• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Seorang gadis manis bernama Alena,”

Bagas dan Scoby berjalan santai keluar dari sebuah toko sepatu. Sebuah kantong plastik berwarna oranye nampak dibawa oleh Scoby.

Keduanya berjalan menuju parkiran.

“Gila kamu, beli sepatu yang harganya selangit. Jatah makan satu bulan itu mah.”

Scoby tersenyum “Aku udah pengen sepatu ini sejak lama. Mumpung lagi ada duit, aku beli aja. Lagi juga ini kan limited edition.”

“Tapi kalo aku sih yang penting bisa dipakai. Tuh sepatu yang sering aku pake, beli pas kelas satu SMA. Biarpun pada bolong-bolong, tapi entah kenapa sayang kalo mau dibuang.” Ujar Bagas sambil menikmati rokoknya.

“Itu kan kamu, sukanya sama yang kuno. Tuh liat buktinya, muka jaman megalitikum aja masih terus kamu pakai.”

Bagas mau tak mau tertawa mendengar candaan yang terlontar dari mulut Scoby. “Sialan.”

Keduanya sampai di tempat motor mereka di parkir, Bagas mengeluarkan kunci dari dalam saku celana,dan melemparkan ke arah Scoby.

“kamu yang nyetir. Aku capek.”

Scoby memakai helm dan duduk di atas jok motor. Bagas melakukan hal serupa, namun gerakannya terhenti. Sepasang remaja yang sedang bertengkar menarik perhatiannya.

“Aku kesana dulu.”

Tanpa menunggu reaksi Scoby, pemuda itu turun dan berjalan ke arah mereka. Sayup-sayup Bagas yang semakin dekat dapat mendengar apa yang sedang dibicarakan oleh keduanya.

“Kamu udah sering bilang kayak gitu. Tapi mana? Cuma omongan doang, kamu tetap nggak bisa berubah. Aku udah bosen dengernya.” Disela tangisnya, ia berbicara dengan nada yang cukup keras.

“Kali ini aku serius. Aku bakal berubah. Kamu mesti percaya sama omonganku. Aku sayang sama kamu”.

“Bohong!! Kamu enggak sayang sama aku, kamu cuma sayang sama diri kamu sendiri. Kamu lebih milih barang haram itu dari pada aku.”

“Aku udah ngasih kamu kesempatan berkali-kali. Kamu udah janji enggak make lagi, tapi nyatanya, kamu masih sering make di belakang aku.”

“Kamu harusnya masuk rehabilitasi. Kamu sakit.”

Laki-laki itu tampak emosi. Dia mengangkat tangan, siap melayangkan tamparan. Beruntung Bagas tiba disaat yang tepat, sehingga dapat menahan tangan tersebut dari belakang.

“Siapa kamu?”

“Aku? Bukan siapa-siapa. Aku cuma mau ngelerai pertengkaran kalian, tapi kayaknya kamu udah keterlaluan.”

“Enggak usah ikut campur! Ini urusanku sama cewekku. Enggak ada hubungannya sama kamu.”

“Aku enggak bakal ikut campur kalo kamu nggak main kasar sama cewekmu. Kamu nggak berhak nyakitin dia.” Ujar Bagas.

Kali ini dia sedikit menaikkan nada bicaranya beberapa oktaf. Harga dirinya sebagai seorang laki-laki tidak bisa membiarkannya tetap tenang setelah dibentak oleh orang yang belum dia kenal.

“Brengsek. Aku udah bilang, kamu enggak usah ikut campur, atau” “Atau apa?”

Sebuah suara yang lain memotong. Scoby yang ternyata mengikuti Bagas muncul dari belakang tubuh Bagas.

“Atau apa?” Ulang Scoby.

Dia nampak terkejut melihat kemunculan Scoby.

Sial, dua orang. Aku nggak bakal bisa menang.

“Udahlah, ini bukan urusan kalian. Ini masalah kami.” Ia kembali meraih pergelangan tangan gadis yang sejak tadi terdiam, lalu menariknya.

“Lepasin, aku enggak mau pergi sama kamu.” Dia melirik ke arah Bagas, meminta pertolongan.

Bagas yang sejak tadi memang ingin menolong merasa mendapat persetujuan.

