• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. AGAMA-AGAMA DI DUNIA DAN DI INDONESIA. DI DUNIA DAN DI INDONESIA

D. AGAMA-AGAMA DI INDONESIA

Pada tabel III.1 di bawah ini, dimuat sekitar 29 buah nama agama dari sekian banyak agama di dunia, yang masing-masing mempunyai penganut sendiri, baik yang terikat pada etnis tertentu saja, terikat pada lokasi tertentu saja, atau pun yang bersifat kosmopolitan, yaitu yang penganutnya terdapat di seluruh dunia.

Tabel III.1. Agama-agama yang dianut penduduk dunia.

NO. NAMA AGAMA KETERANGAN

1. Baha, Baha’i agama yang muncul di Persia 2. Buddha agama besar & tua di Asia

3. Cao Dai agama yang muncul di Vietnam Selatan 4. Druze salah satu aliran agama Abrahamik 5. Gerakan Rastafari agama yang muncul di benua Afrika 6. Hindu agama besar & tua di Asia/ India

7. Islam agama besar di dunia

8. Jainisme aliran kepercayaan di India

9. Juche kepercayaan ideologis di Korea Utara 10. Kristen Katolik agama besar di dunia

11. Kristen Protestan sda

12. Kristen Ortodoks agama penting di Eropa Utara 13. Konfusianisme agama tua di Asia Timur 14. Konghucu sda

15. Mormonisme aliran Kristen di Amerika 16. Paganisme aliran kepercayaan polyteistik 17. Neo-Paganisme sama di atas

18. Raelianisme berdasarkan ilmu pengetahuan 19. Saintologi Hampir sama dengan sekte Scientology 20. Shinto agama asli di Asia Timur

21. Sikh agama di India

22. Spiritisme salah sebuah sekte 23. Tenrikyo agama yang timbul di Jepang 24. Taoisme agama asli di Asia Timur

25. Unitarian Universalisme Agama yang berdasarkan teologi bebas 26. Achmadiah aliran Islam yang berasal India 27. Yahudi agama Negara di Israel 28. Yudaisme sda

29. Zoroastrianisme agama kuno di Persia 30. Dan lain-lain

1. Agama-agama Resmi.

Pemerintah Indonesia memperlakukan pembagian agama di Indonesia atas dua kelompok, yaitu agama-agama yang dipandang agama resmi dan kelompok agama yang dianggap bukan agama, tetapi aliran kepercayaan.

Kelompok agama resmi yang berjumlah lima kemudian menjadi enam ini semuanya berasal dari luar, sedangkan kelompok agama yang dikatagorikan sebagai aliran kepercayaan hampir semuanya berasal dan berakar dari dalam masyarakat Indonesia sendiri, sehingga digolongkan pula sebagai agama-agama asli.

Apakah definisi agama resmi dan agama tidak resmi itu ? Pemerintah Indonesia hanya mengakui 5 (lima) buah agama sebagai agama resmi yaitu agama-agama Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan Buddha. Di jaman Pemerintahan K. H. Abdurrachman Wahid atau Gus Dur, Konghucu juga diakui sebagai agama resmi. Penetapan ini semuanya tanpa dasar hukum yang jelas dan tegas.

Agama-agama tersebut di atas mendapat pengakuan antara lain oleh karena memiliki kitab suci dan kitab-kitab yang memuat ajaran-ajarannya.

Bahkan dalam suatu diskusi dengan Departemen Agama, didapat penegasan yang meragukan, yaitu bahwa yang dimasukkan agama resmi itu adalah yang banyak penganutnya (Tituley, 2005).

Dalam sistem Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau kartu tanda pengenal di Indonesia, oleh Departemen Dalam Negeri dicantumkan pula “kolom agama” yang harus diisi dengan salah satu dari ke lima atau enam agama resmi tersebut di atas.

Agama-agama laindi luar ke lima atau ke enam agama tersebut di atas, dikelompokkan sebagai “aliran Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa ”, yang sering pula disebut agama asli, agama lokal, atau agama tradisional. Bahkan pada awal-awalnya dikatagorikan pula sebagai agama animis, penyembah berhala, bahkan aliran kafir.

