• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERISTIWA – PERISTIWA PENTING DALAM SIKLUS KEHIDUPAN ORANG SUMBA

B. HAL BERKEMBANG BIAK

1. Umum.

Hal yang sangat utama dan paling penting di dalam kehidupan ini termasuk orang Sumba adalah hal berkembang biak, hal beranak cucu.

Itulah sebabnya sehingga kalau seseorang belum juga memperoleh apa yang diinginkannya, sudah lama berkeluarga tetapi belum juga mendapat anak, maka suami isteri itu akan berusaha untuk mencari dan menanyakan orang yang pintar. Dia akan mencari orang yang pandai mengurut, yang pandai meramu obat, agar mereka dapat memperoleh anak.

Kalau tidak, menambah isteri. Banyak kali juga terjadi sang suami menghamili hamba dari isterinya (sama dengan Ibrahim juga di dalam Alkitab orang Kristen). Dan kalau ternyata si hamba melahirkan anak, anak itu disebut atau berstatus ana kalawihi (= artinya secara harafiah: anak sandaran kaki,

= anak gundik). Tetapi adakalanya anak gundik itu resmi sebagai “putera keraton.” Dalam kejadian seperti ini, adakalanya antara isteri dan hambanya itu tetap mesra. Akan tetapi banyak kali juga si isteri syah diterlantarkan. Si isteri pun menderita lahir batin, karena tidak lagi diberikan sirih pinang oleh suaminya (=ndana wuanyapa pahápa, = tidak lagi dilayani lahir batin).

2. Hamayangu Karai Ana.

Seperti sudah dijelaskan di atas, hal berkembang biak dalam alam masyarakat Sumba adalah hal yang sangat penting, karena merupakan soal hidup dan mati, merupakan amanat sangat penting dari sudut pandang aliran kepercayaan marapu. Kalau seseorang tidak mendapat keturunan, maka “kabihu”nya akan buntu, para marapu dari kabihunya itu akan terlantar, tidak akan ada lagi yang akan memelihara dan menyelenggarakan upacara bagi mereka. Itulah sebabnya mengapa kepercayaan marapu menganut sistem “poligami” yaitu supaya ada kepastian mendapat keturunan.

Dalam upacara “Pamau Papa” sang Ratu (amabokulu hamayangu) sudah juga mendoakan kesuburan rahim dari mempelai perempuan, sebab keturunan merekalah yang akan melanjutkan segala aktivitas keagamaan.

Kalau sudah diurut tetapi belum berhasil juga, barulah mereka mencari seorang tua-tua adat (amabokulu) yang pandai bersembahyang untuk meminta keturunan dari marapu atau dari Sang Pencipta Manusia, (hamayangu karai ana) sehingga memberikan berkat melalui air, yaitu berkat yang menyejukkan, melalui makanan, yaitu “berkat yang gemuk dan berminyak”, supaya semuanya itu diletakkan di tikar tempat tidur dan di bantal tempat kepala diletakkan, sehingga akan lahir pengganti nama, yang akan menimba air (= anak perempuan) dan atau yang menunggang kuda (=anak laki-laki). Berkat-berkat itulah yang disebut “yang diraba di atas tikar, yang digerakkan pada bantal ” dalam ungkapan-ungkapan.

3. Hal Kemandulan.

Karena masalah berkembang-biak ini sangat penting, maka ada-ada saja upaya yang dilakukan, selain dari yang disebutkan di atas tadi. Kalau sang isteri yang mandul, maka terpaksa atau memang karena mampu, ia mencari isteri lagi. Atau, seperti telah dikatakan di atas, hamba dari isterinya dihamilinya.