“Dia enggak mau ikut sama kamu, jadi mending kamu yang pergi sekarang.” Perintah Bagas sambil melepaskan cengkeraman tangannya.

“Bangsat, awas kalian.” Ancamnya sambil berjalan pergi.

Bagas menghela napas, lalu menoleh ke arah gadis disebelahnya. “Kamu enggak apa-apa?” Gadis itu menggeleng, “Udah sering kayak gini, jadi udah kebal.” Jawabnya sambil menyusut air mata.

“Makasih ya.” Lanjutnya.

“Sama-sama. Aku cuma nggak suka aja liat cewek dikasarin. Aku Bagas, dan ini temenku Scoby.”

“Aku Alena.”

“Manis.” Tanpa sadar Bagas menggumam pelan, mengagumi wajah Alena. “Apa?”

“Hah? Eh, enggak. Pulang naik apa?” Tanya Bagas gugup, dan memilih untuk mengalihkan pembicaraan.

“Tadi berangkat berdua sama dia, bawa mobilnya. Tapi sekarang pulang sendiri, naik taksi aja.” Jawab Alena.

“Aku anterin yah?”

“Eh, enggak usah. Nggak perlu kok. Kasihan temen kamu, tuh.” “Enggak apa-apa. Aku bisa pulang sendiri, tuh bawa motor.”

“Iya, aku enggak tega ngebiarin kamu pulang sendirian. Entar kalo supir taksinya maniak gimana? Tukang culik? Atau psikopat? Kamu mau jadi korbannya?”

Alena tersenyum, “Kamu tuh tukang culiknya.” Alena membalas candaan Bagas. “Ya udah, kalo enggak ngerepotin sih.” Lanjutnya.

Scoby memohon diri ketika keduanya hendak mencari taksi. “Kemana?”

“Apanya?”

“Pulang kemana?”

Bagas mengangguk, “Ke Tembalang pak.” Perintah Bagas kepada supir taksi.

Keduanya terdiam di sepanjang perjalanan, diam-diam Bagas melirik ke arah Alena yang nampak sedang menatap keluar. Gadis itu terlihat muram.

“Cowok tadi itu,”

“Namanya Lexi. Dia pacarku, ah, mungkin mantan pacar lebih tepatnya. Entahlah, hubungan kami memang rumit.” Alena memotong perkataan Bagas tanpa mengalihkan pandangannya.

“Tadi kenapa?” Tanya Bagas dengan hati-hati.

“Dia enggak terima aku putusin, dia masih pengen pacaran sama aku. Tapi aku sudah enggak tahan sama sifatnya. Kamu lihat sendiri tadi, dia seneng banget main kasar kalo lagi marah, aku udah sering dipukulin.”

“Tapi yang paling bikin aku enggak bisa tetap bertahan pacaran sama dia karena dia seorang pemake, pecandu narkoba.” Perlahan suara Alena berubah serak, air matanya mengalir kembali.

Bagas diam mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut gadis disebelahnya, mencoba mengerti dengan perasaan Alena yang terlihat begitu terluka.

“Bahkan, dia pernah mencoba ngajak aku ikut mengkomsumsi barang itu. Aku benar-benar nggak nyangka dia bakal ngelakuin itu ke aku. Hal itulah yang bikin aku ngambil keputusan buat mutusin dia, aku udah nggak tahan.”

“Kok kamu mau jadi pacarnya?” Bagas terlihat ragu-ragu ketika menanyakannya. Alena terdiam beberapa detik, membuat Bagas serba salah.

“Kami dijodohin.” Jawab Alena lemah. Gadis itu tersenyum masam.

“Makasih ya udah nolongin aku, makasih juga udah mau ndengerin aku. Padahal kita baru kenal.”

“Iya, sama-sama,” Bagas memberikan senyumnya.

Selanjutnya, suasana hening menguasai. Alena tidak lagi melanjutkan ceritanya. Bagaspun tidak berani bertanya lebih jauh lagi, dia sudah cukup mengerti dengan apa yang dirasakan Alena dari sepenggal ceritanya.

Taksi itu merayap dijalan aspal yang sedikit bergelombang, melintasi gedung-gedung serta semua orang yang lalu lalang dengan berbagai aktifitas mereka masing-masing, membawa kedua remaja didalamnya menuju kedekatan yang kelak akan menjadi lebih jauh lagi.