Menurut Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama dalam penjelasan pasal demi pasalnya dijelaskan bahwa Agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Meskipun demikian bukan berarti agama-agama dan kepercayaan lain tidak boleh tumbuh dan berkembang di Indonesia. Bahkan pemerintah seharusnya berkewajiban mendorong dan membantu perkembangan agama-agama tersebut. Tetapi kenyataannya, seringkali kegiataan dalam masyarakat yang bercorak keagamaan tetapi tidak mengacu atau agak berbeda dengan aktivitas agama resmi, dipandang masyarakat sebagai “aliran sesat ” tanpa mempelajari hakekatnya.

Akan tetapi banyak juga tokoh masyarakat yang berpendapat bahwa pada hakekatnya dan sebenarnya tidak ada agama resmi dan tidak resmi, oleh karena setiap agama adalah resmi bagi penganutnya sendiri, baik diakui atau pun tidak oleh orang lain. K. H. Abdurrachman Wahid ketika menjadi Presiden Republik Indonesia, telah memasukkan Konghucu sebagai agama resmi, dan pengekangan terhadap agama-agama asli dipandangnya bertentangan dengan Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 tentang Kebebasan beragama dan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.

Pendukung pendapat ini termasuk juga tokoh-tokoh dari agama Kristen, antara lain Prof. Dr. A. Tituley, guru besar di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, dan Pendeta Marthen Menggeng, MTh dari Sekolah Tinggi Teologi Indonesia Timur (STT-INTIM) di Makasar.

Dr. Tituley sangat menganjurkan pengakuan mutlak terhadap pluralisme agama di Indonesia. Ia menulis antara lain:

“Dalam kerangka pemikiran seperti inilah, maka pluralisme agama harus diterima. Masalahnya, apakah di Indonesia hal itu sudah terjadi?

Ketika bangsa ini menerima hanya lima dan kemudian menjadi enam agama resmi, dan celakanya kelima-keenam agama itu bukanlah agama-agama yang lahir dari pangkuan budaya bangsa Indonesia sendiri, apakah bangsa ini sudah berbuat adil kepada dirinya sendiri? Tidakkah dengan mengingkari hak hidup agama-agama lain di luar lima-enam agama itu, bangsa ini telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang serius, yaitu hak untuk beragama? Jadi ketidak-adilan dalam kehidupan beragama juga sedang dipraktekkan bangsa ini, tanpa harus menunjuk ketidak-adilan bangsa lain.”

Pengakuan terhadap kelima-enam agama itu juga sesuatu yang patut dipersoalkan. Kriteria apakah yang digunakan? Dalam suatu diskusi di Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama RI, disebutkan bahwa dasar yang digunakan pada waktu lampau adalah ''agama yang banyak dianut bangsa ini ''. Kalau kriteria agama yang banyak dianut, lalu bagaimana dengan agama yang penganutnya tidak banyak?“ (Tituley, 2005).

Selanjutnya, dosen STT-INTIM Pendeta M. Menggeng, MTh mensinyalir bahwa perpindahan agama dari agama suku ke agama resmi, ada unsur paksaan dan bersifat tidak resmi. Menggeng (2004) menulis antara lain:

“Penduduk Indonesia pada umumnya telah menjadi penganut formal salah satu dari lima agama resmi yang diakui pemerintah. Lembaga-lembaga keagamaan patut bersyukur atas kenyataan itu. Namun nampaknya belum bisa berbangga. Perpindahan penganut agama suku ke salah satu agama resmi itu banyak yang tidak murni. Sejarah mencatat bahwa tidak jarang terjadi peralihan sebab terpaksa. Pemaksaan terjadi melalui

“perselingkuhan” antara lembaga agama dengan lembaga kekuasaan.

Keduanya mempunyai kepentingan. Pemerintah (lembaga kekuasaan)

membutuhkan ketenteraman sedang-kan lembaga agama membutuhkan penganut atau pengikut.

