• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Kabar yang datang tiba-tiba adalah sebuah ucapan perpisahan paling pahit.”

Sudah empat hari Deka tidak melihat Arum di kampus dan di kosan. Tidak ada keterangan yang dapat menjelaskan di mana gadis itu saat ini dan kenapa dia tidak mengikuti semua kuliah.

Deka memutuskan untuk bertandang ke rumah Arum di Solo. Dia terlalu khawatir jika hanya untuk berdiam diri tanpa melakukan apapun untuk mengetahui kabarnya.

Besok hari Minggu, kenapa enggak besok aja ke rumah Arumnya? Deka mencoba

memantapkan diri sendiri.

“Iya deh, besok aja. Toh aku juga enggak ada kegiatan apa-apa,” gumamnya lagi.

Lalu ia beranjak ke tempat tidur, mencoba memejamkan mata, berharap malam ini akan segera berakhir dan berganti pagi. Dia ingin segera pergi ke Solo. Bayangan Arum terus menerus hadir ketika matanya terpejam, membuatnya gelisah dan tidak tenang.

Hingga pukul dua, pemuda itu baru dapat terlelap.

Dalam mimpi, Arum mendatanginya. Dia mengenakan pakaian mempelai wanita khas Jawa, berjalan perlahan mendekat. Arum sangat berbeda, dia menjelma menjadi wanita lembut dan anggun dalam balutan pakaian adat itu. Hanya satu yang masih sama, senyumnya, senyum paling manis yang pernah Deka lihat.

Mereka saling berhadapan, bau wangi bunga melati bercampur kamboja menusuk hidung. Deka menggenggam tangan Arum, dia tersentak dan melepaskan genggamannya, tubuh Arum terasa dingin.

Deka mundur beberapa langkah, mengamati Arum dari atas sampai bawah, saat itu dia baru menyadari bahwa tubuh Arum telah berubah keriput seluruhnya, Arum menjadi lebih tua dari sebelumnya. Seperti seorang nenek berumur enam puluh tahun.

“Siapa kamu?”

“Aku Arum, Arum Ndalu,” jawabnya, air mata menetes melewati kulit-kulit wajahnya yang telah keriput.

“Bohong!! Kamu bukan Arum, Arum tidak seperti ini,” Deka berteriak sambil menggeleng-gelengkan kepala, tidak mempercayai ucapan wanita itu.

“Aku mohon, percayalah. Ini aku, Arum Ndalu. Aku mohon, terimalah aku dengan keadaan yang seperti ini.”

Deka terdiam, menatap wanita di hadapannya, mencoba mencari sesuatu yang membuktikan bahwa dia benar-benar Arum. Tapi gadis itu justru bergerak mundur, meski kakinya tidak melangkah. Dia terus bergerak mundur, membuat pemuda itu terbelalak, terkejut ketika sosok Arum dalam mimpinya semakin menjauh.

“Hey, tunggu. Mau kemana kamu? Jangan pergi. Aku percaya kamu Arum, Arum Ndalu yang aku kenal. Kembalilah, aku mohon,”

Deka terbangun dengan peluh yang membasahi seluruh tubuhnya.

Mimpi yang terasa nyata, apa maksud mimpiku barusan? Semoga tidak terjadi apa-apa dengan Arum.

Dia mengucek-ucek matanya, lalu memandang ke sebuah jam dinding tua yang menempel pada tembok kamar. Setengah enam pagi.

“Pagi-pagi udah rapi. Perasaan ini hari minggu, harusnya kan si Yoga yang udah rapi mau ke gereja, malah kamu. Yoga aja masih molor,” cerocos Ringgo yang baru bangun dari tidurnya, masih menggunakan sarung, pakaian resminya untuk tidur.

“Kalo hari minggu, jam sepuluh juga berarti masih pagi,” eyel Ringgo sambil menjatuhkan pantat di sofa dan menyalakan tivi.

