• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Musuh lama kembali. Dendam yang tidak pernah padam menggugurkan sehelai daun.”

Scoby sedang memacu motornya setelah dia mengantarkan Rosita pulang. Mesin motor menderu-deru. Jalan menuju kampusnya memang bukan jalan yang lancar untuk dilewati. Perlu melewati tanjakan yang cukup terjal.

Udara begitu menyengat, matahari sedang ganas-ganasnya memancarkan sinar ke bumi. Dan hal itu berpengaruh pada aktivitas sebagian penduduk Semarang. Jalan yang di lewati Scoby begitu lengang, nampak sepi.

Sampai di sebuah tanjakan, seorang pengendara sepeda motor memepetnya. Scoby yang tidak siap sontak menginjak pedal rem, membuat sepeda motornya oleng dan membawanya jatuh terjerembab.

Pengendara itu nampak berhenti dan turun, lalu menghampiri Scoby. Ia membuka helmnya, menampakkan wajah yang langsung membuat Scoby terkejut.

“Masih inget aku?”

“Tentu aku inget, orang yang udah matahin tangan ini.”

Scoby langsung bangkit. Rasa sakit yang mendera sontak hilang ketika dia mendapati Lexi berdiri di hadapannya.

“Mau apa lagi?”

“Aku kesini cuma pengen ngasih tahu, kalo temen-temenmu udah bikin malu waktu itu. Dan sejak itu dendam ini nunggu-nunggu buat dilampiasin. Sekarang saatnya.”

Scoby menatap lexi dengan penuh waspada.

“Oh, waktu itu kamu udah kalah, dan belum kapok juga? Baiklah.”

Scoby langsung melompat dan menerjang Lexi dengan kekuatannya, dia merobohkan Lexi yang saat itu terlihat tidak siap dengan serangan secara mendadak yang dilakukan Scoby. Scoby tidak ingin kejadian dulu terulang. Dia lebih memilih untuk menyerang terlebih dulu.

Lexi yang tersungkur segera bangkit dan membalas serangan Scoby, pergumulan terjadi diantara keduanya. Jual beli pukulan berlangsung, masing-masing tidak ada yang mau mengalah dan menghentikan adu jotos itu. Darah keluar dari lubang hidung Lexi saat Scoby dapat dengan cepat mengarahkan pukulan tangan kanannya di wajahnya.

Lexi yang dilandasi rasa dendam makin memuncak amarahnya, dengan beringas dia menyerang Scoby secara membabi buta, membuat pemuda itu kewalahan untuk menangkis serangan yang diterima. Sampai akhirnya fisik menentukan, Lexi yang memiliki postur lebih besar mendapatkan peluang, dia langsung menusuk perut Scoby.

Sebuah pisau belati berlumuran darah yang berada dalam genggamannya membuat Lexi panik, dia langsung menjatuhkan pisau itu dan berlari ke arah motor. Terlalu terburu-buru dan ketakutan, sampai tidak menyadari ada sebuah mobil yang berjalan sangat cepat dibelakangnya.

Gerakan yang tiba-tiba membuat sopir mobil itu kaget. Beruntung ia sempat memutar stir kemudi, menghindari tubrukan yang lebih parah. Namun Lexi tetap terpental karena benturan, kepalanya menghantam aspal, darah segar langsung mengalir membentuk sungai kecil.

Mobil itu menancap gas, kabur begitu saja meninggalkan mereka berdua.

Saat hampir kehilangan kesadarannya, dia melihat Scoby yang bersimbah darah berjalan mendekat, satu tangannya memegang perut yang terus mengeluarkan darah akibat tusukan. Matanya mulai meredup, Lexi melihat lawannya itu berjongkok disampingnya.

Scoby mengambil handphone dari saku celana. Samar-samar Lexi mendengar dia berbicara dengan seseorang.

Setelah itu suara Scoby semakin mengecil sampai akhirnya menghilang dari pendengarannya. Lexi pingsan.

Dengan nada yang semakin lemah Scoby terus berbicara kepada seseorang di rumah sakit. Tangannya yang semakin lemah menjatuhkan handphone. Dia menunduk, darah terus mengalir dari lukanya. Scoby memucat, tubuhnya menggigil, perlahan kesadarannya menipis dan Scoby pun jatuh tersungkur di samping Lexi.

