• Tidak ada hasil yang ditemukan

Praktik Diskursif dan Konsekuensinya

Dalam dokumen IRE Yogyakarta | Mandatory Edisi 10 vol 2 : (Halaman 34-40)

Lantasdengan ketertundukan pada disiplin-disiplin penalaran tersebut, apakah negara sampai mendistorsi fungsinya sendiri? Inilah pertanyaan terpenting yang harus kita periksa kembali dengan membedah sampai detil-detil kebijakan yang dibuat oleh negara. Sebagai bahan uji ada baiknya kita periksa program legislasi nasional (prolegnas) yang sedang membahas RUU Telekomunikasi dan Informatika, yang secara ringkas dirangkum sebagai berikut.

Tabel 2 Prolegnas 2010 – 2014 terkait RUU Telekomunikasi dan Informatika

RUU Kebijakan Perdebatan Wacana Releksi Kasus

RUU Konver- gensi Telematika

• Pasal fasilitasi kon- gomerasi media • Keadilan infrastruk-

tur bagi daerah terpencil, kalau perlu airmatif Action dari negara

• Perdebatan hak sebagai konsumen produk telema- tika atau hak sebagai warga negara

• Konglomerasi media mainstream

• Kesejangan akses infra- struktur informasi di daerah terpencil • Ancaman Jurnalisme

warga (blog atau radio komunitas) RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi • Kekhawatiran melahirkan bentuk pengekangan baru di Internet • Pasal penyadapan

• Kasus Prita Mulya Sari dan ratusan kasus lain yang serupa

• Kasus rekayasa krimi- nalisasi ketua KPK

RUU Perubahan UU ITE

• Pasal karet kriminal- isasi user Internet • Blokir dan semacam-

nya

• Banyak kasus jeratan pencemaran nama baik

• Atas nama pornograi bisa menjadi permak- luman dan normalitas Sumber: Olah data Prolegnas 2010-2014 dan berita media.

Perdebatan regulasi yang cukup hangat dimulai dari RUU Konvergensi Telematika, yang sempat bocor ke publik namun karena mendapat respon masif akhirnya pembahasannya dihentikan pada 2012 dan kemungkinan akan disatukan dengan revisi UU telekomunikasi secara keseluruhan. Kalangan aktivis gerakan masyarakat sipil, seperti Yayasan Satu Dunia dan Medialink, mengkritik bahwa RUU ini berpotensi mendistorsi kepentingan masyarakat sipil. Beberapa catatannya adalah: pertama, RUU ini menyediakan ruang yang

potensial bagi konglomerasi media (Mujtaba Handi, 2012), karena asumsi konvergensi media dipahami terpisah, sehingga, satu orang dengan kepemilikan banyak di berbagai platform dimungkinkan, bahkan dapat diperjualbelikan dengan mudah atas izin menteri. Ketakutannya adalah, informasi yang disajikan akan terdistorsi menyesuaikan kepentingan pemilik media, sedangkan di sisi lain makna publik (dalam hal ini sebagai konsumen) akan juga terdistorsi menjadi sekedar rating. Kedua, negara masih beretorika dengan usaha menciptakan keadilan infrastruktur, karena meskipun sudah mengatur kewajiban pemerintah membangun infrastruktur, namun tidak ada hak gugat jika negara lalai (kritik satudunia.net). Ketiga, soalperijinan dan biaya hak penyelenggaraan (BHP), yang ternyata juga diperlakukan kepada lembaga non-proit, sangat mungkin akan mengontrol bahkan membunuh gerakan masyarakat sipil. Sebagai contoh, jurnalisme warga melalui blog, sosial media dan juga radio penyiaran berbasis Internet, yang semuanya dapat dikategorikan ‘penyelenggara aplikasi penyebaran konten dan informasi’, harus memperoleh izin dan membayar BHP (kritik satudunia.net).

