• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan merupakan suatu kegiatan universal dalam kehidupan manusia dan juga dapat mencetak manusia menjadi sumber daya manusia yang trampil dibidangnya. UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan tujuan pendidikan yaitu “...bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Pemerintah telah melakukan upaya untuk mencapai tujuan pendidikan nasional dengan penggunaan kurikulum 2013, dimana berdasar permendikbud No. 58 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Pertama, standar kompetensi lulusan yang dimiliki peserta didik memuat sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan dan keterampilan.

Peraturan pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pada bagian kedua, menunjukkan bahwa setiap jenjang pendidikan baik dasar, menengah maupun pendidikan tinggi wajib memuat matematika sebagai salah satu mata pelajaran atau mata kuliahnya. Taubah, Isnarto, & Rochmad, (2018); Rohman, Mulyono, & Dwidayati (2016) berpendapat bahwa matematika adalah ilmu abstrak dengan penalaran bersifat dedeuktif yang membutuhkan logika dalam pernyataannya yang dilengkapi dengan bukti melalui kegiatan pemecahan masalah.

1

Menurut Suyitno (2006:11) mathematics is a queen of scienses atau matematika adalah ratu dari ilmu pengetahuan karena topik matematika dapat dikembangkan tanpa campur tangan ilmu lain dan mathematics is a servant of sciences yang berarti matematika adalah pelayan pengetahuan, karena matematika dibutuhkan oleh semua ilmu pengetahuan. Mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif, serta kemampuan bekerjasama (BSNP, 2006:139).

National Council of Teacher Mathematics (2000) menyebutkan bahwa terdapat lima kemampuan dasar matematika yang merupakan standar yakni pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan bukti (reasoning and proof), komunikasi (communication), koneksi (connections), dan representasi (representation). Kenyataannya kemampuan matematis siswa masih rendah. Hal ini didasarkan pada hasil Trends International Mathematics and Science Study (TIMSS) dan Programme for Internasional for Students Assessment (PISA).

Berdasarkan laporan TIMMS 2015 (Provasnik, Kastberg, Lemanski, Roey, &

Jenkins, 2012) siswa kelas VIII di Indonesia menempati posisi ke 36 di antara 40 negara. Berdasarkan hasil studi PISA tahun 2015 Indonesia berada pada rangking 63 dari 65 negara. Hasil tersebut menyiratkan masih rendahnya prestasi matematika siswa, salah satunya yaitu kemampuan representasi matematis.

Kemampuan representasi yaitu suatu bentuk atau susunan yang dapat menggambarkan, mewakili, atau melambangkan sesuatu dalam suatu cara (Hwang, Chen, Dung, & Yang, 2007). Menurut Tyas, Sujadi, & Riyadi (2016) dalam proses

pembelajaran matematika, diperlukan kemampuan untuk mengungkapkan dan merepresentasikan gagasan atau ide matematis. Kemampuan representasi matematis diperlukan siswa untuk memahami konsep-konsep matematika dan untuk mengomunikasikan ide-ide matematika. Pendapat ini diperkuat oleh Kartini (2009) yang mengatakan bahwa representasi sangat berperan penting dalam peningkatan pemahaman konsep matematika. Kemampuan representasi matematis diartikan sebagai kemampuan mengungkapkan atau merepresentasikan gagasan atau ide matematis sebagai alat bantu untuk menemukan solusi dari masalah matematika. Adapun beberapa bentuk representasi matematis seperti verbal, gambar, numerik, simbol aljabar, tabel, diagram, dan grafik merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam pembelajaran matematika.

Pentingnya representasi matematis dapat dilihat dari standar representasi yang ditetapkan oleh NCTM. NCTM (2000) menetapkan bahwa program pembelajaran dari pra-taman kanak-kanak sampai kelas 12 harus memungkinkan siswa untuk: (1) Menciptakan dan menggunakan representasi untuk mengorganisir, mencatat, dan mengomunikasikan ide-ide matematis; (2) Memilih, menerapkan, dan menerjemahkan representasi matematis untuk memecahkan masalah; dan (3) Menggunakan representasi untuk memodelkan dan menginterpretasikan fenomena fisik, sosial, dan fenomena matematis.

Berdasarkan uraian tersebut, maka representasi matematis memiliki peran penting dalam mengembangkan kemampuan matematika, mengomunikasikan pemikiran siswa, menunjukkan tingkat pemahaman siswa, serta merupakan bagian penting dalam pemecahan masalah.