Kalau sang isteri kedua juga mandul, maka sang suami masih akan menambah isteri lagi. Dan kalau sudah ternyata bahwa justeru sang suami yang mandul, maka masih ada upaya untuk melanjutkan keturunan. Yaitu secara diam-diam atau secara rahasia, dicarikan jalan agar sang isteri dapat “diberikan sirih pinang” (=wuanya pahápa) oleh salah seseorang lelaki angu paluhu (kalangan saudara dari suami), sampai sang isteri mengandung. Urusan rahasia ini, bisa terjadi atas sepengetahuan sang suami mandul itu, atau hanya diatur oleh sang isteri sendiri saja, bisa juga atas setahu kalangan dalam kabihu, yang tidak rela kabihunya buntu dan akhirnya punah. Hal-hal seperti ini banyak terjadi di kalangan bangsawan di Sumba Timur.

Dan sudah barang tentu, keluarga itu harus mendapat anak lelaki, karena adat orang Sumba yang patriarchat. Kalau ternyata tidak mendapat anak laki-laki, masih ada cara lain ialah “kawin masuk.” Lelaki yang mengawini anak perempuan mereka “kawin masuk”, mengikuti kabihu sang isteri, dan sang isteri tidak keluar dari kabihunya. Dengan cara demikianlah kabihu itu dapat langgeng.

4. Masa Mengandung.

Berbicara tentang masa-masa mengandung, maka dipandang perlu untuk mengingat akan pesan ibu dan nasihat ayah kita seperti yang terungkap dalam ungkapan Raba di tikar yang digelar, putar di bantal yang diletakkan yang artinya janganlah melupakan pesan-pesan orang tua kalau lagi memohonkan kesuburan dan mengharapkan berkembang biak.

Kalau mukanya sudah penuh (karena sudah agak gemuk) dan puting susunya sudah hitam, maka mereka pun akan mengatakan “pohon sudah memekarkan daun mudanya ”. Kalau testa atau mukanya sudah kelihatan agak memucat, buah dadanya sudah menantang, dan puting susunya sudah hitam/gelap, maka orang pun mengatakan bahwa perempuan itu sudah mengandung (sudah ada isi perutnya). (Maklum, pada waktu yang lampau, para perempuan di desa biasanya telanjang dada saja.)

Masih ada lagi yang tidak semua orang mengetahuinya, yaitu kalau si perempuan mengatakan kepada perempuan lain yang lebih dewasa bahwa ia sudah berhenti menstruasi dua atau tiga bulan maka perempuan itu akan mengatakan kepadanya bahwa ia sudah mengandung. Maka mereka pun mulai menghitung umur bayi dalam kandungan. Kalau sudah dua bulan atau dua kali tidak menstruasi, maka mereka pun mengatakan

”umur kandungan sudah dua bulan”.

Kalau suaminya, bapa dan mama mantunya sudah tahu bahwa isterinya dan anak mantu mereka sudah hamil, maka mereka pun mencari ayam dan keratan emas (=kawádaku), atau tidak perlu kalau mereka memang orang berada. Kalau kehamilan sudah empat bulan, maka semua orang sudah ketahui, lalu mereka mengadakan upacara pamándungu pelungu (=menguat-kan kandungan).

Tujuan upacara ini adalah untuk meminta kepada Marapu agar menguatkan rahim sang ibu sehingga janin tidak keguguran. Baitannya adalah:”ambu na pahingi na kaba lala, ambu na kawita na watu wulu,”

yang terjemahannya:agar tempurung untuk memasak tidak miring, agar batu untuk membuat, tidak pecah.” Artinya, agar proses pertumbuhan janin di dalam kandungan tidak terganggu.

Mereka memanggil amabokulu (tua-tua adat) untuk mengadakan upacara (=habarangu). Bagi Marapu dan Sang Pencipta disajikan makanan dalam upacara itu. Mereka bersembahyang lebih dahulu di “katoda kawindu” (tugu sembahyang di halaman rumah). Sirih pinang dua gulung,

keratan emas dan keratan perak masing-masing dua keratan, yang semuanya ditaruh di atas permukaan batu katoda, ayam merah satu ekor, lalu sembahyanglah amabokul itu demikian:

“Supaya mendengarlah, hai yang di sini, Di patok kayu keras, di atas batu lebar, Ya dewa dekat, ya pahomba dekat,

pada peristiwa tumbuh, pada peristiwa lahir,

sehingga begitu banyak yang memanggil dengan tangan, yang mengajak dengan mulut,

meminta yang putih meminta yang merah (=meminta keturunan) yang berjanggut panjang yang berambut terurai (gagah dan cantik) yang menjaga kuda penggembala kerbau (=putera), yang mencari kayu api, yang menimba air (=puteri)

sekarang, pada gantungan teras kayu, tempat mendaki yang keras.