Kerjasama (atau lebih tepat disebut saling memanfaatkan) itu terjadi sudah sejak dahulu kala. Para penyiar agama sering membonceng pada suatu kekuasaan (kebetulan menjadi penganut agama tersebut) yang mengadakan invansi ke daerah lain. Penduduk daerah atau negara yang baru ditaklukkan itu dipaksa (suka atau tidak suka) menjadi penganut agama penguasa baru. Kasus-kasus itu tidak hanya terjadi di Indonesia atau Asia dan Afrika pada umumnya tetapi juga terjadi di Eropa pada saat agama monoteis mulai diperkenalkan.

Di Indonesia “tradisi” saling memanfaatkan berlanjut sampai pada zaman orde Baru. Pemerintah orde baru tidak mengenal penganut di luar lima agama resmi. Inilah pemaksaan tahap kedua. Penganut di luar lima agama resmi, termasuk penganut agama suku, terpaksa memilih salah satu dari lima agama resmi versi pemerintah. Namun ternyata masalah belum selesai.

Kenyataannya banyak orang yang menjadi penganut suatu agama tetapi hanya sebagai formalitas belaka. Dampak keadaan demikian terhadap kehidupan keberagamaan di Indonesia sangat besar. Para penganut yang formalitas itu, dalam kehidupan kesehariannya lebih banyak mempraktekkan ajaran agama suku, yang dianut sebelumnya, dari pada agama barunya, dengan dalih sebagai “budaya atau adat istiadat.” Para rohaniwan agama monoteis, umumnya mempunyai sikap berseberangan dengan praktek keagamaan yang demikian. Lagi pula penganut agama suku umumnya telah dicap sebagai kekafiran. Berbagai cara telah dilakukan supaya praktek agama suku ditinggalkan, misalnya pemberlakukan siasat/disiplin gerejawi. Namun nampaknya tidaklah terlalu efektif.

Upacara-upacara yang bernuansa agama suku bukannya semakin berkurang tetapi kelihatannya semakin marak di mana-mana terutama di desa-desa. Demi pariwisata yang mendatangkan banyak uang bagi para pelaku pariwisata, maka upacara-upacara adat yang nota bene adalah upacara agama suku mulai dihidupkan di daerah-daerah.

Upacara-upacara agama suku yang selama ini ditekan dan dimar-jinalisasikan tumbuh sangat subur bagaikan tumbuhan yang mendapat siraman air dan pupuk yang segar. Anehnya sebab bukan hanya orang yang masih tinggal di kampung yang menyambut angin segar itu dengan antusias tetapi ternyata orang yang lama tinggal di kotapun menyambutnya dengan semangat membara. Bahkan di kota-kotapun sering ditemukan praktek hidup yang sebenarnya berakar dalam agama suku. Misalnya pemilihan hari-hari tertentu yang diklaim sebagai hari baik untuk melaksanakan suatu upacara. Hal ini semakin menarik sebab mereka itu pada umumnya merupakan pemeluk yang

“fanatik” dari salah satu agama monoteis bahkan adalah pejabat atau pimpinan agama.“

Pendeta Dr. A. A. Yewangoe yang di saat penyusunan buku ini sedang menjabat sebagai Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) selalu menekankan bahwa bangsa Indonesia yang sangat majemuk termasuk dalam hal beragama, adalah sangat rawan konflik maka selalu diperlukan pemeliharaan Kerukunan Hidup Antara Umat Beragama, yang pada intinya terdiri atas 3 (tiga) bentuk kerukunan, yaitu Kerukunan Inter-Umat Bergama, Kerukunan Antar-Inter-Umat Beragama dan Kerukunan antara Umat Beragama dengan Pemerintah (Yewangoe, 2002).

2. Agama-agama Asli dan Jenisnya.

Kalau ditinjau sedikit lebih jauh, agama-agama seperti apa yang dimaksud dengan yang penganutnya tidak banyak itu? Kalau dicari dalam perbendaharaan agama-agama di Indonesia, maka sudah tentu akan ditemui agama-agama seperti Perbegu di Sumatera Utara, Kaharingan di Kalimantan, Marapu di pulau Sumba, Kejawen di pulau Jawa, Aluk Tadolo di Tana Toraja, dan lain sebagainya.

