• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. AGAMA-AGAMA DI DUNIA DAN DI INDONESIA. DI DUNIA DAN DI INDONESIA

B. PENGERTIAN-PENGERTIAN

BAB III. AGAMA-AGAMA

Di kalangan Sosiolog, menurut Pendeta Dr. A. A. Yewangoe (2002), paling tidak dikenal dua definisi tentang agama secara sosiologis. Yang pertama, di bawah pengaruh Emile Durkheim dengan definisi yang bersifat fungsional, dan yang kedua, definisi yang dipertahankan oleh kelompok Sosiolog agama, yang bersifat substantif agama.

Berdasarkan itu maka Penulis perlu mengemukakan beberapa definisi yang kira-kira dapat diterima secara umum, sekedar untuk mengetahui arti kata “agama” itu, sebagai tersebut di bawah ini.

Agama adalah ajaran dan sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) serta peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan antara manusia dan Penciptanya, antara manusia dan lingkungannya, dan antara manusia dengan sesamanya, ajaran mana diyakini bersumber dari wahyu Allah yang diturunkan.

Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan (atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya) dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.

Kata “agama” berasal dari bahasa Sansekerta, yang berarti tradisi.

Istilah Agama dari kata bahasa Sansekerta ini adalah bahasa agama Brahma pertama yang berkitab Veda, yaitu kitab yang memuat peraturan-peraturan menurut konsep Veda.

Kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti

“mengikat kembali”. Maksudnya, dengan bereligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.

Pengertian lain menurut faham orang Eropa adalah bahwa agama itu adalah sesuatu yang tidak mungkin dicapai hanya dengan tenaga akal, pikiran dan pendidikan saja. Agama merupakan kepercayaan kepada adanya kekuasaan mengatur yang bersifat luar biasa, yang bertindak sebagai Pencipta dan Pengendali dunia, serta yang telah memberikan kodrat rohani kepada manusia yang berkelanjutan sampai sesudah manusia mati.

Untuk menyatukan persepsi dan tidak menimbulkan perdebatan berkepanjangan, serta pertimbangan bahwa suatu sistem keyakinan atau religi merupakan suatu agama hanya bagi penganutnya, dan juga melihat situasi dari yang menghayatinya, meyakininya dan mendapat pengaruh darinya, maka dalam pembahasan ini akan digunakan istilah

“kepercayaan” saja untuk menyebut suatu sistem keyakinan yang dianut oleh masyarakat penganutnya.

Pernyataan tersebut perlu ditekankan karena bertujuan hendak mendekati agama sebagai bagian dari kehidupan sosio-kultural dari masyarakat yang bersangkutan. Jadi, terlepas dari kekeramatan dan

kesucian yang terkait padanya secara dogmatis, dan hendak melihat suatu kenyataan dari sudut pandang pelaku.

Secara umum, Parsudi Suparlan (Anonymous, 2010) mendefinisikan agama sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya.

Secara khusus, agama didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok orang atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan di akhirat.

Karena itu pula agama dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong serta pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya. Sebagai inti dari sistem nilai yang ada dalam kebudayaan, sistem keyakinan ini seolah-olah berada di luar dan di atas diri para individu yang menjadi warga masyarakat yang bersangkutan. Para individu itu sejak kecil telah diresapi dengan nilai-nilai tersebut yang hidup dalam masyarakatnya sehingga konsepsi-konsepsi itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka.

Itulah sebabnya nilai-nilai tersebut sukar diganti dengan nilai-nilai lain (Koentjaraningrat, 1974).

2. Kepercayaan:

Kepercayaan adalah:

a). anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yang dipercayai itu benar atau nyata walau pun tidak dapat diindra dengan panca indra.

b). sebutan bagi sistem religi di Indonesia yang tidak termasuk dalam salah satu dari kelima atau ke enam agama yang dianggap resmi di Indonesia, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu dan Buddha (kemudian, Konghucu).

3. Keyakinan:

Keyakinan adalah:

a). kepercayaan yang sungguh-sungguh, kepastian, ketentuan;

b). bagian agama atau religi yang berwujud konsep yang menjadi keyakinan (kepercayaan) para penganutnya;

4. Latar Belakang Munculnya Agama.

Secara sederhana dapatlah dikatakan bahwa motivasi timbulnya agama adalah karena adanya perasaan takut dalam diri manusia (Yewangoe,2002). Perasaan takut ini timbul oleh karena manusia merasa dirinya adalah makluk yang lemah. Di saat yang sama, manusia meyakini bahwa di luar dirinya, ada sesuatu kuasa dan kekuatan yang jauh lebih besar. Oleh karena itu, dia ingin agar kekuasaan dan kekuatan yang jauh lebih besar dari dirinya itu memberinya pertolongan, atau setidak-tidaknya berpihak kepadanya. Itulah sebabnya sehingga segala segi kehidupannya diarahkannya kepada kekuatan dan kekuasaan yang diyakininya itu.

