• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAHAM KEPERCAYAAN MARAPU

B. UNSUR-UNSUR POKOK

Seperti hal-hal yang sudah dijelaskan dalam bab III tentang Agama di dunia dan di Indonesia, setiap religi atau kepercayaan, untuk dapat dipandang sebagai agama atau sebagai religi, para Pakar mensyaratkan bahwa lembaga itu harus mengandung unsur-unsur tertentu.

Antara lain, Pendeta Dr. A. A. Yewangoe, Pendeta Dr. A. Tituley dan P.

Soeriadireja. Konstruksi pemahaman tentang suatu agama atau kepercayaan menurut Yewangoe (2002) sudah dikemukakan dalam bab III yaitu bahwa sebuah agama atau kepercayaan, sedikitnya harus terdapat 8 unsur dalam konstruksi pemahamannya itu.

Sedangkan Soeriadireja (2002) yang membahas kepercayaan Marapu di Umalulu (Melolo, Sumba Timur), mengatakan bahwa seperti halnya dengan religi-religi dari berbagai suku-bangsa di dunia, maka di dalam kepercayaan Marapu sedikitnya ada 4 (empat) unsur pokok sehingga mampu bertahan sebagai sebuah lembaga keagamaan. Unsur-unsur Pokok itu adalah:

1. Emosi keagamaan atau getaran jiwa yang menyebabkan manusia menjalankan kelakuan keagamaan.

2. Sistem kepercayaan atau bayangan-bayangan manusia tentang bentuk dunia, alam, alam gaib, hidup, maut dan sebagainya.

3. Sistem upacara keagamaan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib berdasarkan atas sistem kepercayaan tersebut.

4. Kelompok keagamaan atau kesatuan-kesatuan sosial yang meng-konsepsikan dan mengaktifkan religi beserta sistem upacara-upacara keagamaannya. Umumnya disebut “umat”.

1. Emosi Keagamaan

Emosi keagamaan ialah suatu getaran jiwa yang pernah meng-hinggapi manusia pada masa hidupnya yang mendorongnya berlaku sebagai religi. Emosi atau perasaan keagamaan sudah ditanamkan sejak dari kecil oleh orang tua (ibu bapa) kepada anak-anak, baik pria maupun perempuan.

Pada waktu habarangu (kebaktian) di dalam rumah tangga keluarga batih, anak-anak diberi kesempatan untuk turut serta, malahan selesai kebaktian, yaitu selesai memberi sajian kepada Marapu, nasi sajian (=uhu mangejingu) itu dianggap sebagai “sisa makan” dari marapu, diberikan kepada anak-anak untuk disantap. (Penulis sendiri pernah mengalami yang demikian).

Namun sebelumnya “ratu” (imam, pemimpin kebaktian) meminta restu lebih dahulu dari Marapu dengan ucapan doa:

“Hálamunyaka pangangu pangunungu, Umbu, Rambu, Mátawa da anamu da umbukumu,

Kau tanda kadu pipi – wuku mata, Burinja wai mangolungu – wai maringu Da uhu rihi ngamu, da wai tádi unumu, ka dangänja, ka dangununja,

wánggu wálahunggau lii – batanggau peka, hemaya na liinggu.”

(“Selesai sudah makan dan minummu, Umbu, Rambu, Biarlah anak-anakmu, cucu-cucumu

Kau kenal tulang pipi dan alis mata mereka (=tampang) berilah mereka air harum, air dingin (=berkat)

nasi sisa makanmu, air sisa minummu, supaya mereka makan dan minum,

demikianlah saya paparkan kata dan aturkan bicara padamu, sahutilah bicaraku ! (= Amin)”

Dengan demikian, anak-anak memakan dan meminum “sisa” sajian itu supaya para leluhur mengenal dan memberkati mereka. “Sisa” dalam tanda kutip, oleh karena memang sajian itu tetap saja utuh seperti sedia kala. Emosi keagamaan itu dirangsang pula oleh para tetangga dan kawan sekampung, apabila mereka juga melakukan kebaktian yang serupa dalam rumah mereka.

Hanya dalam upacara-upacara besar saja anak-anak tidak dibolehkan, namun rangsangan emosi keagamaan itu tetap ada pada anak-anak, dari kecil sampai remaja dan seterusnya sampai dewasa, karena dalam kegiatan lain mereka selalu diturut sertakan. Misalnya: memukul gong, menari, menyanyi, melombakan kuda dan sebagainya sesuai dengan tuntutan upacara kebaktian, umpamanya pada waktu upacara Langu Paraingu (Kenduri negeri), Kanduku Woka (Tutup Panen), Pamangu Kawunga (Perjamuan Hulu Hasil), Pamau Papa (Pesta Pernikahan), Pamangu Ndewa (Perjamuan Dewa) dan lain sebagainya.

