• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA PUSTAKA

2.5 Adveristy Quotient

Adversity Quotient (AQ) adalah salah satu hal yang perlu diperhatikan untuk

menentukan keberhasilan seseorang, terutama keberhasilan siswa dalam belajar matematika (Ardiansyah, Junaedi, & Asikin, 2018). Amir, Kurniati, & Prahmana (2017) menyatakan bahwa “AQ means one’s struggle power in facing obstacles/barrier” yang berarti bahwa AQ merupakan kekuatan perjuangan seseorang dalam menghadapi rintangan / penghalang. AQ adalah kecerdasan untuk tahan terhadap kesulitan (Aryani, Amin, & R, 2018); (Merianah, 2019). AQ dimulai pada perkembangan kognitif. Remaja akan belajar bagaimana merespons atau menyelesaikan beberapa pertanyaan dari masalah. Pengalaman anak-anak sudah mulai berkembang ketika mereka dilahirkan di mana mereka dapat meningkatkan atau mengembangkannya (Yanti, Koestoro, & Sutiarso, 2018).

Stoltz (2000:16) berpendapat bahwa di antara banyak kekuatan yang dipegang oleh individu, salah satu kekuatan individu adalah sejauh mana seorang individu mampu bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk mengatasi kesulitan atau yang biasa disebut Adversity Quotient (AQ). Sejalan dengan pendapat Suhartono (2016); Chanifah (2015) AQ merupakan intelejensi khusus yang berkaitan dengan kemampuan seseorang menghadapi problematika kehidupan. Sehingga dapat dianalogikan bahwa AQ merupakan intelejensi khusus yang berkaitan dengan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. Jika individu mampu bertahan menghadapi kesulitan dan mengatasi kesulitan, maka individu akan mencapai kesuksesan dalam hidup.

AQ dapat digunakan sebagai pembinaan mental bagi peserta didik untuk menghindari masalah psikologis. Peserta didik mampu melihat dari sisi positif, lebih berani mengambil resiko, sehingga tuntutan dan harapan dijadikan sebagai dukungan. Keberadaan AQ di kelas membantu peserta didik dalam meningkatkan kemampuan dan prestasi belajar yang dicapai (Ismawati, Mulyono, & Hindarto, 2017). Parvathy & Praseeda (2014) berpendapat bahwa siswa menghadapi banyak situasi atau hambatan dalam kehidupan sehari-hari mereka, dan untuk mengatasi atau memecahkan masalah ini, adversity quotient diperlukan.

Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan AQ adalah optimisme (Amalia & Dewi, 2018). Masalah dalam matematika biasanya berbentuk soal yang harus dicari penyelesaiannya, dan untuk menyelesaikan soal matematika dibutuhkan proses berpikir yang baik untuk memahami konsep matematika maupun strategi yang digunakan untuk memecahkan masalah tersebut (Indrawati, Muzaki, & Febrilia, 2019). Sejalan dengan pendapat Dina, Amin, & Marsiyah (2018) faktor keberhasilan siswa dalam memecahkan masalah dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah tingkat kesulitan siswa. Kesulitan yang dihadapi oleh dua siswa mungkin berbeda dalam masalah yang sama. Kesulitan yang dihadapi merupakan kesempatan siswa untuk meningkatkan kemampuan mereka.

Fakta bahwa ada siswa saat ini yang mudah menyerah dalam mengerjakan soal matematika adalah karena kesulitan dalam proses penyelesaian masalah yang mereka hadapi (Hidayat, Wahyudin, & Prabawanto, 2018). Oleh karena itu, para siswa harus memotivasi diri mereka sendiri dan berusaha mengatasi kesulitan mereka dalam menyelesaikan masalah. Sejalan dengan pendapat Kinchin dalam

Ahmad (2016) prestasi belajar yang lebih tinggi mungkin diraih ketika siswa memiliki motivasi tinggi, karena motivasi merupakan faktor penentu sejauh mana siswa dapat mencapai hasil belajar yang diinginkan. Siswa yang memiliki AQ yang baik akan mampu bertahan dalam menghadapi berbagai kesulitan dalam pembelajaran matematika. Sejalan dengan pendapat Matore, Khairani, & Razak (2015) bahwa dalam perspektif pendidikan, AQ adalah kemampuan yang dibutuhkan untuk terus berjuang ketika siswa menghadapi kesulitan dalam mencapai kesuksesan mereka. Oleh karena itu, perlu untuk mempelajari AQ dalam pembelajaran matematika.

