• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Darah yang mengalir, membawa cinta yang akhirnya terukir.”

Bagas mengendarai motornya dengan sangat cepat, dia tidak mempedulikan pengguna jalan lain yang marah-marah karena merasa terganggu. Dia tidak peduli, yang sekarang ada di pikirannya adalah sesegera mungkin bertemu dengan Lexi dan menyeleseikan semua. Mungkin dengan cara baik-baik, Bagas tidak mau ikut menjadi arogan seperti mereka.

Tetapi kalau harus berkelahi dengan mereka, dia tidak akan mundur selangkahpun.

Bagas tau pasti di mana Lexi biasa nongkrong dengan teman-temannya, dia tahu dari Alena. Sebuah cafe kecil di pusat kota.

Pemuda itu mengedarkan pandangan ke seluruh sudut, tampak sepi, hanya beberapa meja terisi oleh pengunjung. Sampai kedua matanya berhenti mencari ketika dia melihat wajah seseorang yang dia kenal.

Bagas berjalan mendekat, Lexi terlihat sedang mengobrol dengan empat orang temannya, sebatang rokok terselip diantara jari-jarinya. Lexi yang menyadari kehadiran Bagas langsung memberi kode kepada empat orang temannya.

“Berani juga, dateng ke tempat ini sendirian,”

“Aku bukan kamu yang beraninya main keroyok,” Bagas menatap mata Lexi tajam. “Temenku enggak ada hubungannya, dia enggak tahu apa-apa. Kenapa kamu mukulin dia?”

“Itu buat peringatan. Kamu udah berani deketin Alena, pacarku,” “Mantan,” potong Bagas.

“Aku nggak peduli, intinya aku enggak suka kamu deket-deket sama Alena. Mending jauhin dia,”

“Sebenarnya aku malu ribut dengan alasan seperti ini, tapi kamu cowok, jangan jadi pengecut yang tidak berani menyelesaikan masalah sendirian. Kita saingan secara sehat, secara

fair, nggak usah pakai kekerasan. Jangan kayak banci,”

“Banyak bacot!” Lexi siap melayangkan bogem ke arah Bagas.

Bagas tidak mundur, dia justru ikut mengepalkan tangannya, tetapi dua teman Lexi segera menahan. Dia berontak namun tak dapat mengimbangi kekuatan mereka. Dengan leluasa Lexi mendaratkan kepalan tangannya ke pipi kanan Bagas.

Beberapa kali tangan Lexi mendaratkan pukulannya di wajah dan perut Bagas yang tidak bisa melawan, hanya bisa meringis menahan sakitnya.

“Kamu pikir kamu siapa? Tinggalin Alena mulai sekarang atau bakal ada yang lebih parah dari ini,” ancam Lexi.

“Brengsek! Aku nggak takut, aku nggak akan kalah sama pengecut seperti kamu,” Bagas kembali berontak dari cengkeraman teman Lexi, namun tubuhnya sudah terlalu lemah.

“Sepertinya kamu nggak bakal kapok kalo belum kehilangan nyawa.” Bugh!

Firman, Deka, Yoga, dan Ringgo yang tiba di tempat itu langsung berlari menerjang Lexi dan kawan-kawannya, Bagas terlepas dari cengkeraman dan jatuh tersungkur. Napasnya naik turun tak karuan, darah masih menetes dari mulut dan hidungnya.

Sementara itu Deka dan yang lain masih terus adu pukul. Firman terpukul, dia balas menendang, musuhnya jatuh terjengkang dan menabrak kursi. Sementara Ringgo mengambil sebuah botol dan memukulkannya ke kepala salah satu teman Lexi, namun tiba-tiba ia terkena hantaman dari belakang. Ia mengerang kesakitan dan memegang pinggangnya.

Yoga tak tinggal diam, dia berlari dan menerjang orang yang menendang Ringgo, keduanya terjatuh. Yoga duduk di atas tubuh teman Lexi dan berkali-kali menghujankan pukulannya.

Deka berhadapan dengan Lexi dan seorang temannya, dia berusaha untuk menghindari pukulan dan tendangan dari kedua orang itu. Sesekali Deka balas memukul, dan berkali-kali Deka menerima pukulan. Bagas bangkit, lalu menendang tubuh Lexi.

