• Tidak ada hasil yang ditemukan

RUMAH HARAPAN. Bahwa persahabatan adalah sebuah hubungan yang tidak mudah untuk terabaikan. Meskipun masing-masing jiwa memutuskan untuk meninggalkan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RUMAH HARAPAN. Bahwa persahabatan adalah sebuah hubungan yang tidak mudah untuk terabaikan. Meskipun masing-masing jiwa memutuskan untuk meninggalkan."

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

RUMAH HARAPAN

“Bahwa persahabatan adalah sebuah hubungan yang tidak mudah untuk terabaikan. Meskipun masing-masing jiwa memutuskan untuk meninggalkan.”

A Novel

By

(2)

Sebaris ucapan terima kasih

Alhamdulillahirrobbil alamin,

Kalimat ucapan terima kasih yang paling pertama selalu saya persembahkan kepada Alloh SWT sang pencipta alam semesta beserta segala isinya, untuk inspirasi yang terus mengalir tanpa henti dalam menyusun kata perkata. TanpaMu aku bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Nabi Muhammad SAW, yang tak henti-henti menjadi panutan dan suri tauladan bagi umatnya. Untuk wanita paling mulia yang setiap napasnya mengandung doa, ibu Siti Khomsiyah, terima kasih atas segala perjuanganmu membesarkan dan mendidik anak yang belum mampu mengucapkan terima kasih dengan benar ini. Istriku, Afrida Rachma Primadia yang terus menemani, memotivasi, dan memberikan semangat serta kesabaran untuk dapat menyelesaikan naskah ini.

Pangeran kecilku, Alfarezqi Yodha Amrulloh, kehadiranmu menambah lengkap kebahagiaan ayahmu ini. Tumbuhlah sebagaimana mestinya, Nak.

Dua saudaraku, Tabah dan Titis. Teman bermain pertama yang saya miliki dalam kehidupan.

Juga kepada semua orang-orang yang telah memberikan dorongan sampai saya menyelesaikan novel ini.

Yang paling berharga, para pembaca sekalian yang telah menyempatkan waktu untuk menikmati karya sederhana yang telah saya buat, semoga menyukainya.

Amiin.

Salam Sahabat TEGAR SETIADI

(3)

Berkumpul

“Sebuah cerita terkadang di mulai sejak kalimat pertama tertulis,”

Sebuah rumah kecil dan sederhana di salah satu sudut kota Purwokerto. Seorang pemuda berperawakan sedang berusia sekitar 19 tahun, tampak mengeluarkan sepeda motor dari garasi, menstandarnya, lalu menekan tombol starter. Sedetik kemudian terdengar suara mesin menderu, memenuhi udara di suatu pagi yang cerah itu.

“Nak, sarapan dulu,” suara wanita dewasa nampak terdengar dari dalam rumah. “Iya, Bu, sebentar.”

Pemuda itu mematikan mesin dan masuk ke dalam rumah, menuju meja makan. Di sana terdapat sebuah piring yang telah berisi nasi yang masih mengepulkan asap, serta ikan pindang sebagai lauknya.

“Makan yang banyak ya, Nak, jangan terburu-buru.”

Kata wanita itu sambil menuangkan air putih ke dalam gelas, lalu menarik sebuah kursi disebelahnya. Dia terus memandang anaknya lekat-lekat, tampak jelas rasa sayang yang begitu dalam.

“Ibu, jangan seperti itu, aku jadi semakin merasa berat ninggalin ibu. Atau aku batalkan saja kuliah di Semarang?”

Mata wanita itu berkaca-kaca. Selama ini, hanya anak satu-satunya itu yang terus menemani, dan sekarang dia akan menuntut ilmu di tempat yang cukup jauh.

“Jangan, Nak, ibu nggak apa-apa. Ini sudah jadi mimpimu, kamu harus menjadi orang yang berpendidikan. Udah, dilanjutin aja makannya.”

“Bagas janji akan menyelesaikan kuliah secepatnya dan langsung pulang ke rumah,” Wanita itu tersenyum, “Luluslah dengan nilai yang terbaik, Nak. Jangan Cuma asal lulus,” “Iya, Bu. Doain Bagas biar bisa bikin ibu bangga.”

(4)

Wanita itu mengelus rambut anaknya, “Iyo, Le’1, Ibu pasti doain kamu. Kamu jaga diri di sana, jangan tinggalin sholat, makannya juga jangan sembarangan. Jangan sampai salah pergaulan apalagi terjerumus narkoba.”

“Siap, Ibu. Bagas pasti bisa jaga diri. Ibu juga hati-hati di rumah, nggak perlu terlalu memikirkan soal uang bulanan, mungkin nanti disana Bagas bisa sambil kerja biar dapet uang buat bayar semesteran,”

“Jangan sampai malah kuliahmu terganggu, Nak. Uang untuk pendidikanmu itu tanggung jawab ibu, kamu tidak perlu sampai harus bekerja yang justru nantinya malah mengganggu kuliahmu,”

“Ibu tenang saja, nanti Bagas cari kerja yang nggak sampai mengganggu waktu kuliah,” jawabnya sambil memberikan senyum jenaka.

“Toh juga kan, nggak masalah kalau anaknya ingin membantu meringankan beban orang tua. Karena Bagas tahu biaya kuliah itu pasti tidak sedikit. Sebenarnya juga sudah sejak dulu aku pengin sekolah sambil kerja, tapi pasti selalu ndak boleh sama ibu,”

Cukup terharu juga wanita itu mendengar penuturan anaknya. Tanpa terasa anak yang dulu dia gendong setiap malam ketika menangis mencari air susu, sudah sedewasa ini dalam berpikir. Membuat sebuah senyum kecil tercipta di bibirnya.

“Yowes, Le, kalau memang itu sudah menjadi keputusanmu ya ibu manut saja. Yang penting itu tadi pesen ibu, tujuan utamamu kesana itu untuk kuliah, mencari ilmu. Bukan mencari uang,"

Bagas tertawa kecil untuk menanggapi kalimat yang baru saja dia dengar dari wanita yang begitu dia hormati itu. Lalu melanjutkan sarapannya yang tinggal beberapa suap lagi, setelah sebelumnya melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

Pukul tujuh lebih tiga puluh menit.

“Ya udah, Bu, Bagas mau berangkat dulu. Udah siang, takut kalau ujan juga nanti di jalan,” Bagas meraih jemari ibunya dan mencium punggung tangan wanita itu sambil memejamkan mata, meminta restu kepada satu-satunya orang tua yang dia miliki. Meskipun sebenarnya berat untuk meninggalkan ibunya seorang diri, tetapi Bagas ingin mewujudkan cita-citanya.

Menjadi seorang guru, seperti almarhum bapaknya.

(5)

“Iya, Nak. Hati-hati di jalan, jangan ngebut. Ibu doain kamu bisa menjadi orang sukses kelak,” Wanita itu mengangkat wajah Bagas dan mencium kedua pipi serta kening anaknya.

Lalu melepaskan kepergian Bagas walau harus dengan sedikit rasa sepi yang langsung datang setelah pemuda itu melajukan motor keluar dari pelataran rumah.

Bus yang membawa Deka dari Blora, kampung halamannya, masih tertahan di terminal Rembang sejak beberapa menit yang lalu. Membuat pemuda itu merasa gerah dan memutuskan untuk turun dari bus dan mencari air minum.

“Bu, ini berapa?” Deka menunjukkan air mineral berukuran sedang kepada penjual asongan.

“Lima ribu lima ratus, Mas.”

Deka merogoh saku celananya, lalu menyerahkan uang sepuluh ribuan kepada wanita yang sudah memiliki keriputan-keriputan di wajahnya. Yang segera menghitung kembalian dan menyerahkan kepada Deka.

“Matur suwun, Mas,” ucapnya.

Deka mengangguk, lalu berlalu dari tempat itu dan kembali menuju bus yang masih terparkir menunggu penumpang. Membuatnya menghela napas pendek.

Sampai di dalam, ia mendapati seseorang duduk di samping kursinya yang sejak dari Blora dia kuasai seorang diri. Nampak seorang pemuda yang kira-kira berumur hampir sama dengannya, mengenakan kaos berwarna biru dan celana pendek berwarna krem.

“Permisi, Mas,” Ucap Deka, lalu duduk di sebelah pemuda itu.

Perjalanan Rembang-Semarang memakan waktu sekitar tiga jam jika kondisi jalan tidak macet. Deka merasa lega karena akhirnya dia menemukan teman ngobrol selama perjalanan. Setidaknya dia tidak akan merasa bosan lagi.

“Mau kemana, Mas?” pertanyaan basa basi untuk mengawali percakapan, karena seharusnya Deka tahu pemuda itu pasti menuju ke kota Semarang. Pemberhentian terakhir bus yang saat ini dia naiki.

“Semarang, Mas. Mau ke UNNES.”

“Wah, sama dong. Aku juga mau kesana. Mahasiswa baru juga?”

(6)

Deka membalas uluran tangan di depannya, “Aku Deka. Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat,”

“Udah dapet kos belum?” lanjutnya.

“Belum, ini makannya aku berangkat tiga hari sebelum OSPEK, biar bisa buat nyari kos.” “Kebetulan, aku udah nemu kos yang menurutku nyaman. Siapa tahu kamu mau liat, mungkin masih ada kamar yang kosong,”

Ringgo mengangguk antusias. Selanjutnya mereka terus berbincang di sepanjang jalan menuju Semarang. Kota yang kelak akan menjadi saksi lahirnya persahabatan yang penuh dengan cerita.

Sepeda motor berwarna merah itu melaju dengan kencang menembus ramainya jalan Kendal-Semarang. Firman, pemuda dengan kumis tipis dan brewok yang hampir memenuhi bagian bawah dagunya itu, mengemudikan sepeda motor dengan kecepatan di atas seratus kilometer per jam. Dia tidak menghiraukan umpatan dan cacian orang-orang yang hampir saja celaka olehnya.

Dia tidak takut. Kalau ada orang yang tidak terima dan mengajaknya ribut, sudah pasti akan dia ladeni.

Satu yang ada dalam pikiran pemuda itu adalah, dia ingin segera sampai di Semarang, atau lebih tepatnya, rumah kos yang akan dia tinggali selama kuliah di Universitas Negeri Semarang. Meskipun jarak dua kota itu bisa di tempuh hanya dengan waktu satu setengah jam saja, tetapi dia tetap memutuskan untuk hidup sebagai anak kos.

