• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dimensi Sosial Budaya dari Bencana

1.1.1.63

a. Pendidikan dan Kampanye Nilai-nilai

Luhur Ekologis

Bencana alam berbeda dari kelaparan, karena bencana alam terjadi secara relatif mendadak sehingga berpotensi besar menghancurkan berbagai fasilitas dan tatanan sosial kemasyarakatan yang telah dibangun dalam waktu lama. Penyebab bencana alam bisa karena peristiwa perubahan bumi yang secara geologis tergolong biasa (seperti gempa bumi), tetapi di lain pihak sering ditimbulkan oleh sikap dan perilaku ceroboh manusia yang tidak mengindahkan konsep dan keseimbangan ekologis, seperti ditunjukkan dengan banyaknya hutan yang digunduli, alih fungsi lahan terbuka menjadi perumahan, dan lain- lain, sehingga fungsi resapan air hujan hilang dan menyebabkan banjir. Oleh karena itu, pendidikan dan kampanye tentang nilai-nilai luhur ekologis bagi masyarakat dan pemangku kepentingan (stakeholders) menjadi dasar untuk menyelamatkan alam. Pendidikan ekologis akan melahirkan perilaku positif seperti tidak sembarangan menebang dan membakar hutan, berani memberi pertimbangan kritis kepada pengembang industri yang kurang memperhatikan dampak lingkungan, dan mempunyai kesadaran yang tinggi untuk menjaga

135

lingkungan agar tetap bersih dari sampah dan limbah agar kesuburan dan kelestarian alam terjaga.

Pendidikan nilai bisa diwujudkan dengan memberdayakan kembali kearifan lokal yang ada. Kini banyak tradisi dan adat istiadat lokal yang sebenarnya kaya nilai-nilai tentang hubungan harmonis antara manusia dan alam tidak lagi populer. Padahal, bencana alam bisa dicegah dan kerusakan alam bisa dihindari apabila manusia hidup berdampingan secara baik dengan alam. Hegel dalam tulisannya, das Prinzip der Selbstgewissheit, menggambarkan hubungan sederajat manusia dengan alam (Alhumami, 2005). Dalam pandangannya, alam tidak ditempatkan sebagai sasaran penjajahan dan eksploitasi, tetapi menjadi rekan seperjalanan hidup manusia. Manusia sebagai subyek dan pusat seluruh ciptaan tidak bisa sembarangan menggunakan dominasinya untuk merusak ciptaan Tuhan yang diperuntukkan bagi kehidupan. Merusak hutan dan melakukan pencemaran lingkungan berarti ikut menebar ”budaya kematian”. Dengan semakin berkurangnya keragaman hayati (biodiversity), meluasnya erosi tanah subur, kritisnya endapan air, dan kian tipisnya tanah subur membuat kelangsungan hidup kian terancam.

1.1.1.64

b. Revisi Konsep Sumber Daya Alam dan

Pemanfaatannya

Salah satu penyebab mencuatnya bencana akhir-akhir ini adalah akibat pengertian yang salah tentang pemanfaatan sumber daya alam. Sejak Orde Baru hingga kini, pengelolaan sumber daya alam dilakukan atas dasar pengertian bahwa sumber daya alam tidak lebih dari sekedar komoditas. Sumber daya alam hanya dilihat sebagai kayu, rotan, ikan, udang, emas, dan minyak; tidak lebih dari komoditas ekonomi yang bisa dikuras sampai habis atau dimanfaatkan untuk memperoleh hasil ekonomi ataupun keuntungan yang maksimal.

Selama ini terjadi reduksi pengertian sumber daya alam (natural resource) karena tidak melihatnya sebagai unsur-unsur penting yang mempunyai fungsi lingkungan, aset masa depan, aset alam yang memiliki keterkaitan dengan kehidupan manusia. Akibat tidak adanya pertimbangan tersebut, semua kebijakan dan pengaturan hanya sebatas pada cara pemanfaatan dan pengusahaan komoditas tadi, yang konkretnya dalam bentuk pemberian izin pengusahaan jenis-jenis sumber daya alam yang bernilai ekonomi tinggi, seperti minyak, gas bumi, dan kayu. Akibatnya sumber daya alam yang tidak terbarukan itu dikuras hingga tidak ada yang tersisa untuk generasi mendatang

136

(over exploitation). Sementara itu, sumber daya alam yang terbarukan tidak mampu lagi diperbaharui karena lingkungan dan habitatnya sudah rusak. Inilah permasalahan utama yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.

Cara pandang yang reduksionis dan eksploitatif ditunjukkan oleh kebijakan dan pendekatan birokrasi pemerintah yang mengelola sumber daya alam secara sektoral, dimana untuk masing-masing sumber daya alam dibuatkan aturan undang-undang yang sektoral juga. Sumber daya tambang diatur oleh undang- undang pertambangan, bahkan ada yang lebih rinci lagi, yaitu undang-undang migas, undang-undang listrik, undang-undang panas bumi, dan undang-undang pertambangan umum. Cara pendekatan ini tidak mempedulikan keterkaitan sumber daya alam satu dengan yang lain dalam satu wilayah atau kawasan. Jadi, tidak mengherankan bila dalam satu kawasan dimana sekaligus terdapat hutan, tambang, dan air, maka juga terikat dengan tiga undang-undang, tiga departemen, tiga instansi utama atau bahkan lebih banyak instansi terkait yang turut mengatur dan mengelola.

Kenyataan menunjukkan, kebijakan dan pengelolaan sumber daya alam selama ini belum menuntaskan masalah fundamental yang berkaitan dengan hak rakyat dalam penguasaan, pemilikan, pengelolaan, serta penggunaan sumber daya alam, khususnya tanah dan agraria. Padahal, sebagian terbesar dari sumber daya alam yang bernilai ekonomi tinggi itu berada di tanah dan kawasan yang disebut tanah negara, yang didiami masyarakat adat atau masyarakat lokal yang sudah ada dan mengelola tanah di situ sebelum negara ini ada. Akan tetapi hak mereka (masyarakat hukum adat) seringkali tidak diakui negara, apalagi dilindungi. Hal serupa berlaku dalam menetapkan hutan lindung. Kawasan konservasi ini ditetapkan oleh negara atau pemerintah tanpa memperhitungkan bahwa terdapat masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut dan mempunyai kepentingan dan hak atas hutan lindung itu. Selama hak masyarakat atas berbagai sumber daya alam belum teratasi dan belum ada penyelesaian kesepakatan antara negara dan masyarakat, maka selama itu juga kerusakan lingkungan sulit untuk dihindari. Masalah lainnya adalah pembagian hasil dari pemanfaatan sumber daya alam yang tidak adil. Pemerintah memperoleh pendapatan dari pajak dan nonpajak dari bagi hasil pemanfaatan sumberdaya. Pengusaha memperoleh dari rantai ekonomi yang terbesar, sedangkan masyarakat daerah selama ini hanya sebagai pekerja dan hampir tidak menerima manfaat langsung. Selain itu, hasil dari pemanfaatan kekayaan alam tidak diwujudkan sebagai modal dasar untuk pengembangan daerah dan penguatan sosial ekonomi masyarakat setempat.

137

Sebagai akibatnya masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar di tempat- tempat eksploitasi sumber daya alam itu, di kawasan hutan, dan pulau kecil tidak mempunyai kemampuan untuk mencari pendapatan alternatif. Dengan demikian, mereka terdorong untuk merambah dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada untuk dapat bertahan hidup (survival strategy).

1.1.1.65

c. Perluasan Pemangku Kepentingan:

Partisipasi PT, LSM, dan TNI dalam