• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Duel dua orang laki-laki.”

Sebuah panggung pertunjukkan setinggi dua meter berdiri di lapangan sepak bola yang terletak di belakang fakultas keolahragaan. Tak mau kalah dengan tukang-tukang yang sejak tadi sibuk mendirikan panggung, beberapa orang lain juga terlihat begitu lincah memasang lighting untuk mendukung tampilan panggung agar terlihat lebih meriah.

Di atas panggung, kini mulai dipasangi alat-alat yang nantinya akan di gunakan oleh para pengisi acara. Seperangkat alat band, gamelan, serta beberapa alat lainnya disediakan untuk memeriahkan acara puncak dari rangkaian OSPEK yang sudah dijalani selama beberapa hari.

Malam Inaugurasi, itulah tagline yang sudah menggaung di telinga semua warga kampus. Acara untuk menyambut mahasiswa baru. Dengan menampilkan bintang tamu, sebuah band dari kota Yogyakarta yang sudah sangat terkenal di seluruh wilayah Indonesia.

“Tes, tes. Satu, dua, tiga suara di coba,” seseorang laki-laki berkumis tebal nampak memegang microphone di tangan kirinya, sedangkan seseorang yang lain mengatur mixer dari sebuah tenda kecil yang jaraknya agak jauh dari panggung utama.

Laki-laki berkumis itu mengacungkan jempol kanannya, tanda suara yang dihasilkan sudah sesuai dengan yang dibutuhkan.

Persiapan selesai beberapa jam kemudian, siap untuk pertunjukan nanti malam. 

Ringgo baru saja meletakkan tas cangklong warna abu-abunya ketika terdengar suara sepeda motor milik firman memasuki halaman dengan suaranya yang menggerung-gerung, nampak sengaja di geber dengan sangat kencang oleh pemiliknya.

Pemuda itu masuk ke dalam dengan wajahnya yang merah padam, membuat teman-temannya saling menatap dengan bingung.

“Brengsek! Brengsek! Brengsek!”

“Tau tuh, pulang kuliah malah marah-marah kayak gitu. Mungkin dimarahin sama dosennya gara-gara nggak ngerjain tugas,” jawab Yoga asal.

“Kamu kenapa, Man? Pulang kuliah malah kayak baru pulang dari medan perang. Emosi banget kayaknya,”

“Kamu tahu Jaka, Dek? Kakak kelasmu dua tingkat.”

Deka nampak berpikir sejenak, sampai ingatannya tertuju pada satu orang yang pernah bertemu beberapa kali di kampusnya.

“Jaka yang dulu jadi pemandu pas OSPEK itu?”

“Iya, dia orangnya. Brengsek!” firman terus menunjukkan wajah tegangnya, yang semakin membuat teman-teman satu kosnya heran.

“Kamu kenapa sih, Man? Ribut sama dia?” Ringgo yang sejak tadi mendengarkan dari dalam kamar ikut berkumpul bersama yang lain di ruang tivi.

“Aku baru saja adu mulut sama dia, untung ada anak-anak lain yang misahin. Kalau enggak udah aku hajar sampe nangis minta ampun tuh anak,” Firman sama sekali tidak mengendorkan raut tegang pada wajahnya.

“Walah, kenapa bisa sampe ribut gitu?” “Minum dulu, Man.”

Deka menyodorkan segelas air dingin yang baru saja dia ambil dari kulkas, mencoba untuk meredakan amarah yang masih terlihat dari sorot mata salah satu teman satu kosnya tersebut. Deka paham, Firman masih belum tenang dan bisa jadi justru akan membuat masalah baru dengan teman-teman kosnya yang lain.

“Cerita kalau kamu ngerasa udah lebih tenang,” lanjutnya.

Firman menyambut gelas yang disodorkan oleh Deka, lalu menghabiskannya dalam sekali tenggak. Ia duduk di sebelah Yoga setelah merasa bisa menguasai emosinya. Deka, Yoga, Scoby dan Ringgo duduk mengelilinginya. Menunggu pemuda itu untuk bercerita.

“Tadi waktu aku baru saja selesai kuliah dan sedang minum di atas motorku, dia datang dan langsung nyuruh aku untuk cepat-cepat pergi karena tempat parkirnya mau dia pakai. Jelas aja aku tanya maksudnya apa, tempat parker lain masih banyak yang kosong, kok,”

“Dia jawab, dari dulu tempat parkir itu udah jadi tempatnya. Kan, brengsek banget tuh orang yang seperti itu. Mentang-mentang senior terus bisa seenaknya, kalau bukan aku mungkin bisa diperlakukan kayak gitu.”

