• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Mereka yang selalu menciptakan tawa bersama, adalah jiwa-jiwa yang tak terpisahkan.”

“Kuliah woy! Sudah jam berapa ini? Kalian bisanya cuma molor aja. Cepet pada bangun!” Suara cempreng Yoga sudah membahana di seantero kos ketika pagi baru saja membuka tirainya, mengusik ketenangan penghuni lain yang masih terlelap. Dengan mata yang masih setengah terpejam, satu persatu keluar dari kamar mereka masing-masing. Scoby membawa bantalnya keluar, dan merebahkan diri di sofa.

“Kalian itu tujuannya ke sini mau ngapain sih? Kalian ini dipercaya sama orang tua buat kuliah, bukan buat malas-malasan kayak gini, dasar generasi gagal,” Yoga mencoba ceramah.

“Emang sekarang jam berapa sih?” Tanya Bagas santai. “Jam tujuh kurang seperempat, begoooo.”

“Aku kuliah jam Sembilan, brengsek,” Omel Bagas ketus. “Aku jam sebelas, sialan kamu,” Deka ikut ngomel.

“Aku nggak ada kuliah hari ini, kampret. Nggak inget jadwal kita apa?” Sembur Ringgo. Yoga tersenyum masam, sambil menggaruk kulit kepalanya, “Kalo kamu Sco?”

“Aku juga jam Sembilan.”

Yoga nyengir lagi, dia melirik Firman.

“Gila, berarti cuma aku yang kuliah jam tujuh?”

“Urusanmu,” kata Firman sebelum balik badan dan masuk kamar lagi.

“Emangnya kita anak sekolah yang harus berangkat pagi tiap hari?” tambah Deka. “Huh, ya udah. Sialan,” gerutu Yoga sambil menyalakan televisi.

“lho-lho, bukannya kamu kuliah?” Tanya Bagas. “Males.”

“Terus, nasehat-nasehat yang tadi itu apa?”

“Kamu ini dipercaya buat kuliah, bukan buat nonton tivi,” Ringgo menirukan gaya Yoga yang langsung membuat teman-temannya tertawa.

“Udah, nggak usah ngeledekin, tidur lagi aja sana kalian.” “Males, udah terlanjur bangun gini. Aku mau nyuci motor aja,” “Sama, aku juga mau nyuci baju. Udah numpuk.”

“Eh kebetulan, aku titip ya, Gas,” pinta Ringgo. “Ogah, bajuku aja udah banyak banget.”

“Ah, cuma beberapa doang kok, nggak banyak. Ntar aku kasih detergent.” “Aku punya sendiri.” Bagas masih menolak.

“Aku traktir mie ayam semangkok.”

“Kamu yang aku traktir dua mangkok mie ayam kalo mau nyuciin bajuku,” Balik Bagas. “Beneran?” Tanya Ringgo antusias.

“Iya, bener. Dua mangkok, mangkoknya doang.” Bagas tertawa puas. “Sialan.”

Yoga dan Scoby yang dari tadi mendengarkan percakapan dua orang itu ikut tertawa kecil. “Sekop, pindah kamar sana. Ganggu orang nonton tivi aja.”

“Ogah, aku mau tidur di sini aja,”Scoby justru melebarkan kakinya di sofa. Yoga mendengus kesal.

“Dek, kapan-kapan temenin aku nyari kado ya, Alena mau ulang tahun,” omong Bagas saat dia sedang mencuci baju.

Sambil mengguyur sepeda motornya Deka mengangguk, “Boleh deh,” Ringgo berjalan dari dalam mendekati keduanya, “Gas, aku nitip dong,”

“Kamu, masih nggak kapok juga. Aku bilang ogah ya ogah. Mau aku siram air sabun?” Ancam Bagas.

Ringgo tertawa dengan cukup keras.

“Eh, main PS yuk, sewa gitu,” Bagas mengusulkan, tangannya sibuk memeras cuciannya. “Wah, boleh juga tuh. Udah lama juga kan kita nggak main play station. Kayaknya bakal asik nih,”

“Gimana Dek? Kamu mau nggak?” “Kan kita semua kuliah?”

“Ya enggak sekarang, nunggu pada pulang dulu.”