Suasana pemakaman terlihat sepi di beberapa sudutnya, jejeran batu nisan yang terukir nama membentuk barisan rapi, tumbuhnya banyak pohon kamboja memayungi setiap gundukan tanah kering penyimpan jasad, seakan melindungi semua tulang belulang di bawahnya dari sengatan matahari.

Rombongan pengantar jenasah yang didominasi warna hitam itu masuk beriringan menyusuri jalan setapak berpaving di dalam areal pemakaman. Empat orang yang menggotong keranda berisi jenasah berjalan paling depan, sementara di belakangnya seorang wanita tua yang telah memiliki keriput-keriput pada sekitar wajah menangis tersedu-sedu, membuat kerutan di wajahnya semakin jelas terlihat.

Mereka tiba pada di depan lubang persegi panjang yang baru selesai digali beberapa menit yang lalu, terlihat dari warna tanahnya yang masih merah. Dengan hati-hati tiga orang lain turun ke dalam dan menyambut jenasah dengan kedua tangannya, lalu dengan pelan jenasah diletakkan. Ibu itu menangis semakin jadi ketika jasad putranya menghilang tertutup tanah. Meraung-raung, mengeluarkan tangisan yang benar-benar menyayat hati orang-orang di sekitarnya, sampai akhirnya wanita tua yang terlihat pucat itu tertunduk lemas di hadapan makam anaknya, tenaganya benar-benar terkuras oleh tangisan yang tak pernah berhenti.

Sebuah kayu nisan segera tertancap saat gundukan tanah itu selesai menutupi semua lubang. Dapat terbaca dengan jelas nama yang terukir pada kayu itu.

Scovita Lahir 19-04-1995

Wafat 20-11-2018

Kerumunan pengantar jenasah meninggalkan pemakaman beberapa saat setelah seorang ustadz membacakan do’a untuk si jenasah, hanya tersisa lima orang laki-laki dan satu gadis muda yang masih memandangi gundukan tanah merah itu dengan tatapan kehilangan.

Deka, Bagas, Ringgo, Yoga, dan Firman memandang punggung Rosita yang bergetar karena tangisannya. Dia berjongkok di samping makam, menaburi bunga di atasnya lalu memejamkan mata, berdo’a untuk jenasah Scoby. Deka menepuk pundak Rosita, seakan menyuruhkan untuk bangkit dan beranjak dari tempat itu.

Hari memang hampir petang dan mereka harus segera pulang ke Semarang.

Deka menjalankan laju mobil dengan kecepatan sedang. Matanya menatap lurus ke aspal jalanan yang mulai diterpa sinar-sinar lampu kota berwarna kuning. Rosita berada disampingnya, masih menangisi kepergian Scoby, tak henti-henti air mata mengalir dari kedua matanya. Dia begitu merasa kehilangan.

Kata-kata hiburan yang diucapkan kelima sahabat kekasihnya itu tidak berhasil membuat Rosita tenang. Dia tetap berduka dan menangis, Bagas dan Yoga duduk di jok kedua, sementara Ringgo dan Firman di belakangnya. Mereka semua menunduk, terdiam, tak ada yang memulai percakapan. Masing-masing masih sibuk dengan perasaan duka yang menyelimuti hati. Semua masih belum benar-benar percaya akan hal ini.

Deka menginjak pedal rem saat mobil itu memasuki area rumah Rosita.

“Ikhlasin, ya Ros,” bujuk Deka, meskipun mimik wajahnya sendiri sama sekali tidak menunjukkan keikhlasan itu.

Rosita keluar dari mobil tanpa menjawab, dengan berlari dia langsung masuk ke dalam rumah. Deka memejamkan mata dan menghela napas, lalu menjalankan mobilnya meninggalkan rumah Rosita.

Mobil mereka memasuki pekarangan kos-kosan tepat pukul sembilan malam. Bagas dan Yoga turun dari mobil disusul Ringgo dan Firman, kemudian Deka membuntuti. Kelima remaja

itu masuk dengan raut wajah kelelahan dan tergambar kesedihan di ekspresi mereka. Semua masih membisu.

