• Tidak ada hasil yang ditemukan

d Peningkatan Modal Sosial dan Perilaku Pro-social.

Penanggulangan Bencana

1.1.1.66 d Peningkatan Modal Sosial dan Perilaku Pro-social.

Dalam konteks bencana alam, tidak terkecuali pada peristiwa-peristiwa lainnya yang membutuhkan solidaritas kemanusiaan, upaya memberikan pertolongan kepada orang lain menjadi sangat penting. Fenomena ini tergolong ke dalam perilaku prososial atau prosocial behavior. Tindakan setiap orang (termasuk saling menolong antar sesama manusia) mengandung motivasi dan kekuatan yang berbeda-beda. Dari sekedar partisipasi biasa supaya terlihat menolong, hingga uluran tangan yang dilandasi semangat altruism. Dorongan altruism merupakan ketulusan hati untuk selalu memberikan bantuan kepada setiap orang tanpa menuntut balas (Alhumami, 2005).

Memberikan pertolongan sebagai perilaku prososial merupakan serangkaian keputusan yang dibuat. Byrne dan Kelley mengemukakan lima langkah pembuatan keputusan saat seseorang dihadapkan pada sebuah situasi yang menyulut perilaku prososial). Kelima langkah tersebut adalah manakala seseorang mempunyai informasi bahwa sesuatu (bencana) tengah terjadi, mengetahui bahwa bancana sungguh-sungguh nyata, keyakinan untuk mengambil bagian dalam bencana, memutuskan apa yang harus atau dapat dilakukan dalam peristiwa bencana, dan benar-benar ikut serta merasakan bencana dan keputusan harus bertindak memberikan pertolongan (Fanani, 2005).

Pengembangan modal sosial masyarakat hendaknya memperhatikan dua komponen penting modal sosial yaitu jaringan sosial dan beragam jenis sumberdaya yang ada di masyarakat. Jaringan sosial yang beroperasi di masyarakat akan memberi manfaat mutualistik bagi warganya, sementara itu berbagai jenis sumber daya di masyarakat dapat didayagunakan bagi kepentingan publik. Menurut Byrne dan Kelly, dalam menumbuhkan modal sosial dikenal istilah civic engagement yang bisa diartikan sebagai perjumpaan antara warga yang dilandasi pertautan emosional mendalam, hubungan yang hangat, perasaan dekat secara psikologis, dan ikatan solidaritas yang terbangun atas dasar empati dan persaudaraan universal. Oleh karena itu, di kalangan ahli

140

menyatakan inti dari modal sosial adalah civic engagement yang terdiri dari tujuh nilai derivasi, yakni: empathy, reciprocity, generosity, moral obligation, social solidarity, public trust, dan public spirit. Seperti dikatakan oleh James Coleman dan Robert Putnam, dalam beragam musibah dan malapetaka, modal sosial sudah memancar sebagai nilai yang melampaui batas yang kemudian muncul dalam kesadaran kolektif, seperti membanjirnya bantuan dan relawan menolong para korban (Fanani, 2005).

Modal sosial dapat terkikis akibat guncangan besar yang terjadi di masyarakat, sebagaimana Francis Fukuyama menyatakan bahwa manusia mampu bertahan mengakibatkan erosi pada modal sosial. Ketika kepercayaan manusia pada manusia lainnya menipis, kecurigaan dan ketidakjujuran merebak, serta pelanggaran hukum meningkat, proses kerja sama dalam masyarakat berubah menjadi proses saling memakan dan saling merugikan. Namun, proses semacam ini akan diikuti oleh proses penataan kembali, dari disordering menjadi

reordering of the society. Menurut Fukuyama guncangan akan disusul dengan penataan kembali tatanan sosial. Sementara itu Friedrich Hayek filsuf-ekonom Austria membuat sebuah konsep, yakni spontaneous order untuk menggambarkan bagaimana manusia, tanpa diatur siapa pun, menciptakan dalam masyarakat sistem kerja sama yang menguntungkan semua pihak. Pada dasarnya, pemikiran semacam itu menaruh harapan besar pada umat manusia. Manusia dianggap sebagai makhluk yang secara alamiah selalu ingin bekerja sama, tanpa diminta dan diatur oleh penguasa, pemilik modal, atau pemuka agama sekalipun. Manusia akan menciptakan aturan, baik formal maupun informal, di antara mereka sendiri untuk membangun kembali tatanan yang ada (Fanani, 2005).

Respons spontan dan genuine dari masyarakat Indonesia pada saat bencana, menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki modal sosial (social capital)

yang sangat besar dan kuat. Tragedi kemanusiaan akibat bencana di beberapa wilayah negara ini telah membangkitkan kesadaran kolektif warga bangsa, untuk kemudian bersama-sama menganyam ulang potensi modal sosial yang tersimpan. Modal sosial itu bisa ditemukan dalam unit-unit sosial di masyarakat mulai dari yang paling kecil dan sederhana seperti keluarga, rukun warga, atau jamaah pengajian, sampai yang paling besar dan kompleks seperti organisasi kemasyarakatan, LSM, asosiasi profesi, bahkan institusi negara. Berbagai bencana ini pula yang telah menggerakkan kekuatan modal sosial bangsa, yang menjelma dalam beraneka macam bentuk: bantuan barang, sumbangan uang, serta penyediaan tenaga dan jasa. Kita lihat pula, para pujangga melahirkan puisi dan prosa, kiai dan juru dakwah berkhotbah tentang pesan-pesan profetik

141

yang menenteramkan jiwa, musisi menulis syair dan lirik lagu, penyanyi melantunkan tembang duka, artis dan aktivis menggalang aksi kepedulian, stasiun TV menayangkan gambar dan berita, koran dan majalah terus memproduksi dan meng-update informasi, sementara civil society bersinergi dengan pemerintah melakukan emergency relief.