Namannya Arum Ndalu. Seorang gadis manis berperawakan tinggi. Kulitnya putih, rambutnya sedikit di bawah bahu, yang hampir selalu dia gulung menggunakan jepit rambut berwarna merah.

Dua buah lesung pipit akan tampak apabila dia sedang berbicara, tersenyum dan tertawa. Arum tumbuh menjadi gadis aktif dan sedikit tomboy, yang selalu membuat ulah yang akan menghadirkan gelengan kepala dari orang-orang disekitarnya. Sifatnya yang selalu ceria, periang dan dapat membuat suasana menjadi hangat dengan segala tingkah lakunya menjadikan gadis itu mudah bergaul.

Begitulah Arum Ndalu, gadis manis yang periang, yang hampir tidak pernah menunjukkan kesedihan dalam dirinya.

Deka selalu senang jika ada di dekat Arum, begitu juga dengan Arum jika di dekat Deka. Menurutnya, Arum adalah orang yang bisa membuat sekitarnya menjadi nyaman dengan polah tingkahnya yang konyol.

Dan menurut Arum, Deka dapat membuatnya merasa aman dan tenang. Dengan paras ayu yang dia miliki, membuatnya sering digoda oleh mahasiswa laki-laki dikampusnya. Entah itu teman seangkatannya, senior, atau juga mahasiswa dari fakultas lain. Tapi hal itu tidak perlu di khawatirkan ketika ada Deka disebelahnya.

Keduanya sangat akrab, di dalam maupun di luar kampus mereka sering menghabiskan waktu bersama. Entah berdiskusi, makan, atau sekedar jalan-jalan.

Jika tidak sedang bersama sahabat-sahabat kosnya, hampir dipastikan Deka akan bersama gadis muda itu.

Temperamental

“Senandung kerinduan di malam hari.”

Ringgo meraih gitar yang tersandar di tembok kamar, ia mengatur posisi duduk dan mulai memetik dawai gitar, melantunkan nada merdu yang disusul dengan nyanyian yang keluar dari mulutnya. Sebuah lagu dari Sheila On 7 mengisi keheningan malam itu.

Saat-saat seperti ini, pintu t’lah terkunci lampu t’lah mati Ku ingin pulang, tuk segera berjumpa denganmu

Waktu-waktu seperti ini, di dalam selimut harapkan mimpi Bayangan pulang, tuk segera berjumpa denganmu

Ku ingin kau tahu, ku bergetar merindukanmu Hingga pagi menjelang

Nyanyian itu terhenti ketika pintu kamarnya diketuk, lalu terbuka dengan perlahan. Dia menunggu seseorang yang telah membuatnya berhenti bernyanyi masuk ke dalam kamar, sampai kemudian sosok Deka muncul sambil tersenyum. Sebuah buku berada di tangan kanan, dan secangkir kopi di tangan kiri.

“Belum tidur?”

“Nggak ngantuk. Kamu sendiri?”

Deka menunjukkan buku yang ia bawa, “Ada tugas yang belum kelar buat besok. Udah jam tiga pagi tapi belum selesai nih.”

“Kirain cuma aku yang masih melek, kosan udah sepi banget.” “Yang lain udah pada molor.”

“Denger suara gitar, ya udah aku kesini. Ternyata ada yang nggak bisa tidur juga. Aku numpang ngerjain tugas di sini ya,” lanjutnya.

Ringgo mengangguk, ia membiarkan teman kosnya itu berjalan menuju meja belajar yang tergeletak di sudut kamar, Deka langsung serius mengerjakan tugas kuliah. Sementara Ringgo kembali memetik senar gitar, melanjutkan lantunan lagu yang sempat terhenti tadi.

Sesaat mata terpejam tirai imaji membuka

Semakin kuterlelap s’makin jelas sangat senyuman Tak ingin terjaga sampai aku pulang

Sesaat mata terpejam bintang-bintang menari indah Iringi langkahmu rangkai mimpi yang smakin dalam Tak ingin terjaga sampai aku pulang

Deka menghentikan aktivitasnya, lalu beralih memandang Ringgo yang terlihat masih bermain dengan alat musik kesayangannya itu.

“Lagi kangen siapa?”

