• Tidak ada hasil yang ditemukan

b Pengembangan Sistem Logistik

Manajemen Bencana

1.1.1.71 b Pengembangan Sistem Logistik

Sistem logistik yang berkembang saat bencana akhir-akhir ini bisa dikatakan sporadis dan tidak struktur. Semua pihak yang ingin menolong ingin secepatnya dapat menyalurkan bantuan logistik kepada korban bencana. Koordinasi antara lembaga dan organisasi, terutama organisasi non pemerintah dan lembaga pemerintah sering dianggap sebagai suatu hambatan. NGO, organisasi-organisasi kemasyarakatan atau perorangan yang ingin membantu korban sepertinya tidak dapat mempercayai petugas resmi dari lembaga pemerintah baik dari sisi kecepatannya maupun dari sisi sampainya bantuan kepada korban. Sebaliknya, korban bencana juga perlu dan ingin segera

155

mendapat bantuan sering bertindak tanpa memperdulikan aturan dan korban lainnya yang lebih kritis. Diberitakan truk-truk bermuatan beras dan bahan pangan dihentikan diperjalanan oleh orang-orang yang mengaku korban bencana. Situasi yang tercipta dari keinginan membantu dan dibantu secepatnya ini, malah jadinya seperti chaos.

Operasi pelayanan korban bencana ini telah terjadi kontroversi antara birokrat dan para LSM dan pegiat lainnya. Birokrat bekerja pada koridor yang telah ditetapkan oleh Perpres No. 83 Tahun 2005, dengan harapan bahwa upaya bantuan yang dilakukan bisa sampai ke para korban dengan tetap prinsip akuntabilitasnya dapat dipenuhi. Hal ini sangat wajar dan dapat dipahami, karena setelah operasi bantuan bencana dinyatakan selesai dapat dipastikan banyak pihak yang akan mempertanyakan implementasi good governance

terutama aspek akuntabilitas dan tranparansinya.

Namun benar pula pendapat para LSM dan pegiat lainnya, yang menyatakan bahwa pada kondisi kritis harus "mendobrak" sekat-sekat birokrasi, karena dengan menggunakan protap yang diatur dalam Perpres, kemungkinan besar akan terjadi kelambatan pengiriman sehingga operasi penyelamatan dan bantuan pada fase tanggap darurat akan tidak memiliki makna.

Kontroversi ini mestinya tidak dijadikan polemik yang berkepanjangan karena bantuan yang dilakukan oleh LSM dan pegiat lainnya pasti memiliki "protap" masing-masing yang kadar pertanggungjawaban publiknya pasti beda dengan yang dilakukan oleh birokrat, sehingga LSM dan pegiat lainnya merupakan "pasukan perintis" yang paling dahulu berhadapan dengan para korban, sedangkan bantuan dari pemerintah yang jumlahnya pasti jauh lebih besar dan mungkin berasal dari APBN/APBD berperan sebagai penyempurna pelayanan untuk mendukung dan melengkapi operasi "pasukan perintis" yang melangkah terlebih dahulu. Aksi ini akan tercipta suasana yang harmonis antar pihak yang sebetulnya mereka itu sama-sama mengemban tugas kemanusiaan yang mulia. Lupakanlah kepentingan politik dan jangan pertontonkan kontroversi yang tidak terpuji ini di hadapan para korban yang sedang mengalami penderitaan.

Melengkapi keberadaan dolog dalam kesiapsiagaan beras untuk situasi darurat, pada daerah rawan bencana gempa, tsunami, kelaparan (karena kekeringan atau kebanjiran) dan bencana-bencana lain yang eskalasinya besar dan meliputi teritori yang luas, ada baiknya dibentuk pos-pos koordinasi (Posko) bantuan yang terintegrasi dengan depot logistik sembako reaksi cepat (Depo). Posko/Depo ini harus menjadi bagian kelengkapan fungsional Satlak PBP.

