberian uang lauk pauk dan beras bagi warga masyarakat korban gempa bumi di Kabupaten Bantul. Berdasarkan SK Bupati Bantul tersebut, pengkategoriannya menjadi (1) tingkat kecamatan dengan klasifikasi sangat parah (2) tingkat kecamatan dengan klasifikasi kritis/rawan sosial dan (3) tingkat kecamatan dengan klasifikasi sedang.

Dalam kurun waktu satu minggu setelah gempa terjadi, proses pendataan korban masih menimbulkan ketidakpercayaan akan akurasi data (karena issue negatif, informasi gempa susulan dan keamanan terganggu). Namun demikian Pemkab Bantul memutuskan kebijakan demikian karena data akan menjadi acuan dalam pengambilan keputusan berikutnya. Pemkab Bantul bersikap dan berprasangka positif dan memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada jajaran tingkat bawah, khususnya pada ketua-ketua RT dan pemimpin masyarakat tingkat komunitas.

Meskipun terdapat permasalahan pendataan, namun Pemkab Bantul memutuskan untuk memberikan bantuan kepada seluruh korban bencana gempa, karena suatu bantuan yang dipandang warga tidak merata, akan menimbulkan kecemburuan, yang nantinya dapat merusak sendi-sendi sosial, bahkan bisa menurunkan kualitas modal sosial (gotong royong, toleransi, kebersamaan dll.) di masyarakat. Modal sosial ini sangat dijaga oleh Pemkab Bantul, karena yakin modal sosial sebagai kekuatan utama rakyat Bantul untuk bangkit membangun kembali daerahnya.

72

Sebagian warga tidak terdata karena ternyata penduduk (lebih tepat pemukim) tidak tercatat secara administratif (tidak ber KTP Bantul). Mereka diantaranya adalah mahasiswa, santri di Pondok Pesantren Bantul, para pedagang/pekerja migran. Gubernur DIY menetapkan bahwa masa tanggap darurat berlangsung satu bulan dan semua Bupati mengikuti secara konsisten. Pertimbangannya adalah jika masa tanggap darurat melebihi satu bulan, kemungkinan akan terjadi perubahan-perubahan. Selain itu, masyarakat akan menjadi tergantung pada bantuan (tidak mandiri) jika penanganan berlarut-larut.

Motivasi untuk kembali berdaya bangkit dengan seruan bupati dan gubernur. Bahkan Bupati Bantul menyerukan bahwa perekonomian keluarga harus segera bangkit, dengan mendorong kepada warga ”dalam dua minggu setelah gempa (minggu ke tiga), aktivitas harus jalan kembali; petani harus ke sawah, pendidik harus ke sekolah (mengajar) dan pedagang harus berdagang kembali”.

1.1.1.26

1.1.1.27

c. Kepemimpinan (Leadership)

Secara operasional dalam penanggulangan bencana pejabat harus benar-benar berkomitmen mengatasi dan menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Pejabat tidak boleh santai dalam makna ”pejabat abdi masyarakat” harus melayani masyarakat, tidak berlaku sebaliknya, ”Pejabat itu yang menggantikan rakyat (mewakili-karena dipilih rakyat), maka harus mengabdi kepada rakyat”. Hal ini berguna untuk menumbuhkan motivasi masyarakat mencegah atau menanggulangi bencana (termasuk bencana penyakit menular).

Landasan kerja demikian sudah digulirkan Bupati Bantul Idham Samawi sejak tahun 2000, secara konsisten dijalankan sehingga terjalin hubungan yang timbal balik antara Bupati (pejabat pemerintahan Kabupaten Bantul) dengan masyarakatnya. Dengan demikian konsep pemimpin yang dikehendaki rakyat adalah pemimpin yang memiliki integritas (komit terhadap daerahnya/rakyatnya), mandiri, jujur dan terbuka, bertanggungjawab, dan memiliki jiwa keteladanan. Implementasi konsep pemimpin yang dikehendaki rakyat dalam pelayanan publik keseharian dalam jangka panjang itulah yang akhirnya membentuk trust. Untuk membentuk trust tersebut tidaklah mudah harus dilakukan secara berkesinambungan dan dengan kepemimpinan yang merakyat (membela kepentingan rakyat). Pemerintah (para pelaksana pemerintahan) harus menjalin empati (Empathy Goverment) sehingga masyarakat dapat menangkap kesungguhan motivasi pemerintah dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat. Jalinan (Empathy Goverment) ini

73

telah dilakukan sejak tahun 2002 (masa jabatan pertama bupati bapak Idham Samawi).

Bupati Bantul, menandaskan bahwa untuk menerapkan empati government, maka ditetapkan kebijakan bahwa ”setiap pejabat yang diundang masyarakat (siapapun yang mengundang) wajib datang; pejabat yang tidak bisa kerja dengan ritme kerja bupati diberhentikan”. Selain itu pemerintah daerah juga melakukan upaya untuk monitoring-evaluasi kinerja pemerintahannya melalui media, dimana Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul membeli space siaran TV (TVRI dan empat TV swasta nasional untuk siaran pembangunan daerah serta media radio untuk hal yang sama.

Dalam bentuk lain pendekatan pemerintah daerah kepada masyarakat adalah keteladanan, jujur dan terbuka serta tanggungjawab. Salah satu programnya adalah berupa program sholat subuh bupati bersama warga, berkeliling wilayah Bantul. Setiap acara subuh bersama, bupati bersama sejumlah pejabat mengundang pendapat warga tentang pemerintahannya dan selalu menyediakan bantuan stimulan sebesar Rp 10 juta/kunjungan (dana ini dianggarkan dalam APBD Kab. Bantul). Hal ini dilakukan dengan dilandasi moto ”Tidak hanya sembur tapi uwur” dalam makna pemerintah atau pejabat tidak cukup bersuara (menghimbau-memerintah) karena tidak akan efektif jika tidak disertai wujud konkrit tindakan nyata. ”Sembur” bermakna perintah atau himbauan pejabat, sementara ”uwur” bermakna bantuan konkrit yang diberikan kepada masyarakat.

Terkait dengan empathy government, terdapat empat pilar bagi landasan kerja lembaga Satlak Kabupaten Bantul dalam penanggulagan bencana, yaitu : (1) kesatuan misi, (2) kesamaan motivasi, (3) kekompakan dalam mekanisme kerja dan (4) optimalisasi kerja. Pilar-pilar demikian diluncurkan sebagai respon model manajemen bencana, dimana bencana dianalogikan sebagai suatu penyakit yang harus disembuhkan.

1.1.1.28