(Tetapi anak-anak yang hidup di kota, atau pun yang hidup kemudian, tidak mengalami lagi hal-hal demikian, sehingga dengan gampang mereka beralih agama).

Hukum Adat telah menetapkan bahwa mengambil isteri adalah mengambil pelayan kebaktian. Sebab, rumah bukanlah hanya sebagai tempat tinggal saja, tetapi adalah “uma Marapu” (rumah maharam), tempat berbakti kepada Marapu (Ilahi).

Isteri (sebagai “perempuan”) berkewajiban sebagai:

maohu ai – mataku wai (pengambil kayu api dan penimba air),

ma padukulu epi la au – ma pakalibuku wai la mbálu (yang menghidupkan api di dapur dan yang mengisi air di tempayan),

na mapohu kalája wingiru – kalája bara (yang meremas nasi kebuli kuning dan nasi kebuli putih) untuk keperluan upacara,

na matungu páni manu – na matungu uhu wei (yang memberi makan ayam - yang memberi makan babi), guna persiapan persembahan.

Suami (sebagai “laki-laki”) berkewajiban:

mapunggu oka – mabuta rumba (yang memotong kayu pagar dan yang mencabut rumput di kebun),

na mapahála njara – na mapawangu karambua (yang melepas kuda dan yang menggembala kerbau),

na mahangganya na uratu – na hamayangu (yang bertugas berdoa dan bersembahyang).

Demikianlah nyata bahwa tugas suami (laki-laki) dan isteri (perempuan) adalah sebagai pelayan para Leluhur (Marapu) dan Mapadikangu Awangu Tana (Alkhalik). Hasil usaha pertanian dan peternakan dari orang yang sudah berumah tangga, yang utama adalah sebagai bahan persembahan bagi Alkhalik melalui para Leluhur.

Rasa wajib inilah yang menimbulkan rasa cinta, rasa hormat dan rasa bakti, yang menguatkan ikatan keluarga dan seluruh kelompok masyarakat.

Rasa persatuan dan kesatuan dalam satu kabihu (suku/marga) dipupuk dan dikuatkan oleh suatu kebaktian bersama seluruh warga dalam suatu upacara Pamangu Ndewa – Pahomba (Perjamuan Dewa dan Ilah), yang seharusnya dilakukan sekali dalam tiap 7 atau 8 tahun.

Demikian pula rasa kesatuan dan persatuan seluruh warga sebuah

“paraingu” (=negeri) dipupuk dan dikuatkan oleh suatu kebaktian bersama pada pemulihan Uma Ndapataungu (= rumah tak berorang, rumah pemali) yang nama lengkapnya Uma Ndapataungu – Panongu Ndapa-kelangu (Rumah yang tak berorang dan tangga yang tak bergalang). Pemulihan rumah itu dipimpin oleh INA – AMA (Ibu – Bapa, = Tuan Tanah) sendiri, yang di Mangili terdiri dari kabihu-kabihu Máru, Watubulu, dan Matolangu. Ungkapan lengkap kelompok INA – AMA ini adalah “Ina Mangu Tanangu – Ama Mangu Lukungu” (Ibu Tuan Tanah dan Bapa Tuan Sungai) untuk seluruh Tana Mangili.

Dalam kedudukan sebagai Tuan Tanah, di Mangili ada empat yang serangkai, yaitu Máru – Watubulu, Matolangu - Wanggirara, tetapi dalam urusan Uma Ndapataungu, kabihu Wanggirara dipantangkan untuk turut serta. Karena menurut mitos, kabihu Wanggirara termasuk golongan

“kabihu memangu” (suku asli, kabihu yang sudah ada lebih dahulu dari kabihu pendatang), sehingga termasuk sebagai kabihu ratu.

Pemulihan Uma Ndapataungu di Umalulu dipimpin oleh kabihu-kabihu Ratu – Maramba yang terdiri dari Palai Malamba – Watu Pelitu, Watuwaya - Muru Uma.

Sedangkan di L e w a, pemulihan Uma Ndapataungu dipimpin oleh kabitu Ratu - Maramba yang terdiri dari kabihu-kabihu Matolangu - Parai Majangga, Páda – Pupuderu.

Di Anakalangu, pemulihan Uma Ndapataungu dipimpin oleh para INA – AMA yang terdiri dari Wai Doku - Wai Gawi, Matolangu – Makatakeri, Sawu – Wai Kawolu.

Masih banyak upacara-upacara lain yang berfungsi untuk memupuk dan menggairahkan rasa emosi keagamaan, seperti pada upacara Langu Paraingu (kenduri negeri), pergantian panen lama dan panen baru, pertukaran tahun lama dan tahun baru di Negeri Mangili. Ini sama halnya di negeri lain, yaitu dengan Wula Paita (bulan muharam, bulan pahit) di Lewa, Wula Pidu di Anakalangu atau Wula Podu di Lolina (Sumba Barat).