Agama-agama itu, meski jumlah penganutnya sedikit, tidaklah berarti bahwa eksistensinya diingkari. Kriteria seperti itu seharusnya tidak boleh dijadikan alasan penolakan pengakuan eksistensi suatu agama. Kalau hendak menolak eksistensi suatu agama, maka harus ada dasarnya.

Dasarnya itu tidaklah lain dari pada definisi agama itu sendiri.”

Lebih lanjut, Dr. A. Tituley (2005) mengutip perumusan mudah oleh Swidler dan Mojzes tentang pengertian agama, yaitu sebagai berikut:

“Suatu agama harus memiliki empat struktur, yang diringkas dengan empat C:

1). adanya pengakuan (Creed) tentang sesuatu yang mutlak benar bagi kehidupan manusia.

2). adanya kode (Code) tindakan (etika) yang timbul sebagai buah dari kepercayaan itu.

3). adanya kultus (Cult) sebagai upaya manusia untuk menyelaraskan dirinya dengan yang dipercayainya itu, dan yang ke empat:

4). adanya umat (Community) yang bersama-sama memiliki kepercayaan yang sama dan yang mempraktekkan ajaran agama itu.

Kalau ke empat struktur ini ada dalam sebuah lembaga sosial, maka lembaga sosial itu adalah agama. Orang selalu menghubungkan agama dengan isi kepercayaan (creed), terutama kalau itu berhubungan dengan Yang Mutlak yang disebut Tuhan, Dewa, dengan berbagai nama yang diberi manusia kepadaNya. Di kalangan bangsa Yahudi, Yang Mutlak itu disebut Yahweh, di tanah Arab: Allah SWT, di kalangan Kekristenan:

Tritunggal, di India: Krisna, di Bali: Sang Hyang Widi Wasa, di Toraja:

Puang Matua, Uis Neno di Timor dan sebagainya.

Kalau itu yang terjadi, bagaimana dengan agama Buddha yang tidak memiliki unsur kepercayaan terhadap Yang Mutlak itu? Maka definisi seperti di atas menolong, karena dia tidak perlu merepotkan isi kepercayaan. Kalau isi kepercayaan harus diperhitungkan, maka akan terjadi dua macam agama. Agama yang theistik, yaitu agama yang memiliki isi kepercayaan terhadap Yang Mutlak itu dalam bentuk ilah (theos: Bahasa Yunani) dan agama non-theistik, yaitu agama yang isi kepercayaannya terhadap Yang Mutlak itu bukan dalam bentuk ilah, akan tetapi misalnya gagasan. Kalau ini bisa diterima, maka agama Buddha adalah agama non-theistik.

Akibat dari definisi seperti ini, lalu akan muncul banyak sekali agama, karena hampir setiap suku di Tanah Air ini, memiliki agamanya masing-masing. Ya, mereka harus diakui sebagai agama dan masuk dalam kategori agama yang penganutnya sedikit.”

Bersadarkan itu, lebih lanjut A. Tituley berpendapat bahwa “kalau sudah ada pengakuan terhadap keragaman agama seperti ini, bagaimana mengatur supaya mereka bisa hidup rukun? Aturlah mereka seperti halnya mengatur kehidupan warga negara biasa saja. Tidak perlu diatur lewat suatu departemen atau Kementerian agama seperti yang ada sekarang ini. Pengaturan seperti sekarang ini hanya mempertontonkan kepada dunia bahwa negara ini sedang mempraktekkan diskriminasi struktural dan pelanggaran hak asasi manusia secara transparan.”