“Kamu debat sama dia?”

Firman mengangguk, “Bahkan aku dan dia sudah saling dorong. Untung aja lagi banyak anak yang buru-buru misahin. Beruntung dia nggak ngerasain pukulanku,”

“Kalian satu kampus pasti akan sering ketemu, kan?” Ringgo merasa sedikit khawatir permasalahan ini akan terus berlanjut.

Pemuda itu tersenyum sinis, “Aku tidak pernah takut. Kalau nanti ketemu lagi dan dia masih pengin nyari ribut, aku siap dan nggak bakal mundur.”

Sebuah sifat yang sebenarnya cukup membuat lima mahasiswa yang lain sering merasa was-was. Bukan cuma untuk Firman sendiri, tetapi mereka khawatir sifat Firman yang mudah tersulut emosi bisa menyeret mereka semua ke dalam sebuah masalah.

“Sudah-sudah. Kalau besok-besok kalian bertemu dan dia tidak mengungkit itu artinya dia juga nggak ingin memperpanjang masalah. Intinya kamu jangan sampai jadi orang yang cari masalah lebih dulu, apalagi sama senior.” Deka coba memberikan nasihat.

“Aku tidak akan melukai siapapun jika tidak dilukai lebih dulu. Kalian tenang saja, selama dia tidak menyentuhku aku juga tidak akan menyentuhnya sama sekali,”

Kalimat yang setidaknya bisa membuat teman-temannya bisa bernapas lega. Beberapa lama berada dalam satu rumah membuat enam remaja sudah saling mengerti dengan sifat dan karakter mereka masing-masing.

“Hey, ada apa ini. Kok sore-sore gini pada ngumpul di ruang tivi?” Bagas yang baru saja pulang kuliah heran mendapati ruang tivi penuh oleh teman-temannya.

“Sore banget kuliahmu?” Ringgo balik bertanya.

Bagas mengambil rokok dari saku celana dan membakarnya, ia menghisap dalam-dalam asap nikotin dengan racun-racunnya, lalu menghembuskan melalui dua lubang hidung.

“Sebenarnya udah selesai dari tadi, tapi nongkrong dulu sama anak-anak di kantin. Sambil liatin tukang-tukang masang panggung buat ntar malem,”

“Oh iya, inaugurasi ya,” Deka menimpali.

“Nonton, yuk,” ajak Scoby yang langsung di sambut antusias oleh teman-temannya. “Iya, ayo. Buat hiburan, spaneng mikir kuliah sama tugas terus-terusan,”

“Betul. Siapa tau bisa ketemu cewek,” Sambar Ringgo, mengundang tawa lima lainnya. “Ayo aja, deh. Aku ikut, yang penting ada kalian,” Yoga turut menyumbangkan suara. “Gimana, Man?” Deka beralih ke Firman.

“Kapan lagi nonton konser gratis,” jawabnya dengan senyum tipis tersungging di bibir. 

Pukul delapan malam, enam sekawan itu sudah siap dengan dandanan mereka masing-masing. Siap untuk meramaikan konser malam inauguruasi yang diadakan oleh kampus mereka. Masing-masing mengenakan pakaian andalan mereka.

“Keren juga jaketmu, kapan-kapan minjem ya,” Bagas mengagumi jaket yang dipakai oleh Ringgo, membuatnya tidak tahan untuk memberikan komentar.

“Kemarin celanaku yang kamu pinjam, sekarang jaket Ringgo.mau di sikat juga,” Yoga melemparkan tisu yang baru saja dipakainya untuk membersihkan wajah.

“Lho,lho. Selama masih bisa pinjam, kenapa harus beli. Itu prinsipku,” Sanggah Bagas sambil memakai sepatu kets warna merahnya.

“Huuu, dasar nggak modal,” Cibir Scoby, yang langsung disambut tawa oleh kelima temannya.

“Sudah belum, ayo berangkat. Panggung inaugurasi menunggu kita,” Deka memberi komando.

“Jalan atau naik motor?” tanya Firman.

“Jalan aja yuk, sambil menikmati malam. Mumpung malamnya cerah tuh, bintangnya banyak,” sahut Yoga.