Apabila masyarakat penganut kepercayaan ini sudah tidak mampu lagi menyelenggarakan upacara-upacara tersebut, maka dengan sendirinya upaya untuk memupuk dan menggairahkan rasa dan emosi keagamaan

pun menjadi berkurang sehingga lama kelamaan akan menjadi redup.

Menurut Koentjaraningrat (1977) ada banyak unsur yang dapat mempertinggi emosi keagamaan dan aktivitas keagamaan di dalam suatu masyarakat. Unsur-unsur itu antara lain :

a). Kesadaran tentang adanya makhluk-makhluk halus atau gaib yang menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia.

b). Ketakutan akan adanya hal-hal yang kritis dalam hidup.

c). Yakin akan adanya banyak gejala yang tidak dapat diterangkan dan dikuasai oleh akal.

d). Percaya akan adanya suatu kekuatan sakti di dalam alam.

e). Terikat oleh emosi kesatuan kekeluargaan dalam masyarakat.

f). Percaya tentang adanya kekuasaan yang tertinggi.

2. Sistem Kepercayaan.

a.Dunia dan Dunia Gaib.

Menurut pandangan suku bangsa Sumba, dunia atau alam ini dikelilingi atau diselimuti oleh alam gaib dan oleh kuasa-kuasa gaib, dan terbagi atas tiga tingkat, yakni alam atas, alam tengah, dan alam bawah.

Inilah yang dilambangkan dalam struktur uma mbatangu (rumah ber-menara, mirip rumah joglo), yang menjadi uma marapu (rumah muharam), yang sekarang biasa disebut rumah adat.

Bentuk rumah yang demikian terdiri dari menara yang disebut uma dita (rumah atas, menara), bagian tengah yang disebut tau uma (badan rumah) dan bagian bawah yang disebut lumbu mbomangu (bawah kolong).

Uma Dita atau menara rumah adalah yang menjadi tempat menyimpan tanggu Marapu (bagian muharam), barang-barang keramat yang biasanya berupa perhiasan emas dan perak sebagai lambang atau pertanda kehadiran Marapu, lambang kehadiran para leluhur.

Tau uma atau badan rumah adalah tempat kegiatan manusia yang hidup. Ini adalah sebagai alam nyata, tempat kegiatan sehari-hari dalam menjalani kehidupannya.

Lumbu mbomangu atau bawah kolong adalah tempat kehadiran para wandi (arwah, mamarungu atau suanggi, tau pakabáli atau hantu, makambáliku atau setan, dan lain sebagainya).

Alam Tengah adalah alam nyata yang dapat ditangkap dengan panca indera, sedangkan Alam Atas dan Alam Bawah adalah alam gaib, yang tidak tampak dengan mata jasmani. Para arwah itu hanya dapat dilihat oleh tau

harii mata (orang celek mata) saja, yang dapat menembusi penghalang yang ada, yang katanya tebalnya hanya setebal daun sirih.

Ada juga pendapat yang salah tentang fungsi dari 3 (tiga) tingkat rumah Sumba seperti yang dijelaskan di atas. Yaitu, oleh karena di bawah kolong rumah (alam bawah, lumbu mbomangu) dipakai juga untuk memelihara ternak besar yaitu kuda, dan tempat berkeliarannya babi yang memang bebas berkeliaran, maka tempat ke tiga tersebut disebut tempat memelihara ternak. Pada hal, fungsi itu hanyalah sambilan saja, yaitu ketika merajalelanya pencurian ternak, maka ternak dipelihara di bawah kolong rumah agar supaya aman.

b. Alkhalik (Tuhan) dan Sifat-sifatNya.

b1). Identitas:

Dalam kepercayaan Marapu, kekuatan terbesar dan kekuasaan yang tertinggi adalah Maji Tau – Mawulu Tau (Alkhalik, Pembuat dan Pencipta manusia dan alam semesta). Oknum atau Zat ini Maha Mulia sehingga tidak boleh diberikan nama. Sebab kalau diberi nama, nanti namaNya akan disebut-sebut pada hal sama sekali tidak boleh diucapkan.

Untuk mengenalnya, atau membedakannya dengan oknum lainnya, maka cukup menyebutkan sifat-sifatnya saja.

Orang berkepercayaan Marapu mengenal Alkhalik semesta alam sebagai Miri (=Tuhan), yang menurut Dr. Umbu Hina Kapita, sama maknanya dengan perkataan Allah dalam bahasa Arab, atau dengan kata Elohim dalam bahasa Iberani.