Demikian kata anak-anakmu, cucu-cucumu,

Yang engkau telah ciptakan, yang selalu dalam lindunganMu, Pasangkan kakiMu, jangan bocorkan kepak sayapMu (=lindungi), Jangan longgarkan jepitan ketiakmu, pagari dengan rapi, Pagari dengan rapi, supaya sinar matahari tidak singgah, Supaya angin yang berembus tidak membawa kedinginan, Berikanlah berkat, curahkanlah kemakmuran,

Supaya jangan ada yang mengganggu, jangan ada yang menyusahkan, Itulah sebabnya sehingga ada sirih pinang yang dikemas, emas dan perak yang dikerat. Tetapi nanti, di sini ada nasi dan ayam yang dipersembahkan, janganlah terlalu diperiksa dan diteliti.”

Ayam yang hebat, lebar dan kuat, ayam yang tarik dan angkat, ayam yang bebas leluasa,

ayam pemungut pengambil, ayam yang cepat dan tanggap.

Dia menyahut dengan mulut, agar supaya mereka berkata begitu, Para anakmu cucumu, CiptaanMu, buatanMu.

Demikianlah saya sampaikan kata, saya aturkan pesan.”

Sambutlah permohonanku.

(Doa selalu diakhiri dengan ucapan:”Hemaya na linggu, = terimalah permohonanku.”)

Lalu ayam itu dipegang, kepalanya diarahkan kepada katoda dan dibacakan beberapa kalimat lalu disembelih, kemudian dibakar. Setelah dibelah, tali perutnya diambil dan diperiksa. Kalau keadaan dari ura manu itu sesuai dengan apa yang diminta, mereka pun naik ke balai-balai besar.

Lalu mereka menyajikan makanan kepada marapu, Sang Alkhalik Pencipta, dan marapu-marapu yang baru saja meninggal, masing-masing dengan bahagiannya sendiri, karena inilah tempat berpegangan yang kuat,

tempat mendaki yang keras, sehingga anak yang dalam kandungan terlindung dan akan lahir dengan selamat.

Kalau orang yang hamil itu sering sakit perut, maka mereka memanggil yang pintar urut, agar memperbaiki letak dan meratakan tempat si bayi.

katanya. Dalam hal ini sudah barang tentu ada yang perlu diberikan kepada pandai urut itu, sebagai imbalan dari “tangan dingin”nya, berupa “mamuli Jawa” (=dari perak). Kalau keluarga itu orang berada, maka mereka memberikannya sebuah “mamuli mas”. Tetapi sekarang, di jaman

pemerintahan moderen, cukup diberikan uang saja.

Kalau sudah enam tujuh bulan kehamilan, sehingga bayi dalam kandungan mulai balik badan, tukang urut itu dipanggil lagi, untuk mem-perbaiki letaknya agar memudahkan kelahiran.

Bukan hanya si tukang urut saja yang mengetahui apakah anak di dalam perut itu laki-laki atau perempuan. Orang lain juga bisa menduganya dengan melihat cara-caranya si hamil makan sirih. Kalau ia makan sirih selalu merah atau hitam kental, maka bayi dalam perutnya laki-laki, katanya. Kalau mulutnya tidak merah tapi agak pucat, maka mereka menduganya sebagai anak perempuan.