“Iya, lagian besok kan sabtu, kita nggak ada yang kuliah toh, jadi bisa main sampe pagi. Kita bikin liga deh,”

“Gimana?”

“Ayo deh, dari pada nggak ngapa-ngapain juga ntar malem. Ya udah sana bilang sama yang lain, sekalian tarikin duit buat iuran nyewa PS.” Perintah Deka.

“Oke, Bos.” Jawab Ringgo sambil beranjak dari tempat itu. 

Abg tua tingkahmu semakin gila Kau menjerat semua wanita Wanita yang ada di depan mata Rayuanmu sungguh mempesona

Lantunan lagu dangdut menggema dari kamar Yoga, membuat sore yang sedikit panas itu menjadi berisik. Yoga yang hanya mengenakan celana kolor bergoyang, ditemani Bagas dan Deka yang ikut meningkahi gerakan pemuda keriting itu. Mereka bergoyang seenaknya sendiri, semua gerakan konyol yang memancing tawa.

Firman yang duduk di sofa hanya menggeleng-gelengkan kepala mengikuti musik. Sesekali mereka ikut bernyanyi bersama-sama.

“Tarik mang, cihuy,” ucap Deka sambil terus bergoyang serampangan. “Capek kuliah ilang kalau udah kayak gini, lanjuuut.” Bagas ikut menimpali.

Yoga menyenggol bahu Bagas, “Woy bung, yang santai dong goyangnya. Wilayah gue nih,” canda Yoga.

“Damai coy, piss. nggak sengaja.” “Mau gue kepret lo.”

“Kayaknya enak nih kalo sambil minum bir,” usul Firman. “Minum bir sambil main PS juga, kayaknya asik tuh?”

“Dasar. Ya udah, buruan kabarin Ringgo apa Scoby suruh mampir ke swalayan buat beli bir sama rokok. Mumpung mereka lagi nyewa PS, suruh sekalian beli,” perintah Deka.

Yoga mengambil ponsel sesuai perintah Deka. Lalu kembali asik bergoyang tanpa aturan. Hingga beberapa menit kemudian suara sepeda motor Scoby terdengar dari pelataran. Ringgo dan Scoby masuk, masing-masing menenteng satu tas sedang dan sebuah kantong kresek.

Ringgo geleng-geleng kepala setelah mendapati ke empat temannya sedang asik bergoyang serampangan di temani lagu dangdut.

“Orang-orang gila, nggak punya perasaan. Aku sama Scoby panas-panasan sewa PS kalian malah asik joged gini.”

“Nih, PS sama birnya udah dateng, matiin musiknya cepet. Kita bikin liga,” tambah Scoby sambil meletakan kantong kresek hitam berisi enam botol bir dan empat bungkus rokok di sofa.

Yoga berjalan ke kamar dan mematikan musik yang dia putar melalui laptopnya. Bagas dan Deka mangambil alih tas dari tangan Ringgo, mengeluarkan playstation, memasang kabel-kabel ke sebuah televisi berukuran 21 inchi.

“Mau pada pakai tim apa?”

“Aku Barcelona.” Firman menjawab cepat. “Real Madrid.” Ringgo memilih tim jagoannya. “As Roma dong,” ujar Yoga mantap.

“Inter aja aku. Jagoanku udah di pake Firman.” Scoby mengalah. “Kamu, Gas?”

“Aku Liverpool.”

“Ok, kalo gitu aku Manchester United aja,” “Nih, Firman sama Yoga duluan yang main.”

“Eh, tunggu dulu. Biar rame, gimana kalo yang juru kunci suruh nguras bak mandi?” Scoby mengusulkan.

Semuanya langsung mengangguk setuju. “Terus, yang juara dapat apa?” Tanya Yoga.

“Yang juara nggak usah, yang juru kunci aja yang dapet hukuman. Nguras Bak mandi dua tuh,”

“Oh, ya udah, gitu aja perjanjiannya. Deal lho, nggak boleh protes ntar.” Deka menegaskan. Selanjutnya mereka ber enam asik bermain play station, ditemani oleh enam botol bir dan rokok.

