• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPACARA-UPACARA KEAGAMAAN

D. PERSEMBAHAN & KURBAN

dengan Kalender Adat atau Tanda Wulangu seperti yang diuraikan pada bagian E berikutnya).

10. Lain-lain:

Dan masih banyak lagi kegiatan atau aktivitas orang Sumba yang mendukung upacara kebaktian kepada Sang Alkhalik melalui marapu.

seringkali dicampur adukkan. Dr. Umbu Hina Kapita sering menggunakan istilah semahan bagi apa yang dipersembahkan.

1. Persembahan:

a). Pengertian.

Persembahan adalah menyisihkan sebagian harta milik baik sirih pinang, emas/perak, hewan atau lain-lain benda untuk diberikan/

diserahkan (=dipersembahkan) kepada Alkhalik melalui Marapu, sebagai tanda tunduk dan taat, tanda pengakuan dan penyerahan diri kepada Alkhalik melalui para Marapu.

Para Ratu (Imam) dan tokoh-tokoh masyarakat juga harus berkumpul di kampung guna bersama-sama menyelengggarakan upacara.

Persembahan ini adalah pemberian tanpa pamrih karena merupakan kewajiban dan menjadi bentuk rasa syukur atas segala berkat yang telah diperolehnya selama ini, namun sekaligus juga merupakan doa permohonan pula demi untuk mengharapkan berkat-berkat selanjutnya.

Dengan demikian, persembahan adalah pemberian sukarela tanpa pamrih karena sudah merupakan kewajiban dan keharusan dari yang bersangkutan sebagai bhakti dan penghormatan terhadap Alkhaliknya, melalui Marapunya. Oleh karena itu, memberikan persembahan bukanlah suatu kerugian, karena memang sudah seharusnyalah demikian.

Bagaimana tidak harus, kalau arwah atau apa yang disembahnya itu adalah leluhurnya sendiri yang menurunkan dirinya, yang melahirkan orang tuanya dan melahirkan dia sendiri serta yang selalu memperhatikan kehidupannya dari sana selama dirinya masih di dunia ini?

Apalagi adanya keyakinan, bahwa hidup ini adalah pemberian. Oleh karena itu, harus ada sikap terimakasih dan membalas memberi. Itulah

sebabnya sehingga tempat mencari rejeki adalah tempat makan dari marapu. Sawah, ladang dan padang adalah taba uhu – kaba wai (piring nasi cawan minum) dari marapu. Di Mangili dan di beberapa tempat lainnya bahkan ada “sawah marapu” (láta marapu) yang semua hasilnya hanya untuk upacara atau untuk dipersembahkan.

Para Rato (Imam) sedang memeriksa pesan-pesan dari leluhur melalui hati hewan (babi, kambing atau hati kerbau).

Persembahan dapat disamakan dengan pajak. Pajak adalah kewajiban sebagai warga negara untuk memberikan sebahagian dari penghasilannya guna membiayai penyelenggaraan Negara.

b). Bentuk persembahan.

Apa yang dipersembahkan itu, Umbu Hina Kapita menyebutnya dalam bahasa Indonesia sebagai semahan. Dalam bahasa Sumba Kambera, disebut mangejingu. Bentuknya berupa:

b1). nasi (uhu mangejingu, = nasi persembahan);

b2). sebelah telur ayam masak (dibelah dua), atau hati babi/kerbau;

b3). keratan halus emas atau perak (disebut: amahu padatu, kawádaku);

b4). Sirih dan pinang (ukuran atau jumlahnya sudah tertentu), disebut

“pahápa” (baca: pahappa).

2. Kurban:

a). Pengertian.

Kurban adalah pemberian atau persembahan yang sebenarnya tidaklah diharuskan, atau bukan merupakan kewajiban. Akan tetapi karena telah melakukan sesuatu kesalahan atau pelanggaran, atau pun demi untuk kebaikan, maka menjadi harus, demi untuk kebaikannya sendiri.

Pemberian kurban itu adalah untuk mengakui dan menebus kesalahan, atau untuk tujuan luhur. Oleh karena itu, kurban merupakan suatu kerugian, adanya adalah sebagai akibat dan maksud.

Hewan korban disembelih (anak

kuda) Hatinya diambil dan dimasak seperti

biasa. Membawa persembahan (nasi,

hati, sirih pinang & keratan emas)

Contoh kebaktian membawa persembahan

Kurban dapat disamakan dengan denda, yaitu karena kelalaian tertentu, maka dikenakan denda. Misalnya, terlambat membayar pajak maka dikenakan denda. Pajaknya adalah persembahan, dendanya adalah kurban, sebagai akibat atau sangsi atas kesalahan yang dilakukan.

Kurban juga diperlukan untuk mencapai suatu usaha tertentu, misalnya, untuk memupuk rasa persaudaraan dan keakraban, maka dibutuhkan “makan bersama.” Para pahlawan mengorbankan nyawanya demi untuk memperoleh kemerdekaan bangsa dan negaranya.

Seseorang yang dianggap telah melakukan pelanggaran secara rohani (kesalahan terhadap para leluhur atau Marapu, apalagi terhadap Alkhalik) mau pun sekaligus pelanggaran secara adat, harus dikenakan palohu (denda secara agama atau denda secara adat). Kerugian karena palohu ini harus jauh lebih besar karena jenis dan jumlahnya jauh lebih banyak dari kurban untuk kesalahan-kesalahan yang biasa atau kesalahan-kesalahan kecil.