Firman mempercepat langkah, mendahului Ringgo dan Yoga, menghampiri Bagas yang berjalan paling depan. Dia membalikkan tubuh Bagas dan meninjunya, tersirat emosi dan penuh kekesalan yang besar saat dia melakukannya.

Semua terkejut, tidak menduga dan tidak mengerti maksud dari tindakan yang dilakukan Firman, termasuk Bagas sendiri.

“Anjing! Kamu yang udah bikin Scoby mati!” “Apa maksudmu?”

“Gara-gara kamu, yang lebih mentingin diri sendiri, yang lebih ngutamain perasaanmu buat Alena. Ngakunya sahabat tapi nyatanya kamu sama sekali bukan sahabat yang baik.”

“Brengsek,”

Bagas tersentak mendengar omongan yang terlontar dari mulut Firman, emosinya meninggi, tersinggung dengan apa yang dia dengar. Dengan penuh amarah ia langsung menerjang Firman hingga keduanya terlibat adu pukul.

Adu jotosan itu baru berhenti saat Yoga dan Ringgo memegang tubuh keduanya, memisahkan mereka. Deka berdiri di tengah-tengah, tangannya direntangkan, membuat jarak diantara Bagas dan Firman.

“Apa yang kalian berdua lakuin? Apa seperti ini cara kalian menunjukkan rasa sedih kalian kehilangan sahabat?”

“Dia, Dek, dia yang punya masalah sama Lexi, dia yang menyulut api. Tapi dia enggak bisa nyelesein masalahnya sendiri sampai-sampai Scoby yang harus mati. Itu semua gara-gara dia!” Firman masih belum bisa meredakan emosinya, dia terus berbicara dengan nada tinggi.

“Aku enggak pernah menginginkan ini, kamu jangan sembarangan kalo ngomong.” Bagas membela diri, dia berontak dari rangkulan Yoga.

“Tenang! Kalian berdua tenang!”

“Kita semua enggak pernah ingin ini terjadi. Enggak aku, Yoga dan Ringgo, enggak juga kalian berdua. Semua sedih Scoby meninggal, sama seperti kamu.” Deka menunjuk Firman dengan pandangannya.

“Tahan emosi kalian, percuma. Percuma kalo saat ini kalian mesti ribut, bukan itu yang Scoby mau.” lanjutnya.

“Percuma kamu bilang? Terus apa? Apa yang bisa kita lakuin?” Firman berbicara sambil mondar-mandir, dia tampak gelisah.

“Coba kalo kalian nurut sama aku dulu, enggak bakal kayak gini, mending kita hajar duluan Lexi waktu itu.”

“Kita memang sudah menghajarnya, dan justru itu yang membuatnya dendam.” Ringgo menanggapi.

“Dan nyatanya, itu enggak menyelesaikan masalah.” Tambah Deka.

“Itu yang bisa kamu bilang sekarang? Kamu selalu mikir seperti itu, lihat hasilnya, lihat! Scoby mati, siapa yang bertanggung jawab?”

“Kamu bilang semua akan baik-baik aja, kamu yang selalu ngatur kita, sok kuasa, semuanya kamu yang nentuin, tapi buat ngelindungin satu sahabat aja enggak becus, aku muak sama sifat kamu!”

Deka terdiam mendengar omongan Firman. Dia emosi dan tersinggung, tapi tidak melakukan tindakan apapun, tidak juga berbicara untuk membela diri. Firman beranjak dari tempat itu, dia sempat menabrakkan tubuhnya ke bahu Bagas, lalu membanting pintu kamar keras-keras.

Brak!”

Semua masih terdiam, saling menunduk. Bagas berjalan ke arah kamar, menutup dan mengunci pintu. Deka mengambil kunci motor, lalu berjalan keluar menuju garasi, beberapa detik kemudian suara motornya terdengar, hingga akhirnya menghilang dikejauhan. Hanya tersisa Ringgo dan Yoga yang masih berdiri terdiam di tempat itu.

Keduanya saling memandang bingung tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Sama-sama merasakan kekecewaan dengan yang baru saja terjadi diantara mereka. Disaat mereka semua berduka, justru harus ada pertengkaran yang terjadi.

“Aku masuk kamar dulu ya. Aku musti packing.” Ringgo memecah keheningan. “Kamu jadi pulang besok?”