Pemuda itu menoleh, lalu tertawa kecil, “Cuma kangen orang rumah. Mungkin minggu ini aku mau pulang.”

Deka kembali mengalihkan pandangannya kepada tugas yang masih harus diselesaikan. “Aku juga mungkin minggu ini pulang ke rumah, tadi ditanyain sama ibu, kapan mau pulang.”

Tidak ada tanggapan, hanya terdengar petikan-petikan pelan senar gitar yang dilakukan dengan cukup terampil oleh mahasiswa jurusan musik itu.

“Tadi siang Firman mau ribut di kantin,” Deka mengganti topik. “Oh iya? Sama siapa?”

“Temen satu jurusannya Bagas. Tapi untung pas itu aku sama Bagas lagi di sana juga, jadi bisa melerai sebelum Firman adu jotos.”

“Itu anak emang emosian banget.”

Deka mengamini pendapat teman satu kosnya.

“Iya, padahal cuma gara-gara temennya Bagas itu nggak sengaja nyenggol Firman. Tapi sekarang udah damai kok. Bagas yang menengahi,” ia meminum kopi sececepan.

“Udah berapa kali si Firman ribut sama mahasiswa lain, bahkan sama anak-anak kampung juga. Takutnya nanti ada yang dendam terus main keroyok pas dia lengah,”

“Dia cukup jago, sepertinya kita tidak perlu terlalu mengkhawatirkannya,”

“Siapa yang tahu, kita tetap harus mencegahnya saat dia emosi dan akan berkelahi. Mengurangi resiko jauh lebih baik, bukan?”

Deka menganggukkan kepala, “Kamu benar, kapan-kapan aku akan bilang ke anak itu agar bisa sedikit menghilangkan sifat temperamentalnya,”

Ringgo memilih untuk kembali bermain dengan alat musiknya. Memetik senar-senar gitar dengan lebih pelan, tidak ingin mengganggu Deka yang kembali fokus mengerjakan tugas. Dua puluh menit kemudian Deka pamit, meninggalkan Ringgo yang juga langsung mematikan lampu kamar.

Pemuda itu terlelap beberapa menit kemudian. 

Yoga berjalan di sepanjang trotoar, dia baru saja selesai kuliah. Seorang diri pemuda berambut keriting itu melangkahkan kaki, hingga ia berhenti di sebuah halte pemberhentian bus kampus.

Kampus tempatnya belajar menyediakan bus gratis untuk memberikan fasilitas bagi para mahasiswa yang tidak mempunyai kendaraan pribadi untuk mengantarkan berangakat maupun pulang kuliah, beberapa halte disediakan di masing-masing fakultas.

Sesekali ia melirik jam tangan berwarna putih yang melingkar di tangan kirinya, pukul empat lebih lima belas menit, artinya lima belas menit lagi untuk menunggu bus kampus melewati halte itu.

Tiba-tiba sebuah suara memanggil namanya. Bagas duduk di atas motor dan berhenti di seberang jalan.

Yoga berdiri dan berjalan menghampiri Bagas. Motor itu melaju menjauh dari halte, membawa keduanya melintasi jalanan yang masih cukup ramai oleh mahasiswa-mahasiswa lain.

“Kebeneran banget bisa ketemu kamu, Gas,”

Bagas tersenyum, “Iya, nemu orang ilang di halte. Kasihan jadi aku bawa pulang aja,” “Bangke, lu,”

Keduanya tertawa di atas sepeda motor.

Tidak lama untuk sampai di kos, mereka disambut dengan senyuman oleh empat orang yang saat itu sedang asik bermain kartu di ruang tivi, wajah mereka nampak cemong karena ampas kopi.

“Dandanan macam apa itu?” Tanya Yoga sambil melepas sepatu. “Hukuman buat yang kalah.” Scoby mewakili teman-temannya.

Yoga dan Bagas tertawa menyaksikan tingkah ke empat teman satu kos mereka. “Gila kalian.”

“Ikut aja sini.”

“Enggak dulu, aku mau keluar.” Tolak Bagas.

“Kemana?” Deka bertanya sambil memilih satu kartu, lalu menjatuhkannya ditumpukan kartu yang telah berserakan di lantai.

“Futsal sama anak-anak kelas.”

Bagas berlalu, masuk ke dalam kamar dan langsung mengganti pakaian dengan seragam futsalnya.