Lain hal lagi: Kalau perempuan hamil itu bermimpi ada orang mati, kalau yang dimimpinya bapa mantunya atau ayah kandungnya, maka “ini anak laki-laki” katanya dalam hatinya. Kalau bukan dia sendiri yang mengatakannya karena dia belum mengerti, orang lain yang mendengar mimpinya, akan mengatakan hal itu kepadanya. Kalau si hamil mimpi tentang perempuan, mama mantu atau mama kandungnya yang sudah meninggal, maka anaknya adalah perempuan. Kalau pun dia tidak kenal yang dimimpikannya itu asal dia tahu apakah laki-laki atau perempuan, maka iapun sudah dapat menduga jenis kelamin anak yang dikandungnya.

Satu hal lain lagi: Kalau yang hamil itu mimpi tentang orang yang pergi berburu, pergi menjala ikan, penyadap nira, penjaga hewan, tukang emas, tukang rumah, dan segala macam pekerjaan laki-laki lainnya, maka anaknya adalah laki-laki. Sebaliknya kalau yang dimimpikannya adalah orang yang menimba air, menenun kain, dan mengerjakan semua jenis pekerjaan perempuan, maka anak dalam kandungannya adalah perempuan.

Satu hal lagi: Kalau yang hamil itu nampak berat badannya meningkat, selalu suka tidur, dan malas bekerja, maka anak perempuan sudah dapat kita katakan. Kalau badannya ringan, selalu suka bekerja, maka kita sudah dapat menduga bahwa anak yang dikandungnya itu adalah anak laki-laki.

Jadi, sekali lagi tentang pamandungu pelungu seperti yang sudah dijelaskan di atas tadi, mulai sejak si istri diketahui sudah duduk perut (hamil) sekitar tiga bulan, maka perlu segera mengadakan habarangu (melakukan kebaktian) dengan mempersembahkan pahápa (sirih pinang) dan mangejingu (sajian) kepada Marapu dan kepada Ndewa Tumbu – Ndewa

Dedi (Dewa Tumbuh dan Dewa Kelahiran), dan Na Mawulu Tau-Na Majii Tau (Alkhalik). Kebaktian tersebut disebut pamandungu pelungu (meneguhkan tumpuan), yaitu agar kandungan itu kuat, tidak mendapat gangguan tenaga gaib yang membahayakan, oleh perlindungan Marapu dan Mawulu Tau. Upacara itu juga disebut nggálu uma (memagari rumah), yaitu oleh karena dengan perbuatan itu Marapu dan Mawulu Tau tidak akan membiarkan adanya mara bahaya yang mengancam baik kandungan itu mau pun seisi rumah itu.

Suami isteri yang bersangkutan harus menaati beberapa pantangan hamil, beberapa macam makanan dan perbuatan-perbuatan. Terlebih perbuatan-perbuatan yang dosawan, agar tidak menyulitkan waktu bersalin dan tidak membawa cacat kepada anak yang akan lahir itu.

Pantangan-pantangan itu antara lain, orang yang hamil tidak boleh masuk untuk menangkap ikan di laut, demikian pula suaminya, tidak boleh memaki orang, memarahi orang lain tanpa sebab, berhutang, berdusta, merugikan orang lain, menyakiti hati orang lain, dan lain-lain sebagainya. Mungkin ada lagi kebaktian-kebaktian yang dilaksanakan selama hamil itu seandainya yang mengandung itu mendapat sakit. Tetapi tujuan kebaktian masih tetap sama yaitu agar kandungan itu terhindar dari mara bahaya.

5. Saat Kelahiran.

Saat kelahiran merupakan saat-saat yang sangat penting bagi ibu bapa yang bersangkutan beserta seluruh kaum keluarga. Persiapan dilakukan seolah-olah akan menyambut seorang yang baru datang. Bayi yang akan lahir itu dianggap sebagai suatu makluk gaib yang datang dari dunia lain, dan biasanya dianggap datang dari Bima, dari Ende atau dari Jawa dengan menumpang perahu. Sebab itu, apabila ia terlambat lahir, orang yang berdoa akan meminta agar:”patánjiya na katiku tenamu ” (luruskan haluan perahumu).

