• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menakar Kualitas Website Pemerintah di Indonesia

Dalam dokumen IRE Yogyakarta | Mandatory Edisi 10 vol 2 : (Halaman 83-86)

Meskipun semua institusi pemerintah pusat dan hampir semua institusi pemerintah daerah di Indonesia memiliki website, sampai dengan saat ini masih sedikit website pemerintah yang dikelola secara optimal. Sebagian besar masih sebatas memanfaatkan website hanya sebagai papan informasi. Itupun tidak terkelola dengan baik yang terlihat dari urgensi dan kebaruan informasi yang ditampilkan di website. Hanya sedikit institusi pemerintah yang menampilkan informasi penting dan baru terkait penyelenggaraan pemerintahan, sedangkan sebagian besar lainnya hanya menampilkan informasi yang tidak relevan atau informasi yang relevan dan penting namun sudah kadaluwarsa.

Jumlah website pemerintah yang dapat dianggap baik semakin sedikit apabila kita melihat ketersediaan dan keberfungsian dari fasilitas bagi warga untuk menyampaikan aspirasinya. Dari karakteristik fasilitas interaksi yang

disediakan oleh beberapa website pemerintah terlihat bahwa masih sedikit institusi pemerintah yang memanfaatkan Web 2.0 atau Gov 2.0.

Pada 2009 penulis telah melakukan penelitian terhadap website-website yang dikelola oleh pemerintah daerah yang dinilai memiliki praktik yang baik dan mendapatkan penghargaan dalam mengembangkan e-government serta website-website yang dikelola oleh pemerintah daerah yang menjadi pelopor dalam memiliki regulasi daerah (perda) yang menjamin keterbukaan informasi. Pemerintah sendiri memberlakukan UU Keterbukaan Informasi Publik pada 2010 sehingga sejumlah pemerintah daerah yang telah memiliki perda transparansi sebelum 2010 dapat dianggap memiliki inisiatif dan komitmen yang lebih memadai dibandingkan pemerintah daerah lainnya. Terdapat sejumlah temuan menarik dari hasil melakukan pengamatan sistematis (content analysis) terhadap 28 website pemerintah daerah yang dipilih berdasarkan dua kriteria di atas.

Kondisi website yang dikelola oleh pemerintah daerah tersebut secara umum masih minimalis untuk disebut sebagai media transparansi dan partisipasi. Namun analisis komparatif di antara website yang diteliti menunjukkan pola yang menarik. Pemkab Kebumen dan Bantul, yang termasuk sebagai pelopor perda transparansi dan pernah dinilai sebagai teladan dalam pengembangan e-government, terlihat telah memanfaatkan websitenya sebagai media transparansi secara lebih baik dibandingkan pemerintah daerah lainnya. Banyak informasi penyelenggaraan pemerintahan yang penting dan baru ditampilkan di website Pemkab Bantul dan Kebumen. Terdapat sepuluh websitelainnya yang termasuk dalam kategori cukup memadai, yaitu website milik Pemkab Bulukumba, Pemkab Lamongan, Pemkab Magelang, Pemkab Tanah Datar, Pemkab Bandung, Pemkot Yogyakarta, Pemprov Jawa Timur, Pemkab Ngawi, dan Pemprov DIY. Sementara 17 websitelainnya termasuk dalam kategori kurang memadai sebagai media transparansi (Puguh Prasetya Utomo, 2010).

Lima websitelainnya yang peringkatnya di bawah websitePemkab Bantul dan Kebumen merupakan websiteyang dikelola oleh pemerintah daerah yang juga menjadi pelopor dalam memiliki perda yang menjamin keterbukaan

informasi, yaitu Pemkab Bulukumba, Pemkab Lamongan, Pemkab Magelang, Pemkab Tanah Datar, dan Pemkab Bandung. Hal ini mengindikasikan pemda yang menjadi pelopor perda transparansi memiliki komitmen yang lebih baik dalam memanfaatkan websitesebagai media untuk mendiseminasikan dan mentransparansikan informasi penyelenggaraan pemerintahan.

Meskipun dinilai unggul dibandingkan website yang dikelola oleh pemerintah daerah lainnya, website-website pemerintah daerah tersebut sebenarnya masih belum begitu memadai dalam menyediakan informasi penyelenggaraan pemerintahan. Masih banyak website yang menampilkan informasi yang kurang relevan dengan penyelenggaraan pemerintahan. Informasi yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan lebih banyak tentang pelayanan publik, sedangkan informasi tentang kebijakan, anggaran, pengadaan barang/jasa, pengawasan, dan DPRD tersedia secara tidak memadai atau bahkan tidak tersedia sama sekali (Puguh Prasetya Utomo, 2010).

Informasi tentang kebijakan lebih banyak menampilkan peraturan daerah dan peraturan bupati/walikota, bukan rancangan kebijakan untuk dikonsultasikan kepada publik. Publikasi informasi tentang anggaran bervariasi mulai dari sekadar ringkasan APBD, anggaran setiap institusi hingga dokumen lengkap APBD yang berisi rumusan kalimat dan angka-angka yang tidak mudah dipahami oleh masyarakat. Bahkan sulit memastikan apakah ada warga yang akan menyempatkan diri untuk membaca dan mencermati dokumen anggaran yang tebal atau soft copy yang berukuran besar. Terkait anggaran, informasi yang lebih penting untuk ditampilkan adalah ringkasan informasi yang lebih bermakna seperti sektor apa yang mendapatkan anggaran paling besar sehingga masyarakat bisa mengetahui keberpihakan pemerintah terhadap sejumlah sektor strategis, seperti pendidikan, kesehatan, pertanian, pasar tradisional, UMKM, dan sebagainya. Atau, informasi yang lebih jelas tentang apa sebenarnya yang akan dilakukan dan dibiayai oleh pemerintah sehingga masyarakat dapat menilai apakah pemerintah sebenarnya telah mengalokasikan sumberdayanya untuk memperhatikan kepentingan masyarakat ataukah tidak.

Informasi yang lebih penting lainnya adalah informasi tentang bagaimana pemerintah mempertanggungjawabkan penggunaan sumberdayanya atau kinerja pemerintah. Kalaupun ada informasi tentang kinerja pemerintah biasanya juga hanya sebatas daya serap anggaran atau seberapa banyak anggaran yang terbelanjakan. Informasi tersebut sebenarnya tidak bisa digunakan sebagai ukuran kinerja pemerintah karena apa sebenarnya yang dihasilkan oleh pemerintah dengan menghabiskan anggaran publik tidak dapat diketahui secara pasti.

Meskipun banyak pemerintah daerah telah mengklaim menerapkan e-procurement atau pengadaan barang/jasa secara elektronik, informasi yang ditampilkan pada website tidak dapat digunakan untuk mengontrol apakah pemilihan dan penentuan rekanan pengadaan barang/jasa dilakukan secara fair dan wajar. Itu karena informasi yang ditampilkan hanya tentang proil barang/ jasa yang diperlukan, daftar calon rekanan, dan pengumuman rekanan yang dipilih. Tidak ada informasi tentang proil dari masing-masing rekanan yang lengkap, pemenuhan dan kesesuaian persyaratan dari masing-masing calon rekanan, serta penjelasan yang memadai tentang mengapa rekanan tertentu yang dipilih di antara rekanan-rekanan yang mengajukan. Tanpa informasi tersebut, publik tidak dapat menilai kewajaran proses penentuan rekanan.

Website-website yang relatif unggul sebagai media transparansi

Dalam dokumen IRE Yogyakarta | Mandatory Edisi 10 vol 2 : (Halaman 83-86)