Pendapat mengenai dasar-dasar suatu lembaga untuk dianggap sebagai agama seperti di atas, hampir sama juga dengan apa yang telah dikemukakan oleh Koentjaraningrat, (1977). Dasar-dasar itu adalah seperti yang dipakai untuk menganalisa lebih dalam akan Faham Kepercayaan Marapu dalam bab IV, yaitu:

1. Emosi keagamaan atau getaran jiwa yang menyebabkan manusia menjalankan kelakuan keagamaan.

2. Sistem kepercayaan atau bayangan-bayangan manusia tentang bentuk dunia, alam, alam gaib, hidup, maut dan sebagainya.

3. Sistem upacara keagamaan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib berdasarkan atas sistem kepercayaan tersebut di atas.

4. Kelompok keagamaan atau kesatuan-kesatuan sosial yang meng-konsepsikan dan mengaktifkan religi beserta sistem upacara-upacara keagamaannya.

Jauh-jauh sebelum agama-agama yang dianggap sebagai agama yang resmi memasuki kepulauan Nusantara (Indonesia), masyarakat atau penduduk yang mendiami seluruh kepulauan Nusantara itu sudah memiliki jenis aliran kepercayaan sendiri-sendiri. Faham kepercayaan itu dianggap sebagai agama-agama suku, agama tradisional, agama asli atau agama lokal.

Kemudian, secara bertahap dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, masuklah agama-agama moderen dan yang diakui sebagai agama resmi oleh Pemerintah, yaitu agama-agama Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha dan Konghucu.

Di luar dari agama-agama yang dianggap resmi atau agama yang diakui ini, terdapat berbagai jenis aliran kepercayaan dan digolongkan sebagai “Aliran Kepercayaan Kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia dalam tahun 2003 di Indonesia terdapat sekitar 245 buah aliran kepercayaan yang masih dianut oleh sebagian penduduk Indonesia, sementara keseluruhan penghayat aliran kepercayaan mencapai jumlah 400 ribu jiwa lebih (sesuai data resmi).

Sebahagian besar kalangan masyarakat Indonesia sudah tidak lagi mengetahui bahwa sebelum agama-agama resmi masuk ke Nusantara ini, di setiap daerah telah ada agama-agama atau kepercayaan asli, yang dianut oleh sebagian besar penduduk di tempat itu di saat itu.

Misalnya Sunda Wiwitan yang dipeluk oleh masyarakat Sunda di Kanekes, Lebak, Banten. Sunda Wiwitan aliran Madrais, juga dikenal sebagai agama Cigugur (dan ada beberapa penamaan lain) di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Agama Buhun di Jawa Barat, Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur, agama Parmalim, agama asli Batak, agama Kaharingan di Kalimantan, kepercayaan Tonaas Walian di Minahasa, Sulawesi Utara, Tolottang di Sulawesi Selatan, Wetu Telu di Lombok, Naurus di Pulau Seram (Provinsi Maluku), aliran kepercayaan Marapu di pulau Sumba, Jingitiu di pulau Sabu dan lain sebagainya seperti dapat dilihat pada tabel III.2.

Dengan masuknya agama-agama moderen tersebut di atas, maka sebagian besar penduduk Indonesia segera beralih agama secara massal, dan agama-agama asli penduduk didegradasi sebagai ajaran animisme, penyembah berhala, aliran sesat atau hanya sekedar sebagai aliran kepercayaan.

Dan dengan dalih berlakunya Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa dengan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa,” maka segala tindak tanduk Pemerintah Indonesia selalu dan harus memperlakukan penganut-penganut aliran kepercayaan atau agama tradisional ini sebagai “warga negara kelas dua.”

Akibatnya ialah, bahwa penganut agama-agama tradisional tersebut berusaha mencari selamat sehingga jumlahnya semakin menyusut, sebagian aliran kepercayaan asli tersebut sebagian besarnya sudah hilang dari peredaran, dan penganut-penganut setianya semakin terpencil di pedalaman-pedalaman misalnya di Sumatera dan Papua. Kelompok masyarakat itu menjadi suku-suku terasing dan lalu dipandang sebagai kelompok masyarakat yang harus mendapat belas kasihan Pemerintah.