Sedangkan ungkapan panda nyura ngara – panda peka tamu (yang tidak boleh disebutkan namaNya, yang pantang diucapkan asmaNya) yang ditujukan kepada Miri, hanyalah julukan, seperti halnya dengan julukan-julukan lainnya. Kata-kata julukan-julukan itu hanyalah keterangan dan merupakan sifat dari istilah Miri, untuk mengungkapkan Alkhalik Semesta. Seperti orang Iberani enggan mengucapkan Elohim dan diganti dengan istilah Adonai, sama pengertiannya dengan panda nyura ngara atau pun panda peka tamu.

Peka tamu memiliki dua arti: sebut nama dan memberi nama. Dengan demikian, berarti bahwa Alkhalik itu bukan hanya tidak boleh namaNya disebut atau diucapkan, bahkan lebih dari itu, tidak boleh diberi nama.

Sebab, kalau sudah diberi nama, maka pasti akan disebut-sebut.

Oleh karena itu, menurut ahli bahasa Sumba ini, jangan salah sangka bahwa orang berkepercayaan Marapu itu tidak mengenal Allah.

Memang mereka tidak tahu bahasa Arab Allah, tetapi mereka mengenal Allah dengan bahasanya sendiri, yaitu Miri, yang tidak kurang tidak lebih dari kata Arab “Allah” atau kata Ibrani “Elohim” itu.

Perkataan “Miri” ini adalah umum di seluruh Nusa Tenggara Timur.

Dalam dialek Kambera di Sumba Timur, disebut “Miri”, di Mangili “Muri”.

Di Sumba Barat (Wewewa) disebut “Mori”, di Manggarai dan Ngada

“Mori” dan di Sabu sama dengan di Mangili, disebut “Muri”.

Manusia juga tidak boleh berhubungan langsung dengan Yang Maha Mulia, Maha Suci dan Maha Tinggi ini, kecuali oleh para Dewa, Somba dan Marapu, oleh karena mereka adalah Roh, suatu sifat yang ada pada Alkhalik itu sendiri. Mereka inilah yang harus menjadi penghubung atau perantara manusia dengan Alkhaliknya itu. Mereka berfungsi sebagai lindi papapalangu – ketu papajolangu (titian yang diseberangkan, kaitan atau jolok yang disorongkan), yang artinya sebagai jembatan, penghubung, atau perantara.

b2). TUHAN dan Sifat-sifatNya.

Menurut keyakinan suku bangsa Sumba, Tuhan mendiami tempat yang maha tinggi, yaitu pada Awangu Walu Ndáni (langit delapan lapis/ tingkat), di tempat yang bernama Tana Mánangu – Watu Mánangu (Tana Selamat Batu Selamat) yaitu Sorga.

Di sanalah tempat bersemayamNya Miri Makamehangu (Tuhan yang Tunggal, Yang Esa). Dialah Mapadikangu Awangu Tana (Yang menciptakan Langit dan Bumi); Mapadikangu ihi panggubulu awangu (pencipta isi semesta alam).

Seperti sudah disebutkan di atas, nama Alkhalik ini tidak boleh disebut, hanya diungkapkan dengan nama-nama julukan sesuai dengan sifat-sifatNya atau fungsi-fungsiNya, antara lain:

1). Panda nyura Ngara – Panda peka Tamu (yang tak diucapkan gelar dan yang tidak disebutkan namaNya);

2). Ina Ukurungu – Ama Mbulungu (Ibu Bersama Bapa dari semua);

3). Ina Pakawurungu – Ama Pakawurungu (Ibu dan Bapa Semesta);

4). Hupu Ina Bai–Hupu Ama Bokulu (Maha Ibu Agung - Maha Bapa Besar);

5). Ina Nuku – Ama Hara (Ibu Hukum Bapa Cara);

6). Ndewa Mbulu – Pahomba Bulungu (Dewa dan Somba Yang satu-satunya);

7). Ndewa Luri – Pahomba Luri (Dewa dan Somba Yang Hidup);

8). Marihi – Mamangunju (Yang Lebih dan Menganjur, Maha Mulia);

9). Mabokulu Wua Matana – Mambalaru ru Kahiluna (Yang besar biji mataNya, yang lebar daun telingaNya, = Yang Maha Melihat Maha Mendengar);

10). Mailu Paniningu – Mangadu Katándakungu (Yang memandang dengan teliti dan yang meninjau dengan saksama, = Yang Maha Mengetahui);

11). Ma patandangu manjipu manjala – Ma padihangu mandoku mandánga (Yang mengetahui yang terlanjur dan salah, yang menimbang yang keliru dan sesat);

12). Matimba nda haleli – Mandahi nda panjilungu (Yang menimbang tak beranjak dan yang mendacing tak berubah, = Hakim yang Adil);

13). Ma panamungu nda hawalu–Ma paaingu tu malangu (Yang menyayangi tak terhingga dan yang mengasihi sungguh-sungguh);

14). Kandapu nda ngihirungu – Karangga nda lelingu (batang tak bergeser dan ranting tak berpindah, = yang kekal dan abadi).

