• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agama dan Pertumbuhan Civil society

Dalam dokumen DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY pdf (Halaman 168-176)

Secara historis, agama telah memainkan peranan besar dalam merangsang aksi-aksi sosial dan politik untuk melawan kekuasaan politik dan ideologi negara yang sangat dominan. Selama periode kolonial, banyak sekali gerakan sosial yang berdasarkan agama ditujukan untuk mengingkari hegemoni negara dan menegaskan ruang sosial dan politik mereka sendiri. Banyak gerakan milenarian di Indonesia didasarkan pada ajaran-ajaran eskatologis agama, misalnya seperti Imam Mahadiisme atau gerakan Ratu Adil yang semuanya bertujuan untuk menegakkan sebuah masyarakat yang ideal, bebas dari ketidakadilan sosial dan penindasan politik yang dilakukan negara.26 Kendatipun gerakan-gerakan ini sebagian besar tidak

terorganisasi dengan baik, tak sistematis dan program-programnya, dan

karenanya dengan mudah bisa digasak oleh negara, tapi signifikansinya

sebagai perlawanan sosial dari civil society tidak bisa diabaikan begitu saja. Gerakan-gerakan itu memperlihatkan kemampuan civil society untuk melawan ideologi dominan dan praktik-praktik negara.

Perkembangan kesadaran keagamaan sebagai suatu struktur makna yang khas dan mampu menyediakan mode pemahaman diri secara

25 Mengenai jalan ke arah demokratisasi, lihat Gulliermo O’Donnell et.al., (ed.), Transition from Authoritarianism: Prospect for Democracy, The Johns Hopkins University Press, Baltimore, 1986.

sosial dan politik, juga mempengaruhi munculnya nasionalisme Indonesia. Melihat kembali lahirnya nasionalisme Indonesia modern — suatu gagasan yang dirumuskan dengan interpretasi sekular — ia terutama diartikulasikan menurut bentuk solidaritas dan sentimen keagamaan. Dengan demikian, nasionalisme sebagai suatu bentuk “masyarakat yang dibayangkan” (imagined community), mengutip Anderson,27 adalah perluasan yang tak terpisahkan

dari gagasan solidaritas keagamaan. Misalnya, dalam diskursus politik Islam, konsep mengenai nasionalisme tidak bisa dipisahkan dari gagasan tentang “umat.28 Bukan hanya kebetulan jika Sarekat Islam (SI) pada

1912 menjadi organisasi sosial pertama yang berhasil menanamkan benih nasionalisme Indonesia di kalangan masyarakat bawah dan cendekiawan kelas menengah. Mes-kipun kemudian nasionalisme Indonesia mengalami

transformasi sejak 1930-an dan tidak lagi diinterpretasikan dengan suatu

pemahaman keagamaan, pengaruh dari gagasan-gagasan keagamaan tetap saja tampak.

Indonesia pasca kemerdekaan hingga jatuhnya pemerintahan Soe- karno mengalami politisasi agama secara besar-besaran di tengah-tengah upaya membangun struktur politik baru di negara Republik yang masih

muda itu. Konflik-konflik politik dan ideologi sering diartikulasikan

melalui diskursus-diskursus keagamaan, yang konsekuensi-konsekuensi

negatifnya adalah fanatisme dan antagonisme di antara dan di dalam

komunitas-komunitas agama. Sementara itu, negara terlalu lemah dan tak

mampu memainkan peranan sebagai mediator bagi konflik-konflik sosial

dan politik yang tak berkesudahan dalam civil society. Politisasi agama yang berlebihan itu menyumbang terjadinya situasi krisis yang terus menerus, baik di dalam negara maupun di dalam civil society yang mencapai puncaknya dengan runtuhnya Demokrasi Terpimpin pada 1965.

Setelah Orde Baru didirikan dan politik direstrukturisasi, agama secara pelan-pelan tidak lagi mengalami politisasi. Dengan kontrolnya yang sangat ketat terhadap civil society, negara secara konsisten berusaha menjegal setiap usaha dari siapa pun untuk menggunakan agarna sebagai basis ideologis, atau untuk menciptakan struktur kekuatan politik yang didasarkan pada 27 Benedict R.O’G. Anderson, Imagined Community, Verso, London,1983. 28 Perdebatan panas tentang isu nasionalisme terjadi selama masa awal perjuangan nasional antara para pemimpin agama dan tokoh-tokoh sekuler.Lihat Deliar Noer, Modernist, op.cit.

