• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Semangat yang masih menyala”

“Bagas.”

Bagas mengangkat tangan kanan ketika dosen yang sedang duduk di depan kelas memanggil namanya.

“Hadir, Pak.”

Dosen tersebut menatap Bagas sejenak, lalu kembali memanggil nama mahasiswa lain di kelas satu persatu. Pemuda berambut pendek itu menurunkan kembali tangannya lalu mengedarkan pandangan ke penjuru kelas, mengamati wajah asing orang-orang di tempat itu.

Hari pertama mengikuti kuliah, rasa antusias membuatnya begitu bersemangat.

Hmmm, mereka akan jadi teman-teman kelasku selama kuliah. Gumam Bagas dalam hati.

Suara berat dosen laki-laki berumur empat puluh lima tahun itu masih memanggil beberapa nama mahasiswa lainnya, lalu menuliskan di buku kehadiran.

“Ada yang belum di panggil?” dia bertanya ketika merasa semua nama dalam daftar hadirnya sudah disebutkan.

“Kalau begitu sudah semuanya.”

“Sebelumnya perkenalkan dulu, nama saya Agus Widodo, kalian bisa panggil saya Pak Agus, atau AW biar lebih akrab. Saya yang akan menjadi dosen untuk mata kuliah Atletik, Dasar-dasar Penjas, dan Metodologi Pendidikan. Jadi selama di semester satu ini kalian akan bertemu dengan saya pada tiga mata kuliah itu.” Dosen itu berdiri dari duduknya, berjalan menuju ke depan kelas.

Semua mahasiswa terlihat serius memperhatikan dosen tersebut, tidak ada suara yang terdengar dari masing-masing mahasiswa. Konsentrasi dan pandangan mereka terpusat sepenuhnya.

Mereka tidak ingin hari pertama langsung mendapatkan teguran karena tidak memperhatikan.

“Ini adalah hari pertama kalian kuliah, jadi kita belum akan masuk ke materi. Kita baru akan membicarakan tentang kontrak kuliah. Sebelumnya, siapa yang akan menjadi ketua kelas di sini?”

Kini kasak kusuk terdengar dari arah mahasiswa. Saling pandang dan mengangkat bahu. “Tidak ada yang mengajukan diri? Kalau begitu saya yang akan menunjuk salah satu dari kalian untuk jadi ketua kelas.” Dosen tersebut mengamati masing-masing mahasiswanya satu persatu, hingga pandangannya terhenti pada satu wajah mahasiswa.

“Kamu saja, siapa namamu?” “Anton, pak.”

“Ya sudah, kamu saja yang jadi ketua kelas. Nanti kalau ada apa-apa, misalnya saya tidak bisa hadir mengajar, atau memberikan tugas tambahan saya akan menghubungimu. Dan tugasmu harus menyebarkannya ke teman-teman kelas, sanggup?”

Mahasiswa itu mengangguk, “Sanggup, Pak.”

“Bagus. Kalian juga harus memberitahukan kepadanya kalau mau ijin tidak masuk kuliah. Sekarang kita masuk ke dalam kontrak kuliah.” Ia mengeluarkan sebuah spidol dari dalam tas dan menuliskan sesuatu di white board.

“Pertama adalah kalian harus menghadiri perkuliahan sekurang-kurangnya tujuh puluh lima persen, artinya kalian hanya boleh maksimal tiga kali tidak hadir dari seluruh pertemuan kuliah. Jika melebihi itu, kalian akan saya beri nilai E. Paham?”

“Yang kedua adalah toleransi keterlambatan maksimal lima belas menit, melebihi itu, kalian tidak boleh masuk ke dalam kelas dengan alasan apapun.” Kesan tegas tergambar jelas dari wajahnya.

Mahasiswa mencatat peraturan tersebut pada buku tulis mereka masing-masing dengan ekspresi wajah yang berbeda-beda. Beberapa mahasiswa menunjukkan wajah keberatan dengan kontrak kuliah yang diberikan dosennya, tetapi tidak dapat menolak.

“Kemudian penilaian akan saya bagi menjadi tiga. Yang pertama adalah dari tugas-tugas yang saya berikan. Yang kedua adalah dari jumlah presensi atau kehadiran kalian, dan yang terakhir adalah dari hasil ujian semester nanti.”