Di sisi yang lain, ketakutan bahwa regulasi-regulasi yang baru akan menjadi alat baru untuk melakukan pemenjaraan pada masyarakat adalah sebuah kewajaran. Kekhawatiran RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi (TiPiTI) akan berubah menjadi alat penghukum baru, berangkat dari fakta bahwa UU ITE pernah menjadi alat untuk melakukan pemenjaraan. Salah satu kasus momentual adalah dipenjarakannya seorang ibu rumah tangga Prita Mulyasari, karena mengeluh di email soal pelayanan rumah sakit Omni. Prita di penjarakan dengan dijerat pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (3) tentang pencemaran nama baik, dengan ancaman penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1 milyar rupiah. Untung saja, komunitas dunia maya juga membangun opini perlawanan yang kuat bahkan tergerak untuk membuat aksi ke dunia nyata dengan mengumpulkan koin untuk Prita, hingga terkumpul Rp 825.728.550,- yang sedianya untuk membayar denda 204.000.000,- untuk RS Omni. Ini menunjukkan bahwa pasal-pasal

karet (haatzai artikelen) warisan kolonial ini seakan sengaja dipelihara karena sifatnya yang subyektif, lentur dan mudah diintrepretasikan menurut logika pengacara dan hakim.

Mengamati perdebatan diatas, bisa kita pahami bahwa kerangka pemahaman teknologi informasi dan komunikasi sebagai arena baru dalam relasi negara dan masyarakat, masih dipahami dalam nalar lama yang konvensional. Sebuah nalar ketidakpercayaan negara kepada masyarakat dan ketidakpercayaan masyarakat kepada negara. Sehingga, arena-arena baru yang tercipta di dunia telematika, menjadi ruang perebutan makna yang diskursif antara masyarakat dan negara. Masyarakat menghadapkan demokrasi versus kriminalisasi, begitu juga negara menghadapkan ketertiban versus anarkhi, yang keduanya dibangun dari kecurigaan. Pada titik ini, proses penghadapan negara dan masyarakat tidak luput dari nalar penundukan yang pernah di bangun di masa Orde Baru. Dalam wacana ‘Pancasila’ versi Orde Baru, negara dan masyarakat diwacanakan sebagai entitas yang utuh, namun pada praktiknya negara sangat represif kepada warganya. Akibatnya, sekarang persepsi yang bertahan adalah bahwa negara tidak mungkin dapat disatukan dengan masyarakat, kesadaran ini yang melekat di masyarakat, aktivis LSM, birokrat bahkan juga para ilmuwan sosial. Parahnya lagi, nalar ini berpengaruh dalam substansi kebijakan yang dibuat negara untuk melemahkan masyarakat, begitu juga kadang kritik terhadap kebijakan itu juga dalam konteks melemahkan negara. Akibatnya wacana yang digunakan untuk merespon kebijakan hanya berkutat pada perdebatan lama dan tidak juga melahirkan inovasi regulasi yang baru. Tidak muncul pemahaman bahwa sangat mungkin negara dan masyarakat kepentingannya bertemu, untuk membendung kapitalisme media yang semakin kuat.

Perdebatan yang hanya itu-itu saja akhirnya akan melahirkan kebuntuan inovasi dalam memahami cyberspace sebagai ruang publik baru, yang banyak menghadirkan kemudahan sekaligus juga berpotensi memunculkan penyalahgunaan. Absennya nalar manajemen resiko (risk management) dari hadirnya teknologi telematika adalah gambaran buntunya inovasi-inovasi negara dalam melindungi

masyarakat. Hal sederhana, seperti penipuan ‘mama minta pulsa’ dan juga penipuan dengan rekening tertentu, negarapun gagal melakukan antisipasi atau pelacakan. Sistem pendataan yang amburadul dan bisa di manipulasi dianggap menjadi biang keladi dari proteksi negara kepada masyarakat dari kejahatan yang sangat sederhana ini. Namun anehnya, solusi Kementerian Kominfo bukannya memperbaiki sistem registrasi 4444 yang tidak jalan, namun justru menaikkan tarif SMS agar orang tidak tergoda untuk melakukan penipuan karena tarifnya yang murah.7 Pemahaman konvensional ini sama juga dengan cara memahami penyalahgunaan Internet dalam pasal karet pencemaran nama baik. Yang menjadi pertanyaan, mengapa harus penjara sebagai alat penghukum, tidakkah bisa inovasi hukuman dengan pelarangan menyentuh ‘social media’ dalam jangka waktu tertentu, yang mungkin bisa lebih efektif.