“Aku mau ke Solo. Aku khawatir sama Arum, udah empat hari dia enggak masuk kuliah. Aku takut dia kenapa-kenapa.”

“Enggak ditelpon dulu?”

“Udah, aku udah coba berkali-kali, tapi enggak aktif terus. Makannya aku putusin ke rumahnya aja.”

“Nomor rumahnya?” “Nggak punya.” “Mau aku temenin?”

Deka berpikir sejenak, mencoba menimbang-nimbang. “Enggak usah deh, biar aku sendiri aja.”

“Ehmm, ya udah. Yang penting hati-hati.”

Deka tidak menjawab, dia sibuk memakai sarung tangan dan menutupi mulut dan hidungnya menggunakan masker.

“Aku berangkat dulu.” “Oke, hati-hati, Bos.”

Yoga keluar kamar setelah Deka melaju. Dengan mata yang masih setengah terpejam dia bertanya, “Mau kemana dia pagi-pagi gini?”

Ringgo menoleh ke belakang dan mendapati Yoga berdiri di pintu kamar, rambut keritingnya berantakan, mencuat tak karuan. Ringgo tersenyum melihat penampilan Yoga pagi ini.

“Deka bilang mau ke Solo,” “Oh, kenapa nggak bilang tadi?”

“Kamu kan masih tidur. Emang mau ikut?” “Enggak. Tapi aku pengen nitip satu bungkus.”

“Satu bungkus? Apanya?” Ringgo mulai bingung dengan perkataan Yoga.

“Soto,” dengan polos Yoga berbalik dan menjatuhkan kembali badannya ke atas kasur. Ringgo hanya bisa terdiam dengan mulut ternganga, bingung apa yang harus dia lakukan.

Perasaan, aku engga nyebut-nyebut Soto deh. Dasar kribo, sampe kupingnya juga kribo.

Deka tiba di kota Solo siang harinya. Dia berhenti di sebuah warung asongan di salah satu sudut kota, dekat dengan alun-alun.

Pemuda itu menghabiskan teh botolnya dalam sekali teguk, udara yang menyengat kulit yang dia rasakan sejak dari Semarang hingga sampai di Solo benar-benar membuat tenggorokannya kering.

“Punten Pak, tau alamat ini?” Deka menunjukkan kertas bertuliskan alamat rumah Arum yang dia dapat dari teman satu kosnya kepada pedagang itu.

Bapak itu memandang wajah Deka yang lusuh terkena debu jalanan. “Dari mana, Mas?” “Dari Semarang, Pak.”

Lalu laki-laki berkepala botak itu mulai menjelaskan alamat rumah Arum. Deka memperhatikan dengan seksama, sambil sesekali bertanya untuk memperjelas arah. Sampai akhirnya pemuda itu memohon diri setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih.

Deka sampai lima belas menit kemudian. Ia melangkah menuju gerbang, bertanya kepada seorang ibu-ibu yang sedang berjalan untuk memastikan dia sudah berada di alamat yang tepat.

“Betul, Mas. Ini rumahnya Arum,” jawab ibu-ibu tersebut. Deka mengucapkan terima kasih, lalu melangkah menuju pintu. “Assalamu’alaikum,”

“Waalaikum’salam,” terdengar suara laki-laki dari dalam rumah.

Laki-laki itu menyuruhnya masuk ke dalam dan duduk di sebuah kursi yang bermodel jawa kuno. Seorang wanita paruh baya nampak bergabung dengan mereka. Deka mengenalkan diri, lalu mengutarakan maksud dan tujuannya.

Wanita paruh baya itu tiba-tiba meneteskan air mata setelah mengetahui Deka adalah teman kuliah putrinya yang sengaja datang dari Semarang. Sementara suaminya terlihat menenangkan.

Dengan sangat hati-hati Deka bertanya, “Apa yang terjadi dengan Arum? Dia tidak pernah lagi terlihat di kampus. Semua teman dan dosen mencarinya,”

“Arum,” laki-laki itu menghela napas sebelum melanjutkan kalimatnya, “Arum sudah meninggal, Nak. Tiga hari yang lalu.”

