• Tidak ada hasil yang ditemukan

Actor-Network heory dan Implementasi e-government: Analisis Sosio-teknologi Actor-Network heory

Dalam dokumen IRE Yogyakarta | Mandatory Edisi 10 vol 2 : (Halaman 104-109)

Heeks (2003) menyatakan bahwa 85% proyek e-government di negara berkembang gagal, dalam berbagai level (gagal total atau gagal sebagian). Hanya 15% saja dari seluruh proyek itu yang dianggap berhasil. Pembahasan mengenai hambatan untuk mencapai keberhasilan e-government menjadi topik yang menarik ilmuwan (Lyytinen and Hirschheim 1987; Sauer 1999; Myers, 1994;Furuholt & Wahid, 2008; Sujarwoto & Nugroho, 2011). Myers (1994) memberikan wawasan tentang proses kegagalan sebuah proyek e-government, khususnya dengan memusatkan perhatian pada interaksi manusia dengan teknologi. Menurut Myers dalam Stanford (2007), kegagalan tersebut dapat disebabkan karena para aktor yang terlibat terlalu memfokuskan pada pengembangan teknologi dan melupakan aspek non teknis/manusia.

Sebagai contoh, pengertian e-government yang terlalu menekankan pada penggunaan TIK, hanya akan membawa fokus pada proses input-output dari

teknologi tersebut. Para pengambil keputusan atau kelompok yang terlibat umumnya melupakan fungsi dan tujuan penggunaan teknologi tersebut. Oleh karena itu, pemahaman mengenai bagaimana interaksi antara aspek teknis dan non teknis (manusia, organisasi) perlu dilakukan. Teori jaringan-aktor (actor network theory/ANT) memberikan cara untuk memahami hal tersebut.

Actor-Network heory (ANT)  berkembang sejak pertengahan 1980-an melalui riset-riset empiris oleh Bruno Latour (1987), Michel Callon (1986), dan John Law (1987). ANT melihat pekerjaan sains secara fundamental tidak berbeda dari aktifitas-aktifitas sosial. Kerangka konseptual ANT adalah mengeksplorasi proses-proses kolektif dari sosioteknis. ANT menggunakan prinsip simetri umum untuk menjelaskan fenomena sosial dan bukan  berangkat dari pendekatan-pendekatan determinisme sosial, baik makro maupun mikro. Prinsip yang ke dua adalah heterogenitas utama, dimana sebuah analisis  berangkat dari jaringan yang memiliki unsur-unsur manusia maupun non manusia, yakni artefak material. Entitas sosial dan entitas teknik merupakan realitas tunggal yang membentuk jaringan aktor.

Terdapat beberapa konsep penting dalam ANT, yaitu aktor/aktant dan jaringan (network). Aktor mendeinisikan hubungan antara satu sama lain dengan perantara: seorang aktor pencipta perantara dan menuliskan makna sosial ke dalamnya. Perantara menggambarkan jaringan sekaligus menyusun jaringan tersebut dengan memberi mereka bentuk (Callon, 1991). Aktor biasanya ditemukan dalam bentuk teks, artefak teknis, uang, atau keterampilan manusia. Jaringan adalah keterkaitan antara manusia, komponen teknologi, organisasi atau badan-badan teknologi (technology bodies) yang memiliki kepentingan terkait (Walsham & Sahay, 1999).

ANT mendasari kerangka kerja konseptualnya dengan suatu pandangan kemenjadian (in the becoming), melalui serangkaian translasi dalam konigurasi- konigurasi relasi (Callon, 1991). Hal yang fundamental bagi ANT bukanlah keadaan (state) melainkan gerak. Keberadaan entitas sosial merupakan keberadaan yang bersifat performatif, para aktor  itulah yang memberikan keberadaan

entitas sosial melalui kinerja (performance) mereka. Tetapi ini bukan berarti bahwa keberadaan entitas sosial mendahului keberadaan aktor-aktor dan aksi- aksi mereka. Entitas sosial mengalami penyusunan, pembongkaran dan penyusunan kembali secara terus menerus melalui performance yang berlapis- lapis.

Cara pandang ANT yang khas tentang aksi dan aktor adalah adanya keagenan manusia dan non-manusia (objek-objek teknis) (Callon and Law, 1989; Callon, 1991). Perbedaan mendasar dari keagenan manusia dan non- manusia (objek-objek teknis) adalah agen manusia memiliki pilihan-pilihan, memutuskan pilihan-pilihan, dan mengharapkan sesuatu dari aksi-aksinya. Sebaliknya, agen non-manusia (material) tidak memiliki pilihan-pilihan. ANT memandang perbedaan ini tidak relevan dalam analisis empiris atas aksi. Untuk tujuan analisis, atribut aksi dapat diberikan juga pada objek-objek teknis. Penyebabnya, meski manusia sebagai inisiator aksi, proses beraksi tidak sepenuhnya berada dalam kendali inisiator tersebut. Perantara manusia dan non-manusia memberikan efek-efek tertentu yang memengaruhi aktor  manusia. Karena agen-agen manusia dan non-manusia sama-sama memberikan kontribusi ke dalam aksi, maka analisis atas aksi harus memperlakukan keduanya secara simetris.