Di Indonesia, jumlah penganut agama-agama tradisional tersebut di atas, sulit untuk diketahui. Bahkan angka-angka resmi dari Pemerintah banyak kali kurang dipercayai masyarakat. Berdasarkan data tidak resmi. aliran kepercayaan yang paling banyak penganutnya adalah Agama Buhun. Data yang terekam oleh peneliti Abdul Rozak (Patji, 2009), penulis Teologi Kebatinan Sunda, menunjukkan jumlah pemeluk agama ini sekitar 100 ribu orang. Jika angka ini benar, maka jelaslah bahwa Agama Buhun adalah salah satu aliran kepercayaan terbesar di Indonesia, yaitu 25 persen dari seluruh jumlah penghayat aliran kepercayaan. Tetapi bagaimana dengan penganut Kaharingan di Kalimantan yang jumlahnya jutaan ?

Berikut ini dikemukakan daftar sekitar 20 buah nama-nama agama asli di Indonesia, seperti yang terlihat pada tabel III.2.

Tabel III. 2. Daftar sebagian Agama Asli (kepercayaan) di Nusantara ini.

NO. NAMA KEPERCAYAAN TEMPAT KEDUDUKAN PENGANUT 1. Sunda Wiwitan Kanekes, BANTEN suku Sunda 2. Agama Djawa Sunda Kuningan, JABAR sda

3. Buhun Jawa Barat sda

4. Kejawen JATENG dan JATIM suku Jawa

5. Parmalim Sumatera Utara suku Batak

6 Perbegu sda sda

7 Aliran Mulajadi Nabolon sda sda

8. Kaharingan Kalimantan suku Dayak

9. Tonaas Walian Minahasa, SULUT suku Minahasa 10. Alluk Tadolo Sulawesi Selatan suku Toraja 11. Tolottang sda suku Bugis 12. Wetu Telu pulau Lombok, NTB suku Sasak 13. Naurus pulau Seram, Maluku

14. Marapu pulau Sumba, NTT suku Sumba

15. Purwoduksino di Pulau Jawa 16. Budi Luhur sda 17. Pahkampetan

18. Bolim 19. Basora 20. Samawi 21. Sirnagalih

22. Jingitiu di pulau Sabu Raejua suku Sabu 23. Jintiu Kabupaten Belu, NTT suku Timor 24. Dan lain-lain

3. Diskripsi Singkat Beberapa Agama Asli.

3.1. Agama Djawa Sunda

Agama Djawa Sunda (sering disingkat menjadi ADS) adalah nama yang diberikan oleh pihak antropolog Belanda terhadap kepercayaan sejumlah masyarakat yang tersebar di daerah Kecamatan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Agama ini juga dikenal sebagai Cara Karuhun Urang (tradisi nenek moyang), agama Sunda Wiwitan, ajaran Madrais atau agama Cigugur.

Abdul Rozak, seorang peneliti kepercayaan Sunda, menyebutkan bahwa agama ini adalah bagian dari agama Buhun, yaitu kepercayaan tradisional masyarakat Sunda yang tidak hanya terbatas pada masyarakat Cigugur di Kabupaten Kuningan, tetapi juga masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak, para pemeluk "Agama Kuring" di daerah Kecamatan

Ciparay, Kabupaten Bandung, dll.

Jumlah pemeluknya di daerah Cigugur sekitar 3.000 orang. Bila para pemeluk di daerah-daerah lain ikut dihitung, maka jumlah pemeluk agama Buhun ini, menurut Abdul Rozak, mencapai 100.000 orang, sehingga agama Buhun termasuk salah satu kelompok yang terbesar di kalangan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Agama Djawa Sunda atau agama Sunda Wiwitan ini dikembangkan oleh Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan. Oleh pemerintah Belanda, Madrais belakangan ditangkap dan dibuang ke Ternate, dan baru kembali sekitar tahun 1920 untuk melanjutkan ajarannya.