Nurani kemanusiaan warga bangsa telah melahirkan empati, dengan berupaya memahami posisi masyarakat yang terkena bencana. Dengan cara masing- masing, setiap warga bangsa berusaha menampilkan hubungan sosial berciri

reciprocity yakni suatu relasi sosial antarwarga yang bercorak mutual-support, sehingga masing-masing saling memberi dan memperoleh manfaat (Sobirin, 2005). Tanpa suatu pretensi, segenap warga bangsa juga menunjukkan karakter asli yakni generosity: suatu perangai, sikap, dan kepribadian yang penuh kebaikan dan kebajikan, yang termanifestasi dalam bentuk kesediaan menolong dengan tulus tanpa pamrih. Kesediaan menolong itu merupakan bentuk moral obligation, yang dipahami sebagai panggilan tugas kemanusiaan tanpa mempedulikan berbagai risiko yang mungkin muncul dan ditemui di wilayah bencana. Hal tersebut memunculkan momentum untuk menggalang social solidarity yang sempat hilang, tenggelam oleh sikap egosentrisme kelompok, pertikaian politik, dan konflik sosial.

Hal yang menjadi titik balik adalah menguatnya public trust yakni tingkat kepercayaan warga masyarakat terhadap institusi publik dalam menangani bencana nasional . Meski menghadapi medan yang sangat berat, pemerintah dan berbagai kekuatan masyarakat madani bekerja keras menanggulangi setumpuk masalah krusial akibat bencana. Dengan penuh rasa kagum, kita pun menyaksikan betapa public spirit menjelma menjadi energi dahsyat, yang mampu menggerakkan kekuatan masyarakat dalam memobilisasi public resources guna mengatasi problem kemanusian akibat bencana.

Tatanan Sosial. Menurut Francis Fukuyama kekacauan besar yang banyak melanda negara-negara besar pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 ini disebabkan oleh ditinggalkannya nilai moral dan modal sosial yang dimiliki oleh bangsa-bangsa itu di masa lalu (Fukuyama, 1999). Modal sosial itu digantikan oleh perilaku individualisme yang cenderung menurut kepada hukum pasar dan seringkali mengalahkan sebuah komunitas sosial. Nilai-nilai keluarga yang menjunjung tinggi pendidikan moral, kepercayaan, saling tolong menolong, menyantuni, dan keteladanan kerapkali juga ditinggalkan karena dianggap tidak efisien dan kuno. Norma-norma adat dan keluarga digantikan oleh hukum dan konstitusi yang diperlakukan dengan mekanisme pengawasan

142

dan kontrol. Sedangkan kesadaran kolektif untuk mematuhi secara sukarela seringkali dianggap tidak penting lagi (The Great Disruption: Human Nature and the Recontitution of Social Order, 1999).

Akibatnya masyarakat cenderung bersifat seenaknya sendiri dan meninggalkan tradisi lama yang sebetulnya sangat berguna untuk menjaga moralitas dan memperkuat modal sosial. Dengan sendirinya kriminalitas berkecamuk, kepercayaan menipis, keluarga berantakan, negara dan pemerintahan tidak dikelola dengan profesional. Bahkan DPR berkelahi sendiri, hukum diperjualbelikan, korupsi merajalela, dan demokrasi menjadi proyek negara adikuasa untuk menjajah dunia ketiga. Untuk membangun kembali tatanan sosial menuju demokrasi yang berkeadilan itulah modal sosial yang pernah ada mesti diangkat dan dijalankan kembali.

Senada dengan itu, Nick Stevenson dalam "Cultural Citizenship, Cosmopolitan Questions "(2003) juga mengatakan dalam zaman globalisasi yang serba individualistik dan tidak memihak pada hak-hak perempuan, kaum minoritas, orang-orang miskin, dan anak-anak kecil ini maka kesadaran sosial dan kolektif mesti dijaga . Hal itu sangat penting untuk membangun kewargaan kultural yang tidak hanya melulu bersifat politik tapi lebih pada mekanisme menuju kebersamaan dan keadilan. Maka perlu diciptakan kesepakatan bersama dalam wadah kewargaan kultural guna memperjuangkan hak untuk berpartisipasi, menentukan identitas, menunjukkan perbedaan, dan menghargai hak individu. Itu semua bisa tercapai bila terdapat kesadaran bersama untuk berjuang membela hak orang lain yang terpinggirkan oleh kontrol dan pengawasan yang tidak memihak.

Akhirnya dalam rangka membangun tatanan sosial masyarakat di daerah bencana alam, mengangkat kembali nilai moral dan modal sosial yang luhur dan berkemanusiaan adalah agenda yang tidak bisa ditunda lagi pelaksanaannya oleh elite politik. Begitu juga dengan penguburan karakter lama yang jelek dan menindas harus cepat menjadi kesadaran bersama semua warga negara dan komponen bangsa ini. Prinsip keadilan, kejujuran, keteladanan dalam sikap dan perilaku, serta solidaritas sosial adalah nilai-nilai bangsa yang patut menjadi pilar Indonesia hari ini dan masa depan. Karakter bangsa masa depan yang teguh dan berkemanusiaan harus mulai dibangun dari sekarang dan jangan sampai ditunda-tunda lagi.

143