15). Dan lain-lain sebagainya.

Di negeri lain misalnya di Loura, sekarang dalam “kabupaten Sumba Barat Daya ”, nama atau ungkapan terhadap Alkhalik itu adalah antara lain:

Miri = Tuhan;

Ina – Ama = Ibu – Bapa;

Magholo – Marawi = Pencipta dan Pembuat;

Ina Amagholo – Ama Amarawi = Ibu Pencipta – Bapa Pembuat;

Akanga Wolla Lima Akanga Wolla Wa’I = Pembuat jari tangan pembuat jari kaki;

Ina Kalada – Ama Kalada = Ibu Besar – Bapa Besar;

Ina Nduka Ina – Ama Nduka Ama = Ibu Mahaibu – Bapa Mahabapa;

Ina nduka piza – ama nduka mandi = Ibu Mahasakti – Bapa Mahakeramat.

Ina Kapitu Peghe – Ama Kawalu Pande = Ibu sempurna pengetahuan – Bapa senantiasa bijaksana;

Nggozi Ndapaghula - Pengga Ndapakeketa = Guci yang tak terangkat – pinggan yang tak terangkat;

Ndapanuma Ngara – Ndapateki Tamo = tak diucapkan gelar dan tak disebut nama;

Nggoko Yori Yali – Bela Zupu Zenggila = Berseri kilau kemilau dan Suci Mahakudus.

Demikianlah antara lain nama-nama julukan yang menyatakan sifat-sifat dari Alkhalik, dalam bahasa Sumba berbagai dialek. Masih banyak lagi ungkapan-ungkapan lain, namun yang lazim sehari-hari ialah “Mawulu Tau”

(Yang menjadikan Manusia dan Yang membuat manusia). Juga lazim Mapadikangu (Pencipta), lengkapnya adalah: Mapadikangu Awangu Tana (Pencipta Langit dan Bumi).

Orang Sumba berkepercayaan Marapu tidak mau memberi nama kepada Alkhalik itu oleh karena mereka yakin bahwa nama adalah untuk membedakannya dari yang lain, padahal tidak ada lagi Alkhalik yang lain, sehingga masih perlu membedakanNya, karena Ia Maha Esa, Maha Tunggal, yang satu-satunya.

(Istilah Ina dan Ama tidak bersifat gender. Ina = Ama, yang artinya Induk, Pokok atau pangkal, = Sumber.)

c. Susunan Dewa.

c1). Ndewa Pahomba (Dewa dan Somba)

Dalam kategori Marapu, seharusnya dinyatakan lebih dahulu tentang adanya suatu golongan yang jauh lebih tinggi kedudukannya dari Marapu, yaitu yang disebut Ndewa – Pahomba. Golongan ini sudah tergolong dalam lingkungan Ndewa Mbulungu – Pahomba Mbulungu (Dewa dan Somba Yang Esa), yaitu salah satu julukan tentang Miri Mapadikangu (Tuhan Pencipta, Alkhalik).

Kalau julukan bagi “Yang Mutlak”, “Yang Maha Kuasa”, “Pencipta Langit dan Bumi” (Miri Mapadikangu), Yang Ilahi dalam kepercayaan Marapu adalah bermacam-macam seperti yang telah disebutkan di atas, maka dalam kepercayaan asli (agama asli) di daerah-daerah lain juga meng-gunakan julukan bermacam-macam. Misalnya, Orang Toraja menyebutnya Puang Matua; Pue Mpalaburu dalam suku Pamona, Uis Neno dalam Suku Atoni Meto di Timor, Dibata dalam suku Batak Karo, Sangia dalam suku Tolaki, dan lain-lain. Yang Ilahi itu memberikan perlindungan kepada manusia dalam hidupnya.

Ndewa – Pahomba adalah roh para leluhur yang sudah jauh lebih dahulu dari para Marapu dan Marapu Ratu, oleh karena mereka ini tidak lagi diketahui atau dikenal secara khusus, seperti halnya Marapu/Marapu Ratu yang masih diketahui/dikenal dengan nama dan gelarnya masing-masing.

Mungkin sekali, yang dimaksud dengan Ndewa – Pahomba ini adalah

“Roh-roh para Leluhur orang Sumba” yang hidup pada masa sebelum tiba di Malaka Tana Bara (Semenanjung Malaka), yaitu masa sejak berpisahnya manusia di Tana Babil (ketika bahasa sebagai alat komunikasi manusia dikacaukan Tuhan) sampai kepada masa mereka tiba di Malaka itu. Masa ini lamanya ribuan tahun, dan tidak diketahui mereka hidup dalam berapa generasi. Mereka biasa juga disebut marapu ndai (marapu purba, nenek moyang). “Mungkin” juga terhisap di dalamnya Abraham, Ishak dan Yakub.