“Ada pertanyaan?” Tatapan Dosen beralih kepada mahasiswanya yang duduk tenang di bangku mereka masing-masing.

Seorang mahasiswi mengacungkan tangannya, “Apa kontrak kuliah ini berlaku buat semua mata kuliah yang bapak ampu?”

“Tentu, untuk perkuliahan yang lain juga seperti ini. Semua dosen akan menerapkannya, memang sudah peraturan.”

“Berikutnya, karena kita adalah jurusan olahraga, jadi untuk setiap mata kuliah praktek diharuskan menggunakan pakaian olahraga. Silahkan, salah satu dari kalian dikoordinir untuk membuat seragam kelas yang akan dipakai waktu kuliah praktek,”

“Ada pertanyaan lain?”

“Ada ujian tengah semester, Pak?”

“Iya, itu jelas ada. Tetapi jadwalnya tidak selalu sesuai dengan jadwal kampus pusat. Bisa tiba-tiba saya memutuskan untuk diadakan ujian tengah semester. Tetapi kalian tenang saja, pasti saya beritahu seminggu sebelumnya supaya kalian bisa siap-siap,”

“Ada lagi?”

Mahasiswa dalam kelas itu saling pandang, “Tidak ada. Kalau begitu pertemuan hari ini sampai di sini dulu. Minggu depan kita baru masuk ke materi. Selamat siang.”

Mahasiswa-mahasiswa itu bangkit dan menyusul keluar kelas. Bagas berjalan ke arah kantin kampus, memesan sebotol teh, lalu bergabung dengan Deka dan Firman yang telah lebih dulu berada di tempat itu. Keduanya nampak sedang menikmati makan siangnya.

“Nggak makan?” sambut Deka begitu Bagas telah duduk disampingnya. “Belum laper.”

“Gimana kuliah hari pertama?” Tanya Firman kepada dua sahabatnya.

“Baru kontrak kuliah kok, belum ada materi yang diberikan.” Bagas menyalakan rokok. “Tadi aku sempet dikasih materi awal, tapi ya emang belum penuh kuliahnya. Masih ngomongin kontrak juga.”

“Sama, aku udah dua kelas hari ini masih ngomongin kontrak kuliah. Minggu depan baru ke materi.”

“Ternyata kayak gini ya, ada kontraknya juga kalau mau kuliah. Kayak rumah aja,” “Iya biar kita lebih teratur sih, nggak kayak pas SMA dulu. Yang bisa seenaknya bolos, nggak ikut pelajaran yang kita enggak suka. Sekarang harus beda, harus lebih baik lagi dari waktu kita sekolah dulu.”

Deka dan Firman tersenyum mendengar celotehan Bagas yang mencoba untuk bijak. Yang justru membuatnya menjadi terlihat lucu.

“Kamu hari ini berapa kelas?”

“Empat, bakal sampai sore di Kampus nih.” Deka menjawab pertanyaan yang diajukan Bagas.

“Wah, jangan-jangan ntar pulang ke kosan udah banyak uban di rambutmu, tuh,” Bagas mengeluarkan candaannya.

“Kamu sendiri?”

“Aku juga dua.”

“Sial, berarti cuma aku nih yang kuliah sampai sore?” Bagas dan Firman tertawa bersamaan.

“Selamat menikmati hari pertama, kawan.”

Ringgo menjinjing tas biola menggunakan tangan kanan ketika ia berjalan menaiki tangga kampus, sesekali cowok itu melemparkan senyum dan menyapa rekan mahasiswa yang berpapasan. Ia masuk ke dalam kelas yang sudah seminggu lebih ia datangi. Masih sepuluh menit sebelum kelas hari itu di mulai.

Pemuda itu mengambil duduk di pojok belakang, dekat dengan jendela kaca. Suasana kampus terlihat cukup ramai dari tempatnya berada saat ini, ia memperhatikan beberapa aktivitas mahasiswa melalui kaca jendela.

“Udah lama?” Sebuah suara merebut perhatiannya.

Ringgo menoleh, menemukan Nolan, teman satu kelasnya berdiri di samping kursi. Sebuah tas biola juga nampak berada di tangan kanan mahasiswa yang kini duduk di sampingnya itu.