Deka sangat terkejut mendengar penuturan laki-laki berkumis tebal itu. Dia memejamkan mata, lalu mengambil napas dalam-dalam dan mengeluarkan perlahan.

“Innalilahi wa innalilahi ro’jiun.”

“Kami belum sempat mengabari pihak kampus, karena kami terlalu jatuh dalam kesedihan ini. Kami semua sibuk mengurusi pemakaman Roro,” ujar wanita yang kini telah mampu mengendalikan perasaannya.

“Apa Arum sakit? Atau ada penyebab lain?”

“Radang ginjal. Bahkan kami sendiripun tidak menyadari penyakit itu bersarang dalam dirinya. Kami membiarkannya terlalu mandiri, sehingga kami tidak tahu bahwa dia telah lama mengidap penyakit itu. Sampai beberapa hari yang lalu Arum jatuh pingsan di kamarnya. Kami segera membawanya ke rumah sakit. Saat itu kami baru mengetahuinya,”

“Selama satu hari dia tidak sadar, hanya tergolek lemah. Kami semua benar-benar khawatir. Tapi harapan itu muncul, Arum tersadar di hari berikutnya, kami semua dapat bernapas lega, meski masih khawatir melihat kondisi Arum yang sangat membuat kami takut.”

“Selama dua hari dia tersadar dengan kondisi yang sangat lemah. Siang malam kami terjaga tanpa memejamkan mata sekalipun, terus berdoa, terus menghiburnya agar dia bisa kembali sehat dan tersenyum seperti biasanya.

“Bahkan saatdia tidurpun, kami tetap terjaga. Terkadang dia menyebut nama nak Deka dalam tidurnya, dia mengigau memanggil-manggil namamu,”

Deka terpaku mendengar penuturan itu, bibirnya kembali bergetar dan air mata menetes dari kedua sudut matanya.

“Saat hari terakhirnya, Arum meminta sesuatu yang menurut kami sangat tidak lazim. Dia meminta agar dirinya didandani layaknya seorang mempelai wanita dengan pakaian adat jawa, dan meminta agar tubuhnya dikasih wewangian bunga melati. Sebuah permintaan yang sangat aneh, tetapi kami tetap menurutinya. Arum menghembuskan napas hari itu juga. Ternyata dia sudah tidak sanggup menahan sakitnya itu.”

“Arum Ndalu. Bahkan menjelang kematiannya pun, dia masih ingin tetap menjadi harum,

Arum kembang.” Sang istri menuturkan.

Deka hanya terdiam, mencoba memasukkan semua perkataan itu ke dalam saraf percayanya, agar dia dapat menerima kepergian wanita yang pertama kali berhasil merebut hatinya.

“Arum menitipkan sesuatu untukmu,”

Wanita paruh baya itu beranjak dari duduknya dan masuk ke dalam sebuah kamar. Tidak lama ia kembali keluar dengan selembar amplop di tangannya, lalu menyerahkannya kepada Deka. Dengan tangan gemetar Deka membuka amplop dan mengambil beberapa lembar kertas dengan tulisan tangan Arum di dalamnya.

Untuk Deka yang baik, Deka mendapati tulisan itu di atas sendiri. Surat itu memang

Sebelumnya, aku kasih tebak-tebakan dulu ya. Emm, kenapa kodok suka melompat? Hehehe, itu udah pernah ya? Yang ini aja, kenapa gajah sama semut enggak mau jadi kakak adik? Hayoo, bisa jawab enggak?

Di bawah pertanyaan itu tersisa beberapa baris yang kosong, entah untuk apa, Deka tidak mengerti. Tetapi Deka dapat menemukan Arum yang dia kenal pada surat itu.