Ndewa Pahomba tidak lagi secara khusus diberikan atau disimpankan tanggu (bagian) yang berupa pusaka emas perak, seperti halnya Marapu, yang disimpankan tanggu marapu sebagai tanda kehadirannya di atas menara uma marapu (rumah muharam, rumah adat). Tanggu Marapu merupakan prasasti atau catatan kenang-kenangan tentang leluhur itu.

Sedangkan bagi Ndewa Pahomba, tidak ada lagi catatan seperti itu.

Marapu dan Marapu Ratu masih dapat ditelusuri silsilahnya 15 sampai 20 generasi ke atas, sedangkan bagi Ndewa Pahomba tidak mungkin lagi dapat ditelusuri. Namun walau pun demikian, hukum adat telah menetapkan bahwa tiap windu (delapan tahun) haruslah dipersembahkan kurban dengan memotong hewan yang setua tuanya: karambua mandapa (kerbau panjang tanduk), wei manggali uli (babi melengkung taring), kamambi madita kadu

(kambing yang tinggi/panjang tanduk) dan manu kalenggaru tara (ayam yang melengkung susuh).

Untuk maksud itu diadakanlah suatu upacara besar yang disebut Pamangu Ndewa (Perjamuan Dewa) atau yang dikatakan dalam luluku (baitan):Lumungu Li Ndewa – Nggumangu Li Pahomba (membakti upacara Dewa dan melayani upacara Somba). Dalam upacara ini diundang hadir semua kabihu (suku/marga) yang ada di seluruh paraingu (negeri) dan segala yera – anakawini (ipar biras) yang ada di paraingu/negeri lain.

Kebaktian-kebaktian semacam ini selain dipraktekkan di kalangan penganut kepercayaan Marapu di pulau Sumba, dipraktekkan juga di kalangan suku bangsa Batak di Sumatera Utara, yaitu upacara yang disebut Sombaon (Pedersen, 1975).

c2). Marapu Ratu.

Golongan Marapu Ratu (Maha Leluhur) adalah mereka yang menurunkan lagi beberapa Marapu, yang menjadi cikal bakal beberapa kabihu. Oleh karena itu istilah Marapu Ratu dapat diterjemahkan sebagai Maha Leluhur namun dapat pula disebut Leluhur Utama, yaitu leluhur dari para leluhur.

Golongan Marapu Ratu ini dibagi atas dua kelompok. Pertama, mereka yang menganggap bahwa leluhurnya langsung turun dari langit.

Termasuk dalam golongan ini: Umbu Ratu Mbiji – Mehangu Paratu, yang menurunkan kabihu Kola dan Kabundungu di Mangili, yaitu yang merupakan kabihu memangu (kabihu asli) oleh karena mereka sudah ada lebih dahulu di Tana Mangili dan tidak turut diusir oleh pendatang baru, kabihu Maru Watubulu, bahkan mereka mengambil isteri dari “kabihu memang” tersebut.

Juga termasuk dalam kelompok ini, Marapu Ratu di Wunga / Nápu, yaitu Umbu Pati Walu Haharu – Umbu Njata Walu Njongu, yang menurunkan kabihu-kabihu Ana Macua – Ana Maeri, Pahoka – Tula Paraingu. Menurut mitos, Marapu Ratu ini langsung turun dari langit dengan mengendarai kuda, sebagai kuda yang pertama di pulau Sumba ini.

Kelompok Kedua, adalah Marapu Ratu yang dalam mitosnya datang secara wajar dari seberang lautan dengan mengendari perahu. Dalam kelompok ini yang utama adalah:

Umbu Harandápa Walu Mandoku, Umbu Ngguru Ngguti Marapu Ratu, Mitingu Kawuku - Paku Báhi, Laleba Ndima – Ana Kameha.

Marapu Ratu inilah yang menurunkan kabihu-kabihu Ana Kariungu – Luku Tana, Makiri – Mbualura, dan masih banyak lagi. Dalam nama mereka

selalu tercantum juga nama tempat sampainya, nama negerinya, nama rumahnya dan asal usulnya.

Umbu Harandápa mula-mula tiba di Sumba ini di Mandoku, karena itu ia disebut Umbu Harandápa Walu Mandoku. Ia mula-mula tiba di tempat yang bernama La Kawuu – La Mandoku, La Paria Ránga – la Peku Ngadu, yaitu tempat-tempat yang terdapat dalam wilayah Wula – Waijilu. “Paku Báhi”

adalah nama negeri asalnya di seberang lautan. “Mitingu Kawuku” (hitam bubungan) adalah nama rumahnya, yang berwarna hitam karena atapnya terbuat dari rambut manusia (ini menurut mitos, mungkin karena terbuat dari ijuk enau saja).