Dia ingin merasakan hidup mandiri tanpa harus tergantung dengan orang tuanya, seperti yang selama ini dirasakan olehnya. Keputusan untuk keluar dari rumah dan hidup di kota orang adalah salah satu cara Firman untuk belajar dewasa.

Firman ingin belajar memutuskan apapun dalam hidupnya seorang diri, dari hal terkecil sampai keputusan yang paling berat sekalipun.

“Kelak, setiap laki-laki akan menjadi kepala keluarga yang punya tanggung jawab memimpin rumah tangganya. Membimbing serta menjaga istri dan anak-anaknya. Kalau tidak belajar dari muda, nanti kamu akan kesulitan ketika sudah waktumu mempunyai keluarga sendiri,” Begitu pesan ayah Firman di suatu sore yang cerah, ketika dua laki-laki berbeda jaman itu sedang duduk santai menikmati kopi di pekarangan belakang rumah.

(7)

“Dan menjadi laki-laki itu bukan hanya perihal tampan, tetapi juga harus mapan. Agar keluargamu terjamin kehidupannya, tidak kesusahan. Jangan sampai kamu dan keluargamu menjadi keluarga yang bingung besok akan makan apa. Karena itu kamu harus sekolah setinggi mungkin.”

Kalimat-kalimat yang begitu mudah mendoktrin pemikiran pemuda itu, merubah jalan hidupnya yang sebelumnya enggan untuk melanjutkan pendidikan selepas lulus SMA.

Dan disinilah dia sekarang, di atas roda-roda yang terus berputar membawanya menuju masa depan gemilang.

Laki-laki berkumis tebal yang duduk di belakang kemudi sebuah mobil nampak turun beberapa detik setelah dia selesai memarkirkan mobil dengan sempurna. Lalu berjalan menyusul istri dan anaknya yang telah lebih dulu melangkah menuju teras sebuah rumah.

“Ini rumah kosnya?” Wanita berumur empat puluh tiga tahun itu nampak mengedarkan pandangannya ke setiap sudut halaman.

“Bersih juga, sepertinya yang punya rumah ini merawatnya dengan baik. Mama nggak perlu khawatir lagi kamu tinggal di rumah yang kotor, Nak.”

Yoga, anak laki-laki itu menggaruk kulit kepalanya meskipun tidak merasa gatal.

“Mah, sebenarnya Yoga bisa berangkat sendirian naik motor. Tidak perlu sampai diantar seperti itu,”

“Kamu seperti tidak tahu ibumu saja,” timpal ayahnya.

“Mama pengin memastikan kamu sampai Semarang dengan selamat, dan Mama juga ingin melihat kondisi rumah kos yang akan kamu tinggali ini.”

“Ya sudah, yang penting kita sudah sampai. Ayah pegel-pegel nyupir dari Cilacap, pengin selonjoran. Ayo buruan masuk, itu kayaknya sudah ada orang. Pintu rumahnya terbuka.”

“Assalamualaikum,” Yoga mengucapkan salam dan menunggu beberapa saat.

“Waalaikum salam,” Seorang pemuda berperawakan kurus keluar dari salah satu kamar, menyalami keluarga itu satu persatu.

“Masih sepi ya, Mas?” Yoga bertanya.

“Iya, baru saya yang datang. Tadi pagi baru sampai. Oh iya, kenalin namaku Scovita,” “Aku Yoga, itu bapak sama ibuku,” Yoga menunjuk dua orang yang sudah duduk di sofa di ruang televisi.

(8)

“Dari mana, Mas?” lanjutnya “Aku dari Pati”

“Kalau aku dari Cilacap. Tuh pada kecapean abis perjalanan dari rumah, lumayan sih perjalanan tujuh jam.”

“Wuih, lama juga ya. Aku yang cuma tiga setengah jam naik motor juga udah pegel-pegel, gimana kalian ya.”

Yoga tertawa ringan, “Yaa begitulah,”

“Ya sudah istirahat dulu aja, kamarmu yang mana?”

“Itu, yang di tengah. Aku kesana dulu ya, mau beres-beres,” “Iya, aku juga mau lanjutin beres-beres. Belum selesai dari tadi,” “Sip. Mah, Pah. Ayo ke kamar Yoga. Istirahat disana aja,”

(9)

Rumah Kos

“Sebuah pagi yang indah adalah ketika kita bisa melewatinya bersama manusia-manusia yang menyenangkan.”

Pagi yang belum sempurna, bahkan matahari masih malu-malu untuk menampakkan kegagahanya. Embun menempel pada dedaunan, melengkapi udara dingin yang masih bertahta. Membuat sebagian orang enggan untuk beranjak dari tempat tidur, memilih untuk berlindung di bawah selimut tebal.

Melanjutkan mimpi-mimpi indah mereka.

Tetapi suasana berbeda jelas terdengar dari sebuah rumah, kesibukan sudah terlihat. Semua penghuni tampak saling terburu-buru menyiapkan segala sesuatu yang telah diberitahukan oleh senior mereka sebagai syarat mengikuti OSPEK.

Hari itu adalah hari pertama masa pengenalan kampus berlangsung dan semua mahasiswa baru wajib mengikutinya.

Ada sejuta kenangan, ada sejuta harapan Terbuai ku di simpang lima

Ada cinta yang tumbuh, ada cinta yang runtuh Semarang ku datang, lepaskan rinduku terdalam. Oh hangatnya

Semarang ku datang, lepaskan rinduku seorang Oh hangatnya

Sepenggal lirik lagu dari Power Slave itu dinyanyikan oleh Deka yang saat itu sedang menyetrika kemeja putihnya.

Mahasiswa baru jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat yang gemar memotong cepak rambutnya ini adalah yang paling tua diantara penghuni kos yang lain, membuatnya lebih bijak

(10)

dan penuh perhitungan dalam mengambil keputusan. Pernah bercita-cita menjadi seorang polisi, namun sayang gagal di saat ujian terakhir.

“Buruan dong mandinya,”

Scovita nampak gusar menunggu gilirannya untuk mandi dengan sebuah handuk tersampir di pundak kiri. Mahasiswa asal Pati yang mengambil jurusan Pendidikan Geografi ini mempunyai tubuh paling kecil dibandingkan lima penghuni kos yang lain, namun juga mempunyai rasa setia kawan yang paling tinggi.

Dua orang yang sedang menguasai kamar mandi nampak acuh saja meskipun Scovita sedang menunggu dengan raut tidak sabar. Mereka mandi sambil sesekali bersiul, membuat Scovita semakin menggerutu.

“Man, buruan,”

“Bentar, lagi jongkok.”

Jawab Firman. Pemuda dari kota Kendal yang bertubuh cukup kekar ini adalah mahasiswa Ilmu Keolahragaan. Paling mudah marah dan temperamental, membuatnya sering terlibat masalah dengan orang lain.

“Mandi atau semedi sih? Lama banget,” gerutu Scovita yang segera masuk ke kamar mandi sesaat setelah Ringgo keluar.

Pemuda beralis tebal itu hanya tertawa mendengarnya. Ringgo, remaja asli dari daerah Rembang yang datang ke kota Semarang dengan bakat bermusiknya. Membuat dia memutuskan untuk mengambil jurusan sesuai dengan bakat dan minatnya, Seni Musik. Penghuni kos yang paling rajin dan pekerja keras.

“Wooooy, ada yang lihat co-card ku nggaaak?”

Yoga berteriak dari dalam kamar. Seorang mahasiswa jurusan teknik mesin yang berasal dari kota Cilacap. Paling muda dan paling lugu, membuatnya sering menjadi target keisengan teman-teman barunya.

(11)

“Lha memangnya kamu taruh dimana?” Ringgo yang sedang berjalan dari kamar mandi berhenti sejenak.

“Aku lupa, tapi seingetku aku taruh di atas meja. Malah nggak ada,” “Di dalam tas mungkin, atau di belakang pintu?”

“Nggak ada, udah aku cari dimana-mana.”

“Itu apa?” Ringgo menunjuk sebuah benda yang tergeletak di kolong meja.

Yoga mengikuti arah yang di tunjukkan oleh Ringgo, sedetik kemudian dia tersenyum simpul. Membuat Ringgo hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala.

“Gas, aku udah selesai nyetrikanya. Kamu jadi nyetrika enggak?”

Bagas beranjak dan melangkah menuju kamar Deka, “Jadi lah, pinjem bentar,”

Pemuda dari kota purwokerto ini adalah seorang mahasiswa jurusan Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi, sama seperti Firman dan Deka di Fakultas Ilmu Keolahragaan. Seorang yang sederhana dan tidak neko-neko, punya rasa ingin tahu yang tinggi dan mudah tertarik dengan sesuatu.

“Udah mandi belum?”

“Belum, itu anak-anak mandi lama banget kayak anak perawan aja,”

“Kalau udah selesai pinjem setrikaannya, Gas,” Yoga menyela tiba-tiba, bergabung dengan dua orang yang telah berada di tempat itu lebih dulu.

Kemeja putih berada di tangan kanannya.

“Buat nyetrika rambutmu yang ruwet itu ya?” Canda Bagas, membuat dua lainnya serempak tertawa renyah.

“Bukan, tapi nyetrika wajahnya biar nggak keliatan ngantuk. Lihat aja tuh, kusut begitu,” Deka menimpali.

(12)

“Udah ketemu co-cardnya? Sampe teriak-teriak gitu,” Yoga tersenyum, “Jatuh di kolong meja, hehehe.”

“Dasar. Untung ketemu, coba kalau ilang, bisa-bisa jadi makanan empuk senior pas OSPEK nanti,” Bagas ikut bersuara.

“Ternyata disini semua antri. Mandi antri, nyetrika antri, beli makan antri. Kemarin juga waktu kita ambil formulir di kampus pusat, antri juga. Malah seharian, dari pagi baru dapet giliran sore,” keluh Yoga sambil meletakkan pantatnya di tepi ranjang.

“Cuma bernapas aja yang nggak perlu antri.” lanjutnya. “Ada lagi, Yog, yang nggak perlu antri,”

“Apaan?”

“Buang angin,” Jawab Bagas asal sambil tersenyum usil.

“Namanya juga daerah kampus, Yog. Banyak mahasiswa dari macam-macam daerah yang jadi anak kos kayak kita-kita ini.” kata Deka.