Kesulitan siswa dalam mengungkapkan ide-ide dalam bentuk representasi matematis dirasakan oleh sebagian besar siswa Indonesia. Hal tersebut juga dirasakan oleh siswa SMP N 16 Semarang. Berdasarkan hasil observasi siswa kelas VIII SMP N 16 Semarang, sebanyak 70 siswa kelas VIII diminta untuk mengerjakan dua butir soal. Butir pertama memuat aspek representasi visual dan representasi ekspresi matematis, sedangkan butir soal kedua memuat aspek representasi visual, ekspresi matematis dan representasi teks. Soal yang diberikan sebagai berikut: (1) CV Mega Raya membeli sebuah truk baru seharga

420.000.000,00 dan harga mengalami penyusutan �12.000.000,00 pertahun.

Persamaan penyusutan sebagai berikut: � = 420.000.000 − 12.000.000�

dengan

� menyatakan harga truk dan � menyatakan usia truk dalam tahun. Tentukan titik

potong garis dengan sumbu-� dan sumbu-�. Gambar grafik pada koordinat

cartesius yang menunjukkan penyusutan. (2) Diketahui suatu fungsi g(�)=

3�+3

mempunyai daerah asal {-2,1,0,1,2} (a) tentukan daerah hasil dari fungsi tersebut, (b) gambarkan dalam diagram panah apabila diketahui daerah kawan yaitu {�| − 4 ≤ � ≤ 10, � ��������

�����}.

Siswa menyelesaikan persoalan tersebut dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan awal representasi matematis siswa keseluruhan. Berdasarkan hasil tes diperoleh rata-rata 47,5 dengan data nilai tertinggi yaitu 75 dan nilai terendah yaitu 0. Hasil yang diperoleh 2,8% siswa tidak menjawab dua butir soal yang diberikan, sedangkan 40% siswa belum tepat menyajikan kembali data ke dalam bentuk grafik

Gambar 1.1 Contoh Hasil Tes Kemampuan Representasi Matematis Siswa pada Representasi Visual butir 1.

Butir soal 2, siswa juga belum tepat menyajikan data yang telah ditemukan ke dalam bentuk diagram.

Gambar 1.2 Contoh Hasil Tes Kemampuan Representasi Matematis Siswa pada Representasi Visual butir 2.

Hasil tes menunjukkan 30% siswa tidak dapat menyelesaikan masalah dengan melibatkan ekspresi matematis yaitu menemukan daerah hasil jika diketahui fungsi dan daerah asal dan 85,8% siswa tidak dapat menyajikan kembali dalam bentuk diagram. Hasil tes siswa juga menunjukkan bahwa 57,1 % siswa belum dapat memenuhi aspek representasi tertulis yaitu menuliskan daerah kawan jika data

ditulis dalam bentuk notasi. Seluruh siswa belum menuliskan langkah-langkah penyelesaian masalah. Hal ini berarti diperlukan adanya peningkatan kemampuan representasi matematis siswa.

Berdasarkan hasil observasi melalui wawancara dengan guru mata pelajaran matematika di SMP N 16 Semarang, siswa kurang mampu merepresentasikan ide- ide matematis pada soal matematika dalam bentuk gambar, simbol maupun kata- kata untuk memfasilitasi dalam penyelesaian masalah. Hafalan dan hasil akhir menjadi fokus siswa dalam menyelesaikan persoalan matematika. Daya juang siswa dalam menyelesaikan soal matematika juga bermacam-macam. Ada siswa yang mau bekerja keras dan tidak berhenti sebelum menemukan solusi permasalahan, ada siswa yang mau mencoba dan menyerah ketika menemui kesulitan, juga ada siswa yang tidak mau mencoba ketika dihadapkan pada soal cerita atau soal yang lebih rumit dari latihan soal biasanya. Daya juang siswa dalam menghadapi kesulitan disebut dengan adversity quotient.