Keyakinan ini menguat dalam dirinya dan bersama-sama dengan masyarakatnya sehingga akhirnya merupakan sebuah kebudayaan yang disebut sebagai “agama”.

Menurut Pendeta Marthen Menggung,MTh dosen Sekolah Tinggi Teologi Indonesia Timur (STT-INTIM) tiap agama mempunyai konsep tentang Tuhan atau dewa. Konsep itu pada umumnya berbeda dari satu agama dengan agama yang lain. Keunikan pemahaman tiap agama merupakan penghayatan atas perjumpaannya dengan Allah yang ilahi. Penghayatan tentang hakekat Yang Ilahi melahirkan sejumlah hukum dan ketentuan.

Ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum tersebut menjadi sumber dari seluruh pengajaran dari agama yang bersangkutan (Menggeng, 2004).

Penganut agama suku menghayati adanya yang ilahi melalui pengalaman sehari-hari. Mereka memahami bahwa ada kuasa yang berada di luar kekuasaan mereka. Kuasa itu melampaui kuasa dan kemampuan manusia. Itulah yang disapa sebagai Yang Ilahi. Tiap-tiap suku memberi nama atau sebutan kepada “Yang Ilahi” itu. Orang Toraja menyebutnya Puang Matua; Pue Mpalaburu dalam suku Pamona, Uis Neno dalam Suku Atoni Meto di pulau Timor, Dibata dalam suku Batak Karo, Sangia dalam suku Tolaki (Sulawesi Tenggara), dan lain-lain. Sedangkan orang Sumba sendiri tidak memberikannya nama atau sebutan, tetapi hanya berbagai ungkapan yang menandakan ciri-ciriNya. Yang Ilahi itu memberikan perlindungan kepada manusia dalam hidupnya.

Karena itu, manusia menyapanya baik pada saat berada dalam keadaan bersukacita maupun pada saat berdukacita. Manusia menyapa Yang Ilahi dengan maksud memohon perlindunganNya dari berbagai ancaman. Itulah sikap mereka yang menggambarkan pemahaman tentang rasa ketuhanan.

Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri, yaitu: menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan diyakini berasal dari Tuhan, serta menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dan lain-lain yang diyakini berasal dari Tuhan.

Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama itu merupakan penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama ini terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama.

Agama suku merupakan agama yang bercorak deisme (deisme berasal dalam bahasa Latin yaitu deus yang berarti Tuhan) sekaligus bercorak teistis (theos, bahasa Yunani, yang artinya Tuhan). Dalam paham yang bercorak deisme dipercaya bahwa Tuhan yang adalah pencipta segala sesuatu yang di alam semesta tetapi jauh dari manusia. Sesudah menciptakan segala sesuatu yang ada dalam alam semesta ini, maka Ia mengundurkan diri. Ia tidak campur tangan lagi dalam urusan duniawi. Tuhan atau dewa demikian tidak mungkin diketahui hakekatnya.

Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannya menjadikannya memiliki keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa di luar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misalnya Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama, Miri atau Mori, dan lain-lain. Atau hanya menyebut sifat-sifatNya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige dan lain sebagainya (Anonymous, 2010).

Oleh karena itu tabu untuk menyebut namanya. Segala sesuatu yang terjadi dalam alam semesta ini diurus oleh dewa-dewa yang lebih rendah.

Dewa-dewa itu mempunyai fungsi dan tugas masing-masing. Para dewa yang “menjadi pelaksana tugas” itulah yang disembah oleh manusia. Atau paling tidak melalui dewa-dewa “bawahan” itulah manusia menyembah dewa yang tertinggi.

Contoh konkrit tentang paham ini adalah dalam kepercayaan Marapu di pulau Sumba, yang menjadi pokok pembahasan dalam buku ini.

Marapu adalah nenek moyang yang telah menjadi semacam dewa. Melalui Marapu manusia menyembah kepada Tuhan (dewa tertinggi) sebab Ia tidak terhampiri dan tabu menyebut namanya.

Paham yang kedua adalah paham teistis. Dalam paham teistis diyakini bahwa Tuhan adalah asal mula dan pemilik alam semesta. Tuhan atau dewa yang menciptakan dan memiliki alam semesta tetap terlibat dalam mengurus dan membimbing alam semesta ini dengan segala isinya. Ia tidak berdiam diri di tempat kediamannya yang tak terjangkau manusia. Ia tetap aktif mengurus ciptaannya. Dalam paham ini memang masih dikenal dewa-dewa tetapi dewa-dewa tersebut hanya mengurusi hal-hal yang sangat terbatas dan pada umumnya di bawah kekuasaan dewa yang tertinggi. Paham ini sangat berbeda dengan paham deisme (Menggeng, 2004).