“Sok puitis kamu, Yog,” Bagas merasa mendapat momen untuk balas mencibir Yoga. Yoga tertawa, tetapi akhirnya semua setuju dan berjalan kaki menuju lapangan sepakbola fakultas olahraga yang menjadi tempat pertunjukan. Samar-samar, suara musik terdengar dari kejauhan, acara memang sudah mulai sejak pukul tujuh tadi. Meskipun baru sebatas pertunjukan-pertunjukan pembuka.

Enam remaja dari berbeda daerah itu sampai di fakultas olahraga lima belas menit kemudian. Jarak rumah kos mereka memang cukup strategis, tidak begitu jauh dari fakultas mereka masing-masing.

Suasana sudah begitu ramai oleh penonton yang datang dari berbagai kalangan. Entah itu dari mahasiswa baru dan lama, penduduk kampung, atau komunitas penggemar band yang akan menjadi bintang tamu malam ini.

Semua menyemut sampai di depan panggung.

“Gila, rame banget. Pulang aja yuk,” Yoga mengajak yang lainnya, siap berbalik badan. Bagas langsung merangkul pundak Yoga, “Mumpung malam ini cerah, kita nikmati aja sampai pagi,”

“Enak aja pulang, udah capek-capek jalan kesini malah minta pulang,” Scoby mengeluarkan protesnya.

Firman hanya tersenyum melihat tingkah teman-temannya, sembari menyalakan sebatang rokok kretek favoritnya.

“Yuk maju,” Deka berjalan tanpa menunggu respon teman-temannya.

“Kalau ketua sudah memutuskan untuk maju, anak buah harus mendukungnya. Ayo,” Bagas menarik tangan Yoga agar tidak nekat pulang sendirian.

Semua mengangguk, lalu menyusul Deka yang sudah berjalan beberapa langkah di depan mereka. Scoby mengangkat dua tangannya ke atas, seakan melakukan pemanasan. Firman berjalan dengan kedua tangan yang masuk ke saku celananya, sementara Ringgo melangkah sembari mengikat rambutnya yang cukup panjang.

“Firman tuh, Jak,” Seorang pemuda berjaket cokelat menunjuk ke arah Firman dan kawan-kawan, mengundang reaksi dari orang yang bernama Jaka.

“Kebetulan dia dateng, ayo samperin. Kita kasih dia pelajaran,” Desis jaka dengan nada yang mengancam.

“Betul, biar dia bisa paham tentang sopan santun sama yang lebih senior,” timpal satu orang yang lain.

Mereka semua berjumlah delapan orang, berjalan mendekati Firman dengan tatapan penuh kebencian. Siap untuk melampiaskan amarah karena merasa rekan satu kelompoknya sudah diremehkan.

Deka menyadari kedatangan Jaka dan gerombolannya mendekati mereka dengan aura yang tidak bersahabat, membuatnya langsung merasa panik.

“Hoy!” Jaka berteriak persis setelah dia hanya berjarak beberapa langkah dari Firman, membuat pemuda itu menoleh dan langsung memasang wajah penuh waspada.

“Kebetulan kamu datang kesini, ayo kita selesaikan masalah tadi siang,” lanjutnya.

Firman mengatupkan rahangnya kuat-kuat, tatapan matanya tajam tertuju pada satu orang. Dia mengambil ancang-ancang, siap untuk melawan orang-orang yang ada di hadapannya. Sementara teman-teman lainnya nampak terkejut dan saling pandang.

Ketegangan jelas terasa.

Keculai Deka yang langsung mengambil inisiatif untuk menengahi, “Sebentar, Bang, tunggu dulu. Tahan emosi kalian,”

Jaka mengalihkan pandangannya, dia mengenali Deka yang memang adik kelasnya di jurusan, “Kamu ngapain ikut campur? Kamu kenal dia?”

“Iya, Bang, dia teman satu kosku,”

“Oh, tapi aku enggak peduli. Dia sudah bersikap kurang ajar, jadi sudah sepantasnya aku kasih sedikit pelajaran,”

“Minggir, Dek. Biar aku hadapi orang ini sama teman-temannya,” Firman siap-siap untuk menerjang Jaka.

Jaka tak mau kalah, dia sudah maju lebih mendekati Firman dan siap melayangkan pukulannya. Teman-temannya juga sudah siap untuk berkelahi.