Madrais — yang biasa juga dipanggil Kiai Madrais — adalah keturunan dari Kesultanan Gebang, sebuah kesultanan di wilayah Cirebon Timur. Ketika pemerintah Hindia Belanda menyerang kesultanan ini, Madrais diungsikan ke daerah Cigugur. Sang pangeran yang juga dikenal sebagai Pangeran Sadewa Alibasa, dibesarkan dalam tradisi Islam dan tumbuh sebagai seorang spiritualis. Ia mendirikan pesantren sebagai pusat pengajaran agama Islam, namun kemudian mengembangkan pemahaman yang digalinya dari tradisi pra-Islam masyarakat Sunda yang agraris. Ia mengajarkan pentingnya menghargai cara dan ciri kebangsaan sendiri, yaitu Jawa-Sunda.

Ajaran dan ritual dalam ADS, Madrais menetapkan tanggal 22 Rayagung menurut kalender Sunda sebagai hari raya Seren Taun yang diperingati secara besar-besaran. Upacara ini dipusatkan di Paseban Tri Panca Tunggal, rumah peninggalan Kiai Madrais yang didirikan pada 1860, dan yang kini dihuni oleh Pangeran Djatikusuma.

Dalam upacara ini, berbagai rombongan dari masyarakat datang membawa bermacam-macam hasil bumi. Padi-padian yang dibawa, kemudian ditumbuk beramai-ramai dalam lesung sambil bernyanyi (ngagondang). Upacara ini dirayakan sebagai ungkapan syukur untuk hasil bumi yang telah dikaruniakan oleh Tuhan kepada manusia. Upacara "Seren Taun" yang biasanya berlangsung hingga tiga hari dan diwarnai oleh berbagai kesenian daerah ini, pernah dilarang oleh pemerintah Orde Baru selama 17

tahun, namun kini upacara ini dihidupkan kembali. Salah satu upacara

"Seren Taun" pernah dihadiri oleh Menteri Perindustrian, Andung A.

Nitimiharja, mantan Presiden RI, Abdurahman Wahid, dan istri, serta sejumlah pejabat pemerintah lainnya.

Madrais juga mengajarkan penghormatan terhadap Dewi Sri (Sanghyang Sri) melalui upacara-upacara keagamaan penanaman padi. Ia memuliakan Maulid Nabi Muhammad, namun menolak Al Qur'an karena menurutnya Al Qur'an yang sekarang tidak sah. Al Qur'an sejati, katanya, akan diturunkan menjelang kiamat. Selain itu, Agama Djawa Sunda atau ajaran Madrais ini tidak mewajibkan khitanan. Jenazah orang yang meninggal harus dikuburkan dalam sebuah peti mati.

Masa depan ADS dapat dilukiskan sebagai berikut. Di masa pemerintahan Orde Baru, para pemeluk agama ini mengalami kesulitan karena pemerintah hanya mengakui keberadaan lima agama, yaitu Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu dan Buddha. Pada akhir 1970-an, ketika pemerintah Orde Baru menolak mengakui keberadaan ajaran Madrais, banyak pengikutnya yang kemudian memilih untuk memeluk Islam atau Katolik. Kiai Madrais wafat pada tahun 1939, dan kepemimpinannya dilanjutkan oleh anaknya, Pangeran Tedjabuana, dan kemudian oleh cucunya, Pangeran Djatikusuma yang pada tanggal 11 Juli 1981 mendirikan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU).

Pangeran Djatikusuma telah mempersiapkan anak laki-laki satu-satunya, yaitu Gumirat Barna Alam, untuk meneruskan ajaran ini. Menurut ajaran Kiai Madrais, anak lelaki harus bersikap netral, dan dapat mengerti semua agama. Sementara anak-anak Djatikusuma lainnya, bebas memilih agama ataupun kepercayaan lain.

3.2. Kejawen

Kejawen (bahasa Jawa: Kejawèn) adalah sebuah kepercayaan atau mungkin boleh dikatakan agama yang terutama dianut sebagian penduduk suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di pulau Jawa. Penamaan "kejawen" bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa. Dalam konteks umum, kejawen merupakan bagian dari agama lokal Indonesia. Seorang ahli antropologi Amerika Serikat, Clifford Geertz pernah menulis tentang agama ini dalam bukunya yang ternama “The Religion of Java.”

Olehnya Kejawen disebut "Agami Jawi".

Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan "ibadah"). Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat, dan menekankan pada konsep