Ah lama, padahal udah aku kasih tempat buat jawab, tapi enggak di isi juga. Deka payah. Nih aku kasih tau. Kenapa gajah sama semut ogah jadi kakak adik, soalnya mereka enggak bisa berpelukan. Hahahaha, Deka emang nggak pernah bisa jawab tebak-tebakanku, Deka engga asik. Tapi aku tetep seneng kok bisa jadi sahabat Deka, aku bersyukur banget bisa kenal sama kamu. Walaupun dengan awal yang konyol, inget kan? Hehehe.

Baiklah, Deka, aku akan mulai cerita ke kamu.

Mungkin tiga tahun yang lalu. Aku mulai merasakan perih yang teramat sangat di dalam perut, aku sampai menangis karena menahan sakit itu. Saat itu aku tidak berani cerita kepada kedua orang tuaku atau kepada siapapun, dan memutuskan untuk memeriksanya seorang diri. Aku sangat terkejut saat dokter mendiagnosis penyakitku adalah radang ginjal, aku syok. Terlebih ketika dokter itu mengatakan aku harus segera dioperasi, sebelum semakin parah. Saat itu aku bingung, Dilema. Apakah aku harus menceritakannya kepada kedua orang tuaku, atau aku pendam sendiri. Selama beberapa hari aku memikirkan itu, dan setelah beberapa hari meminum obat dari dokter, rasa perih itu perlahan menghilang, dan aku memutuskan tidak perlu mengatakannya kepada Romo dan ibu, toh juga sudah sembuh.

Tapi tiba-tiba sakit itu datang lagi, dan kali ini dengan rasa perih yang berlipat-lipat dari sebelumnya. Aku kembali datang ke dokter itu. Ternyata masih dengan penyakit yang sama. Tetapi yang berbeda, saat itu dokter langsung memvonis, bahwa umurku tinggal sebentar lagi. Aku syok, aku takut. Tapi lagi-lagi aku tidak mengatakan kepada orang tuaku, dan aku justru memilih untuk menyembunyikannya.

Makasih yah Dek, makasih banget buat semuanya. Aku sebelum kenal kamu adalah aku yang berbeda, bukan aku yang sekarang. Dulu aku hanya pura-pura selalu tersenyum dan menjadi gadis yang ceria. Aku tidak pernah sungguh-sungguh, itu semua hanya untuk menutupi rasa

takutku mengahadapi saat-saat seperti ini. Juga untuk menutupi penyakit ini dari Romo sama ibu, dari saudara-saudaraku, juga dari semua orang di sekitarku. Aku tidak ingin melihat mereka semua bersedih memikirkan aku, aku tidak tega melakukan itu. Dulu aku hanya ingin terus menunjukkan senyum kepada semua orang sampai aku meninggal, meski senyum itu palsu.

Tapi kamu datang, dan membawa sejuta harapan dalam diriku untuk tetap hidup, untuk tetap berjuang, untuk terus bertahan. Tapi aku sadar itu sudah tidak mungkin, sudah sangat terlambat. Makannya, aku putuskan aku hanya sebatas memberikan senyum, yang kali ini sangat tulus, aku putuskan untuk tidak lagi memberikan senyum palsu kepada semua orang. Terlebih orang tuaku dan kamu. Dan saat itu aku mulai berubah, berubah menjadi seorang gadis yang benar-benar ceria dengan senyum yang tulus setiap harinya. Semua itu berkat kamu, aku terima kasih untuk itu. Kamu jugalah orang yang telah mengajariku tentang kehidupan ini, tentang keberanian dalam menjalani hidup walaupun dengan kondisi yang seperti apapun, dan dengan situasi seperti apapun.

Aku inget, dulu kamu pernah ngomong kalo kamu lebih suka menjalani hidup dengan apa yang ada pada diri kita, jangan menjadi manusia palsu, dan itu semakin membuat aku sadar kalo aku sudah keliru, sudah menjalani hidupku sendiri dengan kepura-puraan, dan aku menyesali itu. Deka, maaf ya aku menyembunyikan semua ini dari kamu. Aku harap kamu bisa memaklumi itu. Bukan karena aku tidak mau berbagi, hanya saja ini terlalu berat buat aku ceritain kepada orang lain. Dan yang pasti, karena aku takut berpisah dengan kamu, aku takut kehilangan kamu.