“Woo, wooo, wooo. Tunggu sebentar, dengarkan dulu.” Deka kembali mencoba meredakan suasana.

“Kamu apaan sih, Dek? Mau aku hajar juga?” Jaka nampak tidak suka.

“Dengerin dulu, Bang. Firman sudah cerita tentang kejadian di parkiran tadi sore. Jadi dengerin aku dulu,”

“Kamu juga, Man,”

Dua orang yang bersitegang itu nampak tidak sabar, tetapi tetap memberikan kesempatan kepada Deka untuk menyelesaikan ucapannya.

“Pertama, ini masalah kalian berdua, jadi seharusnya teman-temanmu nggak usah ikut campur, begitu juga dengan teman-temanku itu. Karena nanti pertikaian justru akan melebar, jurusan kita dan jurusan Firman atau bahkan jurusan dari fakultas lain bisa terpancing karena hal ini.”

Deka menyadari potensi konflik yang akan semakin melebar jika keributan ini tidak dia cegah, rasa solidaritas antar jurusan akan membuat permusuhan yang semakin melibatkan banyak orang. Deka tahu teman kosnya berasal dari berbagai jurusan, akan sangat rawan jika mereka terlibat.

“Kalau memang harus adu fisik, selesaikan satu lawan satu. Jangan libatkan orang lain,” Jaka nampak setuju dengan pemikiran yang disampaikan oleh Deka, akal sehatnya masih bisa mencerna dengan jelas konsekuensi yang akan terjadi. Kemungkinan yang baru saja dia dengar dari mulut Deka memang bisa terjadi, dan itu jelas bukan masalah sepele.

“Oke, aku terima idemu. Ayo kita selesesaikan sekarang juga,” ucapnya.

“Jangan disini. Kalian lihat ke sekitar kalian, petugas keamanan kampus sedang menatap kesini dengan tajam. Jelas mereka tahu apa yang sedang terjadi. Apa kalian mau ditangkap mereka dan di bawa ke sidang senat? Ujung-ujungnya kalian di skors.” Salah satu teman Jaka menyadari situasi.

Mereka sepakat menuju aula fakultas yang sedang dalam kondisi sepi. Dua pemuda itu berdiri saling berhadapan dengan kuda-kuda masing-masing, siap untuk menyelesaikan pertikaian antara mereka berdua secara jantan.

Deka melangkah mendekati Firman, “Hati-hati, dia ketua taekwondo,” bisiknya pelan. Firman tersenyum kecil mendengar bisikan Deka, “Kita lihat siapa yang akan menang, tarung jalanan atau taekwondo.”

Pertarungan dimulai, jual beli pukulan terus terjadi antar keduanya. Beberapa kali Firman berhasil memasukkan tinjunya ke perut dan rahang Jaka. Berkali-kali juga dia terkena hantaman dan tendangan dengan telak.

Perbedaan akhirnya menentukan. Serangan yang menggunakan teknik dari Jaka lebih menguasai daripada serangan asal-asalan yang dilakukan oleh Firman. Sebuah tendangan keras yang hanya bisa dilakukan oleh seorang petarung terlatih berhasil merobohkan Firman. Membuatnya jatuh tersungkur.

Bagas nampak hendak menolong teman satu kosnya itu, tetapi langsung di cegah oleh Deka.

Jaka yang juga sudah terlihat berantakan dan sedikit mengeluarkan darah dari pelipisnya itu berdiri di hadapan Firman. Dengan napas yang cukup tersengal-sengal dia berujar, “Lumayan juga kamu, aku salut.”

Kemudian dia menyodorkan tangan, mencoba membantu Firman untuk bangkit, membuat pemuda itu cukup terkejut. Tetapi tak urung Firman menjabat tangannya dan berdiri. Kini lagi-lagi mereka berdiri saling berhadapan.

“Aku tunggu kamu bergabung dengan UKM taekwondo,” ujar Jaka sambil menepuk pundak orang di hadapannya. Sebuah senyum tersungging di bibirnya.

“Lain kali aku akan mengalahkanmu,” Firman membalas senyuman bersahabat itu. Dari arah panggung, nyanyian dari bintang tamu sudah mulai terdengar samar-samar. Mengiringi langkah kaki enam remaja yang berjalan meninggalkan tempat itu dengan perasaan lega.

Dokumen terkait