sentimen agama. Tidak jarang negara menggunakan kekuatan fisik dan

ideologis untuk melemahkan usaha-usaha semacam itu, misalnya pada 1980 terhadap suatu kelompok gerakan sempalan yang dipimpin oleh Imran, pada 1984 dalam Tragedi Tanjung Priok, dalam perlawanan agama di Lampung dan Aceh baru-baru ini. Secara ideologis, negara telah berusaha, bukannya tanpa banyak keberhasilan, untuk menginkorporasikan berbagai organisasi, tokoh-tokoh, dan aspirasi-aspirasi agama, ke dalam mesin birokrasi. Kesuksesan negara “membujuk” NU untuk meninggalkan

dunia politik dan afiliasinya ke PPP, adalah salah saw prestasi Orde Baru

yang paling penting dalarn usahanya mengsubkoordinasikan organisasi- organisasi keagamaan.29

Kendati demikian, ini tidak berarti bahwa pengaruh politik dari agama di masyarakat menjadi sirna sama sekali. Kenyataan bahwa agama tidak menegaskan dirinya kembali sebagai suatu ideologi politik yang

formal, tidak berarti bahwa ia tak lagi berfungsi sebagai medium untuk

melakukan konstruksi sosial atas kenyataan. Banyak bukti dapat diberikan untuk menunjukkan bahwa jauh dari menjadi tidak relevan, agama terus menunjukkan daya tahannya bukan saja untuk tetap hidup, tetapi juga mengadaptasi kondisi-kondisi struktural baru. Apa yang disebut revivalisme keagamaan di kalangan kaum muda, berkembang-biaknya kelompok-kelompok studi agama, dan munculnya kaum cendekiawan agama yang baru, yang berasal dari lembaga-lembaga pendidikan modern, dan sebagainya, merupakan pertanda dari revitalisasi peranan sosial agama.

Seperti halnya di banyak negara berkembang, di Indonesia pun

agama ditantang untuk menemukan kembali relevansinya dalam for-

masi sosial yang baru, dan untuk menangani problem yang kompleks. Mungkin benar bahwa sampai tingkat tertentu agama tidak lagi bisa mempertahankan supremasinya terhadap ideologi-ideologi sekular sebagai medium untuk konstruksi sosial atau realitas. Tetapi akan menyesatkan juga untuk mengabaikan begitu saja kemampuannya dalam mengatasi 29 Perkembangan NU dalam politik Indonesia belakangan ini memerlukan studi

yang lebih ekstensif. Kendatipun demikian, banyak tulisan yang ada mengenai masalah

ini tampak mengambil pandangan yang terlampau optimistik, khususnya menyangkut langkah-langkah NU meninggalkan keterlibatan tradisionalnya dalam politik. Yang tetap harus diamati adalah apakah strategi NU untuk kembali kepada khittah-nya akan

situasi-situasi baru yang dihadapinya dan menyedia-kan pelbagai alternatif

untuk pembangunan sosial dan politik.

Selama dua dasawarsa terakhir, agama dan komunitas keagamaan

di Indonesia tampak berada dalam suatu posisi defensif berhadapan

de-ngan kekuasaan negara dan hegemoni ideologisnya. Sebagian besar organisasi keagamaan secara resmi telah menarik-diri dari kegiatan poitik dan mengalihkan perhatiannya pada kegiatan sosial, seperti dakwah dan pendidikan. Kepemimpinan agama juga melemah, dan sebagian di antaranya bahkan telah dikooptasikan oleh negara atau menjadi tak lagi berani bersikap kritis terhadap negara. Radikalisme dan militansi keagamaan terbukti selalu berumur pendek, karena kekurangan visi dan program sosial politik yang masuk akal sehingga sulit meraih dukungan massa. Gerakan

fundamentalis, dengan demikian, akan selalu gagal menantang kekuasaan

negara melalui penggunaan kekerasan dan militansi politik mereka. Jika ada, usaha mereka men-ciptakan blok kekuatan dan kontra-hegemoni

tidaklah signifikan, dan bahkan hanya akan menyebabkan makin kuatnya

dominasi negara.

