• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transparansi dan Partisipasi: Hak Politik Warga dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

Dalam dokumen IRE Yogyakarta | Mandatory Edisi 10 vol 2 : (Halaman 71-77)

Pada Deklarasi Universal dan Kovenan tentang Hak-Hak Sipil dan Politik tercakup sejumlah hak dasar manusia, salah satu di antaranya menyangkut aspek komunikasi dan informasi, yaitu hak untuk menyampaikan pendapat serta mencari, menerima, dan memberikan informasi melalui sejumlah media yang tersedia. Kebebasan memperoleh informasi dan menyampaikan aspirasi dengan demikian adalah hak asasi manusia yang bersifat mendasar dan berlaku universal (CGG, 2006; Mendel, 2003). Setiap individu memiliki hak untuk memperoleh informasi dan menyampaikan aspirasi. Karena itu semestinya telah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk membuka informasi dan memberikan kemudahan setiap warganya untuk mengakses informasi dan juga menyampaikan aspirasi mengenai penyelenggaraan pemerintahan. Keduanya merupakan bagian penting dari pemenuhan hak warga untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Hak politik warga untuk mengetahui (the right to know) dan untuk berpartipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan hanya akan terpenuhi ketika penyelenggaraan pemerintahan berlangsung secara transparan dan partisipatif. Transparansi dan partisipasi adalah dua karakteristik penting dari penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). Pemerintahan yang transparan dan partisipatif harus diwujudkan bukan hanya sekadar untuk memenuhi regulasi atau peraturan perundangan, namun yang lebih esensial sebenarnya adalah untuk memenuhi hak politik warga.

Transparansi merupakan konsep yang menunjukkan kemudahan warga untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, seperti anggaran, peraturan daerah, program dan proyek (Agus Dwiyanto, 2006; 2007). Sedangkan Florini (dalam Bellver & Kaufmann, 2005), melihat transparansi sebagai publikasi informasi oleh institusi, khususnya informasi yang relevan digunakan untuk mengevaluasi institusi itu sendiri, yaitu informasi mengenai kinerja institusi.

Transparency as a mechanism to promote accountability assumes both the right and the capacity to articulate accountability demands. It assumes the capability and willingness of political-economic institutions to provide information that is relevant to evaluate their performance and citizen’s capacity to interrogate that information and demand accountability (Bellver & Kaufmann, 2005: 20).

OECD memaparkan konsep yang mengandung pengertian lebih luas yaitu dengan menggunakan istilah pemerintahan terbuka (open government). Konsep keterbukaan pemerintah menurut OECD tidak hanya sekadar bersikap transparan, tetapi juga mencakup aspek aksesibilitas dan responsivitas di dalam relasi antara pemerintah dan warga yang dilayaninya. Transparan dalam arti setiap tindakan pemerintah dapat dicermati oleh publik; aksesibel dalam arti setiap tindakan pemerintah tersebut dapat diketahui oleh setiap orang, setiap saat, dan di manapun; serta responsif atau tanggap terhadap ide dan kebutuhan publik yang baru (OECD, 2005). Dengan demikian, pemerintahan terbuka di sini dimaknai sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan secara transparan dan melibatkan warga dan pemangku kepentingan sejak pengambilan keputusan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi kebijakan atau program terutama yang menyangkut kepentingan publik.

Berbagai pengertian mengenai transparansi di atas menunjukkan sejumlah kata kunci yaitu keterbukaan pemerintah, ketersediaan informasi, kemudahan bagi publik untuk mengakses informasi, dan untuk mendukung terwujudnya transparansi ini pemerintah perlu mengembangkan keterlibatan publik dan harus responsif terhadap kebutuhan publik. Transparansi ini merupakan jawaban

atas hak asasi manusia untuk mendapatkan informasi secara bebas, yang perlu mendapatkan jaminan kepastian hukum.

Freedom of information should be guaranteed as a legal and enforceable right permitting every individual to obtain records and information held by the executive, the legislative and the judicial arms of the state, as well as any government owned corporation and any other body carrying out public functions (Mendel, 2003: 4-5). Sangat dekat dengan konsep transparansi dan juga relevan dengan manivestasi penggunaan hak asasi manusia lainnya adalah voice.Voice adalah penyampaian aspirasi yang mencakup keluhan, protes yang terorganisasi, melobi, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan dan penyelenggaraan layanan dari warga untuk menekan penyedia layanan agar memberikan layanan yang lebih baik (Goetz & Gaventa, 2001; Hirschman, 1970). Kinerja tata pemerintahan berdimensi luas, dan salah satu dimensi yang penting untuk dilihat adalah kemampuan pemerintah dalam memenuhi hak politik warga untuk mendapatkan informasi, berpartisipasi, dan menyampaikan aspirasi dalam penyelenggaraan pemerintahan (Agus Dwiyanto, 2007).