“Makluk gaib” itu berkeadaan muharam (suci, kudus) sebab itu untuk mempermudah kelahirannya, segala dosa harus diakui (mengaku dosa,

=papeka) oleh ibu bapa dan anggota keluarga rapatnya. Demikian pula kelalaian-kelalaian dalam memenuhi kewajiban beragama terhadap Marapu dan para leluhur harus dinyatakan, karena semua itu merupakan rintangan-rintangan yang akan mempersulit kelahiran. Bayi yang lahir itu menggembirakan ibu bapa dan seluruh keluarga, karena telah bertambah lagi suatu tunas baru bagi keluarga itu.

Apabila waktunya bersalin sudah dekat, yaitu kalau kehamilan sudah berumur delapan atau sembilan bulan, perut si perempuan sudah tampak turun, buah dadanya sudah sangat menantang, maka kita katakan bahwa waktunya sudah hampir. Dalam pada itu, si perempuan sudah mulai selalu waspada kalau-kalau perutnya sudah mulai sakit-sakit.

Tempatnya bersalin adalah di dalam rumah, pada papa kaheli (balai-balai sebelah), bukan di balai-balai besar, pada sebelah tempat tempayan besar (lata mbálu), sengaja dibuatkan kamar khusus untuk bersalin. Di situ sudah tersedia tali yang baru dipintal, yang digantung kuat ke atas, menjadi tempat pegangan bagi yang akan melahirkan.

Yang boleh berada di dalam tempat bersalin hanya perempuan. Seorang tukang urut, dan satu dua orang yang membantunya. Kalau proses bersalinnya sulit, dan tukang urut kurang kuat, barulah laki-laki boleh masuk membantu. Kalau terpaksa, baru suaminya boleh masuk membantu. Tetapi biasanya, suami berada di luar saja.

Di luar sudah siap seorang amabokulu yang selalu bersembahyang meminta agar bayi yang sedang datang itu patánjiya umbu jáka rambukau na katáku tenamu (luruskanlah umbu atau rambu akan haluan perahumu), dengan maksud supaya persalinan lancar.

Begitu si bayi keluar, langsung disambut oleh seorang ibu dewasa, sedang si perempuan tukang urut mengurus perempuan bersalin itu. Kalau ari-arinya belum keluar-keluar juga, maka ia diurut. Kalau masih belum-belum juga, maka diadakan upacara seperti kalau persalinan tidak lancar.

Di bawah kolong peris tempat melahirkan, ditumpuk batang dan daun berduri seperti kaktus dsb, dengan maksud agar para suanggi tidak menggunakan kesempatan, dan ternak-ternak di bawah kolong (ayam, babi atau anjing) tidak menjilat-jilat darah yang berasal dari persalinan.

Kalau ari-arinya sudah keluar, maka bersama-sama dengan kadika yaitu sembilu, pisau aur pemotong tali pusat, tali pusatnya dipotong dan tali pusatnya ditaruh di dalam hawita (kukusan, sebuah anyaman) lalu digantung pada pohon di luar kampong, tetapi sekarang, umumnya dikuburkan pada halaman rumah tinggal.

Setelah perempuan itu dimandikan, lalu dipindahkan ke kamarnya di sekitar dapur, dan disediakan papan yang diberi berlubang, dengan alat mana perempuan itu memasang belakangnya untuk berdiang (=

padarangu ) di pinggir dapur selama beberapa minggu.

Upacara sederhana dilakukan beberapa hari kemudian, untuk memberi persembahan kepada Marapu dan para Mendiang, terlebih kepada datuk nenek yang senama dengan bayi itu, dengan menikam babi untuk makan bersama-sama dengan kaum keluarga serta orang sekampung. Bagi orang bangsawan dan hartawan, mulai lahirnya bayi itu diadakan pemukulan gong dan tari-tarian, lalu ditutup dengan suatu pesta dengan memotong kerbau atau babi besar.