“Iya, besok pagi. Sehari itu aku mau ngumpul bareng keluarga, bapak ibu, sebelum lusa berangkat ke Amerika.”

“Aku bantu ya?”

“Enggak usah. Aku tau kamu capek, istirahat aja. Aku juga pengen sendiri.” “Ya udah. Kalo butuh bantuan, aku di kamar.”

Ringgo mengangguk, lalu berjalan masuk kamar. Suasana semakin hening, tidak ada suara sama sekali. Rumah yang biasanya terisi keceriaan dan terdengar gelak tawa dari dalamnya.

Malam itu berlalu dengan kesunyian yang berbeda. 

Deka duduk di atas motor, matanya menatap kosong ke arah lampu-lampu kota Semarang yang berkelap-kelip. Kejadian yang terjadi membuatnya sedih, kecewa dan marah. Tapi dia sama sekali tidak tahu kepada siapa dia harus meluapkan itu.

Setelah dia menjalankan motornya keluar dari kos. Dia tidak tahu harus kemana, hanya terus berjalan kemanapun hatinya mau.

Deka merasa sangat menyesal, entah untuk apa, yang jelas dia benar-benar kecewa pada dirinya sendiri. Mungkin karena kematian Scoby. Masih teringat jelas bagaimana wajah ibu sahabatnya itu saat mendapat kabar anaknya masuk rumah sakit karena ditusuk oleh seseorang, terlebih saat Scoby menghembuskan napas terakhir, dia benar-benar masih dapat membayangkannya dengan jelas, bagaimana kesedihan yang ditunjukkan oleh wanita tua itu. Semua masih tampak nyata.

“Ya Alloh…Ya Gusti…Apa dosa hambamu? Ampun pundhut2 anak kulo Ya Alloh. Jangan ambil anak saya. Kalau memang harus biar saya saja yang Gusti pundhut.”

“Leh, Leh, tego temen kamu ninggal Ibu? Ora sa’ake kamu karo ibu? Ibumu iki uwis tuwo,

uwis ora dhuwe sopo-sopo, kamu malah tego ninggal Ibu. Tangi Leh, tangi.3

“Bapakmu sudah meninggal, sekarang kamu anak ibu satu-satunya. Terus Ibu karo sopo?4 Ibu uwis wegah urip Leh, Ibu melu kamu karo Bapakmu ae.5

Scoby akhirnya meninggal setelah satu hari dia dirawat di rumah sakit, kehilangan banyak darah membuatnya tidak mampu untuk terus berjuang melawan kematian. Sementara Lexi yang juga ikut di rawat di rumah sakit yang sama menceritakan semua kejadian yang sebenarnya kepada polisi dan menyerahkan diri.

Semua masih terngiang di telinga Deka, kejadian itu terus berputar dipikirannya. Matanya masih menatap ke arah kolam, sebuah benda cair muncul di sudut mata.

Seketika itu juga dia kembali teringat sosok Arum Ndalu, wanita yang selalu bisa membuatnya terus tersenyum, dia teringat janjinya kepada Arum Ndalu. Dengan punggung tangannya dia menghapus air mata itu.

Aku kangen kamu, Rum.

2 Ambil

3 Nak, tega sekali kamu meninggalkan Ibu? Apa kamu tidak kasihan pada Ibu? Ibu mu ini sudah tua, sudah tidak punya siapa-siapa, kamu malah tega meninggalkan Ibu. Bangun Nak, bangun.

4 Sama siapa?

Perpisahan

“Satu persatu, jiwa-jiwa yang pernah saling berbagi mulai pergi.”

“Kemana, Man?” Yoga mendapati Firman tengah memasukkan beberapa baju ke dalam tas punggungnya.

“Jogja.” “Berapa hari?” “Sesukaku.”

Yoga menghela napas, “Man, boleh aku bicara?” ia terlihat hati-hati. “Ngomong aja, nggak ada yang ngelarang.”

Yoga berjalan masuk ke dalam kamar dan duduk di samping Firman yang masih melipat baju. Ia terdiam beberapa saat sambil terus memperhatikan teman kosnya itu.

