• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM

B. Masyarakat dan Kebudayaan

B. 2. Adat Sumando

Warna khas dari budaya pesisir tampak pada apa yang disebut Adat Sumando. Yang dimaksudkan dengan Sumando adalah satu kesatuan ruang

Erwin J.V Nababan : Tekong (Studi Deskriptif Terhadap Pemanfaatan Sumber Daya Alam Pesisir Pada Masyarakat Sibolga), 2009.

lingkup kebudayaan pesisir terdiri dari adat istiadat pesisir, kesenian pesisir, bahasa pesisir dan makanan pesisir (Pemko Sibolga,2008, 22).

Sedangkan dalam pembagian pengelompokan, suku pesisir yang dimaksud terdapat di daerah tingkat dua Tapanuli Tengah termasuk kotanya. Namun perlu diketahui, bahwa kebudayaan pesisir tidak hanya berlaku di Tapanuli Tengah, tapi juga dikecamatan Natal, Tapanuli Selatan, Nias dan Aceh. Adat Sumando pesisir ini sedikit banyaknya memang berbeda jika dibandingkan dengan ikatan kekeluargaan Dalihan Na Tolu seperti yang terkandung dalam Batak umumnya. Dalihan Na Tolu ini mengatur sedemikian rupa sehingga sebuah komunitas terkecil masyarakat Batak haruslah sekurang-kurangnya terdiri dari tiga marga, dan setiap peristiwa adapt ada marga yang berperan sebagai Dongan Tubu, ada yang berperan sebagai Hula-Hula dan ada pula yang berperan sebagai Boru.

Dalam adat Batak, marga ini sangat penting dalam menentukan hubungan dan status. Hal ini dapat dibuktikan dengan ungkapan : “Jolo tiniptip sanggar-laho baen huru-ruan, jolo singungkun marga aso binoto partuturan”.

Dalam satu marga terdiri dari anggota keluarga yang berasal dari satu keturunan, sehingga mereka telihat dalam satu ikatan keluarga besar, yang disebut dengan Dongan Tubu. Golongan pria dari marga, tentu akan menikahi wanita marga lain, sehingga terjalinlah hubungan kekeluargaan dengan marga lain tersebut, yang dimana disebut dengan panggilan Hula-Hula.Demikian pula golongan wanita marga pertama tadi tentu akan dinikahi oleh pria dari marga lain lagi yang akan menyebabkan timbulnya hubungan kekeluargaan dengan marga yang ketiga, yang dimana sering disebut dengan Boru.

Erwin J.V Nababan : Tekong (Studi Deskriptif Terhadap Pemanfaatan Sumber Daya Alam Pesisir Pada Masyarakat Sibolga), 2009.

Bagi masyarakat yang memegang teguh Dalihan Na Tolu ini, pelanggaran terhadap aturan ini baik sengaja maupun tidak disengaja akan dihadapkan kepada sanksi adapt. Untuk orang batak, Dalihan Na Tolu merupakan inti dasar kebudayaan yang menjadi suatu acuan dasar bagi kehidupan masyarakat Batak. Bahkan terdapat satu ungkapan bahwa apabila satu kelompok orang Batak meninggalkan Dalihan Na Tolu, maka mereka dianggap hidup dalam lingkungan “Pinahan”.

Sumando pesisir sebagai kesatuan adalah: suatu percampuran satu keluarga dengan keluarga lain yang seiman dengan ikatan tali perkawinan menurut hukum islam dan disahkan memakai acara adapt pesisir. Maka yang dimaksud dengan “orang Sumando” adalah: seseorang menantu atau abang ipar maupun adik ipar yang telah menjadi keluarga sendiri sehingga segala urusan baik atau buruk, menjadi tanggung jawab bersama orang sumando.

Begitulah kuatnya penghargaan atas ikatan kekeluargaan, yang menyebabkan tidak adanya satu keputusan adat pun tanpa melibatkan musyawarah semua anggota keluarga. Seperti orang sumando memiliki motto: “ Bulek ai dek pambulu, Bulek kato dek mufakat, Dek saiyo mangko sakato, Dek sakato mangko sepakat”.

B. 2. 1. Bahasa

Dalam masyarakat Sibolga bahasa Daerah sendiri sangatlah jarang dipergunakan untuk mengucapkan sehari-hari, terkhususnya bagi daerah pikiran laut, yang dimana masyrakat lebih cenderung menggunakan bahasa pesisir. Yang dimana bahasa pesisir ini adalah: suatu alat komunikasi masyarakat pesisir dalam menyampaikan maksud dan tujuan baik secara lisan maupun tulisan. Bahasa

Erwin J.V Nababan : Tekong (Studi Deskriptif Terhadap Pemanfaatan Sumber Daya Alam Pesisir Pada Masyarakat Sibolga), 2009.

pesisir ini banyak sekali dipergunakan masyarakat Tapanuli Tengah dan kota Sibolga sebagai bahasa lisan untuk menyampaikan maksud dan tujuan di rumah maupun dalam pergaulan sehari – hari.