“Aku sih, udah biasa jadi anak kos. Dulu pas sekolah udah ngekos soalnya rumahku cukup jauh, jadi udah nggak kaget. Kamu kebiasaan apa-apa udah disediain ya?” lanjut Deka.

Yoga tersenyum malu, “Maklum lah, anak tunggal jadi ya orang tuaku agak berlebihan ngasih perhatian.”

“Pantesan, tapi ntar jadi bisa latihan mandiri kok disini. Tapi ya itu, kudu bener-bener prihatin,”

“Itu emang salah satu tujuanku ambil kuliah di tempat yang jauh dari rumah, biar bisa sedikit-sedikit belajar mandiri.”

“Harus begitu. Kita udah bukan anak kecil lagi yang apa-apa minta sama orang tua,” “Kecuali uang buat bayar semesteran,” Sambar Bagas yang mengundang tawa kedua teman barunya itu.

(13)

Pagi yang dingin, yang bagi sebagian orang lebih memilih berada di bawah selimut tebal dan bermimpi. Tetapi kehangatan justru tercipta dari sekumpulan pemuda yang baru saling mengenal di sebuah perguruan tinggi negeri, pencetak tenaga pendidik untuk dunia pendidikan di seluruh Indonesia

(14)

OSPEK

“Kehidupan kampus yang menyenangkan di awali dari sini.”

Meskipun berada dalam satu kos, tetapi ke enam remaja itu mempunyai jurusan yang berbeda.

Ringgo bergegas berangkat menuju fakultas bahasa dan seni. Yoga segera menuju fakultas teknik, Scovita memacu motornya menuju fakultas ekonomi. Sedangkan Deka, Firman dan Bagas sama-sama menuju fakultas ilmu keolahragaan, karena ketiganya memang satu fakultas. Namun tetap saja mereka terpisah karena masing-masing berbeda jurusan.

Suasana sudah begitu ramai oleh para mahasiswa baru. Warna putih hitam mendominasi setiap sudut, selain warna kuning yang terpancar dari jaket almamater yang dikenakan oleh para senior sebagai panitia OSPEK. Mereka terlihat mondar mandir dengan memasang wajah yang garang dan berwibawa untuk menciutkan mental mahasiswa baru.

“Woi, cepat baris, jangan pada ngobrol terus. Cepat-cepat!” komando salah seorang senior laki-laki yang berdiri di atas podium.

Mahasiswa senior terus berteriak dengan wajah mereka yang galak, membuat seorang mahasiswi terlihat buru-buru dan berlari kecil sambil meminum air dari botol mineral sampai ia tersandung dan kehilangan keseimbangan.

Beruntung ada seseorang yang reflek menangkap tubuhnya sebelum benar-benar terjatuh. Gadis itu selamat dari benturan dengan lantai semen lapangan basket.

Hanya saja gadis itu tidak sempat mencegah air yang menyiram wajah dan seragam penyelamatnya.

“Maaf ya, Mas, saya enggak sengaja kok.” Kalimat pertama yang keluar dari bibir gadis itu terdengar tanpa rasa bersalah.

(15)

“Tadi saya buru-buru sih, jadinya enggak liat-liat. Untung ada kamu, jadi saya nggak jatuh. Kalau jatuh kan, malu.” Seakan tanpa beban, gadis itu terus berbicara dengan nada polos. Kali ini sembari mengusap kemeja putih milik mahasiswa di depannya.

Laki-laki itu semakin takjub dengan polah tingkah lugu gadis yang baru saja membuat seragam OSPEKnya menjadi basah.

“Deka.” Katanya tiba-tiba, sembari menjulurkan tangan.

Gadis dengan lesung pipit itu nampak terdiam sejenak sambil menatap wajah Deka tanpa ekspresi. Lalu sedetik kemudian, dia kembali tersenyum sambil membalas uluran tangan dari pemuda di hadapannya.

“Arum. Maaf ya udah bikin baju kamu basah.” “I-iya. Nggak apa-apa, kok.”

“Eh, aku lupa. Aku lagi buru-buru, nih. Ada yang ketinggalan. Bisa dihukum kalau aku enggak bawa.” lanjutnya kemudian.

Tanpa menunggu reaksi dari orang yang diajak bicara, dia bergegas menuju motor matic birunya dan segera meninggalkan parkiran fakultas.

Deka masih terus menatap punggung gadis itu, sambil menggeleng-gelengkan kepala. Sebelum akhirnya teringat seragamnya yang basah, dan tidak mungkin mengikuti OSPEK dengan baju basah seperti itu

Sial. Pagi-pagi udah apes. Rutuknya dalam hati, lalu beranjak meninggalkan parkiran.

Semua mahasiswa baru telah berbaris rapi di lapangan upacara. Semua menunjukkan sikap siap tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Sementara di luar barisan, tampak beberapa senior berjalan memeriksa kerapian. Mereka terdengar membentak adik kelasnya sambil menujuk barisan, menyuruhnya agar tetap lurus.

(16)

Deka menyadari bahwa dirinya telah terlambat. Dia berjalan menuju arah barisan dengan langkah tergesa-gesa, menemui seorang senior yang berdiri tidak jauh dari barisan paling belakang.

“Maaf, Kak, saya terlambat.”

Senior itu melirik ke arah Deka dengan sinis, lalu memalingkan pandangan ke jam tangan yang melingkar pada tangan kirinya.

“Kamu sudah telat lima belas menit. Dan toleransi keterlambatan hanya sepuluh menit.” “Maaf kak, sebenarnya tadi saya sudah datang sebelum upacara dimulai. Tetapi karena sesuatu hal makannya saya harus pulang lagi.”

“Tidak ada alasan, terlambat tetap saja terlambat. Tidak peduli karena apapun.”

Deka menundukkan muka pasrah, tidak dapat lagi berkata apa-apa untuk membela diri. Kini dia hanya menunggu hukuman yang akan diberikan kepadanya.

“Sekarang, kamu masuk ke barisan di sebelah sana.”

“Itu barisannya mahasiswa baru yang melanggar aturan. Kamu juga harus masuk kesana. Cepat!”

Deka berjalan gontai ke arah barisan yang ditunjukkan kakak kelasnya, beberapa mata dalam barisan melirik. Ada yang melirik karena prihatin, ada yang melirik karena ingin tahu, ada juga yang melirik sambil terkekeh-kekeh pelan. Deka membalas lirikan mereka.

Sialan.

Beberapa langkah sebelum dia sampai pada barisan, matanya menangkap sebuah tangan mungil milik seorang gadis melambai-lambai ke arahnya. Deka memicingkan mata, mencoba memperjelas pandangannya.

Arum. Rupanya dia terlambat juga. “Sini-sini.”

(17)

“Telat juga ya mas? Kenapa?” Goda Arum sambil memamerkan senyum khasnya. “Kan gara-gara kamu. Aku mesti pulang dulu buat ganti baju.”

Arum terkekeh mendengar jawaban Deka.

“Pssssstt. Aku nggak mau dapet hukuman tambahan gara-gara ada gadis ribut di sebelahku.”

“Tenang saja, Dek, senior-senior galak kita lagi pada fokus ke barisan yang sana kok. Kita enggak diurusin.” Jawab Arum santai.

“Kamu emang aneh ya, heran aku.” Ujar Deka, tak urung akhirnya dia ikut tersenyum juga. “Eh, ngomong-ngomong, apa sih yang ketinggalan di kos sampe bikin kita ada di barisan terisolasi kayak gini?”

Name tag.” Jawab Arum santai.

Deka hanya mampu menepuk keningnya mendengar jawaban santai Arum, saat itu dia sangat ingin menjitak kepala gadis manis di sebelahnya yang menyebabkan dia terlambat dan mendapat hukuman.

(18)

Puisi Ringgo

“Kita bersaudara karena perbedaan kita.”

Hari ketiga Ospek pun tiba. Hari terakhir mereka harus mendapat perintah-perintah dari seniornya. Hari terakhir sebelum untuk pertama kalinya mereka mendapatkan pelajaran sebagai seorang mahasiswa. Terpancar jelas kelegaan dari wajah-wajah mahasiswa baru.

Acara kali ini jauh lebih santai dari dua hari sebelumnya, tidak ada aktifitas berat yang harus mereka lakukan. Setelah sebelumnya disuruh untuk selalu berjemur di bawah panasnya matahari, berbaris, di bentak-bentak, mendapatkan tugas yang aneh-aneh. Kali ini mereka hanya harus duduk berkumpul di sebuah aula besar.

Yang lebih spesial lagi, Ospek hari terakhir itu tidak hanya antar jurusan saja. Semua fakultas menggabung menjadi satu, semua jurusan membaur bersama jurusan yang lain, menyemut di dalam ruangan. Saling melempar senyum dan berkenalan satu sama lain. Kebersamaan jelas terasa dari arah mereka.

Hampir seribu lima ratus lebih anak manusia berseragam putih hitam dari berbagai penjuru daerah di Indonesia tumpah ruah berkumpul dalam satu tempat. Saling bercengkerama meskipun baru pertama kali ini mereka saling bertemu. Suasana terlihat begitu akrab.

Semua mahasiswa baru duduk dengan rapi, sementara mahasiswa senior masih tetap berdiri menjalankan tugas mereka. Mengatur dan mengendalikan semua acara agar berjalan lancar dan tepat waktu.

Acara dimulai.

Lagu Indonesia Raya membahana memenuhi aula, mengawali acara yang tidak akan dialami lagi oleh mahasiswa-mahasiswa baru di tempat itu.

(19)

Rektor berdiri dan naik ke atas mimbar, menyampaikan pidatonya dengan menggebu-gebu dan penuh semangat, mencoba menyampaikan apa yang dirasakannya kepada semua yang berada disitu, tanpa terkecuali.

“Kalian adalah manusia pilihan, satu dari beribu-ribu anak manusia yang haus akan pendidikan. Yang dengan restu Tuhan dapat terus melanjutkan petualangan kalian dalam mencari ilmu. Bersyukurlah kalian kepada–Nya, berterimakasihlah. Pendidikan adalah sebuah telaga di padang gurun yang gersang, menyegarkan. Jalanilah dengan ikhlas, maka kalian akan menikmatinya.”

Semua mahasiswa mendengarkan dengan sungguh-sungguh, menatap rektor dengan tatapan kekaguman. Gemuruh tepuk tangan memenuhi ruangan itu ketika rektor telah selesai memperdengarkan pidatonya dan kembali duduk.