Itulah sebabnya agama di Indonesia masih harus mendefinisikan

peranannya dalam konjungtur masa kini, jika ia menginginkan peranan

yang lebih signifikan untuk berkembangnya civil society. Jenis kesa-daran semacam ini sangat dirasakan misalnya di kalangan beberapa cendekiawan

muslim yang tidak lagi melihat politik formal sebagai satu-satunya alternatif

bagi Islam untuk menegaskan aspirasi politiknya da-lam masyarakat. Lebih daripada menekankan agama sebagai ideologi politik yang tertutup dan parokial, sebagian di antaranya menekankan peranannya sebagai sebuah pedoman moral bagi masyarakat. Gerakan agama, menurut aliran pemikiran ini, tidak harus diarahkan pada penguasaan politik atau kekuasaan negara, tetapi untuk menegakkan perjuangan demi keadilan sosial dalam civil society. Kebutuhan untuk adanya reinterpretasi terus menerus terhadap ajaran- ajaran agama dalam konjungtur masa kini adalah suatu keharusan logis untuk menjawab banyak problem sosial yang gawat sebagai akibat proses modernisasi dan sekularisasi.

Ada banyak contoh mengenai gerakan keagamaan yang memisah-kan

diri dari politik formal dan memberi tekanan pada isu-isu sosial seperti

ini. Munculnya organisasi nonpemerintah yang didasarkan pada organisasi keagamaan adalah salah saw di antara yang paling mutakhir dan bisa

diharapkan di masa depan sebagai agen social empowerment (pemberdayaan masyarakat). Munculnya kegiatan sosial berdasarkan agama di kalangan

mahasiswa dan kaum muda juga bisa dilihat dalam perspektif ini.

Keduanya merupakan isyarat akan adanya kesadaran sosial dan kritik laten

terhadap efek-efek negatif dari modernitas, seperti kesenjangan ekonomi,

ketidakadilan sosial, dan kemandekan politik.

Pengaruh tumbuhnya kesadaran keagamaan semacam ini terhadap kehidupan politik Indonesia dan khususnya terhadap kebangkitan

civil society, tetap harus diamati dan perlu ditelaah secara lebih cermat. Perdebatan masih terus berlangsung antara mereka yang melihat revival- isme keagamaan akhir-akhir ini sekadar sebagai respons psikologis terhadap westernisasi dan sekularisasi, dan mereka yang melihat bah-wa

gejala ini mewakili fenomena sosial yang lebih mendalam yang sejauh ini

tidak diabaikan dan ditekan. Kedua pandangan itu bisa ditujukkan dalam pengertian bahwa gerakan keagamaan bisa menjadi gerakan sosial yang

reaksioner dan reformis. Ia akan menjadi gerakan yang reaksioner jika gagal

memahami persoalan sosial dan politik yang mendalam di civil society atau

mengembangkan diri lebih jauh dengan klaim keagamaan yang eksklusif

mengenai kebenaran. Tapi ia akan mewakili suatu gerakan sosial yang sejati jika ia mampu mengartikulasikan proses sosial-politik yang mendasar dan menjawab persoalan sosial dan politik yang ada. Gerakan ini harus

menyediakan alternatif yang tepat bagi masyarakat pada umumnya, bukan

hanya untuk komunitasnya sendiri. Fundamentalisme sebagai gerakan keagamaan justeru mewakili gerakan reaksioner, karena tendensinya untuk memo-nopoli klaim mengenai kebenaran sehingga gagal memasukkan interpretasi yang berbeda yang berasal dari struktur makna lainnya. Pada gilirannya, ini hanya akan menciptakan suatu interpretasi monolitik

mengenai fenomena sosial-politik dan akhirnya mendorong timbulnya

jenis lain dari sistem politik otoriter.

Dengan asumsi ini, kita melihat bahwa gerakan keagamaan di Indonesia masa kini harus dikaji bukan hanya dari dinamika internalnya sendiri vis-a- vis modernitas, tetapi juga tempatnya dalam konjungtur historis dan sosio- politik masa kini, di mana negara telah memainkan peranan yang makin menentukan dalam segala hal. Melihat gerakan keagamaan hanya dari pandangan konvensional yang memandangnya sebagai oposisi terhadap modernisasi perse, tidak mencukupi. Kita juga harus rnelihatnya sebagai

suatu faktor penting yang sangat memungkinkan untuk timbulnya aksi-

aksi sosial dalam civil society di hadapan kekuasaan negara yang dominan dan hegemonik.

Sebagai konsekuensinya, kita harus memahami gerakan keagamaan di Indonesia dalam suatu konteks yang lebih luas untuk memungkinkan kita mencermatinya sebagai suatu jenis dari proyek kontra-hegemonik yang bertujuan untuk memperluas pertumbuhan dan otonomi civil society. Walaupun demikian, gerakan itu mungkin tidak akan menciptakan suatu situasi revolusioner atau membangun semacam “blok-kekuatan” politik, yang tujuan akhirnya adalah merebut kekuasaan negara. Yang terakhir ini hampir tidak bisa dipahami kemungkinannya di Indonesia pada konjungtur

masa kini, dan barangkali juga bukan merupakan alternatif yang tepat untuk transformasi sosial dan politik di masa depan. Apa yang mendesak untuk

civil society Indonesia di masa depan yang dekat ini adalah perjuangan untuk menciptakan iklim politik yang lebih terbuka. Ini mencakup perjuangan meraih keterbukaan terhadap diskursus politik bagi kekuatan sosial yang ada, dan diperlukannya kontrol negara atas civil society.