Di sini terlihat jelas bahwa antara transparansi dan voice memiliki keterkaitan yang sangat erat. Penyampaian aspirasi, keluhan, atau protes warga terhadap penyelenggaraan pemerintahan (voice) merupakan manivestasi dari penggunaan hak asasi manusia untuk berekspresi dan menyampaikan aspirasinya. Penggunaan hak menyampaikan aspirasi ini memerlukan dukungan dari penjaminan hak atas kebebasan mendapatkan informasi. Voice tidak akan berkembang jika transparansi belum dikembangkan dengan baik.

Transparansi dan voice ini memiliki nilai strategis dalam upaya mewujudkan tata pemerintahan yang baik melalui penguatan kapasitas warga dalam memenuhi haknya untuk mengetahui, mengkritisi dan mengontrol setiap kebijakan yang diambil pemerintah. Sejumlah hasil studi menunjukkan kontribusi dari transparansi dalam memperbaiki berbagai dimensi dan indikator tata pemerintahan yang baik lainnya (Islam, 2003; Bellver & Kaufmann, 2005). Di dalam laporan

hasil studi Roumeen Islam (2003) terlihat data yang relevan sebagai indikator untuk masing-masing dimensi tata pemerintahan yang baik memiliki hubungan yang kuat dengan kualitas transparansi1.

Islam (2003) explores how information lows improve governance and institutional quality in 169 countries. Her regression analysis shows that countries which provide better economic information in terms of quantity and quality also govern better for a wide number of governance indicators such as government efectiveness, regulatory burden, control of corruption, voice and accountability, the rule of law, bureaucratic eiciency (from Kaufmann and Kraay) and contract repudiation and expropriation risk. (Bellver & Kaufmann, 2005: 10)

Apabila pemerintah dapat bersikap transparan dalam mengelola kekuasaan maka partisipasi publik, akuntabilitas, efektivitas pemberantasan korupsi, dan penegakan hukum, yang juga merupakan ciri penting lainnya dari tata pemerintahan yang baik, memiliki peluang yang lebih baik untuk terwujud (Islam, 2003; Agus Dwiyanto, 2006: 227-230). Partisipasi publik dalam penyelenggaraan pemerintahan dapat berlangsung apabila penyelenggaraan pemerintahan berlangsung secara terbuka (Agus Dwiyanto, 2006; Pasquier & Villeneuve, 2007). Warga akan bersedia dengan penuh kesadaran terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan apabila rasa memiliki (sense of belonging) melingkupi semangat warga. Semangat dan rasa memiliki dari warga ini dapat tumbuh dan berkembang hanya apabila warga mengetahui aturan main dan konsekuensi (hak dan kewajiban) untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Transparansi juga memiliki relevansi dengan pertanggungjawaban pemerintah terhadap publik (Piotrowski & Ryzin, 2007; Florini dalam Bellver & Kaufmann, 2005; Islam, 2003). Piotrowski & Ryzin (2007: 307) mengungkapkan 1 Roumeen Islam menggunakan dua ukuran di dalam menilai kualitas transparansi di 169 negara, yaitu berdasarkan pada kepemilikan atau keberadaan UU keterbukaan informasi (freedom of information laws) pada setiap negara dan frekuensi keterbukaan informasi atau data mengenai kondisi perekonomian pada setiap negara (Islam, 2003).

bahwa “Access to information is a central component of governmental transparency, and governmental transparency is one tool to achieve accountability”. Salah satu ciri dari tata pemerintahan yang baik adalah setiap tindakan pemerintah dalam menyelenggarakan pembangunan maupun pelayanan publik dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Transparansi memiliki peran penting dalam pengembangan akuntabilitas publik karena apabila penyelenggaraan pemerintahan berlangsung secara terbuka maka pemerintah setidak-tidaknya telah mempermudah warga untuk mengetahui tindakannya, rasionalitas dari tindakan itu, serta menilai tindakan itu dengan membandingkannya terhadap sistem nilai, kebutuhan, dan kepentingan publik.