Semua unsur manusia dan non-manusia berperan dalam memelihara keutuhan jaringan. Jaringan heterogen adalah hal yang fundamental bagi ANT. Jaringan dan aksi merupakan suatu yang tidak terpisahkan. Suatu aksi mendapat sumbernya dari jaringan dan suatu jaringan terbentuk dari aksi-aksi. Dalam perspektif teoritis yang ditawarkan ANT, entitas sosial dan entitas teknis adalah dua aspek yang dari sebuah realitas tunggal: jaringan aktor.

ANT menganalogikan jaringan-aktor yang stabil seperti sebuah black box dalam pesawat (Priyatma, 2011). Ketika terjadi masalah dalam penerbangan, sebuah kotak hitam dapat dibuka dan diperlakukan sebagai aktor untuk keperluan analisis interaksi yang terjadi selama penerbangan. Dalam kajian ANT, upaya untuk membuka kotak hitam dilakukan melalui pemahaman

translasi (translation). Translasi adalah proses membentuk suatu jaringan. Callon (1991) mengelompokan translasi ke dalam empat momen sebagai berikut:

1. Momen problematisasi (moment of problematization) adalah ketika suatu isu atau masalah dihadirkan oleh sebuah aktor (inisiator aksi) untuk menjadi perhatian aktor-aktor lain, dan ditransformasikan ke dalam masalah-masalah yang dideinisikan oleh aktor-aktor lain. Ak- tor yang menginisiasi aksi tersebut berupaya mentranslasikan aktor- aktor lain dengan cara mengangkat isu tersebut.

2. Momen penarikan (moment of interessment) yaitu apabila momen problematisasi berhasil, para aktor yang terstimulasi mungkin akan mengikuti inisiasi tersebut atau justru menolak. Inisiator aksi melan- jutkan inisiasinya dengan berupaya meyakinkan aktor-aktor yang lain, bahwa apa yang diinisiasinya adalah penting bagi yang lain. 3. Momen pelibatan (moment of enrollment ) adalah saat para aktor mu- adalah saat para aktor mu-

lai saling mendelegasikan satu terhadap yang lain, dan saling menja- jaki kompetensi. Saat itu berbagai bentuk  resistensi mulai teratasi. Apabila momen berhasil, aktor-aktor saling berperan satu terhadap yang lain.

4. Momen mobilisasi (moment of mobilization) terjadi kala jaringan- aktor telah mendapatkan wujudnya, memiliki eksistensi temporal (bersifat durable) dan eksistensi spasial. Para aktor dan mediator telah sampai pada suatu keadaan konvergen, meski hakekatnya heterogen.

E-government dan Peningkatan Pelayanan Publik

Semangat pelayanan publik yang transparan dan akuntabel untuk mencapai good governance, diwujudkan melalui pemanfaatan TIK dalam pemerintahan. TIK dalam pemerintahan ini diwujudkan dalam bentuk pengembangan e-government. he World Bank Group mendeinisikan E-government sebagai,

E-government refers to the use by government agencies of information technologies (such as Wide Area Networks, the Internet, and mobile computing) that have the ability to transform relations with citizens, businesses, and other arms of government.

Sedangkan menurut Kementerian Informasi dan Komunikasi e-government adalah:

Upaya untuk mengembangkan penyelenggaraan kepemerintahan yang berbasis (menggunakan) elektronik dalam rangka meningkatkan kualitas layanan publik secara efektif dan eisien.

Pada intinya e-government adalah penggunaan teknologi informasi yang dapat meningkatkan hubungan antara Pemerintah dan pihak-pihak lain. Penggunaan teknologi informasi ini kemudian menghasilkan hubungan bentuk baru seperti: G2C (Government to Citizen), G2B (Government to Business Enterprises), dan G2G (inter-agency relationship).

Pengembangan e-government dapat diklasiikasikan berdasarkan tingkat kompleksitas pengembangan dan fasilitas yang disediakan untuk melayani masyarakat. Beberapa institusi dan pakar telah mengemukakan pendapat tentang level pengembangan e-government. Namun, pada intinya, level pengembangan e-government terdiri dari 4 level (Rokhman, 2008).

1. Level informasi: e-government hanya digunakan untuk sarana pub- likasi informasi pemerintah secara online, misalnya proil daerah, per- aturan, dokumen, dan formulir.

2. Level interaksi: e-government sudah menyediakan sarana untuk inter- aksi dua arah antara pejabat pemerintah dengan masyarakat sebagai pengguna layanan publik, misalnya dalam bentuk sarana untuk me- nampung keluhan, forum diksusi, atau hotline nomor telepon atau email pejabat.

3. Level transaksi: e-government sudah menyediakan sarana untuk ber- transaksi bagi masyarakat dalam menggunakan layanan publik, yakni transaksi yang melahirkan kesepakatan yang dapat disertai dengan

pembayaran sebagai akibat dinikmatinya layanan publik yang telah digunakan. Misalnya transaksi untuk pembayaran pajak atau retibusi. 4. Level integrasi: semua pelayanan publik yang disediakan oleh pemer- intah disamping disediakan secara konvensional juga disediakan se- cara online melalui e-government.

Perkembangan dan Inisiatif Pengembangan E-government di desa

Dalam dokumen IRE Yogyakarta | Mandatory Edisi 10 vol 2 : (Halaman 104-109)