Seorang mahasiswa senior naik ke atas podium dengan langkah yang gagah dan dia buat penuh wibawa. Untuk selanjutnya mengangguk kepada rekannya yang duduk di balik meja dan menyanding sebuah laptop. Beberapa detik kemudian muncul sebuah layar proyektor di dinding Aula, menampilkan bait-bait lagu Syukur, yang diciptakan oleh bapak Husein Mutahar pada masa kemerdekaan dulu.

“Marilah kita semua berdiri.”

Mahasiswa senior itu memberikan komando dengan suara yang lantang, suara gagah seperti saat dirinya menyampaikan aspirasi-aspirasi dikala demonstrasi menuntut keadilan sedang terjadi.

Serempak semua mahasiswa baru, mahasiswa senior, dan segenap petinggi kampus bangkit dari duduk mereka, melantunkan lagu nasional tersebut dengan penuh perasaan dan penuh penjiwaan. Memasukkan setiap bait-bait lagu itu ke dalam hati, ke dalam jiwa mereka.

Deka mengatupkan bibir, menahan haru yang menjalar dalam dirinya. Sebuah rasa bangga telah membuat sekujur tubuhnya bergetar, ia bersyukur dapat menjadi bagian dari orang-orang ini. Ringgo tidak henti-hentinya mengangkat mukanya ke atas, menatap langit-langit ruangan, mengucap syukur kepada pencipta alam atas suatu karunia yang bernama Indonesia. Bagas menekan kuat-kuat dadanya, menahan gemuruh jiwa mudanya, jiwa patriotnya yang bergelora

(20)

mendengar lantunan lagu itu. Firman terus memejamkan mata, mencoba merasakan semua makna yang tersirat di dalam setiap bait lagu itu.

Yoga, tak kuasa meneteskan air matanya. Ia teringat kepada sang kakek yang merupakan pejuang bangsa Indonesia, yang dengan gagahnya melawan para penjajah untuk merebut kembali kemerdekaan bangsa. Kebanggan tersendiri baginya menyanyikan lagu itu, seolah sedang menyanyikannya untuk sang kakek yang gugur sebelum Indonesia merdeka. Scovita berdiri mematung, menikmati rasa bangganya berdiri bersama dengan orang-orang yang mencintai Indonesia.

“MERDEKA!” Senior itu berteriak lantang setelah Indonesia Raya selesai dinyanyikan. Seakan tersengat akan semangat para pejuang ketika mempertaruhkan nyawa untuk berperang melawan penjajah tanpa rasa takut, semuanya sontak menjawab teriakan itu dengan suara yang tidak kalah menggelegar.

“MERDEKA!!!”

Tepuk tangan bergemuruh memenuhi ruangan itu.

“Seperti kegiatan Ospek tahun-tahun sebelumnya dan menurut tradisi dalam lingkungan keluarga besar kampus kita, bahwa pada hari terakhir program pengenalan kampus ini harus ada satu mahasiswa baru yang akan berdiri di atas sini dengan membacakan sebuah puisi.” Ucap senior setelah suasana mereda.

Sontak suara gaduh kembali terdengar dari semua mahasiswa baru.

“Tenang, tenang. Kami telah menyiapkan sebuah puisi untuk kalian bacakan. Kalian tidak perlu takut, tunjukan mental kalian sebagai seorang mahasiswa.”

“Dan, yang beruntung membacakan puisi tahun ini adalah,” Senior itu sengaja menghentikan kalimatnya, membuat semua mahasiswa baru penasaran.

“Mahasiswa baru dengan hasil Ospek terbaik, Ringgo Setiawan. Berikan tepuk tangan untuknya.”

(21)

Di balik helaan napas lega dari semua mahasiswa baru, dan gemuruhnya tepuk tangan yang terdengar, seorang mahasiswa yang tidak menyangka dirinya adalah mahasiswa terpilih itu berdiri dan melangkah dengan lemas.

Semua mata tertuju kepadanya, membuatnya semakin grogi.

Ringgo naik ke atas mimbar. Ia menerima selembar kertas yang terlipat dari mahasiswa senior yang menyebutkan namanya tadi. Dibukanya kertas itu perlahan-lahan, tiba-tiba raut mukanya berubah.

Kertas itu kosong, tidak ada sebait puisi pun yang tertulis.

Dipandangnya seluruh mahasiswa baru yang menunggu dengan wajah penasaran. Dilihatnya jajaran petinggi kampus, semua menunggu pemuda itu membacakan puisi. Rektor nampak tersenyum, lalu mengacungkan jempol kanan. Ringgo kembali menatap kertas di tangannya, berharap akan terjadi keajaiban yang membuat kertas itu terisi sebuah puisi, walau hanya satu bait.

Ringgo menghela napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan semua keberanian yang dia miliki. Dia pasrah, pasrah kepada Tuhan, pasrah kepada kemampuannya. Kembali tatapan dia berikan kepada semua mahasiswa baru, seakan meminta keberanian dari semua rekan sejawat. Perlahan mulutnya mulai membuka, Ringgo membawakan sebuah puisi untuk semua orang yang berada di tempat itu.

Ini adalah masa kita, ini adalah waktu kita

Ini adalah saat di mana kita dapat membuktikan bahwa kita layak menjadi bangsa Indonesia

Bersatulah kalian wahai saudara-saudaraku

Bersatulah kalian di bawah panji-panji merah putih Jangan biarkan nusantara kembali terjajah

Kembali dijajah oleh bangsanya sendiri, dijajah oleh kekuasaan yang menyengsarakan rakyat

Di sini tempat kita lahir menjadi seonggok bayi merah Di tanah ini kita menjejakan kaki

(22)

Dengan udara ini kita bernafas

Di sini tertinggal jasad-jasad nenek moyang kita, yang telah mempertaruhkan nyawa untuk memperjuangkan nasib kita,

nasib negara ini

Masih tegakah kalian mengotorinya?

Masih sampai hatikah kalian menghancurkannya? Demi ibu pertiwi yang telah membesarkan kita semua Berjanjilah akan terus menjaga Indonesia

Ringgo membawakan puisi itu dengan penuh penjiwaan. Semua terdiam mendengar lantunan puisi yang mereka dengar, semua merasakan makna yang dalam. Rektor berdiri dari duduknya, dan perlahan bertepuk tangan, seakan menyampaikan pujian atas apa yang dilakukan mahasiswa baru beralis tebal itu. Semua tersengat, gemuruh tepuk tangan kembali menggema, mengisi aula.

Layar proyektor kembali menyala, menampilkan bait-bait lagu yang sebelumnya mereka nyanyikan berkali-kali ketika masa OSPEK. Ringgo melangkah bangga turun dari podium dan melemparkan senyum kepada senior yang tadi memanggilnya, senyum bersahabat. Senior itu membalasnya.

Sebuah melodi menyengat semangat mereka. MARS MAHASISWA menggema di dalam ruangan, bergelora di hati semua mahasiswa baru dan mahasiswa lama. Entah siapa yang memulai, semua tangan saling menggenggam, semua bergandengan tangan. Tidak peduli dengan jurusan apa mereka bergandengan, tidak peduli mereka dari daerah yang berbeda dan baru saja saling mengenal di tempat itu.

Semua menyatu di bawah lantunan lagu pemersatu mereka. Di bawah kibaran merah putih, dan tatapan tajam sang garuda. Semua melantunkan MARS MAHASISWA dengan penuh penghayatan.

Kepada para mahasiswa yang merindukan kejayaan Kepada rakyat yang kebingungan, di persimpangan jalan Kepada pewaris peradaban, yang telah menggoreskan Sebuah catatan kebanggaan di lembar sejarah manusia

(23)

Wahai kalian yang rindu kemenangan Wahai kalian yang turun ke jalan Demi mempersembahkan jiwa dan raga Untuk negeri tercinta

(24)

Teras Depan

“Sebuah cerita yang mengalir begitu saja adalah bukti bahwa kita saling percaya.”

Sore hari, setelah acara OSPEK di auditorium selesai.

Semua penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah dengan hanya mengenakan celana kolor dan kaos dalam, mereka berserakan tak beraturan di lantai. Mencoba menghilangkan lelah yang sudah sejak tiga hari lalu mendera tubuh.

“Fiiuuh, akhirnya kelar juga. Padahal cuma tiga hari, tapi capeknya kerasa banget.” Ucap Ringgo.

Yoga menyodorkan tangan ke Deka, mengambil alih air mineral dari tangannya dan langsung menenggak hingga tak tersisa.

“Bener banget tuh, badanku sampe pegel-pegel semua.” Dukung Deka

“Tapi, tadi lumayan juga kamu pas baca puisi. Yah, walaupun tampangmu sempet pucet sih.” Yoga membersihkan mulut menggunakan punggung tangan.

Semua tertawa mendengar seloroh pemuda berambut ikal itu.

“Untung udah disediain teksnya yah. Coba kalo belum, nggak cuma pucet, tapi bisa pingsan di tempat.” Tambah Scovita disela tawanya.

Ringgo menggeleng, “Kata siapa tadi ada teksnya?”

(25)

“Tadi kertasnya kosong, brengsek bener tuh senior. Untung aja aku lumayan jago ngarang, kalo enggak, bisa mampus berdiri.” Ringgo tersenyum sendiri membayangkan kejadian beberapa jam lalu.

“Jadi tadi itu kertasnya bener-bener kosong?” Tanya Bagas yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Ringgo.

“Berarti puisi tadi kamu ngarang sendiri?” Tambah Yoga, Ringgo kembali mengangguk. “Ngarang mendadak?” Firman yang dari tadi hanya mendengarkan ikut bertanya. Sekali lagi Ringgo mengangguk.

“Beneran kertas itu kosong? Berarti puisi tadi kamu yang ngarang? Ngarang mendadak di atas podium?” Kali ini Ringgo tidak mengangguk, namun melempar botol ke arah Scovita yang memberikan pertanyaan terakhir.

Scovita mengelak, dan lagi-lagi semua tertawa.

“Berarti hebat juga kamu. Tadi lumayan bagus puisinya, aku nggak ngira kalo ternyata itu hasil karangan mendadak.” Puji Deka yang diamini oleh yang lain.

Ringgo tersenyum menanggapi pujian Deka, ada sedikit perasaan bangga yang muncul dalam hatinya.