Dosa dan pelanggaran pada umumnya karena perzinahan (incest, berbuat zina dengan anggota keluarga yang secara adat adalah tabu), berselingkuh, mencuri, membunuh orang, lalai dalam tugas kebaktian kepada marapu dan lain sebagainya.

Penyerahan kurban dilakukan melalui petugas yang memegang hak pingi tolu mata (pokok daging mentah) dan pingi wai maringu (pokok air dingin),

yaitu petugas agama tempat mengakui dosa dan kesalahan serta petugas agama tempat mendapatkan pengampunan, penyucian dan berkat. Para petugas rohani ini menjalankan tugasnya dengan bersembahyang kepada Marapu untuk mengakui segala kesalahan dari orang yang mengaku tadi, dengan permohonan agar segala kesalahan dan pelang-garan itu diampuni dan karena itu dimohon untuk memberi pengampunan dan menyalurkan berkat.

Acara memberi makan orang mati.

Orang Mati selama belum dikuburkan, setiap malam, di waktu yang tepat, disajikan makanan seperti layaknya terhadap orang hidup.

Hewan-hewan yang dipotong pada upacara penguburan (= dángangu) adalah “kurban”, demikian pula hewan-hewan sembelihan adalah

“kurban”, oleh karena sebenarnya tidaklah harus, tetapi hanya karena menghormati yang meninggal dan menghargai serta berterima-kasih kepada yang hadir, demi mempertebal rasa persatuan dan kebersamaan.

Akan tetapi hewan-hewan yang digunakan dalam upacara sembahyang adalah persembahan, bukan kurban.

Dalam kebaktian “habarangu” inilah orang-orang yang hadir makan bersama-sama, yang dikatakan “Nga ukuru-kawarangu – nga mera- paranjangu” (= makan sekutu bersama-sama dan makan beramai serentak), makan bersama untuk memelihara ikatan persekutuan dan persatuan.

Menurut DR. Umbu Hina Kapita, korban ini sudah ditetapkan oleh para Marapu sejak menetapkan “uku huri – ngguti kalaratu” (Hukum dan suri,

keputusan dan peraturan). Hukum dan peraturan ini sudah dibawa dari tanah asal para leluhur, dari Jawa dan Bali, kira-kira pada akhir kerajaan Majapahit, abad XV atau XVI. Kehadiran Marapu di Sumba, dalam dalam musyawarah adat di Haharu Malai – Kataka lindi Watu (Kapita, ????d).

b). Bentuk-bentuk korban.

Bentuk dari korban ada beberapa macam, antara lain yang sudah juga disinggung di atas.

b1). Sirih dan pinang (= pahapa): pada setiap upacara, sudah ada ukurannya dan cara pengemasannya;

b2). Barang-barang berharga, kain dll yang diserahkan kepada petugas yang berhak memegang pingi tolu mata;

b3). Dángangu (= pengiring), hewan yang disembelih agar arwahnya mengiringi arwah si mati.

b4). Kameti, yaitu hewan-hewan yang disembelih untuk menjamu tamu adat, demi untuk memperkokoh rasa persatuan dan kekeluargaan;

b5). Ihi ngaru (harafiah: isi mulut), yaitu benda berharga (emas, perak dll) yang dibawa oleh kerabat untuk si mati. Ada dua macam:Ihi ngaru la uma = benda berharga untuk keluarga dari si mati di rumah, dan Ihi ngaru la tana, yaitu benda berharga yang turut dikubur bersama-sama dengan si mati. Yang di rumah, berguna untuk membantu keluarga, sedang yang turut dikuburkan, adalah demi untuk kepentingan si mati. Di sini, yang berkorban adalah yang membawa

“ihi ngaru” itu, biasanya pihak ana kawini.

b6). Palohu adalah bentuk “denda adat” yaitu bentuk hukuman karena telah melangggar salah satu atau lebih ketentuan adat. Istilah palohu (=paluhu, mengeluarkan) sama artinya dengan membebaskan dari hukuman adat dengan cara membayar dengan barang berharga, sama dengan denda. Apa yang sudah dipakainya untuk membayar adalah korban baginya.

c). Ajaran Agama Kristen.

Jika dibandingkan dengan ajaran Agama Kristen, ada juga kesamaannya. Dalam uraian di dalam buku-buku agama, ada juga penggunaan istilah “kurban” terhadap persembahan-persembahan tertentu, namun sebenarnya adalah “persembahan”, misalnya “kurban bakaran” dan lain-lain. Di dalam Alkitab, ada penegasan bahwa kurban adalah persembahan, namun ada dua jenis kurban.

Dalam Imamat 7: 1b & 2a ditegaskan: Kurban itu persembahan maha kudus. Di tempat orang menyembelih kurban bakaran, di situlah harus disembelih kurban penebus salah.

Menurut Penulis, kurban bakaran adalah persembahan, sedangkan kurban penebus salah adalah kerugian sehingga benar-benar merupa-kan kurban yang sebenarnya.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:

a). Persembahan adalah bahagian harta/kekayaan yang diberikan sebagai tanda kesetiaan dan ketaatan, dan bukannya suatu kerugian;

b). Kurban adalah bahagian dari harta/kekayaan yang diberikan sebagai akibat dari melakukan kesalahan dan kekalahan, dan atau demi untuk mencapai suatu maksud tertentu, sehingga merupakan kerugian bagi yang bersangkutan.

Dalam Bab IV sudah dijelaskan, bahwa menyembelih hewan untuk dipersembahkan atau pun untuk dikurbankan, harus dengan tata cara yang sopan dan terhormat. Memotong hewan berlebihan sebenarnya salah, apalagi kalau hanya untuk “mencari nama”.