 “Uugh, gila. Berat boy, ampuuuun,”

Yoga yang sedang tiduran di kamar langsung berteriak ketika tiba-tiba tubuhnya di timpa oleh tubuh Firman, lalu Ringgo ikut menjatuhkan badan di atas tubuh Firman, disusul Scoby, mereka saling berteriak.

Yoga yang berada paling bawah terus mencoba meloloskan diri, “Udaaaah, aku nggak bisa napas.”

“Ahahaha, rasain kalian, rasain kalian,” Ucap Scoby tanpa dosa.

Dengan leluasa dia menekan badannya, membuat tiga orang di bawahnya semakin lemas. Muka Firman, Ringgo dan Yoga memerah.

“Ampun-ampun, aku nyerah,” kata Firman sambil berontak. “Berat kali kau Sco. Tulangku mau patah,”

Deka yang sejak tadi konsentrasi bermain play station berlari dari ruang tivi dan melompat, menjatuhkan diri di atas badan Scoby, ‘egh,’ keempatnya tidak siap mendapat satu serangan lagi, membuat mereka berteriak semakin kencang.

“Bangkeee.” Yoga terus berusaha meloloskan diri, wajahnya semakin memerah. Di atas Scoby, Deka tertawa puas, “Matilah kalian, hahaha.”

Yoga terus berontak, melonggarkan himpitan ke empat sahabatnya, Firman ikut berontak, disusul Ringgo dan Scoby, hingga akhirnya dapat menjatuhkan Deka dari badan mereka. Semua merasa lemas, bernapas tanpa aturan. Wajah mereka masih merah.

“Brengsek kalian,” rutuk Yoga.

Semuanya tertawa sambil terus mengatur napas, merasa puas, merasa senang. Ini bukan yang pertama mereka melakukan perbuatan yang menurut mereka konyol tapi mengasyikan seperti tadi, mereka selalu menganggap itu menyenangkan.

“Capek,” ucap Deka lirih di sela tawanya.

“Eh, apa aku pernah ngomong?” tanya Ringgo tiba-tiba. Bagas masuk kamar sambil menghisap rokok.

“Ngomong apa?”

“Ngomong kalo bertemu kalian itu bener-bener menyenangkan, aku bersyukur bisa menjadi bagian dari kisah kalian,”

Semua menghentikan tawa mereka, menggantinya dengan sebuah senyuman, setuju dengan ucapan Ringgo, merasa kebersamaan mereka selama ini memang benar-benar menyenangkan.

“Iya, aku juga merasa bersyukur bisa satu kosan sama kalian. Meski kadang kalian bisa berubah menjadi manusia yang paling menyebalkan di muka bumi,”

“Meski kadang kalian suka minta detergent buat nyuci.”

“Meski sampe sekarang utang Ringgo ke aku belum diganti, padahal sudah dua tahun,” cakap Scoby sambil terkekeh, Ringgo juga tertawa.

“Sebelum ini, aku belum pernah punya sahabat, bahkan seorang temanpun aku sulit. Tapi bersama kalian, entah kenapa aku percaya,” Firman memandang wajah sahabatnya satu persatu.

Semuanya terdiam, semua merenung, terbawa suasana. Sedetik kemudian, mereka semua tertawa.

“Apaan sih, kok jadi melankolis gini.”

“Kamu juga sama aja,” Ringgo melemparkan bantal ke muka Yoga. “Udah, ganti topik aja,” ajak Scoby.

“Oh iya, Gas, siapa yang jadi juru kunci tadi?”

Bagas menunjuk ke arah Deka, menjawab pertanyaan Firman. “Deka juru kuncinya? Ahahaha” Scoby tertawa, semua tertawa. “Sialan kalian, aku cuma kurang beruntung aja.” Deka membela diri.

“Terserah, yang penting hukuman tetap sesuai perjanjian, menguras kamar mandi.” “Buruan kuras, aku mau mandi, gerah. Yang bersih ya ngurasnya,” Yoga terlihat begitu puas.

“Brengsek.” Rutuk Deka, dia menarik tubuh Yoga dan menindihnya.

Empat orang yang lain tidak mau ketinggalan, mereka kembali saling tindih satu sama lain. “Ugh, sialan. Wooy, berat, nggak bisa napas.”

Dokumen terkait