“Ini bukan salah Bagas,”

Firman tidak menanggapi, ia masih menyibukkan diri. Kali ini Firman memasang jam ke tangan kirinya, kemudian nampak mencari sesuatu di meja sampai akhirnya tangannya meraih dompet kulit di atas buku.

“Dan aku pikir kata-katamu untuk Deka tadi malam,”

“Aku tahu itu keterlaluan.” Firman memotong kalimat Yoga, membuat Yoga terdiam. “Asal kamu tahu aku memang menyesal mengatakannya, tapi memang seperti itu kenyataannya.”

“Apa kalian harus seperti ini? Kenapa kalian malah bersikap seperti anak kecil. Bagas dan Deka, aku tak melihatnya sejak semalam. Entah di mana mereka.”

Yoga menatap laki-laki didepannya dengan sedih, “Kita sahabat, kan?”

Firman mencibir, “Lupakan tentang sahabat, sekarang semuanya sudah berbeda.” “Tapi,”

“Dan berhentilah membahas masalah ini, sebelum aku juga membencimu.” Firman kembali memotong kata-kata Yoga.

Yoga menyerah, ia menunduk dan memejamkan mata, “Apa kamu tidak bisa menunda keberangkatanmu, besok Ringgo berangkat.”

Firman tak menjawab, ia melangkah pergi meninggalkan Yoga yang menatap punggungnya dengan tatapan kecewa. Pemuda itu kembali menghela napas, membiarkan Firman berlalu dari tempat itu.

“Yoga terus melihat jam dinding yang tertempel di tembok Bandara Ahmad Yani, sudah empat kali dia melakukan itu sejak setengah jam yang lalu. Raut wajahnya gelisah.

“Sampai kapan terus mondar-mandir sambil liat jam kayak gitu? Mending copot aja jam itu terus pasang di muka.” Ringgo yang duduk di kursi Bandara tak tahan untuk menggodanya. Kedua orangtua Ringgo ikut tersenyum dan geleng-geleng kepala.

Sementara Diandra terus terdiam sejak mereka tiba, kesedihan menjalar di setiap sendi. Hari ini, dia harus merelakan kekasihnya pergi ke tempat yang jauh, Diandra merasa begitu berat melepaskan, dia tidak bisa membayangkan betapa kosong hidupnya tanpa senyum dan canda yang sering dia lakukan bersama Ringgo, betapa nanti dia akan merasakan kerinduan yang begitu besar akan kehadiran sang kekasih disampingnya.

Tanpa terasa air mata muncul di pelupuk mata. Diandra segera menghapus itu, dia tidak ingin Ringgo melihat kesedihannya, dia tidak ingin menjadi penghalang bagi kekasihnya untuk menggapai cita-citanya.

Aku engga boleh egois, pikir Diandra.

“Aku udah bilang sama mereka semalem, kalo kamu mau berangkat hari ini. Aku juga nyuruh mereka dateng, tapi sampai sekarang belum dateng-dateng juga, padahal sebentar lagi kamu bakal berangkat.”

“Udahlah Yog, kalau mereka enggak dateng juga enggak apa-apa kok, pasti ada alasannya.”

“Kamu bisa dateng aja udah cukup, aku udah seneng. Aku anggep kamu ngewakilin mereka.”

“Tapi kan kamu mau pergi jauh, lama pula. Entah kapan kita bisa kumpul bareng lagi.” “Udah, enggak apa-apa, yang penting ada satu di sini.”

“Maafin mereka yah.”

“Maaf? Mereka kan enggak punya salah apa-apa sama aku, kenapa kamu minta maaf?” “Tapi,”

“Udahlah Yog, aku enggak apa-apa, beneran.”

Sebuah pengumuman yang memberitahukan pesawat menuju Jakarta akan berangkat sebentar lagi terdengar di seantero Bandara. Ringgo bangun dari duduknya, begitu juga dengan orangtuanya dan Yoga.

“Pak, Bu, Ringgo berangkat sekarang ya. Do’ain biar bisa selamat sampai pulang nanti. Do’ain juga biar bisa jadi orang sukses.”

Ibu Ringgo menangis, dia memeluk anak laki-lakinya itu dengan erat, pelukan hangat seorang ibu yang akan berpisah lama dengan anaknya, pelukan yang akan sangat dirindukan Ringgo.