Agama di Indonesia dapat menyumbangkan sesuatu pada proses

semacam ini. Ia bisa memberikan alternatif terhadap proses modernisasi melalui interpretasinya mengenai fenomena sosial dan kritiknya kepada dampak negatif modernitas. Ia bisa memperkuat dan memperkaya

diskursus politik dalam civil society melalui mode pemahaman, konsep, dan interpretasinya tentang gagasan-gagasan, seperti keadilan sosial, hak- hak politik, etika kerja, persamaan hak, dan sebagainya, yang sejauh ini didominasi oleh negara dan diskursus elite teknokratik dominan. Lebih dari itu, sebagai sebuah struktur makna, agama memiliki kemampuan untuk membekali kekuatan (empowering) pada masyarakat yang tertindas untuk bangkit melawan para penindas mereka. Ia bisa menjadi sebuah elemen esensial dalam usaha untuk mengartikulasikan dan menuntut kepentingannya. Melalui nilai-nilai dan solidaritas ke-agamaan sedemikian inilah yang memungkinkan mereka mengembangkan pemahamannya sendiri mengenai keadilan sosial, egalitarianisme, hak-hak politik, dan sebagainya. Di satu sisi nilai-nilai ini akan menjadi pengetahuan untuk mengelola pengalaman mereka sehari-hari, sementara di sisi lain solidaritas

Kesimpulan

Tulisan ini tidak berpretensi memberikan sebuah kajian yang tuntas mengenai peranan yang dimainkan agama dalam aksi-aksi sosial politik selama dua dekade terakhir di Indonesia. Tujuan khususnya hanyalah untuk mengemukakan sebuah pemahaman mengenai gerakan keagamaan dalam kaitannya dengan kekuasaan negara yang dominan. Dikatakan

bahwa agama mampu menyediakan alternatif tumbuhnya civil society

yang sehat dan menyumbangkan keterbukaan politik di masa depan. Sebagai struktur makna yang khas, agama tidak hanya bisa dianggap sebagai sebuah antitesis terhadap modernitas, tetapi juga sebagai kritik terhadap interpretasi dominan atas modernitas. Sebagai sistem makna ia bisa digunakan sebagai sumber dari mana diskursus-diskursus sosial dan politik lainnya, dikembangkan dan diartikulasikan oleh civil society untuk menghadapi dominasi negara.

Kendati demikian, gerakan keagamaan sebagai suatu aksi sosio-politik juga menghadapi suatu bahaya, yakni timbulnya suatu diskursus yang monolitik atau struktur politik yang otoriter. Ini khususnya benar jika gerakan keagamaan itu gagal mengedepankan dan mengembangkan tujuannya sendiri di balik klaim-klaim keagamaan mengenai ke-benaran. Mereka akan cenderung

menjadi gerakan yang elitis dan eksklusifis sehingga jadi penghalang untuk

menghargai gerakan berdasar struktur makna yang lain. Kecenderungan jenis

ini misalnya tampak jelas dalam gerakan fundamentalisme dan milenarianisme.

Ka-rena itu menjadi penting bagi gerakan keagamaan di Indonesia dewasa ini untuk menyadari tendensi parokialistik semacam itu. Dalam pandangan saya, agama masih dalam civil society, khususnya bagi mereka yang berbeda tingkat “arus bawah.” Para pemimpin agama dan kalangan cendekiawan harus mengarahkan kegiatannya untuk membela kepentingan politik masyarakat

bawah agar mereka bisa memperoleh pengaruh yang lebih signifikan. Sebagai

contoh, mereka bisa mendorong masyarakat bawah untuk menjadi lebih sadar dan lebih percaya diri secara politik. Mereka juga bisa membantu masyarakat bawah untuk menanggulangi permasalahannya sendiri melalui pendidikan, program pemandirian, dan pelatihan praktis lainnya. Peranan LSM yang berdasarkan agama akan menjadi instrumen untuk memperlancar program pragmatis semacam ini.