Selain itu, tercantum pula nama asal – usulnya: Laleba Ndima – Ana Kameha (Kemanakan Bima – Anak Tunggal). Oleh karena hubungan antara Hanganji Ratu Ndima (Sang Aji Raja Bima) dengan Umbu Harandápa Walu Mandoku sebagai humba (=ipar), maka sejak itulah pulau ini dinamai Tana Humba (= tanah ipar). Kata ini terkenal sampai di Kodi, dengan arti ipar, pahumbangu (beripar berbiras).

Marapu Ratu Umbu Harandápa Walu Mandoku bukan hanya berpengaruh di seluruh Sumba Timur saja, tetapi juga sampai di Sumba Barat bagian Timur yaitu Memboro dan Mbolubokatu. Namun tempat yang khusus yang menjadi pusat kebaktiannya ialah di Waimbidi, Kambera, yang dalam bahasa baitan dikatakan:Kambata Tanga Kapunga – Kiku Ndakumulungu. Nama yang terakhir, “ndakumulungu” memiliki arti “saya tidak akan lenyap sampai kiamat”.

Ia tidak diperbakti di dalam rumah yang didiami orang, tetapi dalam suatu kuil, yang disebut uma ndapataungu, yaitu rumah tak berorang karena tidak didiami orang, sebuah rumah khusus yang ukurannya kecil saja, dengan atap dari ijuk, sebagai upaya memperingatkan rumahnya di tempat asalnya, di Paku Báhi (=Paku Besi). Rumah ini dipergunakan hanya pada waktu membawa “hunggu – maraku” (sajian dan persembahan) saja dan tidak didiami manusia. Sedangkan “Paku Báhi” itu di mana terdapatnya di dalam peta, tidak diketahui juga.

Demikian pula dengan semua Marapu Ratu yang lain, kebaktiannya dilakukan dalam “kuil”, yang disebut “Uma Ndapataungu” (Rumah Tak Berorang) itu, seperti halnya Marapu Ratu Umbu Endalu di Umalulu, Umbu Lu di Mangili, Umbu Mula di Kadumbulu, Umbu Huki di Lewa, Umbu Sembu (= Ubu Sebu) di Lai Tarung, Anakalangu dan marapu ratu lain-lainnya di negeri lain-lainnya di pulau Sumba.

Marapu Ratu Umbu Harandápa Walu Mandoku, biasanya digelarkan “Ina Ratu – Ama Konda”, karena ialah yang menurunkan para Ratu – Maramba (Imam dan Raja), yaitu para ningrat yang menjadi Penganjur dan Pemimpin masyarakat dalam kegiatan rohani dan jasmani. Untuk senantiasa memperingati mereka, maka dalam kuil itu disimpan “lambang kehadirannya”

yang terdiri dari: patung emas, perahu emas, perhiasan mamuli dan kanataru.

Selain itu, juga mbálu rara – kihi muru (tempayan merah dan guci hijau), yang menjadi lambang air langit (air hujan).

c3). Marapu dan tanggu Marapu.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, yang dimaksudkan dengan marapu adalah para leluhur, mereka yang luhur, yang mulia, yang dihormati, yang disegani, yang dipuja, yang keramat. Dalam Kamus Bahasa Inggeris, kata leluhur berarti “forefathers” atau “ancestors” (= nenek moyang). Itulah yang dimaksudkan dengan kata marapu dalam bahasa Sumba. Namun, pemakaian kata itu tidak terbatas hanya itu, seperti yang akan dijelaskan berikut ini.

Marapu adalah mereka yang pertama datang atau yang pertama lahir di Sumba. Bagi mereka, agar senantiasa dapat diperingati, maka disediakan tanggu marapu (bagian muharam) sebagai pusaka/relikwi.

Bentuknya ada yang berupa patung emas, perhiasan emas (mamuli, kanatar), batang atau lempeng emas/perak (logam mulia). Relikwi ini disimpan dalam mbola iwi (bakul dari rotan) atau dalam buranga (kotak, dos atau peti), diletakkan di atas para-para dalam menara rumah adat, sebagai media atau symbol kehadiran Marapu. Itulah sebabnya relikwi (pusaka yang dikuduskan) itu dianggap sebagai marapu juga, yang bersifat muharam, pantang disentuh oleh sembarang orang, melainkan hanya oleh mereka yang telah ditahbiskan sebagai ratu (imam).