Yoga yang telah mengganti pakaian kuliahnya dengan kaos bergabung dengan empat orang yang masih bermain kartu tersebut, beberapa menit kemudian wajahnya telah penuh dengan coretan-coretan ampas kopi.

“Aku mau nyari makan, ada yang mau nitip?” Firman bertanya kepada Yoga dan Scoby yang tengah menonton tivi malam itu.

Yoga menggeleng, “Aku udah makan tadi.” “Aku ikut aja deh.”

“Ya udah, yuk,”

Scoby berdiri dari duduknya dan mengikuti langkah Firman yang berjalan menuju motor. “Makan apa nih?”

“Aku pengin nasi goreng ujung gang.” “Ya udah aku sama deh, sekalian.”

Tiba-tiba Sebuah sepeda motor menyalip mereka secara mendadak, membuat Firman terkejut dan sedikit kehilangan kendali laju motornya, beruntung Firman dapat menyeimbangkannya kembali.

“Brengsek.” Rutuk pemuda yang langsung menggas motornya lebih cepat, mengejar motor yang tadi menyalipnya.

Scoby menepuk jidat melihat gelagat Firman yang emosi, ia sudah tahu watak sahabatnya yang gampang tersulut emosi.

Bakal ribut nih.

Firman berhasil menyusul motor tersebut, memepetnya dan langsung menyuruh pengendaranya berhenti.

“Hati-hati kalau naik motor.”

“Apa masalahmu?” Pengendara motor itu nampak kebingungan.

“Tadi kamu hampir bikin aku dan temanku celaka, brengsek,” Firman tidak menurunkan nada bicaranya.

Scoby hanya diam berdiri di samping Firman, merasa tidak enak dengan orang-orang disekitar yang tengah melihat keributan itu.

“Maaf, aku buru-buru.”

Firman meludah, “cih, enak banget minta maaf. Terima ini dulu,” ia melayangkan tinjunya tepat ke arah pipi kiri pemuda itu, membuatnya langsung jatuh terjengkang.

Reflek Scoby menahan Firman yang terlihat masih akan menendang tubuh pemuda yang saat itu masih mengerang sambil memegang pipi kirinya, lalu menyuruh pemuda itu untuk segera pergi.

“Gila kamu,”

“Dia yang mulai,” Firman membela diri. “Dia sudah minta maaf,”

“Ah, sudahlah. Aku malas berdebat.”

Wajah Firman masih terlihat emosi. Ia berjalan menuju motornya, Scoby menggelengkan kepala sebelum menyusul dan naik keboncengan. Keduanya meninggalkan tempat itu tanpa menghiraukan tatapan dari orang-orang yang sejak tadi menyaksikan keributan itu.

Alena

“Kisah asmara di kota Semarang,”

Sabtu malam dengan udara yang cukup dingin. Hujan baru berhenti selepas mahrib, masih menyisakan tetesan air yang menempel pada dedaunan. Setetes demi setetes jatuh ke dalam genangan air di atas aspal, menimbulkan gelombang kecil pada genangan itu.

Bagas masih mematut diri di depan cermin di kamar Ringgo, dia menyisir rambutnya yang gondrong dan sedikit awut-awutan. Dengan kaos krem berbahan katun dan celana jeans andalan yang membalut tubuh.

Ringgo, Yoga dan Deka yang sedang ngobrol di atas ranjang memperhatikan tingkah sahabatnya itu dengan pandangan takjub sekaligus heran.

“Mau kemana sih? Heboh banget kayaknya?”

Bagas hanya menjawab dengan senyuman lalu kembali sibuk dengan cermin yang menampakkan bayangan dirinya.

“Buset, dicuekin.”

“Maklum aja Dek, namanya juga orang baru kenalan sama cewek cakep, lupa sama segalanya. Kamu tanya aja siapa namanya sendiri, pasti dia lupa juga,” Ringgo ikut-ikutan menggoda Bagas.

“Gas, kata Scoby kamu dapet kenalan cewek ya? Kenal di mana? Hebat juga,” Deka tidak putus asa untuk mendapat perhatian dari Bagas, dan kali ini dia berhasil.