Persoalan mendesak yang dihadapi LSM semacam itu adalah meminimalkan ketergantungannya kepada negara dalam segala

bentuknya.30 Otonomi total adalah masalah yang dihadapi mereka di bawah struktur politik yang ada sekarang. Mereka harus lebih sensitif

terhadap usaha intervensi negara yang terlampau besar yang mungkin membawa risiko bagi kegiatan memperkuat politik arus bawah. Tidak bisa diragukan bahwa negara tidak akan membiarkan mereka bergerak di wilayah pedesaan atau kalangan masyarakat miskin perkotaan tanpa pengawasan ketat. Karena itu mereka seyogyanya memiliki strategi yang cukup lentur dalam mengembangkan kegiatan mereka untuk memperkuat

civil society jangka panjang.

Akhirnya, juga menjadi penting untuk mengkaji peranan yang bisa dimainkan oleh agama dalam proses memperkuat civil society yang

dimanifestasikan dalam pengalaman kehidupan sehari-hari. Bagaimana ajaran- ajaran agama ditafsirkan dan dilaksanakan dalam kehidupan riil, agar bisa

mempengaruhi praktik politik mereka. Sebagai sistem makna, agama akan terus menerus diambil alih, baik oleh kekuasaan dominan maupun oleh masyarakat

dalam rangka menjustifikasi kepentingannya sendiri, termasuk oleh mereka yang berada dalam domain relasi politik. Karena itu, konflik interpretasi bisa

terjadi menyangkut berbagai ajaran agama, dan antara agama dengan struktur

makna lainnya. Inilah yang membuat agama menjadi suatu arena konflik yang

khas.31 Sebagai konsekuensinya, agama tidak bisa dilihat sebagai entitas yang

statis dan tunggal yang arah dan tujuannya bisa diramalkan.

Eksistensi gerakan keagamaan dan pengaruhnya terhadap masa depan politik Indonesia, sebagian akan ditentukan oleh hubungan dialektik antara pembangunan negara dan pengembangan civil society.

30 Studi yang serius dan tuntas tentang peranan LSM di Indonesia masih harus dilakukan. Untuk saat ini, ada beberapa alasan untuk meragukan bahwa LSM-LSM

Indonesia bisa menjadi relatif lebih independen dari negara. Dengan pengecualian

khusus, banyak di antaranya sangat tergantung pada dukungan dan kontrak-kontrak

finansial dari pemerintah, dengan alasan untuk bisa terus bertahan. LSM-LSM yang berafiliasi dengan organisasi-organisasi semacam yang ada di luar negeri kini berada di

bawah pengawasan yang serius dari negara, karena khawatir bahwa LSM akan digunakan untuk mendiskreditkan banyak program pembangunan.

31 Agama selalu mempunyai implikasi politik dalam masyarakat. Ini sebagian karena kenyataan bahwa masyarakat menggunakan alasan agama untuk memperkuat persatuan, solidaritas dan kesetiaan di dalam sebuah masyarakat-politik. Mereka menggunakannya

untuk menjelaskan konflik sosio-politik, dan juga untuk melegitimasikan kekuasaan.

Untuk pembahasan mengenai implikasi politik agama di Indonesia, lihat R. Kipp & S. Rodgers (eds.), “Introduction”, dalam Indonesian Religion, op.cit., hal. 14.

Dalam sejarah perlawanan dan kepatuhan kelas-kelas yang dikuasai atau tertindas, mereka seringkali digambarkan sebagai obyek yang seluruh aktivitasnya dibatasi oleh struktur-struktur yang membelenggu mereka. Artinya, tidak ada tempat sama sekali bagi mereka untuk bertindak sebagai subyek yang memiliki otoritasnya sendiri. Padahal cukup terbukti bahwa keberadaan kelas-kelas yang tertindas tersebut tidak selalu dalam posisi disejarahkan, tetapi sebaliknya mereka juga mampu membuat sejarah mereka sendiri.

Tulisan ini merupakan suatu usaha untuk menelaah perspektif- perspektif teoretis yang berkenaan dengan (gerakan) perlawanan sosial. Pertama-tama ia akan memfokuskan pada masalah-masalah seperti basis sosial dari kepatuhan dan perlawanan sosial, konflik kelas dan kesadaran

kelas, dan yang terakhir, bentuk-bentuk dari perlawanan sosial. Dalam tulisan ini akan dipaparkan juga beberapa studi kasus yang mungkin akan memperkuat posisi teoretis masing-masing penganjurnya. Sementara literatur mengenai perlawanan sosial sangat berlimpah, tulisan ini tidak

Dalam dokumen DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY pdf (Halaman 168-176)