“Hati-hati yah, Nak. Jaga diri baik-baik di sana. Jaga pergaulanmu, jangan lupa sholat.” Pesan ibunya.

Ringgo mengangguk, mendengarkan pesan dari ibunya, memasukkan ke hati, mematrinya kuat-kuat.

“Iya Le, jangan macem-macem di negara orang, ora usah neko-neko. Yang penting kamu belajar saja biar bisa cepet pulang dan kumpul lagi sama kami,” tambah bapak Ringgo sambil mengelus rambut anaknya.

“Insya Alloh Pak, Bu. Yang penting restu dari bapak sama ibu tidak berhenti. Ringgo bakal berusaha untuk cepat lulus, biar cepat juga balik ke Indonesia.”

Ringgo beralih kepada Diandra, “Aku berangkat yah, kamu jaga diri disini. Do’ain aku.” Dia menghapus air mata yang mengalir di pipi gadis itu, “Aku janji, aku bakal sering kirim surat buat kamu. Aku bakal terus kasih kabar ke kamu. Aku janji cuma kamu yang ada dalam perjalanan cintaku, kamu harus percaya itu,” lanjutnya, mencoba meyakinkan Diandra, menguatkan hati gadis itu, dan hatinya sendiri.

Diandra mengangguk, “Iya aku percaya. Kamu juga enggak perlu khawatir sama aku disini, aku akan terus nunggu kamu pulang, aku akan terus di sini sampai kamu ada disisiku lagi suatu saat nanti.”

“Aku berangkat ya, Yog. Doain aku,”

“Pasti, pasti aku do’ain kamu. Jangan lupa kirim surat buat kita semua nanti, yah,” jawab Yoga tenang.

“Iya, aku usahain. Salam buat yang lain,”

Saat Ringgo mengucapkan kalimat itu, matanya menangkap sosok yang dia kenal berjalan di kejauhan, mendekatinya. Bagas dan Deka bersamaan menghampiri kelompok itu, disusul Firman yang berjalan dari arah lain. Ringgo tersenyum bahagia, semua sahabatnya ternyata memang benar-benar seorang sahabat sejati, dan mereka datang, Yoga tersenyum lega.

“Heh, kamu mau ninggalin kita tanpa pamit? Gue hajar juga lo,” canda Deka pura-pura marah.

“Tau tuh, enggak inget siapa yang dulu nemenin ngumpulin formulir beasiswa ini? Udah diterima mau kabur aja,” tambah Bagas.

“Kalian semua, makasih banget yah. Aku seneng kalian pada dateng nganterin kepergianku. Aku sempet sedih tadi, kirain pada enggak kesini.”

“Enggak mungkin kita enggak dateng, kita semua sahabatmu, apalagi kamu mau lama disana, entah kapan kita bisa ketemu lagi,” Deka mencoba mewakili semua sahabatnya itu.

“Kita pasti ketemu lagi kok, entah kapan itu, dan dimana, pasti kita bakal ketemu lagi, aku yakin itu.”

Semua mengangguk, setuju dengan perkataan Ringgo. Suatu saat, pasti akan ada waktu di mana mereka akan berkumpul lagi, bisa tertawa dan bisa bercanda bersama lagi. semua yakin akan hal itu, meskipun mereka masih sama-sama belum tahu, kapan itu akan terjadi.

Lalu Ringgo berjalan menjauh, melambaikan tangan pada semuanya dan menghilang di balik tembok.

Kedua orangtua Ringgo memohon pamit kepada empat sahabat putranya setelah hampir lima menit mereka semua hanya diam berdiri semenjak bayangan Ringgo lenyap. Firman berjalan meninggalkan tempat itu tanpa berkata apa-apa. Bagas, Deka dan Yoga hanya bisa melihat punggung Firman yang perlahan menjauh dari mereka.

Semua hanya bisa terdiam, ada rasa sepi yang menjalar di hati mereka, dan perasaan itu tidak menghilang ketika Deka mengajak Bagas, Yoga, dan Diandra untuk pulang.

Wisuda

“Akan ada kisah persahabatan yang baru di tempat ini, yang pasti lebih menyenangkan.”

Sebuah sepeda motor berwarna orange memasuki pelataran kos, pengemudinya yang juga

Dokumen terkait