“Baru sampai, nih pantat juga masih melayang belum jatuh ke kursi.” “Kamu udah nyelesein tugas minggu kemarin?”

“Udah, kamu?”

“Aku juga udah, semalem aku kebut ngerjain, akhirnya keburu selesai juga. Galak Dosen kita yang satu ini.”

Ringgo tersenyum kecil sebelum mengangguk menyetujui pendapat teman satu kelasnya itu. Ia kembali mengalihkan pandangan keluar jendela, memperhatikan berbagai aktivitas di kampusnya. Beberapa mahasiswa nampak sedang duduk membentuk lingkaran, membicarakan sesuatu, mahasiswa lain terlihat duduk seorang diri sambil memainkan gadgetnya.

“Bikin band yuk.” Suara itu kembali merebut perhatian. “Band?”

“Iya, kita bikin band, ntar ngajak Alan, Ryan, sama Tomas juga, gimana?” “Boleh, kebetulan aku juga pengin bikin band.”

“Sip, ntar kita kasih tau mereka bertiga kalau udah pada datang, semoga mereka juga mau.” “Itu pas banget mereka datang.”

“Ada apa?” Tanya salah satu dari mereka.

“Aku dan Nolan punya rencana mau bikin band. Kita pengin ngajak kalian, gimana?” Mereka terlihat antusias ketika mendengarkan penjelasan Ringgo. Dan tanpa berpikir lama tiga mahasiswa itu menganggukan kepala secara bersamaan. Ringgo dan Nolan nampak tersenyum puas mendapat jawaban dari tiga rekannya tersebut.

“Oke ntar sore kita latian.” “Langsung?” Tanya Alan.

“Iya, langsung aja. Biar bisa tahu formasi yang pas. Sama kira-kira aliran musik apa yang cocok buat kita. Kalian nggak ada acara, kan?”

Ke empat mahasiswa itu menggeleng menjawab pertanyaan Ringgo. “Oke deh, dari pada nggak ngapa-ngapain di kos.” Ujar Nolan. “Tapi di mana?”

“Di kampus kita kan ada?” Jawab Alan.

“Sepertinya mahasiswa baru belum boleh pakai deh,”

Semuanya langsung setuju dengan usul yang di ajukan oleh Tomas. Kemudian percakapan mereka terhenti ketika dosen yang akan mengisi kelas berjalan masuk dengan penuh wibawa.

“Dari mana, kok pulang sampai malam?” Yoga heran melihat Ringgo yang baru sampai kos pukul tujuh malam, masih dengan pakaian yang dia kenakan saat kuliah.

“Nge band.”

“Wuih, udah bikin band nih rupanya?” Kali ini Bagas yang menyahut. “Yo’i, tadi sama temen-temen kelasku.”

“Pegang apa kamu?”

“Gitar, sekaligus vokal. Anak-anak yang nunjuk aku jadi vokal.”

“Ciee, keren. Good luck ya buat band barumu.” Scoby ikut menyumbang pendapatnya. “Makasih, Sco.”

Ringgo berlalu menuju kamar. Beberapa menit kemudian ia kembali keluar, handuk berwarna biru tersampir dipundaknya.

“Deka sama Firman kemana?”

“Deka pergi makan sama Arum, Firman nggak tahu kemana.”

“Arum itu yang kayak gimana sih?” Scoby meniup cangkir berisi kopi panas sebelum meminumnya.

Yoga menggeleng, “Aku juga sekedar tahu namanya, Deka sering ngomongin tentang Arum, Arum terus. Bagas tuh yang satu fakultas, mungkin dia tahu.”

“Iya, aku pernah bertemu dengannya beberapa kali di kantin kampusku. Memang anaknya manis dan selalu ceria, wajar kalau Deka jatuh hati sama tuh cewek.”

“Iya, tiap di kampus mereka bareng terus, sampai bikin cowok-cowok di kampusku iri sama Deka.” Bagas tersenyum saat mengatakannya.

“Haha, paling bentar lagi mereka pacaran.” Yoga tertawa kecil, ia meraih cangkir kopi dari tangan Scoby.

Dokumen terkait