Adversity quotient adalah kemampuan seseorang dalam berjuang menghadapi dan mengatasi masalah, hambatan atau kesulitan yang dimilikinya serta akan mengubahnya menjadi peluang keberhasilan dan kesuksesan (Stoltz, 2000:9). Berhasil tidaknya suatu pembelajaran tidak hanya didukung oleh kecerdasan kognitif siswa, tetapi emosional siswa dalam menyelesaikan masalah juga mendukung tercapainya tujuan pembelajaran (Maftukhah, Nurhalim, &

Isnarto, 2017). Sehingga Stoltz (2000:35) berpendapat bahwa siswa yang memiliki adversity quotient yang tinggi maka akan mengarahkan segala potensi yang dimiliki untuk memberikan hasil yang terbaik, serta akan selalu termotivasi untuk

berprestasi. Maka apabila siswa memiliki adversity quotient yang tinggi, maka dia akan lebih terdorong untuk mengarahkan dirinya pada hasil terbaik dengan upaya optimal memanfaatkan peluang dan aktif dalam bertindak. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa perlunya mengetahui adversity quotient siswa dan mendorong untuk memiliki daya juang yang tinggi agar memudahkan siswa merepresentasikan matematika.

Hasil penilaian ulangan harian pada tahun ajaran 2017/2018 di SMP N 16 Semarang menunjukkan bahwa rata-rata nilai ulangan harian pada materi bangun ruang adalah yang paling rendah. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.1

Tabel 1.1 Hasil Nilai Rata-rata Ulangan Harian Kelas VIII A SMP N 16 Semarang Tahun Pelajaran 2017/2018

No Materi Rata-rata

1. Teorema Pythagoras 78

2 Lingkaran 82

3 Bangun Ruang Sisi Datar 73

4 Statistika 85

5 Peluang 80

Penguasaan materi bangun ruang sisi datar membutuhkan kemampuan representasi matematis yang baik. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa siswa mengatakan bahwa mengalami kesulitan dalam materi bangun ruang terutama jika diberikan soal cerita. Hal tersebut mengharuskan siswa menguasai kemampuan representasi matematis untuk mempermudah menyelesaikan soal-soal dalam materi bangun ruang sisi datar.

Pengetahuan guru terhadap adversity quotient siswa yang berbeda dan kesulitan siswa pada materi bangun ruang sisi datar dapat membantu untuk menentukan model pembelajaran yang tepat. Menurut Sutarna (2018) model

pembelajaran merupakan kerangka konseptual berupa pola prosedur sistematik yang dikembangkan berdasarkan teori dan digunakan dalam mengorganisasi proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan mengajar sehingga pemilihan model pembelajaran akan memberi arah jalannya proses belajar mengajar yang menentukan keberhasilan dalam pembelajaran. Penggunaan model matematika yang sesuai akan membantu pemahaman konsep untuk mengemukakan ide/gagasan matematika siswa (Sternberg, 2012:270). Pemilihan model harus dapat memberikan kesempatan bagi siswa untuk berperan aktif dalam kelas, memperoleh informasi lebih banyak dengan mencoba, bertanya dan mengklarifikasi informasi yang mereka peroleh. Serta siswa melakukan aktifitas fisik dengan bergerak dan berbuat untuk menggali informasi lebih banyak, hal ini diharapkan mampu mendorong siswa untuk memiliki daya juang yang tinggi. Salah satu model pembelajaran yang memberikan kesempatan tersebut yaitu model pembelajaran somatic, auditory, visualization, intellectually (SAVI).

SAVI merupakan model pembelajaran yang melibatkan gerakan, seperti gerak fisik anggota badan tertentu, berbicara, mendengarkan, melihat, mengamati, dan menggunakan kemampuan intelektual untuk berpikir, menggambarkan, menghubungkan dan membuat simpulan (Lestari & Yudhanegara, 2015:57). Meire dalam Khusna & Heryaningsih (2018) menyatakan bahwa siswa dapat meningkatkan kemampuan untuk mengekspresikan ide mereka (intellectually) jika mereka memindahkan sesuatu (somatic) untuk menghasilkan gambar, diagram, grafik, dan lain-lain (visual) sambil membahas apa yang mereka lakukan (auditory).

Hal ini diperlukan siswa dalam mengembangkan kemampuan representasi

matematisnya, dimana siswa harus mampu mengekspresikan ide mereka ke dalam bentuk matematis lain untuk memudahkan dalam menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapi. Maka model pembelajaran SAVI dapat mendukung siswa dalam mengembangkan dan memaksimalkan kemampuan representasi matematisnya.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti melakukan penelitian untuk mengkaji lebih dalam bagaimana kemampuan representasi matematis siswa ditinjau dari adversity quotient pada pembelajaran somatic, auditory, visualization, intellectually (SAVI).

Dokumen terkait