Stoltz (2000:138) mengelompokkan orang ke dalam tiga kategori AQ, yaitu: quitter (AQ rendah), camper (AQ sedang), dan climber (AQ tinggi). Menurut Imamuddin & Isnaniah (2018) quitter hanya menerima pembelajaran ataupun tugas-tugas yang diberikan oleh guru dan mengerjakannya dengan motivasi yang rendah, sedangkan camper, prestasi mereka tidak tinggi dan kontribusinya tidak besar juga. Climber prestasinya tinggi dan kontribusinya besar. Penjelasan masing- masing kategori menurut Stoltz dalam Suhartono (2016) menyatakan Quitter merupakan orang yang berhenti. Dalam kehidupan nyata, quitter adalah seorang yang menyerah ketika menghadapi tantangan. Mereka adalah orang yang berhenti menyelesaikan masalah, meskipun masalah tersebut belum tuntas. Mereka merasa tidak mampu melanjutkan usahanya dalam menyelesaikan masalah. Camper adalah orang yang yang berada posisi tertentu. Dalam kehidupan nyata, camper adalah yang puas dengan posisi yang sudah diperoleh. Camper merasa cukup dengan apa yang diperolehnya, sehingga mereka tidak melanjutkan kembali usahanya sampai

maksimal. Climber berarti orang yang senantiasa mempunyai tekat untuk sampai puncak tertinggi. Dalam kehidupan nyata, seorang climber akan selalu berusaha menghadapi rintangan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Seorang climber akan senantiasa bertahan dalam kesulitan dan menghadapi kesulitan dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan. Climber berusaha untuk mencapai puncak usaha mereka. Siswa yang memiliki AQ tinggi tentu lebih mampu mengatasi kesulitan yang sedang dihadapi. Namun, bagi siswa dengan tingkat AQ lebih rendah cenderung menganggap kesulitan sebagai akhir dari perjuangan dan menyebabkan prestasi belajar siswa menjadi rendah (Hidayat & Sariningsih, 2018); (Wulandari, 2019).

Angket Adversity Response Profile (ARP) yang di modifikasi untuk bidang pendidikan digunakan untuk mengelompokkan siswa ke dalam tiga kategori, yaitu siswa quitter, camper, dan climber. Stoltz (2000:120) menyatakan bahwa ARP sudah digunakan oleh lebih dari 7.500 orang dari seluruh dunia dengan berbagai macam karier, usia, ras, dan budaya. Hasilnya mengungkapkan bahwa ARP merupakan instrumen yang valid untuk mengukur respon orang terhadap kesulitan.

Suhartono (2016) menjelaskan bahwa Adversity Response Profile memuat 30 cerita peristiwa. Setiap peristiwa disertai dua pernyataan yang menggunakan skala bipolar lima poin. Pernyataan-pernyataan tersebut ada yang bersifat negatif dan juga yang bersifat positif. Ada 20 pernyataan yang bersifat negatif. Menurut Stoltz (2000:121) pernyataan negatif inilah yang diperhatikan skornya, karena kita lebih memperhatikan respon-respon terhadap kesulitan. ARP mengukur seluruh komponen AQ, yaitu Control (C), Original dan Ownership (O2), Reach (R) dan

Endurance (E). Rentangan skor AQ adalah 40 s.d. 200, sedangkan rentang skor masing-masing komponen adalah 10 s.d. 50.

Adversity quotient atau AQ yang dimaksud dalam penelitian ini sesuai dengan penjelasan Stoltz yaitu kemampuan seseorang dalam menghadapi kesulitan, atau dapat dianalogikan bahwa AQ merupakan intelejensi khusus yang berkaitan dengan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah (Suhartono, 2016). Dalam hal ini masalah yang dimaksud yaitu merepresentasikan persoalan matematis. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan angket Adversity Respone Profile (ARP) yang telah di modifikasi untuk bidang pendidikan. Hasilnya digunakan untuk mengkategorikan AQ menjadi tiga kategori yaitu: quitter, camper, dan climber (Stoltz, 2000:17).

Dokumen terkait