Governmental transparency can be deined as the ability to ind out what is going on inside a public sector organization through avenues such as open meetings, access to records, the proactive posting of information on Web sites, whistle-blower protections, and even illegally leaked information. Without governmental transparency and freedom of information, it is much more diicult to hold elected and appointed oicials accountable for their actions. (Piotrowski & Ryzin, 2007: 308)

Kebijakan publik sudah semestinya ditujukan untuk mengatasi permasalahan publik dan memenuhi kebutuhan publik. Karena itu, setiap tindakan pemerintah yang ditujukan untuk keperluan publik dengan menggunakan sumberdaya dari publik sudah seharusnya atas sepengetahuan dan telah dikonsultasikan dengan publik sejak direncanakan, dilaksanakan, hingga dievaluasi.

Transparansi juga berperan besar dalam upaya pemberantasan korupsi (United Nations, 2008a; Bellver & Kaufmann, 2005). Apabila penyelenggaraan pemerintahan berlangsung secara transparan maka pemberantasan praktik korupsi dan berbagai penyakit lainnya yang sudah berurat akar dalam sistem birokrasi dapat dilakukan secara lebih efektif. Pejabat publik akan bekerja lebih profesional karena apapun yang diputuskan dan dilakukannya dalam mengelola sumberdaya publik beserta kinerjanya dapat dikontrol oleh publik. Bukti mengenai peran strategis keterbukaan penyelenggaraan pemerintahan dalam

76-78). Negara-negara yang terbuka dalam penyelenggaraan pemerintahan cenderung dinilai lebih memiliki kemampuan dalam mengendalikan korupsi. Sebaliknya, negara-negara yang cenderung terbatas dalam menyediakan informasi bagi warganya memiliki masalah dalam mengendalikan korupsi.

Sementara itu, kepercayaan dari publik sangat penting untuk dimiliki oleh pemerintah agar warga bersedia memberikan dukungan dan berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan sehingga pemerintahan dapat berlangsung lebih efektif (United Nations, 2008a: 41; Marlowe dalam Piotrowski & Ryzin, 2007: 320). Namun kepercayaan dari publik ini dapat dimiliki oleh pemerintah hanya apabila pemerintah mampu memperbaiki kualitas hubungannya dengan warga.

Strengthening relations with citizens is a sound investment in better policy-making and a core element of good governance. It allows government to tap new sources of policy-relevant ideas, information and resources when making decisions. Equally important, it contributes to building public trust in government, raising the quality of democracy and strengthening civic capacity. (OECD, 2001a: 18; OECD, 2001b: 1) Menurut Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD), untuk memperkuat relasi dengan warga terdapat tiga tahapan yang perlu diperbaiki oleh pemerintah, yaitu (OECD, 2001a; OECD, 2001b):

(1) One-way relation, dengan mendiseminasikan informasi pe- nyelenggaraan pemerintahan yang lebih berkualitas (lebih lengkap, objektif, reliabel, relevan, dan mudah dipahami) atas inisiatif pemerintah (active) maupun permintaan warga (passive), misalnya melalui penyediaan rekaman publik, terbitan resmi pemerintah, atau websiteresmi pemerintah. Di sini intinya pemerintah harus bersikap lebih transparan;

(2) limited two-way relation, dengan menyelenggarakan konsultasi publik

yaitu memfasilitasi warga untuk menyampaikan aspirasinya dalam pembuatan kebijakan, misalnya memberikan kesempatan kepada warga untuk mengomentari draft legislasi atau menyelenggarakan

survey pendapat publik;

(3) advanced two-way relation, yaitu mendorong partisipasi aktif warga dengan melibatkan warga dalam proses pengambilan keputusan (decision-making) dan pembuatan kebijakan (policy-making), seperti melalui proses dialog atau bahkan kelompok kerja yang bersifat terbuka bagi publik.

Ketiga tahapan tersebut harus dikembangkan untuk memperkuat kapasitas warga dalam mengontrol penyelenggaraan pemerintahan. Meningkatnya kapasitas warga untuk mengkritisi dan menyampaikan aspirasinya akan membuat proses penyelenggaraan pemerintahan menjadi semakin akuntabel (OECD, 2001a, 2001b; Agus Dwiyanto, 2006; 2007; United Nations, 2008a). Menguatnya kapasitas warga dalam mengkritisi jalannya pemerintahan juga cenderung membuat kebijakan pemerintah menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan dan kepentingan warga. Ketika penyelenggaraan pembangunan dan pelayanan publik mampu memenuhi kebutuhan dan kepentingan warga, maka kepercayaan (trust) dari warga dan pemangku kepentingan terhadap pemerintah akan semakin menguat. Hanya dengan dukungan dan kepercayaan yang tinggi dari warga dan pemangku kepentingan, penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan efektif dan tata pemerintahan yang baik dapat diwujudkan.

Dalam dokumen IRE Yogyakarta | Mandatory Edisi 10 vol 2 : (Halaman 71-77)