• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepemilikan Media

Dalam dokumen IRE Yogyakarta | Mandatory Edisi 10 vol 2 : (Halaman 53-59)

Studi tentang kepemilikan media secara tidak terpublikasikan mulai dirintis oleh Ignatius Haryanto, peneliti Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Jakarta. Dialah yang rajin dan periodik melakukan update posisi kepemilikan media di Indonesia. Penelitian kemudian dilakukan oleh CIPG- HIVOS (2012) dengan dana dari he Ford Foundation. Riset itu dipimpin oleh Yanuar Nugroho dimana Ignatius Haryanto juga terlibat di dalamnya. Penelitian ini penting karena secara empirik membuktikan adanya konvergensi dalam struktur kepemilikan media di Indonesia ke dalam dua belas kelompok usaha media saja.

Meskipun mencengangkan, sebenarnya konvergensi kepemilikan media merupakan tren umum dalam liberalisasi komunikasi secara global. Kepemilikan industri komunikasi dunia hanya didominasi oleh beberapa korporasi seperti Viacom, Warner Brothers, News Corp, Disney, dan beberapa yang lain.1 Dalam istilah Robert McChesney, merekalah irst tier dalam struktur kepemilikan media global. First tier adalah istilah bagi pemilik media yang mampu menjangkau penonton seluruh dunia. Sedangkan second tier adalah mereka yang mampu menjangkau kawasan saja.

Tabel 5 Kepemilikan Media

Grup Televisi Radio Media Cetak

Media Online

Pemilik Ailiasi Politik

Global Media- comm (MNC)

20 22 7 1 Hary Tanoesoedibjo Partai Hanura Jawa Pos Group 20 - 171 1 Dahlan Iskan Konvensi Partai

Demokrat Kelompok Kompas Gramedia 10 12 88 2 Jacob Oetama - Mahaka Media Group

2 19 5 - Abdul Gani, Erick hohir - Elang Mahkota Teknologi 3 - - 1 Keluarga Sariatm- adja -

CT Corp 2 - - 1 Chairul Tanjung -

Visi Media Asia 2 - - 1 Bakrie & Brothers Partai Golkar Media Group 1 - 3 1 Surya Paloh Partai Nasdem

MRA Media - 11 16 - A d i g u n a

Soetowo&Soetikno Soedardjo

-

Femina Group - 2 14 - Pia Alisjahbana -

Tempo Inti Media 1 - 3 1 Yayasan TEMPO -

Beritasatu Media Holding

2 1 10 1 Lippo Groups -

Sumber: Diolah dari CIPG-HIVOS, 2012.

1 Selengkapnya dalam Global Media: The Missionaries of Global Capitalism,

Secara teknis, persoalan kepemilikan media dibagi ke dalam dua jenis media yaitu media yang menggunakan frekuensi radio milik publik dan yang tidak menggunakan frekuensi radio. Media massa yang tidak menggunakan frekuensi publik seperti surat kabar, majalah, ilm, boleh memperbesar usahanya sebesar-besarnya sepanjang kemampuan. Prinsip bisnis jenis media ini sama dengan prinsip bisnis jenis usaha yang lain. Sepanjang konsumen menghendaki, produsen media boleh mengembangkan usaha seluas-luasnya. Akan tetapi pada media massa yang menggunakan spektrum frekuensi radio seperti televisi, radio baik analog maupun digital, dalam paradigma demokratis dikenakan pembatasan kepemilikan yang diatur oleh regulator independen. Pembatasan kepemilikan diterapkan untuk membatasi penguasaan opini publik karena frekuensi radio merupakan ranah publik.

Norma yang dibangun dalam sistem penyiaran demokratis adalah keragaman kepemilikan untuk menciptakan keragaman isi. Keragaman isi akan menciptakan pluralitas informasi sehingga masyarakat disediakan aneka informasi yang menentukan preferensi hidupnya. Sebaliknya, kepemilikan yang terkonsentrasi akan menciptakan homegenitas informasi yang mendorong terbatasnya pilihan informasi sebagai bahan pertimbangan pillihan politik. Kepemilikan yang terkonsentrasi juga akan mendorong pemilik media untuk menggunakan medianya sebagai sarana perjuangan kepentingan politik. Fenomena Berlusconi di Italia bisa dijadikan contoh bagaimana pemilik media menggunakan medianya sebagai corong politik. Fenomena di Indonesia saat ini sebenarnya mirip dengan apa yang terjadi di Italia.

Menurut perspektif regulasi penyiaran demokratis, ada beberapa bentuk pembatasan kepemilikan misalnya pembatasan berdasarkan luas area jangkauan dan pembatasan berdasarkan persentase jangkauan penduduk. Amerika Serikat memakai pembatasan kepemilikan berdasarkan pembatasan jangkauan penduduk maksimal 43%. UU Penyiaran Indonesia menerapkan pembatasan kepemilikan usaha penyiaran dengan kriteria pembatasan wilayah. Satu perusahaan media boleh memiliki maksimal dua stasiun televisi di dua provinsi yang berbeda.

Ijin penyiaran dengan demikian berbasis pada provinsi. Jika ingin memperluas jangkauan penyiaran, stasiun televisi wajib melakukan kerjasama berjaringan dengan televisi lokal di provinsi yang diinginkan. Dengan demikian sebenarnya tidak ada istilah “televisi nasional” menurut UU Penyiaran. Istilah televisi nasional hanyalah hasil akal-akalan industri penyiaran saja.

Indonesia terbukti gagal dalam menerapkan prinsip siaran demokratis hingga saat ini. Keberhasilan UU Pers dan UU Penyiaran dalam membangun fondasi sistem media yang demokratis pada akhirnya dikhianati oleh korporasi penyiaran lewat penolakan fungsi regulator independen dan sistem penyiaran berjaringan.