“Aku kenal udah lumayan lama kok. Ya enggak sengaja sih kenalnya, waktu itu dia lagi ribut sama mantannya yang suka main tangan, terus aku bantuin. Nih mau main ke kosnya.”

“Kamu kan ganteng, Dek, ya di bawahku dikit lah. Harusnya kamu yang lebih gampang nyari cewek,” Tukas Bagas.

“Lagian, kamu kan lagi deket sama cewek yang namanya Arum,” lanjutnya sambil menyemprotkan parfum yang dia ambil dari meja.

“Yang beda kampus maksudku, Gas.”

“Udah, deh, nggak usah macem-macem. Aku mau berangkat.” Bagas meraih jaket yang tergantung di belakang pintu kamar Ringgo.

“Pinjem jaketnya, ya.”

“Huuu, enggak modal.” Sindir Yoga.

Bagas tidak peduli, dia tetap berjalan keluar kamar meninggalkan tiga orang sahabatnya yang kembali asyik mengobrol sambil menikmati kopi panas yang masih mengeluarkan asap.

Angin malam yang bertiup dan menghembuskan udara dingin tidak menyurutkan niat Bagas untuk menemui Alena, gadis yang sudah sebulan ini menempati hatinya. Laju motor menembus kegelapan malam kota, membawa Bagas mengikuti kata hatinya.

Lampu penerang jalan membias kuning remang-remang tertutup embun dan berpendar-pendar membentuk pelangi kecil, mengitari lampu itu. Roda motornya membelah genangan air hingga menimbulkan cipratan kecil yang sedikit mengenai sepatu ketsnya. Tetapi Bagas tidak peduli dengan hal kecil seperti itu, dia tetap menjalankan motor dengan senyum mengambang di bibir.

Bagas sudah berjanji kepada Alena, malam ini dia akan mengajaknya melintasi setiap sudut kota.

Tentu saja Bagas merasa begitu senang, karena selama sebulan ini Alena selalu enggan diajak kemana-mana olehnya, gadis itu bilang kalo dia butuh waktu untuk menenangkan hati, dan Bagas tidak ingin memaksa.

Sekarang, Alena telah membuka sedikit hatinya untuk menerima ajakan Bagas, dan dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.

Bagas membelokkan motor masuk ke dalam gerbang sebuah rumah bercat putih. Dia turun dari motornya, berjalan menuju pintu dan mengetuknya. Ia menunggu beberapa saat, hingga pintu dibuka dari dalam oleh seorang wanita muda.

“Malem Hen, Alenanya ada?”

Bagas yang sudah cukup sering dateng ke tempat itu telah mengenal beberapa penghuni lainnya, dan gadis muda yang membukakan pintu adalah Henny, salah satu teman Alena.

“Ada kok, udah siap juga kayaknya tadi. Bentar ya aku panggilin, kamu duduk dulu aja.” Bagas mengangguk, dia duduk pada sebuah kursi yang memang disediakan untuk para tamu kos. Lima menit kemudian sepasang kaki jenjang berdiri di hadapan matanya, membuat darahnya berdesir tiba-tiba.

Alena berdiri di hadapannya dengan senyum termanis yang baru kali ini dia tunjukkan kepada Bagas. Mengenakan kaos yang dibalut bolero jacket dan dilengkapi pencil skirt. Alena terlihat cantik di mata Bagas.

Sederhana namun memikat.

Alena, malam ini kamu cantik banget. Aku benar-benar jatuh hati sama kamu. Bagas

bergumam dalam hatinya.

“Udah siap? Langsung berangkat aja ya, takut kemalemen.” Usul Bagas sambil berdiri dari duduknya.

“Oke Bos,” Alena mengacungkan jempol kanan sambil kembali menunjukkan senyumnya. Bagas sangat senang melihat senyum itu.

Malam itu keduanya terlibat dalam sebuah kisah baru dengan berbagai obrolan, tawa, senyum dan sebuah perasaan lain yang merasuk ke dalam hati mereka. Alena menyadari bahwa sudah saatnya dia membuka hati untuk sebuah hati lain yang ingin menghibur dan menemaninya. Bagas pun semakin yakin kepada perasaannya untuk Alena. Dia semakin tahu, kalo sebenarnya dia begitu peduli kepada gadis ini. Meskipun keduanya masih menyimpan itu di dalam

Dokumen terkait