Kalau dikatakan dai marapu (menjaga marapu) maka yang dijaga adalah relikwi itu, tetapi yang dipuja atau disembah bukanlah relikwi itu, melainkan Marapu yang diyakini hadir di dalamnya. Dengan demikian, tanggu marapu itu bukanlah berhala, karena tidak disembah, hanya dihormati sebagai lambang kehadiran marapu saja.

Tanggu marapu atau relikwi ini dapat dipindahkan dari rumah asal ke rumah lain. Misalnya dari rumah di kampung (kotaku) ke rumah di dusun (rumah kebun/rumah sawah) dengan cara kahopi marapu (menyimpan marapu dalam suatu kotak/dos anyaman), sudah barang tentu dengan upacara keagamaan. Kotak atau dos itu dibawa ke dusun, lalu dengan upacara pula disimpan dalam bagian atas rumah itu. Maksudnya, agar dalam kebaktian berkala di dusun itu tidak perlu lagi pergi atau naik ke kampung, tetapi cukup dilakukan di situ saja.

Relikwi atau tanggu marapu inilah yang oleh D. H. Wohangara dan penganut agama lainnya pada umumnya dipandang sebagai berhala.

Dengan demikian, penganut kepercayaan Marapu dipandang sebagai penyembah berhala. Dan penganut kepercayaan Marapu juga menerima saja julukan itu. Mau bagaimana lagi. Namun mereka tetap menganggap dan memperlakukan tanggu marapu sebagai yang sakral, tidak boleh sembarang orang melihatnya apalagi merabanya.

Setahu Penulis, sudah banyak juga kabihu yang sudah tidak lagi memiliki tanggu marapu oleh berbagai sebab. Antara lain karena sudah dijual untuk kebutuhan ekonomi keluarga walau pun belum berpindah agama; sudah pindah tangan karena sudah beralih agama, atau karena sudah hilang dicuri orang. Misalnya Tanggu Marapu dari kabihu Kabulingu (kabihu Penulis), yang merupakan barang-barang pusaka yang dibawa para leluhur dari Kapunduk (Sumba Utara) ketika berpindah ke Mangili, sudah terbakar habis ketika kampung Hanaulu terbakar dalam tahun 1930. Tanggu Marapu itu terdiri dari benda-benda emas yang diberi nama: I Mandihi I Mapada, I Makuku I Mahábaru, dan I Malákaru I Majawa Hálangu.

Dalam suatu kabihu dibedakan antara marapu bokulu (marapu besar) dan marapu kudu (marapu kecil). Yang dimaksud dengan marapu bokulu adalah Marapu yang menjadi asal usul dari kabihu itu, sedangkan marapu kudu adalah marapu pakahopi (marapu yang dikotakkan) yaitu, yang diambil dari kabihu lain yang dianggap bersaudara, lalu dibawa ke kabihu yang bersangkutan.

Sebagai contoh, kabihu Máru di Mangili mengambil marapu kabihu Kadumbulu dan Ana Mawa, karena bersaudara. Marapu Kadumbulu sakti dalam berburu sedangkan marapu Ana Mawa sakti dalam bernelayan.

Kabihu Matolangu mengambil marapu kabihu Lamuru yang sakti dalam pembasmian hama tikus. Demikian pula halnya dengan kabihu-kabihu lain.

Marapu pakahopi (yang dikotakkan) yang demikian disebut hinggi bara – nimbu kawala (selimut putih dan tombak lembing), yaitu sebagai alat pelindung dan sebagai senjata, sama dengan jimat atau amulet.

Ungkapan marapu mameti (harafiah: leluhur yang mati) bukanlah dimaksudkan leluhur mati, tetapi maksudnya adalah orang mati yang belum masuk ke dalam golongan marapu, sama maksudnya dengan

“mandiang” (menjadi Yang/Ilah) atau “marhum” (yang mendapat rahmat).

Yang dimaksudkan ialah mereka yang baru meninggal dunia, dan mereka yang walau pun sudah lama meninggal tetapi belum dilakukan upacara palundungu (menyampaikan/menyempurnakan) mengantar jiwa mereka dengan upacara ke Parai Marapu (alam dewata). Kalau upacara ini telah diselesaikan, maka mereka bukan marapu mameti lagi, tetapi mereka telah menjadi marapu sungguhan.

Orang yang sudah tua, yang telah lanjut usia tidak boleh diusik-usik oleh anak muda, mereka harus disegani, dihormati oleh karena mereka na angunjaka marapu (mereka telah ditemani marapu), sehingga ada bahayanya kalau orang tua tidak dihormati.

Pemakaian perkataan marapu bukan hanya sebagai kata benda, tetapi juga sebagai kata sifat, yang menyifatkan benda yang men-dahuluinya.

Dalam hal yang demikian maka arti kata “marapu” adalah: luhur, mulia,