Upacara itu merupakan suatu upacara peralihan terhadap si bayi, yang berasal dari alam gaib datang ke alam nyata. Peralihan merupakan suatu masa kritis yang penuh bahaya bagi si bayi, sebab itu perlu ada persembahan bagi Marapu dan para leluhur, agar mereka melindungi bayi itu dan menghindarkannya dari bahaya-bahaya yang mungkin

mengancamnya. Selama masa “anarara” (anak merah, bayi) tentu masih beberapa kali diadakan habarangu (kebaktian), misalnya ketika mencukur rambut yang dari perut dan menyimpan sebagian untuk hari kemudian, atau karena selalu menangis dan sakit-sakitan sehingga kalau perlu namanya harus diganti, dan lain-lain hal yang berkaitan dengan keselamatan dari bayi itu.

Apabila proses kelahiran itu tidak berjalan mulus, mengalami kesulitan, maka “ama bokulu” (juru sembahyang) pun dipanggil untuk mengadakan kebaktian. Pertama-tama, mencari tahu apa penyebabnya dengan menggelar tali undi (=pui mowalu). Apakah karena kemarahan dari marapu, orang mati, atau karena ada hutang, karena melanggar sesuatu pantangan, atau menginjak tanah keramat dan lain sebagainya, baik oleh si istri mau pun oleh sang suaminya.

Apabila sudah diketahui penyebabnya, misalnya karena masih ada hutang yang belum dilunaskan, maka harus segera dilunaskan. Si isteri mau pun suaminya disuruh mengakui perbuatan-perbuatan tidak senonohnya selama ini, si perempuan disuruh mengakui pacar-pacar yang pernah berhubungan dengannya. Kalau karena salah menginjak tanah keramat, maka diadakanlah upacara sembahyang dengan membawa ayam persembahan. Amabokulu itu akan berdoa kira-kira sebagai berikut:

“Hai dengarlah halku ayam,

Ayam yang kutumpangkan hal/masalah, kubebankan berita,

bagi yang Maha Ibu yang Maha Besar, Yang Maha tinggi yang Maha besar, Kepada Yang menciptakan Manusia

Yang membuat manusia,

Yang memperhatikan yang salah dan berdosa, Yang melanggar dan bersalah, Supaya engkau sampaikan halku (masalahku), engkau lanjutkan beritamu,

Kalau memang Dia yang gusar, yang marah, di tanah panas, di tempat yang hangat,

dan seterusnya, lalu diakhiri dengan kalimat:”hemaya na linggu” (jawablah permintaanku).

6. Cara Memberi Nama.

Cara memberi nama kepada bayi yang baru lahir juga ada bermacam-macam berdasarkan adat kebiasaan se tempat. Berikut ini Penulis mengambil dua contoh cara menyambut kelahiran anak dan memberikan nama kepada anak yang baru lahir, sebagai adat kebiasaan yang berlaku di Mangili dan di kalangan kabihu Pahoka di Rindi.

a. Hal Kelahiran Anak di Mangili

Dalam kelahiran anak di Mangili, begitu bayinya lahir, sudah ada orangtua yang menerimanya, dan memeriksa kelaminnya; jika bayi itu laki-laki, ”ia penunggang kuda,” katanya. Kalau bayinya perempuan, ia akan mengatakan ”ia penjunjung periuk air.”

Tidak lama kemudian, bayi itu dimandikan. Selesai itu, mereka mengambil kadika, yaitu pisau dari tamiang (=aur, bambu) lalu memotong tali pusatnya. Mereka juga sudah menyiapkan buah sirih mati. Setelah tali pusatnya dipotong, mereka mengunyah sirih mati itu lalu disentuhkan pada pusat bayi itu sambil menyebut sebuah nama kakek dari rumah keluarga ayahnya (kalau bayi perempuan, sebut sebuah nama neneknya) dengan mengatakan ngaranggu (namaku). Kalau darah pusat itu langsung berhenti, maka nama itulah yang dianggap cocok sehingga dipakai. Kalau darah masih menetes, disentuhkan lagi sirih mati itu sambil menyebut nama-nama lain, demikian seterusnya sampai darah pusat itu berhenti keluar.