Inibelum seberapa, nanti aku pasti bakal lebih hebat lagi. Tuturnya dalam hati.

Malam telah cukup larut, suasana di sekitar mulai sepi. Hanya sesekali melintas mahasiswa yang selesai mengikuti kegiatan di kampus dan berjalan pulang ke kos mereka. Udara dingin menambah sempurna latar malam itu. Mereka ber enam duduk di teras, dua sofa yang berada di ruang tivi sengaja di angkut keluar.

(26)

“Terang aja lah, udah malem gini. Lagian selain kita-kita yang mahasiswa baru ini, mahasiswa di atas kita kan emang lagi libur. Kecuali para senior yang ngurusin OSPEK.” Ringgo menerangkan.

“Iya aku tahu, tapi nggak nyangka bakalan sepi banget kayak gini.”

“Kata temenku yang udah duluan kuliah di sini sih emang kayak gitu, kalo lagi masa-masanya libur kuliah daerah sini kayak kota mati. Jadi yang bikin rame ya mahasiswa yang ngekos di sini.”

“Padahal ini malam minggu ya? Ya kan?” Yoga yang saat itu berkerodong sarung karena hawa dingin ikut memberikan suara.

“Hahaha, iya. Baru sadar kalo sekarang malam minggu. Sumpah nggak ingat.”

“Ngomong-ngomong malam minggu. Kalian pada nggak video call apa telepon-teleponan sama cewek kalian?” Tutur Ringgo kepada teman-temannya.

Bagas dan yang lain menggeleng, kemudian keenamnya saling pandang, detik berikutnya tawa menggelegar di teras kos itu. Tak peduli malam yang telah larut dan suasana yang sudah sangat sepi, mereka tertawa terbahak-bahak.

“Jadi, kita jomblo semua?” Ringgo berujar di sela tawanya. Semua mengangguk sambil tetap tertawa.

“Gila, kita emang ditakdirkan ketemu.” “Sama-sama enggak laku.”

“Memalukan bangsa dan negara.” “Astagfirulloh hal’adzim,”

Semua masih setia dengan tawanya masing-masing, sampai Deka berbicara.

“Tapi kemarin pas OSPEK aku sempet kenalan sama cewek lho. Sudah kuputuskan, dia akan menjadi targetku.”

(27)

Semua mengalihkan pandangannya ke arah pemuda dengan postur paling tinggi tersebut. “Kamu sih emang cakep, jadi gampang cari kenalan cewek.” Puji Yoga.

Deka menggeleng, “Nggak sengaja kenalannya.”

“Kamu nggak sengaja, tapi dia pasti sengaja pengen kenalan sama kamu.”

“Udah ganteng, tinggi lagi. Kalau aku cewek, aku juga udah jatuh cinta sama kamu,” Scovita membuat semua orang melirik curiga ke arahnya.

“Nggak usah mikir macem-macem, aku cowok normal,” tak urung Scovita menyadari kalimat ambigunya.

“Jurusan apa dia, Dek?”

Deka mengangkat bahu, “Belum sempet nanya. Tapi kita satu fakultas kok,”

“Ganti topik, ah, sedih kalo jomblo kaya kita ngomongin cewek.” Pinta Bagas sambil tertawa.

“Iya, berasa hampa.” Tambah Scovita.

“Nama kamu unik banget, Scovita. Apa sih artinya?”

“Scorpio, virgo, sama taurus. Zodiak orang tuaku, sama Zodiakku sendiri.” Scovita menjawab pertanyaan Ringgo.

“Keren.” Yoga mengacungkan kedua jempol tangannya.

“Tapi susah dipanggilnya. Gimana kalo kita pakai nama panggilan aja?” “Apaan?” Tanya Scovita dengan penasaran.

“Sekop aja.” Saran Yoga asal.

“Enak aja, emang aku alat bangunan.” “Sekdes?”

(28)

“Apaan tuh? Tanya Scovita.

“Sekertaris desa,” jawab Ringgo yang langsung mengundang tawa teman-temannya. “Nggak ada yang lebih keren apa?” Scovita protes.

“Sekrup?” “Ogah,”

“Scoby aja, keren tuh. Pendek dan gampang diingetnya.” Usul Deka setelah beberapa menit berpikir.

“Itu kan nama anjingnya Shagy di film Scoby doo? Masa aku di samain sama anjing?”

Scovita kembali protes.

“Ya enggak gitu juga, bukan anjingnya, tapi kita ambil namanya aja.” Deka menjelaskan. “Lucu juga tuh.” Firman menimpali.

“Ya udah, terserah kalian aja deh.” Akhirnya Scovita yang sekarang resmi memiliki julukan baru pasrah, menerima sebuah nama yang diusulkan oleh teman-temannya.

“Kita juga belum punya nama untuk rumah kos ini, bagaimana?

Deka kembali menyalakan sebatang rokok, yang baru saja dia ambil dari bungkus milik Firman. Sebuah hal yang akhir-akhir ini menjadi kebiasaan para penghuni kos, berbagi walau hanya satu batang.

“Iya, aku juga memikirkan itu. Kemarin ditanya sama temen, nge kos dimana nah aku bingung jawabnya.” Yoga merespon.

“Bagaimana kalau kita beri nama rumah harapan?” Usul Bagas sambil menyecap kopi yang sebentar lagi hanya menyisakan ampas.

“Filosofinya?”

“Ya, kita kan ke kota ini membawa sejuta harapan dan impian. Dan menurutku, harapan-harapan itu akan mulai kita wujudkan ya berawal dari sini, dari rumah kos ini.”

(29)

“Bagus juga sih menurutku, penuh dengan doa. Gimana kalian?” Tanya Deka. “Okelah,”

“Aku setuju,”

Firman hanya mengacungkan jempol kanannya.

“Aku nurut sama kalian,” Yoga menjadi yang paling akhir memberikan suara.

Semua sama-sama tersenyum sejenak, lalu terdiam. Masing-masing bermain dengan pikiran mereka sendiri, sesaat asik berbicara dengan hati dan pikiran mereka masing-masing.

Sepertinya bakal asik kalo kumpul terus bersama anak-anak ini. Batin Scovita, yang sudah resmi mendapat nama panggilan baru dari teman-temannya.

Ngga nyangka, malam ini aku ada di kota ini, kuliah di sini, dan bertemu dengan mereka. Semoga kali ini aku bisa bersahabat dengan mereka. Pikir Firman.

Mereka semua menyenangkan. Bagas ikut membatin.

Malam ini aku mencoba lebih mengenal mereka, sahabat-sahabat baruku. Tutur hati Ringgo

Ini menyenangkan. Deka terbawa suasana

(30)

Kontrak Kuliah

“Semangat yang masih menyala”

“Bagas.”

Bagas mengangkat tangan kanan ketika dosen yang sedang duduk di depan kelas memanggil namanya.

“Hadir, Pak.”

Dosen tersebut menatap Bagas sejenak, lalu kembali memanggil nama mahasiswa lain di kelas satu persatu. Pemuda berambut pendek itu menurunkan kembali tangannya lalu mengedarkan pandangan ke penjuru kelas, mengamati wajah asing orang-orang di tempat itu.

Hari pertama mengikuti kuliah, rasa antusias membuatnya begitu bersemangat.

Hmmm, mereka akan jadi teman-teman kelasku selama kuliah. Gumam Bagas dalam hati. Suara berat dosen laki-laki berumur empat puluh lima tahun itu masih memanggil beberapa nama mahasiswa lainnya, lalu menuliskan di buku kehadiran.

“Ada yang belum di panggil?” dia bertanya ketika merasa semua nama dalam daftar hadirnya sudah disebutkan.

“Kalau begitu sudah semuanya.”

“Sebelumnya perkenalkan dulu, nama saya Agus Widodo, kalian bisa panggil saya Pak Agus, atau AW biar lebih akrab. Saya yang akan menjadi dosen untuk mata kuliah Atletik, Dasar-dasar Penjas, dan Metodologi Pendidikan. Jadi selama di semester satu ini kalian akan bertemu dengan saya pada tiga mata kuliah itu.” Dosen itu berdiri dari duduknya, berjalan menuju ke depan kelas.

(31)

Semua mahasiswa terlihat serius memperhatikan dosen tersebut, tidak ada suara yang terdengar dari masing-masing mahasiswa. Konsentrasi dan pandangan mereka terpusat sepenuhnya.

Mereka tidak ingin hari pertama langsung mendapatkan teguran karena tidak memperhatikan.

“Ini adalah hari pertama kalian kuliah, jadi kita belum akan masuk ke materi. Kita baru akan membicarakan tentang kontrak kuliah. Sebelumnya, siapa yang akan menjadi ketua kelas di sini?”

Kini kasak kusuk terdengar dari arah mahasiswa. Saling pandang dan mengangkat bahu. “Tidak ada yang mengajukan diri? Kalau begitu saya yang akan menunjuk salah satu dari kalian untuk jadi ketua kelas.” Dosen tersebut mengamati masing-masing mahasiswanya satu persatu, hingga pandangannya terhenti pada satu wajah mahasiswa.

“Kamu saja, siapa namamu?” “Anton, pak.”

“Ya sudah, kamu saja yang jadi ketua kelas. Nanti kalau ada apa-apa, misalnya saya tidak bisa hadir mengajar, atau memberikan tugas tambahan saya akan menghubungimu. Dan tugasmu harus menyebarkannya ke teman-teman kelas, sanggup?”

Mahasiswa itu mengangguk, “Sanggup, Pak.”

“Bagus. Kalian juga harus memberitahukan kepadanya kalau mau ijin tidak masuk kuliah. Sekarang kita masuk ke dalam kontrak kuliah.” Ia mengeluarkan sebuah spidol dari dalam tas dan menuliskan sesuatu di white board.

“Pertama adalah kalian harus menghadiri perkuliahan sekurang-kurangnya tujuh puluh lima persen, artinya kalian hanya boleh maksimal tiga kali tidak hadir dari seluruh pertemuan kuliah. Jika melebihi itu, kalian akan saya beri nilai E. Paham?”

(32)

“Yang kedua adalah toleransi keterlambatan maksimal lima belas menit, melebihi itu, kalian tidak boleh masuk ke dalam kelas dengan alasan apapun.” Kesan tegas tergambar jelas dari wajahnya.