Adu pukul terjadi antara keduanya. Dengan sisa tenaganya Bagas meladeni Lexi. Lexi tak bisa menandingi Bagas hingga dia terpojok. Bagas kalap, berkali-kali ia memukul wajah dan tubuh musuhnya. Deka dan Yoga yang telah berhasil mengalahkan musuh mereka berusaha menahan Bagas.

Mata Bagas yang merah terus menatap tajam ke arah Lexi. “Pergi kalian! Brengsek!”

Lexi yang masih tersungkur ditolong oleh empat temannya.

“Oke, kali ini kalian menang. Tapi lain kali aku akan datang lagi, inget itu,” ancam Lexi sebelum teman-temannya memapahnya beranjak dari tempat itu.

Firman hendak mengejar mereka, tapi Ringgo menahannya. Firman meludah.

Deka dan Yoga melepaskan tangan dari tubuh Bagas yang sudah bisa menahan diri. Mereka berlima terlihat berantakan, wajah mereka memar dan biru. Darah menghiasi wajah mereka. Ringgo masih memegang pinggangnya, Deka menyeka darah dari sudut bibirnya. Yoga meneliti sikunya yang terasa linu.

“Kalian semua nggak apa-apa?” Tanya Bagas, semuanya meringis menjawab pertanyaan itu.

Bagas tersenyum, “Makasih teman, kalian datang di saat yang tepat. Kalo enggak, aku pasti bisa menghajar mereka semua sendirian.”

Keempatnya langsung mencibir Bagas. “Kok kalian semua bisa kesini?”

“Kita semua khawatir, makannya kita mutusin buat nyusul,” Deka mewakili temannya. “Kami tahu tempat ini dari Alena, Scoby nelpon dia tadi,” tambah Yoga.

“Katanya dia mau kesini juga kok.”

Selesai Deka berbicara, pintu kafe berdecit terbuka. Dari luar tampak seseorang tengah mendorong pintu itu. Sejenak sosok itu muncul, seorang wanita muda, dengan rambut sepanjang punggung mengenakan bandeau top dan jaket panjang dilengkapi dengan skinny jeans pants. Wajahnya menunjukkan kecemasan.

“Tuh anaknya datang,”

“Bagas, kamu enggak apa-apa kan?”

Alena terus meneliti keadaan Bagas dari atas sampai bawah, dia memegang pipi Bagas yang memar, membuat Bagas memekik, “Aduh, pelan dong.”

“Eh, i-iya, maaf. Kamu bener enggak apa-apa kan?” Alena mengulang pertanyaannya, Bagas mengangguk, tangannya memegang tangan Alena yang menempel di pipinya.

“Aku enggak apa-apa. Udah ada kamu disini.”

“Apaan sih, aku beneran khawatir tau, kamu malah bercanda.” “Aku serius,” Bagas menatap mata Alena dengan tatapan tajam.

“Aku serius, aku sayang kamu. Aku kayak gini karena aku nggak mau kehilangan kamu. Maaf jika kamu tidak suka dengan kejadian ini, tapi ini semua karena aku bener-bener cinta kamu,” Alena terdiam, ia menatap Bagas tanpa bisa berkata apapun. Merasakan getaran yang berbeda di dalam hatinya.

“Kamu mau jadi pacar aku?” kalimat yang terucap dari mulut Bagas membuat Alena kaget, dia tidak menyangka Bagas akan mengungkapkan perasaannya saat itu, di tempat itu dan di depan semua orang yang ada di situ.

“Kamu serius?”

Bagas mengeratkan genggamannya di tangan Alena, “Aku serius, aku yakin sama perasaanku.”

Pelan-pelan, kepala Alena mengangguk. Gadis itu masih menundukkan kepala, menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah.

“Iya.” jawab Alena lirih.

“Apa?” Bagas mendekatkan telinganya ke wajah Alena. “Iyaaa,”

Alena menambah volume suaranya, membuat Bagas tersenyum. Ia menarik tangan Alena, membawa gadis itu ke pelukannya.

“Ayo kita pulang, sepertinya idiot satu ini udah nggak perlu di tolong,” Yoga menggoda. “Iya, padahal kita juga memar-memar gini. Tapi enggak ada yang peduli,” Deka mengedipkan mata ke Yoga.

“Yah, nasib kita kan emang kayak gini. Jomblo sejati.” Ringgo tak mau kalah.

Alena melepaskan pelukan Bagas secepat kilat, wajahnya semakin memerah karena malu. Namun sedetik kemudian mereka semua tertawa, walaupun sesekali meringis menahan sakit.

Dokumen terkait