Kalau tidak ada nama dari keluarga ayah yang cocok, dicarikan nama dari pihak keluarga ibunya; kalau tidak, dari keluarga neneknya, sampai mendapatkan nama yang cocok baginya. Pemali memaki nama dari kabihu yang tidak ada hubungan darah dengan kita (tidak punya hubungan kekerabatan). Kalangan hamba, pemali untuk menggunakan nama dari kalangan tuannya.

Selesai memberikannya nama, tetapi anak itu cengeng dengan nama itu, maka namanya harus diganti dengan nama baru. Cara menerkanya ialah dengan mengisapkannya susu. Sambil menyebut sebuah nama, diisapkan susu; kalau ia tidak mau, sebut nama lain lagi, demikian seterusnya sampai ada nama yang ia suka dengan tanda bahwa ia mau mengisap susu ibunya.

Bukan karena cengeng saja nama anak harus diganti. Juga kalau seorang anak selalu loyo, kurang bersemangat, maka namanya harus diganti. Caranya sama dengan cara menyodorkannya susu.

Banyak orang yang takut untuk menggunakan nama-nama orang yang idiot, yang gila, yang lumpuh, takut kalau mereka mengikutinya.

Nama-nama yang paling disukai orang adalah nama orang yang kaya, yang tenar, yang pintar dan ahli, pemberani, yang ganteng (kalau perempuan: yang cantik), supaya pemilik nama mengikutinya, katanya.

b. Kelahiran anak orang Pahoka di Rindi.

Kalau anak orang dari kabihu Pahoka di Rindi, mereka belum mem-berikannya nama ketika lahir, mereka tunggu nanti ketika menyambut ulang tahunnya, atau kalau tali pusatnya sudah gugur.

Pada waktu itu, mereka mengundang pihak keluarga dari saudara perempuan ayahnya (anakawini). Walaupun bukan saudara perempuan kandung, asalkan saja pihak saudara perempuannya. Yang diundang itu seorang perempuan dan suaminya/laki-laki. Yang perempuan bertugas menyodorkannya susu, yang laki-laki bertugas membelah kelapa.

Ketika datang, pihak saudara perempuan ayahnya membawa mamuli dan kuda, sedangkan orangtua bayi menyediakan jagung. Jagung itu ketika dikupas dan dipipil, tidak boleh sebiji pun yang terjatuh, pemali. Ketika jagung itu digoreng, pemali untuk ada sebiji sajapun yang terjatuh. Demikian juga ketika si suami dari saudara perempuan ayahnya membelah kelapa itu, haruslah satu kali tebas saja, tidak boleh dua kali. Juga ketika isi dari kelapa itu dicungkil, tidak boleh seiris apapun ada yang terjatuh. Semua isi kelapa itu harus dicungkil, sehingga kedua belahnya tinggal tempurungnya saja.

Sesudah itu orang yang menerka nama pun mendekat; saudara perempuan ayahnya itu mengendong bayi itu lalu menyodorkannya puting susu, sedangkan suaminya mempertemukan kedua belah tempurung kelapa tadi, sambil kaum laki-laki berteiak “namaku”. Kalau bayi tadi langsung mengisap susu, maka langsung dicarikan nama dari keluarga ayahnya.

Kalau bayi itu belum mau mengisap, maka laki-laki itu memper-temukan lagi kedua tempurung kelapa itu dan kaum perempuan berteriak “namaku”. Kalau ketika itu bayi itu mau mengisap, maka dicarikanlah nama dari keluarga mamanya.

Selesai memberikan nama, mereka pun memakan jagung goreng dan isi kelapa itu, tidak boleh ada yang terjatuh atau pun tersisa. Sebab kalau ada yang terjatuh atau pun tersisa, katanya, nanti anak itu akan mendapat celaka.

Merupakan kebiasaan juga dalam adat orang Sumba, kalau yang diberikan nama tadi oleh pihak anakawini adalah anak perempuan, maka pihak ”ana kawini” langsung melamar untuk bakal isteri anak lelakinya. Cara seperti ini disebut wiri bara – rau karaki (melamar ketika masih mentah). Lamaran dengan cara ini biasanya berhasil, akan tetapi dewasa ini cara ini sudah tidak laku lagi.