Mahasiswa mencatat peraturan tersebut pada buku tulis mereka masing-masing dengan ekspresi wajah yang berbeda-beda. Beberapa mahasiswa menunjukkan wajah keberatan dengan kontrak kuliah yang diberikan dosennya, tetapi tidak dapat menolak.

“Kemudian penilaian akan saya bagi menjadi tiga. Yang pertama adalah dari tugas-tugas yang saya berikan. Yang kedua adalah dari jumlah presensi atau kehadiran kalian, dan yang terakhir adalah dari hasil ujian semester nanti.”

“Ada pertanyaan?” Tatapan Dosen beralih kepada mahasiswanya yang duduk tenang di bangku mereka masing-masing.

Seorang mahasiswi mengacungkan tangannya, “Apa kontrak kuliah ini berlaku buat semua mata kuliah yang bapak ampu?”

“Tentu, untuk perkuliahan yang lain juga seperti ini. Semua dosen akan menerapkannya, memang sudah peraturan.”

“Berikutnya, karena kita adalah jurusan olahraga, jadi untuk setiap mata kuliah praktek diharuskan menggunakan pakaian olahraga. Silahkan, salah satu dari kalian dikoordinir untuk membuat seragam kelas yang akan dipakai waktu kuliah praktek,”

“Ada pertanyaan lain?”

“Ada ujian tengah semester, Pak?”

“Iya, itu jelas ada. Tetapi jadwalnya tidak selalu sesuai dengan jadwal kampus pusat. Bisa tiba-tiba saya memutuskan untuk diadakan ujian tengah semester. Tetapi kalian tenang saja, pasti saya beritahu seminggu sebelumnya supaya kalian bisa siap-siap,”

“Ada lagi?”

Mahasiswa dalam kelas itu saling pandang, “Tidak ada. Kalau begitu pertemuan hari ini sampai di sini dulu. Minggu depan kita baru masuk ke materi. Selamat siang.”

(33)

Mahasiswa-mahasiswa itu bangkit dan menyusul keluar kelas. Bagas berjalan ke arah kantin kampus, memesan sebotol teh, lalu bergabung dengan Deka dan Firman yang telah lebih dulu berada di tempat itu. Keduanya nampak sedang menikmati makan siangnya.

“Nggak makan?” sambut Deka begitu Bagas telah duduk disampingnya. “Belum laper.”

“Gimana kuliah hari pertama?” Tanya Firman kepada dua sahabatnya.

“Baru kontrak kuliah kok, belum ada materi yang diberikan.” Bagas menyalakan rokok. “Tadi aku sempet dikasih materi awal, tapi ya emang belum penuh kuliahnya. Masih ngomongin kontrak juga.”

“Sama, aku udah dua kelas hari ini masih ngomongin kontrak kuliah. Minggu depan baru ke materi.”

“Ternyata kayak gini ya, ada kontraknya juga kalau mau kuliah. Kayak rumah aja,” “Iya biar kita lebih teratur sih, nggak kayak pas SMA dulu. Yang bisa seenaknya bolos, nggak ikut pelajaran yang kita enggak suka. Sekarang harus beda, harus lebih baik lagi dari waktu kita sekolah dulu.”

Deka dan Firman tersenyum mendengar celotehan Bagas yang mencoba untuk bijak. Yang justru membuatnya menjadi terlihat lucu.

“Kamu hari ini berapa kelas?”

“Empat, bakal sampai sore di Kampus nih.” Deka menjawab pertanyaan yang diajukan Bagas.

“Wah, jangan-jangan ntar pulang ke kosan udah banyak uban di rambutmu, tuh,” Bagas mengeluarkan candaannya.

“Kamu sendiri?”

(34)

“Aku juga dua.”

“Sial, berarti cuma aku nih yang kuliah sampai sore?” Bagas dan Firman tertawa bersamaan.

“Selamat menikmati hari pertama, kawan.”

Ringgo menjinjing tas biola menggunakan tangan kanan ketika ia berjalan menaiki tangga kampus, sesekali cowok itu melemparkan senyum dan menyapa rekan mahasiswa yang berpapasan. Ia masuk ke dalam kelas yang sudah seminggu lebih ia datangi. Masih sepuluh menit sebelum kelas hari itu di mulai.

Pemuda itu mengambil duduk di pojok belakang, dekat dengan jendela kaca. Suasana kampus terlihat cukup ramai dari tempatnya berada saat ini, ia memperhatikan beberapa aktivitas mahasiswa melalui kaca jendela.

“Udah lama?” Sebuah suara merebut perhatiannya.

Ringgo menoleh, menemukan Nolan, teman satu kelasnya berdiri di samping kursi. Sebuah tas biola juga nampak berada di tangan kanan mahasiswa yang kini duduk di sampingnya itu.

“Baru sampai, nih pantat juga masih melayang belum jatuh ke kursi.” “Kamu udah nyelesein tugas minggu kemarin?”

“Udah, kamu?”

“Aku juga udah, semalem aku kebut ngerjain, akhirnya keburu selesai juga. Galak Dosen kita yang satu ini.”

Ringgo tersenyum kecil sebelum mengangguk menyetujui pendapat teman satu kelasnya itu. Ia kembali mengalihkan pandangan keluar jendela, memperhatikan berbagai aktivitas di kampusnya. Beberapa mahasiswa nampak sedang duduk membentuk lingkaran, membicarakan sesuatu, mahasiswa lain terlihat duduk seorang diri sambil memainkan gadgetnya.

(35)

“Bikin band yuk.” Suara itu kembali merebut perhatian. “Band?”

“Iya, kita bikin band, ntar ngajak Alan, Ryan, sama Tomas juga, gimana?” “Boleh, kebetulan aku juga pengin bikin band.”

“Sip, ntar kita kasih tau mereka bertiga kalau udah pada datang, semoga mereka juga mau.” “Itu pas banget mereka datang.”

“Ada apa?” Tanya salah satu dari mereka.

“Aku dan Nolan punya rencana mau bikin band. Kita pengin ngajak kalian, gimana?” Mereka terlihat antusias ketika mendengarkan penjelasan Ringgo. Dan tanpa berpikir lama tiga mahasiswa itu menganggukan kepala secara bersamaan. Ringgo dan Nolan nampak tersenyum puas mendapat jawaban dari tiga rekannya tersebut.

“Oke ntar sore kita latian.” “Langsung?” Tanya Alan.

“Iya, langsung aja. Biar bisa tahu formasi yang pas. Sama kira-kira aliran musik apa yang cocok buat kita. Kalian nggak ada acara, kan?”

Ke empat mahasiswa itu menggeleng menjawab pertanyaan Ringgo. “Oke deh, dari pada nggak ngapa-ngapain di kos.” Ujar Nolan. “Tapi di mana?”

“Di kampus kita kan ada?” Jawab Alan.

“Sepertinya mahasiswa baru belum boleh pakai deh,”

(36)

Semuanya langsung setuju dengan usul yang di ajukan oleh Tomas. Kemudian percakapan mereka terhenti ketika dosen yang akan mengisi kelas berjalan masuk dengan penuh wibawa.

“Dari mana, kok pulang sampai malam?” Yoga heran melihat Ringgo yang baru sampai kos pukul tujuh malam, masih dengan pakaian yang dia kenakan saat kuliah.

“Nge band.”

“Wuih, udah bikin band nih rupanya?” Kali ini Bagas yang menyahut. “Yo’i, tadi sama temen-temen kelasku.”

“Pegang apa kamu?”

“Gitar, sekaligus vokal. Anak-anak yang nunjuk aku jadi vokal.”

“Ciee, keren. Good luck ya buat band barumu.” Scoby ikut menyumbang pendapatnya. “Makasih, Sco.”

Ringgo berlalu menuju kamar. Beberapa menit kemudian ia kembali keluar, handuk berwarna biru tersampir dipundaknya.

“Deka sama Firman kemana?”

“Deka pergi makan sama Arum, Firman nggak tahu kemana.”

“Arum itu yang kayak gimana sih?” Scoby meniup cangkir berisi kopi panas sebelum meminumnya.

Yoga menggeleng, “Aku juga sekedar tahu namanya, Deka sering ngomongin tentang Arum, Arum terus. Bagas tuh yang satu fakultas, mungkin dia tahu.”

“Iya, aku pernah bertemu dengannya beberapa kali di kantin kampusku. Memang anaknya manis dan selalu ceria, wajar kalau Deka jatuh hati sama tuh cewek.”

(37)

“Iya, tiap di kampus mereka bareng terus, sampai bikin cowok-cowok di kampusku iri sama Deka.” Bagas tersenyum saat mengatakannya.

“Haha, paling bentar lagi mereka pacaran.” Yoga tertawa kecil, ia meraih cangkir kopi dari tangan Scoby.

(38)

Malam Inaugurasi

“Duel dua orang laki-laki.”

Sebuah panggung pertunjukkan setinggi dua meter berdiri di lapangan sepak bola yang terletak di belakang fakultas keolahragaan. Tak mau kalah dengan tukang-tukang yang sejak tadi sibuk mendirikan panggung, beberapa orang lain juga terlihat begitu lincah memasang lighting untuk mendukung tampilan panggung agar terlihat lebih meriah.

Di atas panggung, kini mulai dipasangi alat-alat yang nantinya akan di gunakan oleh para pengisi acara. Seperangkat alat band, gamelan, serta beberapa alat lainnya disediakan untuk memeriahkan acara puncak dari rangkaian OSPEK yang sudah dijalani selama beberapa hari.

Malam Inaugurasi, itulah tagline yang sudah menggaung di telinga semua warga kampus. Acara untuk menyambut mahasiswa baru. Dengan menampilkan bintang tamu, sebuah band dari kota Yogyakarta yang sudah sangat terkenal di seluruh wilayah Indonesia.

“Tes, tes. Satu, dua, tiga suara di coba,” seseorang laki-laki berkumis tebal nampak memegang microphone di tangan kirinya, sedangkan seseorang yang lain mengatur mixer dari sebuah tenda kecil yang jaraknya agak jauh dari panggung utama.

Laki-laki berkumis itu mengacungkan jempol kanannya, tanda suara yang dihasilkan sudah sesuai dengan yang dibutuhkan.

Persiapan selesai beberapa jam kemudian, siap untuk pertunjukan nanti malam.

Ringgo baru saja meletakkan tas cangklong warna abu-abunya ketika terdengar suara sepeda motor milik firman memasuki halaman dengan suaranya yang menggerung-gerung, nampak sengaja di geber dengan sangat kencang oleh pemiliknya.