Secara teknis, rencana digitalisasi penyiaran sebenarnya menjanjikan desentralisasi kepemilikan media karena satu frekuensi bisa dipecah menjadi 12 channel. Indonesia merencanakan memulai siaran digital pada 2017. Akan tetapi, pemerintah sempat memotong potensi desentralisasi kepemilikan itu dengan menerbitkan Peraturan Menteri dimana pengelola multiplex langsung dikelola oleh pemilik media analog saat ini. Dengan struktur kepemilikan media analog yang sudah terpusat, peraturan menteri itu sama dengan melanggengkan struktur kepemilikan media terpusat dalam spektrum digital meskipun frekuensi digital fasilitas bagi desentralisasi kepemilikan. Lewat tekanan publik, peraturan menteri itu akhirnya digugurkan MA.

Konsentrasi kepemilikan media baik secara global maupun domestik Indonesia membuktikan bahwa “janji” mazhab liberal tentang kesempatan yang sama dalam berproduksi ternyata tidak mampu melahirkan struktur kepemilikan media yang desentralistik. Kesempatan yang sama itu pada akhirnya lebih dekat dengan moral Darwinian survival of the ittest, yang kuat akan mendominasi yang lemah. Sayangnya, moralitas ruang publik bukanlah moralitas Darwinian namun lebih pada moralitas yang mau mengakomodasi opini warga negara tanpa memedulikan modalitas ekonomi warga negara tersebut.

Tabel 6 Pertumbuhan Iklan di Semua Media

Sumber: PPPI.

Persoalan kepemilikan media yang terpusat berkaitan erat dengan pertumbuhan belanja iklan yang terus melaju sejak 1998. Bisnis media terutama penyiaran – pengambil kue iklan terbanyak – tidak rela membagi keuntungan pendapatan iklan di daerah. Bisnis penyiaran yang – sekali lagi – tumbuh subur di era dan kroni Soeharto itu terlanjur menikmati status televisi nasional yang meraup sedemikian banyak keuntungan iklan sehingga desakan norma demokrasi lewat pembatasan kepemilikan dan siaran berjaringan tidak mampu mencegah jurnalis dari kepentingan atas iklan itu.

Jika dibandingkan dengan dimensi-dimensi lain dalam media seperti kebebasan pers, kekerasan terhadap jurnalis, kebebasan berserikat jurnalis, dan tingkat kesejahteraan jurnalis, laju belanja iklan juga membuktikan bahwa kapitalisasi media tetap melaju kencang tanpa peduli bagaimana kualitas dimensi-dimensi tersebut dan berapapun jurnalis yang mati terbunuh.

Jika dibandingkan antara laju kenaikan belanja iklan dengan indeks kebebasan pers, angka kekerasan terhadap jurnalis, dan tingkat upah pekerja pers, ada dua kesimpulan yang bisa diambil:

• Laju kecepatan pertumbuhan inansial media tidak sebanding den- gan laju perlindungan profesi pekerjanya. Ini merupakan kontradiksi karena pekerja sebagai penyumbang utama dalam produksi ternyata justru tidak mendapatkan jaminan keselamatan yang justru menjadi basis dari proses produksi tersebut. Tidak banyak perusahaan media yang memberikan pelatihan keamanan bagi para jurnalisnya. • Yang terjadi pada industri media merupakan gejala khas dalam in-

dustrialisasi pada sektor lain dimana harga barang dan jasa melesat, sementara upah buruh diabaikan. Kritik semacam ini pernah disam- paikan oleh Marx (teori nilai lebih) dimana nilai lebih dari produk yang dihasilkan oleh buruh hanya bisa dinikmati oleh perusahaan dan tidak bisa dinikmati oleh buruh. Perolehan laba perusahaan ti- dak serta-merta membuat kesejahteraan buruh meningkat.

• Telah terjadi diskrepansi pada level struktural dan level agency. Pada level struktural, sistem pers telah berhasil diliberalisasikan dalam arti politik dan ekonomi. Struktur-struktur hukum dan ekonomi sudah relatif tertata sesuai dengan prinsip-prinsip liberal. Akan tetapi pada level agency, liberalisasi belum mampu membawa perlindungan yang cukup untuk jurnalis dalam arti politik maupun ekonomi. Dalam dimensi politik, kekerasan terhadap jurnalis masih sering terjadi dan cenderung meningkat. Dalam dimensi ekonomi, pendapatan jurnalis belum sepadan dengan laju pertumbuhan bisnis media.2

Pendeknya, liberalisasi media sampai saat ini berhasil mengonsolidasikan kekuatan korporasi media namun belum mampu menciptakan struktur yang mendorong dimensi-dimensi mendasar dalam jurnalistik. Lebih lengkapnya, tabel 7 berikut menjelaskan posisi liberalisasi media saat ini dalam kriteria menguat dan melemah. Imperatif ekonomi masih menjadi pemenang dibandingkan imperatif politik.

Tabel 7

Kemenangan Imperatif Ekonomi dalam Media Liberal di Indonesia

Dimensi Melemah Menguat

Ekonomi Poliik P e r t u m b u h a n Media X Belanja Iklan X Media Franchise X Kebebasan Pers X Kekerasan terhadap Jurnalis X Perlindungan terha- dap Jurnalis X Depoliisasi media X Konglomerasi Me- dia X

Serikat Pekerja Pers X Media Komunitas X

Sumber: Penumpang Gelap Demokrasi, R Kristiawan, AJI 2013.

Dalam dokumen IRE Yogyakarta | Mandatory Edisi 10 vol 2 : (Halaman 53-59)