Peranan bahasa pesisir menunjukkan keberadaan di tengah-tengah masyarakat, di sekolah, upacara adat dan upacara keagamaan. Bahasa pesisir telah menjadi bahasa pengantar yang tidak akan dapat dilupakan masyarakat sumando pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga khususnya, maupun pantai Barat umumnya, baik di kampung halaman maupun di perantauan.

Namun sangat disayakan bahwa tulisan masyarakat suku pesisir mempergunakan tulisan pada zaman dahulunya dengan tulisan Arab Gundul yang tidak mempunyai tanda-tanda atau garis atas dan bawah. Akan tetapi masyarakat beragama islam melihat tukisan tersebut dapat mengerti karena memang telah mempelajari dalam pengajian (Pemko Sibolga, 2007, 26).

B. 2. 2. Kekayaan Alam

Tak dapat dipungkiri bahwa potensi sumber kekayaan alam yang paling menonjol dari kota sibolga adalah: kekayaan akan sumber daya Perikanannya. Kawasan perairan laut yang meliputi seluruh wilayah pantai Barat Sumatera ini sejak dulu sudah dikenal berbagai jenis ikan.

Produksi ikan hasil laut Sibolga mengalami peningkatan sebesar 5,45 persen dari tahun sebelumnya yaitu 29.986,25 ton ditahun 2006 menjadi 31.620 ton ditahun 2007.

Erwin J.V Nababan : Tekong (Studi Deskriptif Terhadap Pemanfaatan Sumber Daya Alam Pesisir Pada Masyarakat Sibolga), 2009.

B.2.3. Tata Permukiman serta Luas dan Pola Penggunaan/Pemanfaatan Lahan

Kota Sibolga dipengaruhi oleh letaknya yaitu berada pada daratan pantai, lereng, dan pegunungan. Terletak pada ketinggian di atas permukaan laut berkisar antara 0 - 150 meter, kemiringan (lereng) lahan bervariasi antara 0-2 persen sampai lebih dari 40 persen dengan rincian; kemiringan 0-2 persen mencapai kawasan seluas 3,12 kilometer persegi atau 29,10 persen meliputi daratan Sumatera seluas 2,17 kilometer persegi dan kepulauan 0,95 kilometer persegi; kemiringan 2-15 persen mencapai lahan seluas 0,91 kilometer persegi atau 8,49 persen yang meliputi daratan Sumatera seluas 0,73 kilometer persegi dan kepulauan seluas 0,18 kilometer persegi; kemiringan 15-40 persen meliputi lahan seluas 0,31 kilometer persegi atau 2,89 persen terdiri dari 0,10 kilometer persegi wilayah daratan Sumatera dan kepulauan 0,21 kilometer persegi; sementara kemiringan lebih dari 40 persen meliputi lahan seluas 6,31 kilometer persegi atau 59,51 persen terdiri dari lahan di daratan Sumatera seluas 5,90 kilometer persegi dan kepulauan seluas 0,53 kilometer persegi.

Konsentrasi permukiman penduduk kota sibolga berada dekat dengan bibir laut dengan jalan besar yang di aspal. Lahan permukiman selalu dibarengi, dikombinasikan dengan tempat usaha seperti peraltan kapal atau boat melabuhkan atau menjual ikan hasil tangkap mereka setelah melaut kepada para toke, kedai (warung) untuk berjualan nasi, retoran, bengkel serta tempat objek wisata.

Areal permukiman warga di kota sibolga ini tergolong pengelompok dan cukup padat. Sebagian besar rumah-rumah warga berdempetan antara satu dinding

Erwin J.V Nababan : Tekong (Studi Deskriptif Terhadap Pemanfaatan Sumber Daya Alam Pesisir Pada Masyarakat Sibolga), 2009.

dengan dinding rumah lainnya. Satu rumah dengan rumah lainnya tidak teratur tata letak bangunannya.

C. Sarana dan Prasarana serta Infra Struktur Sosial. C. 1. Sarana Perumahan.

Perumahan yang ada di kota sibolga saat ini sangatlah terbilang memenuhi Kriteria sehat dan layak. Hal ini dapat diketahui dengan keadaan penduduk yang rata-rata sudah setengah permanen. Tapi ada pula permukiman penduduk yang bertempat tinggal serta mendirikan rumah diatas laut.

Sarana untuk mencuci, mandi dan kakus sudah dimiliki oleh hampir semua rumah penduduk di sibolga. Dan penduduk di sibolga pun telah mendapatkan fasilitas air bersih PDAM.

Dokumen terkait