Pemuda itu masuk ke dalam dengan wajahnya yang merah padam, membuat teman-temannya saling menatap dengan bingung.

“Brengsek! Brengsek! Brengsek!”

(39)

“Tau tuh, pulang kuliah malah marah-marah kayak gitu. Mungkin dimarahin sama dosennya gara-gara nggak ngerjain tugas,” jawab Yoga asal.

“Kamu kenapa, Man? Pulang kuliah malah kayak baru pulang dari medan perang. Emosi banget kayaknya,”

“Kamu tahu Jaka, Dek? Kakak kelasmu dua tingkat.”

Deka nampak berpikir sejenak, sampai ingatannya tertuju pada satu orang yang pernah bertemu beberapa kali di kampusnya.

“Jaka yang dulu jadi pemandu pas OSPEK itu?”

“Iya, dia orangnya. Brengsek!” firman terus menunjukkan wajah tegangnya, yang semakin membuat teman-teman satu kosnya heran.

“Kamu kenapa sih, Man? Ribut sama dia?” Ringgo yang sejak tadi mendengarkan dari dalam kamar ikut berkumpul bersama yang lain di ruang tivi.

“Aku baru saja adu mulut sama dia, untung ada anak-anak lain yang misahin. Kalau enggak udah aku hajar sampe nangis minta ampun tuh anak,” Firman sama sekali tidak mengendorkan raut tegang pada wajahnya.

“Walah, kenapa bisa sampe ribut gitu?” “Minum dulu, Man.”

Deka menyodorkan segelas air dingin yang baru saja dia ambil dari kulkas, mencoba untuk meredakan amarah yang masih terlihat dari sorot mata salah satu teman satu kosnya tersebut. Deka paham, Firman masih belum tenang dan bisa jadi justru akan membuat masalah baru dengan teman-teman kosnya yang lain.

“Cerita kalau kamu ngerasa udah lebih tenang,” lanjutnya.

Firman menyambut gelas yang disodorkan oleh Deka, lalu menghabiskannya dalam sekali tenggak. Ia duduk di sebelah Yoga setelah merasa bisa menguasai emosinya. Deka, Yoga, Scoby dan Ringgo duduk mengelilinginya. Menunggu pemuda itu untuk bercerita.

“Tadi waktu aku baru saja selesai kuliah dan sedang minum di atas motorku, dia datang dan langsung nyuruh aku untuk cepat-cepat pergi karena tempat parkirnya mau dia pakai. Jelas aja aku tanya maksudnya apa, tempat parker lain masih banyak yang kosong, kok,”

(40)

“Dia jawab, dari dulu tempat parkir itu udah jadi tempatnya. Kan, brengsek banget tuh orang yang seperti itu. Mentang-mentang senior terus bisa seenaknya, kalau bukan aku mungkin bisa diperlakukan kayak gitu.”

“Kamu debat sama dia?”

Firman mengangguk, “Bahkan aku dan dia sudah saling dorong. Untung aja lagi banyak anak yang buru-buru misahin. Beruntung dia nggak ngerasain pukulanku,”

“Kalian satu kampus pasti akan sering ketemu, kan?” Ringgo merasa sedikit khawatir permasalahan ini akan terus berlanjut.

Pemuda itu tersenyum sinis, “Aku tidak pernah takut. Kalau nanti ketemu lagi dan dia masih pengin nyari ribut, aku siap dan nggak bakal mundur.”

Sebuah sifat yang sebenarnya cukup membuat lima mahasiswa yang lain sering merasa was-was. Bukan cuma untuk Firman sendiri, tetapi mereka khawatir sifat Firman yang mudah tersulut emosi bisa menyeret mereka semua ke dalam sebuah masalah.

“Sudah-sudah. Kalau besok-besok kalian bertemu dan dia tidak mengungkit itu artinya dia juga nggak ingin memperpanjang masalah. Intinya kamu jangan sampai jadi orang yang cari masalah lebih dulu, apalagi sama senior.” Deka coba memberikan nasihat.

“Aku tidak akan melukai siapapun jika tidak dilukai lebih dulu. Kalian tenang saja, selama dia tidak menyentuhku aku juga tidak akan menyentuhnya sama sekali,”

Kalimat yang setidaknya bisa membuat teman-temannya bisa bernapas lega. Beberapa lama berada dalam satu rumah membuat enam remaja sudah saling mengerti dengan sifat dan karakter mereka masing-masing.

“Hey, ada apa ini. Kok sore-sore gini pada ngumpul di ruang tivi?” Bagas yang baru saja pulang kuliah heran mendapati ruang tivi penuh oleh teman-temannya.

“Sore banget kuliahmu?” Ringgo balik bertanya.

Bagas mengambil rokok dari saku celana dan membakarnya, ia menghisap dalam-dalam asap nikotin dengan racun-racunnya, lalu menghembuskan melalui dua lubang hidung.

“Sebenarnya udah selesai dari tadi, tapi nongkrong dulu sama anak-anak di kantin. Sambil liatin tukang-tukang masang panggung buat ntar malem,”

“Oh iya, inaugurasi ya,” Deka menimpali.

“Nonton, yuk,” ajak Scoby yang langsung di sambut antusias oleh teman-temannya. “Iya, ayo. Buat hiburan, spaneng mikir kuliah sama tugas terus-terusan,”

(41)

“Betul. Siapa tau bisa ketemu cewek,” Sambar Ringgo, mengundang tawa lima lainnya. “Ayo aja, deh. Aku ikut, yang penting ada kalian,” Yoga turut menyumbangkan suara. “Gimana, Man?” Deka beralih ke Firman.

“Kapan lagi nonton konser gratis,” jawabnya dengan senyum tipis tersungging di bibir.

Pukul delapan malam, enam sekawan itu sudah siap dengan dandanan mereka masing-masing. Siap untuk meramaikan konser malam inauguruasi yang diadakan oleh kampus mereka. Masing-masing mengenakan pakaian andalan mereka.

“Keren juga jaketmu, kapan-kapan minjem ya,” Bagas mengagumi jaket yang dipakai oleh Ringgo, membuatnya tidak tahan untuk memberikan komentar.

“Kemarin celanaku yang kamu pinjam, sekarang jaket Ringgo.mau di sikat juga,” Yoga melemparkan tisu yang baru saja dipakainya untuk membersihkan wajah.

“Lho,lho. Selama masih bisa pinjam, kenapa harus beli. Itu prinsipku,” Sanggah Bagas sambil memakai sepatu kets warna merahnya.

“Huuu, dasar nggak modal,” Cibir Scoby, yang langsung disambut tawa oleh kelima temannya.

“Sudah belum, ayo berangkat. Panggung inaugurasi menunggu kita,” Deka memberi komando.

“Jalan atau naik motor?” tanya Firman.

“Jalan aja yuk, sambil menikmati malam. Mumpung malamnya cerah tuh, bintangnya banyak,” sahut Yoga.

“Sok puitis kamu, Yog,” Bagas merasa mendapat momen untuk balas mencibir Yoga. Yoga tertawa, tetapi akhirnya semua setuju dan berjalan kaki menuju lapangan sepakbola fakultas olahraga yang menjadi tempat pertunjukan. Samar-samar, suara musik terdengar dari kejauhan, acara memang sudah mulai sejak pukul tujuh tadi. Meskipun baru sebatas pertunjukan-pertunjukan pembuka.

Enam remaja dari berbeda daerah itu sampai di fakultas olahraga lima belas menit kemudian. Jarak rumah kos mereka memang cukup strategis, tidak begitu jauh dari fakultas mereka masing-masing.

(42)

Suasana sudah begitu ramai oleh penonton yang datang dari berbagai kalangan. Entah itu dari mahasiswa baru dan lama, penduduk kampung, atau komunitas penggemar band yang akan menjadi bintang tamu malam ini.

Semua menyemut sampai di depan panggung.

“Gila, rame banget. Pulang aja yuk,” Yoga mengajak yang lainnya, siap berbalik badan. Bagas langsung merangkul pundak Yoga, “Mumpung malam ini cerah, kita nikmati aja sampai pagi,”

“Enak aja pulang, udah capek-capek jalan kesini malah minta pulang,” Scoby mengeluarkan protesnya.

Firman hanya tersenyum melihat tingkah teman-temannya, sembari menyalakan sebatang rokok kretek favoritnya.

“Yuk maju,” Deka berjalan tanpa menunggu respon teman-temannya.

“Kalau ketua sudah memutuskan untuk maju, anak buah harus mendukungnya. Ayo,” Bagas menarik tangan Yoga agar tidak nekat pulang sendirian.

Semua mengangguk, lalu menyusul Deka yang sudah berjalan beberapa langkah di depan mereka. Scoby mengangkat dua tangannya ke atas, seakan melakukan pemanasan. Firman berjalan dengan kedua tangan yang masuk ke saku celananya, sementara Ringgo melangkah sembari mengikat rambutnya yang cukup panjang.

“Firman tuh, Jak,” Seorang pemuda berjaket cokelat menunjuk ke arah Firman dan kawan-kawan, mengundang reaksi dari orang yang bernama Jaka.

“Kebetulan dia dateng, ayo samperin. Kita kasih dia pelajaran,” Desis jaka dengan nada yang mengancam.

“Betul, biar dia bisa paham tentang sopan santun sama yang lebih senior,” timpal satu orang yang lain.

Mereka semua berjumlah delapan orang, berjalan mendekati Firman dengan tatapan penuh kebencian. Siap untuk melampiaskan amarah karena merasa rekan satu kelompoknya sudah diremehkan.

Deka menyadari kedatangan Jaka dan gerombolannya mendekati mereka dengan aura yang tidak bersahabat, membuatnya langsung merasa panik.

(43)

“Hoy!” Jaka berteriak persis setelah dia hanya berjarak beberapa langkah dari Firman, membuat pemuda itu menoleh dan langsung memasang wajah penuh waspada.

“Kebetulan kamu datang kesini, ayo kita selesaikan masalah tadi siang,” lanjutnya.

Firman mengatupkan rahangnya kuat-kuat, tatapan matanya tajam tertuju pada satu orang. Dia mengambil ancang-ancang, siap untuk melawan orang-orang yang ada di hadapannya. Sementara teman-teman lainnya nampak terkejut dan saling pandang.

Ketegangan jelas terasa.