156

Depo berisi bahan dan peralatan kedaruratan seperti beras, mie isntan, tenda pengungsi, selimut, pembalut dan pakaian dalam wanita, susu bayi, tenda dapur umum, peralatan masak, kompor minyak, kompor gas, perahu karet, dsb. Satlak PBP melakukan pengisian, pengawasan dan menjamin keberadaan dan keamanan barang dan bahan tersebut. Isi Depo, semua atau khususnya untuk bahan makanan yang tidak awet seperti beras, biskuit, dan mie instan, dikontrakan untuk jangka waktu tertentu, misalnya 1-2 tahun, kepada mitra perusahaan dagang atau toko sembako. Para pengusaha yang mendapatkan tender pengadaan tersebut harus mengganti barang dan bahan di Depo untuk setiap dua bulan. Dengan demikian barang dan bahan yang ada di Depo senantiasa terjaga masa kadaluwarsanya, dan barang tersebut tetap dapat diperdagangkan oleh para pengusaha. Salkak pun setiap dua bulan melakukan pengawasan dan pemeriksaan kadaluwarsa bahan-bahan makanan untuk menghindari kecurangan yang dilakukan perusahaan.

Aliran informasi boleh dilakukan secara berjenjang karena merupakan akumulatif dari berbagai daerah dalam tataran Satlak dan Satkorlak hingga Bakornas. Namun sebaliknya aliran barang sangat tidak direkomendasikan jika dilakukan secara berjenjang, tetapi harus langsung ke sasaran, tidak mengikuti kebalikan dari aliran informasi, sistem ini menghindari menumpuknya barang- barang di pendopo Kabupaten, atau kantor kecamatan sehingga menciptakan kelambatan arus barang ke para korban yang memerlukan bantuan.

1.1.1.72

c. ManajemenTransportasi

Umumnya pada pasca bencana gempa dan tsunami terdapat tiga kategori penanganan korban yang harus mendapat perhatian intensif yaitu (1) evakuasi korban meninggal, pencarian korban yang hilang, dan penanganan korban luka- luka, dan (2) penanganan para pengungsi. Faktor kritis dalam upaya penanganan para pengungsi pertama kondisi fisik dan psikis mereka berada pada kondisi lemah dan traumatis, kedua. menyangkut sistem distribusi logistik yang memerlukan kecepatan dan ketepatan. Untuk itu hendaknya diberlakukan sistem mobilisasi transportasi kedaruratan layaknya peraturan lalulintas bagi kendaraan-kendaraan seperti truk diperlakukan seperti ambulan. Kendaraan- kendaraan non kedaruratan harus memberi prioritas kepada kendaraan bencana pengangkut pengungsi dan logistik. Caranya yaitu dengan menghentikan kendaraan umum untuk memberikan kelancaran dan laju pada saat kendaraan bencana lewat. Pada saat melakukan tugas bahkan kendaraan bencana dapat menggunakan jalur kanan. Untuk memudahkan pengenalan terhadap kendaraan

157

bencana, maka truk-truk dan kendaraan-kendaraan bencana lainnya harus dilengkapi flashlight dan sirine.

Jalur-jalur evakuasi perlu memisahkan jalur untuk kendaraan dan jalur untuk pejalan kaki. Dengan demikian pergerakan masing-masing pengguna jalan diharapkan tidak saling terhambat. Posko adhoc di kota perlu dipertimbangkan keberadaannya apakah di kantor Satlak, pendopo kabupaten/balaikota yang mudah mobilisasinya untuk mencapai posko/depo dan kantong-kantong pengungsian. Jalur ini harus diamankan agar truk-truk bantuan tidak terhambat lajunya. Demikian juga jalur antar posko/depo dan kantong-kantong pengungsian harus dijaga agar laju distribusi barang dan bahan dapat terjamin. Pelayanan kepada para korban bisa dilakukan dengan baik jika sarana dan prasarana yang diperlukan selalu tersedia dalam jumlah yang cukup dan saat yang tepat. Hal ini dapat terwujud jika sistem logistik yang dimiliki dapat diandalkan, antara lain adalah (1) tersiaganya task force yang andal di bawah koordinasi Satkorlak dan Satlak, (2) sistem informasi logistik terpadu. Sistem ini dilaksanakan petugas Satkorlak dan harus menghasilkan mapping yang cepat dan akurat tentang jumlah, tempat dan sebaran korban, sehingga diperoleh informasi tentang jumlah dan jenis komoditas yang diperlukan, (3) sistem distribusi, Bakornas dan Satkorlak menyediakan komoditas yang diperlukan, dan Satkorlak melakukan distribusi dan penugasannya hingga sampai ke titik- titik bencana.

Kebijakan Pembangunan Berwawasan Resiko Bencana; Upaya