Jujur, aku seneng banget saat kamu nyatain perasaan ke aku, saat itu hatiku berbunga-bunga bahkan seakan melayang sampai ke langit ketujuh. Saat itu ingin banget aku terima cinta kamu, ngejalani sisa hidup aku sebagai seorang kekasih, yang belum pernah aku rasain dari dulu. Tapi aku enggak mau egois. Aku sadar, kalau aku terima kamu, itu sama aja aku nyakitin kamu, sama aja aku nyia-nyiain cinta kamu. Karena aku sadar betul, saat ini akan terjadi, dan aku enggak mau kamu bersedih karena kehilangan seorang kekasih, maaf.

Aku sayang kamu Dek, sayang banget. Hatiku ngomong kayak gitu. Aku tenang cuma dengan liat senyum kamu, saat di sisi kamu, aku bener-bener nyaman banget. Makannya aku betah lama-lama sama kamu. Hatiku menjerit saat aku harus berpura-pura hanya bisa menjadikanmu

seorang sahabat, aku pengen lebih dari itu, aku pengen jauh lebih spesial di mata dan di hati kamu. Tapi aku sudah berjanji sama diriku, bahwa sampai saat ini tiba, aku enggak boleh jatuh cinta sama siapapun.

Terus tersenyum ya, Dek, terus tertawa dan ceria seperti saat masih ada aku di sisi kamu. Seperti saat aku masih ada di dunia ini dan jadi sahabatmu. Kamu enggak boleh menangis, kamu enggak boleh menangis, dan kamu enggak boleh menangis. Meskipun aku sudah tidak bisa lagi nemenin kamu.

Aku pamit Dek, aku pergi. Sekarang aku akan tertidur dalam sebuah kabut keabadian yang telah Tuhan sediakan untukku. Terlelap dalam kedamaian. Aku titip persahabatan kita, aku titip perasaanku, dan aku titip semua hal yang sudah kita lewatin bersama. Aku yakin kamu enggak bakal pernah lupa sama aku. Aku sayang kamu, Dek. Maaf aku enggak bisa nemenin kamu lebih lama lagi, meskipun sebenarnya aku pengen banget ngelakuin itu.

Deka menyelesaikan kalimat terakhir yang ditulis oleh Arum dengan linangan air mata. Dia tidak pernah menyangka dibalik pribadi Arum yang selalu ceria, tersimpan kesedihan yang begitu dalam, tersimpan sebuah penyakit yang mengancam nyawanya. Dia terlambat menyadari itu, dia terlalu terlena dengan keceriaan yang disuguhkan oleh Arum, tidak terlalu peka untuk menyadari ketakutan dibalik semua senyumnya.

Dapat terbayang dalam benaknya, saat dimana Arum harus sendiri menunggu kematiannya, saat dimana Arum merasakan kesepian yang teramat sangat ketika dia harus menghadapi penyakitnya itu. Bahkan mungkin saat Arum bersama dirinya, dia merasakan sepi itu. Deka menyesali dirinya yang terlambat menyadari semuanya.

Pemuda itu menarik napas terberat yang pernah dia lakukan dalam hidupnya. Baru kali pertama dia merasakan kehilangan orang yang benar-benar berarti, membuatnya harus terpuruk dalam kesedihan yang begitu dalam.

Deka mengusap air mata yang mengalir dipipinya. Sekali lagi dia menarik napas dalam-dalam, paling dalam dari semua tarikan napas yang pernah dia lakukan.

Jalan kota Solo begitu lengang, seolah semua penduduk kota itu ikut merasakan duka seperti yang Deka rasakan. Dia memacu motornya dalam keheningan berbeda, dalam kebisuan yang tidak biasa. Deka merasa ada sesuatu yang tertinggal di kota itu saat harus meninggalkannya.

Dokumen terkait