Keculai Deka yang langsung mengambil inisiatif untuk menengahi, “Sebentar, Bang, tunggu dulu. Tahan emosi kalian,”

Jaka mengalihkan pandangannya, dia mengenali Deka yang memang adik kelasnya di jurusan, “Kamu ngapain ikut campur? Kamu kenal dia?”

“Iya, Bang, dia teman satu kosku,”

“Oh, tapi aku enggak peduli. Dia sudah bersikap kurang ajar, jadi sudah sepantasnya aku kasih sedikit pelajaran,”

“Minggir, Dek. Biar aku hadapi orang ini sama teman-temannya,” Firman siap-siap untuk menerjang Jaka.

Jaka tak mau kalah, dia sudah maju lebih mendekati Firman dan siap melayangkan pukulannya. Teman-temannya juga sudah siap untuk berkelahi.

“Woo, wooo, wooo. Tunggu sebentar, dengarkan dulu.” Deka kembali mencoba meredakan suasana.

“Kamu apaan sih, Dek? Mau aku hajar juga?” Jaka nampak tidak suka.

“Dengerin dulu, Bang. Firman sudah cerita tentang kejadian di parkiran tadi sore. Jadi dengerin aku dulu,”

“Kamu juga, Man,”

Dua orang yang bersitegang itu nampak tidak sabar, tetapi tetap memberikan kesempatan kepada Deka untuk menyelesaikan ucapannya.

“Pertama, ini masalah kalian berdua, jadi seharusnya teman-temanmu nggak usah ikut campur, begitu juga dengan teman-temanku itu. Karena nanti pertikaian justru akan melebar, jurusan kita dan jurusan Firman atau bahkan jurusan dari fakultas lain bisa terpancing karena hal ini.”

(44)

Deka menyadari potensi konflik yang akan semakin melebar jika keributan ini tidak dia cegah, rasa solidaritas antar jurusan akan membuat permusuhan yang semakin melibatkan banyak orang. Deka tahu teman kosnya berasal dari berbagai jurusan, akan sangat rawan jika mereka terlibat.

“Kalau memang harus adu fisik, selesaikan satu lawan satu. Jangan libatkan orang lain,” Jaka nampak setuju dengan pemikiran yang disampaikan oleh Deka, akal sehatnya masih bisa mencerna dengan jelas konsekuensi yang akan terjadi. Kemungkinan yang baru saja dia dengar dari mulut Deka memang bisa terjadi, dan itu jelas bukan masalah sepele.

“Oke, aku terima idemu. Ayo kita selesesaikan sekarang juga,” ucapnya.

“Jangan disini. Kalian lihat ke sekitar kalian, petugas keamanan kampus sedang menatap kesini dengan tajam. Jelas mereka tahu apa yang sedang terjadi. Apa kalian mau ditangkap mereka dan di bawa ke sidang senat? Ujung-ujungnya kalian di skors.” Salah satu teman Jaka menyadari situasi.

Mereka sepakat menuju aula fakultas yang sedang dalam kondisi sepi. Dua pemuda itu berdiri saling berhadapan dengan kuda-kuda masing-masing, siap untuk menyelesaikan pertikaian antara mereka berdua secara jantan.

Deka melangkah mendekati Firman, “Hati-hati, dia ketua taekwondo,” bisiknya pelan. Firman tersenyum kecil mendengar bisikan Deka, “Kita lihat siapa yang akan menang, tarung jalanan atau taekwondo.”

Pertarungan dimulai, jual beli pukulan terus terjadi antar keduanya. Beberapa kali Firman berhasil memasukkan tinjunya ke perut dan rahang Jaka. Berkali-kali juga dia terkena hantaman dan tendangan dengan telak.

Perbedaan akhirnya menentukan. Serangan yang menggunakan teknik dari Jaka lebih menguasai daripada serangan asal-asalan yang dilakukan oleh Firman. Sebuah tendangan keras yang hanya bisa dilakukan oleh seorang petarung terlatih berhasil merobohkan Firman. Membuatnya jatuh tersungkur.

Bagas nampak hendak menolong teman satu kosnya itu, tetapi langsung di cegah oleh Deka.

Jaka yang juga sudah terlihat berantakan dan sedikit mengeluarkan darah dari pelipisnya itu berdiri di hadapan Firman. Dengan napas yang cukup tersengal-sengal dia berujar, “Lumayan juga kamu, aku salut.”

(45)

Kemudian dia menyodorkan tangan, mencoba membantu Firman untuk bangkit, membuat pemuda itu cukup terkejut. Tetapi tak urung Firman menjabat tangannya dan berdiri. Kini lagi-lagi mereka berdiri saling berhadapan.

“Aku tunggu kamu bergabung dengan UKM taekwondo,” ujar Jaka sambil menepuk pundak orang di hadapannya. Sebuah senyum tersungging di bibirnya.

“Lain kali aku akan mengalahkanmu,” Firman membalas senyuman bersahabat itu. Dari arah panggung, nyanyian dari bintang tamu sudah mulai terdengar samar-samar. Mengiringi langkah kaki enam remaja yang berjalan meninggalkan tempat itu dengan perasaan lega.

(46)

Keributan Kecil

“Seorang gadis manis bernama Alena,”

Bagas dan Scoby berjalan santai keluar dari sebuah toko sepatu. Sebuah kantong plastik berwarna oranye nampak dibawa oleh Scoby.

Keduanya berjalan menuju parkiran.

“Gila kamu, beli sepatu yang harganya selangit. Jatah makan satu bulan itu mah.”

Scoby tersenyum “Aku udah pengen sepatu ini sejak lama. Mumpung lagi ada duit, aku beli aja. Lagi juga ini kan limited edition.”

“Tapi kalo aku sih yang penting bisa dipakai. Tuh sepatu yang sering aku pake, beli pas kelas satu SMA. Biarpun pada bolong-bolong, tapi entah kenapa sayang kalo mau dibuang.” Ujar Bagas sambil menikmati rokoknya.

“Itu kan kamu, sukanya sama yang kuno. Tuh liat buktinya, muka jaman megalitikum aja masih terus kamu pakai.”

Bagas mau tak mau tertawa mendengar candaan yang terlontar dari mulut Scoby. “Sialan.”

Keduanya sampai di tempat motor mereka di parkir, Bagas mengeluarkan kunci dari dalam saku celana,dan melemparkan ke arah Scoby.

“kamu yang nyetir. Aku capek.”

Scoby memakai helm dan duduk di atas jok motor. Bagas melakukan hal serupa, namun gerakannya terhenti. Sepasang remaja yang sedang bertengkar menarik perhatiannya.

“Aku kesana dulu.”

Tanpa menunggu reaksi Scoby, pemuda itu turun dan berjalan ke arah mereka. Sayup-sayup Bagas yang semakin dekat dapat mendengar apa yang sedang dibicarakan oleh keduanya.

(47)

“Kamu udah sering bilang kayak gitu. Tapi mana? Cuma omongan doang, kamu tetap nggak bisa berubah. Aku udah bosen dengernya.” Disela tangisnya, ia berbicara dengan nada yang cukup keras.

“Kali ini aku serius. Aku bakal berubah. Kamu mesti percaya sama omonganku. Aku sayang sama kamu”.

“Bohong!! Kamu enggak sayang sama aku, kamu cuma sayang sama diri kamu sendiri. Kamu lebih milih barang haram itu dari pada aku.”

“Aku udah ngasih kamu kesempatan berkali-kali. Kamu udah janji enggak make lagi, tapi nyatanya, kamu masih sering make di belakang aku.”

“Kamu harusnya masuk rehabilitasi. Kamu sakit.”

Laki-laki itu tampak emosi. Dia mengangkat tangan, siap melayangkan tamparan. Beruntung Bagas tiba disaat yang tepat, sehingga dapat menahan tangan tersebut dari belakang.

“Siapa kamu?”

“Aku? Bukan siapa-siapa. Aku cuma mau ngelerai pertengkaran kalian, tapi kayaknya kamu udah keterlaluan.”

“Enggak usah ikut campur! Ini urusanku sama cewekku. Enggak ada hubungannya sama kamu.”

“Aku enggak bakal ikut campur kalo kamu nggak main kasar sama cewekmu. Kamu nggak berhak nyakitin dia.” Ujar Bagas.

Kali ini dia sedikit menaikkan nada bicaranya beberapa oktaf. Harga dirinya sebagai seorang laki-laki tidak bisa membiarkannya tetap tenang setelah dibentak oleh orang yang belum dia kenal.

“Brengsek. Aku udah bilang, kamu enggak usah ikut campur, atau” “Atau apa?”

Sebuah suara yang lain memotong. Scoby yang ternyata mengikuti Bagas muncul dari belakang tubuh Bagas.

“Atau apa?” Ulang Scoby.

Dia nampak terkejut melihat kemunculan Scoby.

Sial, dua orang. Aku nggak bakal bisa menang.

“Udahlah, ini bukan urusan kalian. Ini masalah kami.” Ia kembali meraih pergelangan tangan gadis yang sejak tadi terdiam, lalu menariknya.

Referensi

Dokumen terkait

Akustik yang menyangkut arsitektural merupakan sebuah cabang.. AKBAR ALI ABDUL FATAH AMMAR TANJUNG 13.11.0128 | 182 pengendalian pada ruang arsitektural yang dapat

H 1 : Bagi kelompok n1 (nasabah muslim yang hanya menabung di bank syariah) suku bunga bank konvensional tidak berpengaruh positif mau- pun negatif terhadap probabilitas menabung

Ia mengatakan bahwa “sembilan kelompok bisnis mengendalikan separuh media cetak di Indonesia” dan bahwa para pemilik media “melihat media sebagai pasar belaka.” Yanuar Nugroho

Berdasarkan uraian dari bab IV tentang hasil penelitian, dari angket yang telah diisi oleh responden, dapat dilihat dari segi keefektifan tutorial Online bagi

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi sifat fisik tanah antara lain persentase fraksi liat, fraksi pasir, kelembaban tanah, dan kandungan karbon organik tanah terhadap laju

Data dan informasi yang dikumpullkan selama audit lingkungan akan mencakup tata laksana audit, dokumentasi yang diberikan oleh pemilik usaha atau kegiatan, catatan dan hasil

Kecepatan longitudinal dapat ditentukan dengan cukup teliti karena tebal bahan uji diukur dengan jangka sorong (ketelitian 0,05 rom) dan pada osiloskop dapat diarnati dua buah