Absurditas praktik ini akan semakin parah jika berkelindan dengan nalar birokrasi para pembuat kebijakan rezim administratif yang tidak substansial. Sebagai contoh, program e-government pemerintah yang kemudian menjadi program kebijakan di masing-masing daerah, hanya menjadi sekedar formalitas belaka. Hampir semua kajian tentang pelaksanaan e-government di berbagai kabupaten/propinsi di Indonesiamenyimpulkan bahwa infrastruktur e-government itu sendiri yang dipahami sebagai tujuan, bukan sebagai ‘instrumen’ untuk menjalankan fungsi birokrasi seperti pelayanan publik dan semacamnya. Jika kita periksa kembali, nalar ini juga terdistorsi dari atas dengan hadirnya Pemeringkatan e-Government Indonesia (PeGI), dimana ukuran pretasi yang dibandingkan hanya terkait persoalan administratif. Dari 5 indikator yang dipakai PeGI, seperti8; 1) Kebijakan, 2) Kelembagaan, 3) Infrastruktur, 4) Aplikasi dan 5) Perencanaan, kesemuanya hanya mengukur kesiapan infrastruktur saja, bukan relasi baru negara dan masyarakat yang muncul dari adopsi e-government. Hal yang sama terjadi dengan program e-procurement, yangtujuan 7 Inilah Cara Kemkominfo Cegah Penipuan SMS, Jumat, 01 Juni 2012 16:23 dapat diakses di

http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/2014/Inilah+Cara+Kemkominfo+Cegah+Pe nipuan+SMS/0/sorotan_media#.Ur_KLPvpx-8.

8 http://pegi.layanan.go.id/tentang-pegi/dimensi-pemeringkatan-e-government-

awal dari adopsi sistem ini adalah untuk menciptakan efektiitas, efesiensi dan keadilan dalam proses pengadaan barang dan jasa. Namun praktik di daerah justru lain, dimana praktik penggunaan Internet untuk lelang ternyata mudah dimanipulasi untuk menyeleksi kroni-kroni tertentu saja yang secara legal dapat diterima, dengan berbagai alasan teknis, tentunya. Dari sini menjadi jelas bahwa demi peringkat yang bagus dan penyerapan anggaran yang maksimal, program e-government hanya sibuk memenuhi formalitas ukuran yang mudah dimanipulasi daripada substansi pelayanan publik.

Penutup

Uraian-uraian diatas tidak untuk menjelaskan mana yang benar dan mana yang salah, namun tentang tindakan mana yang memiliki fungsi dan mana yang tidak. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa logika pemikiran dari pembuatan kebijakan ICT di Indonesia masih terbelenggu pada nalar konvensional, dan masih sulit membayangkan atau memaknai teknologi sebagai ruang baru. Akhirnya, ketakutan untuk memberi makna baru terhadap teknologi inilah yang kemudian justru menyandarkan diri pada deinisi-deinisi negara- negara yang memproduksi instrumen teknologi, yang praktiknya lebih menyimpang lagi dengan nalar kekuasaan yang lokal. Disinilah dapat dipahami bagaimana bekerjanya pengetahuan dalam melakukan kontrol dan kedisiplinan yang memfokuskan fokus pada pemikiran tertentu daripada yang lain.

Entah disadari atau tidak, kebijakan negara kemudian banyak yang mendistorsi bukan hanya masyarakat, namun juga dirinya sendiri. Pada konteks ini misalnya adalah nalar liberal yang dipakai, di satu sisi bisa mendestruksi gerakan masyarakat sipil, namun tanpa disadari justru juga mendistorsi legitimasi dan kekuasaan negara. Dari releksi ini, penting untuk tidak dalam konteks melawan liberalisme sebagai sebuah wacana kebijakan, namun kesadaran bahwa jika pilihan kita adalah liberal maka diperlukan kesadaran akan konsekuensinya. Artinya, jika mau jadi liberal jadilah liberalis yang cerdas, dimana yang dibutuhkan adalah kesadaran membangun strategi dalam mencapai tujuan bukan konsistensi

Dalam dokumen IRE Yogyakarta | Mandatory Edisi 10 vol 2 : (Halaman 34-40)