• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik Arus Bawah Sebagai Topik

Dalam dokumen DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY pdf (Halaman 122-127)

Lantas apakah arti peristiwa-peristiwa tersebut bagi kita di sini? Jawabnya tentu bisa berbeda-beda, tergantung latar belakang dan perhatian kita dalam memahami gejolak-gejolak sosial di sekitar kita, Bagi penulis sendiri, dan mudah-mudahan para pembaca pun ikut share,

kejadian-kejadian tersebut antara lain menandai kembalinya kesadaran akan pentingnya suatu proses sosial-politik yang harus memperhitung- kan kekuatan massa di bawah. Apa yang di Filipina disebut sebagai People’s Power yang telah mampu menggusur kediktatoran Marcos, misalnya, hemat penulis harus dilihat dari sudut pandang ini. Dengan kata lain, kesadaran bahwa massa rakyat di bawah mempunyai kekuat an politik yang berarti telah muncul kembali di bawah tekanan-tekanan berbagai macam manipulasi hegemoni ideologi dan strategi politik tertentu. Kenyataan bahwa di sana- sini terdapat bukti bahwa gerakan massa rakyat mengalami kekalahan dalam tuntutan-tuntutan mereka, tidak serta-merta menghapuskan dan

menafikan kehadiran serta bobot kekuatan politik mereka. Sebaliknya,

baik kekalahan ataupun ke menangan yang mereka capai telah menghapus

kesan seolah-olah massa rakyat di bawah hanya pasif dan tidak hirau

Hal tersebut pada gilirannya membuat kita yang terlibat dalam ilmu-

ilmu sosial dan kemanusiaan berani melakukan refleksi terhadap apa yang

selama ini mendasari kerja dan kiprah intelektual kita. Diakui atau tidak, kecenderungan kuat di antara para pakar ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan adalah mengabaikan dinamika yang terjadi di masyarakat bawah. Tak terkecuali (atau lebih-lebih) ilmu politik. Terutama di Negara- negara berkembang, tampaknya kaum cendekiawan di sini lebih sulit

Buat mengelakkan diri dari kecenderungan umum tersebut. Ini antara

lain disebabkan oleh sifat konsumtif ilmuwan negara berkembang terhadap ilmu pengetahuan modern yang lahir dari kekurangmampuan untuk mengembangkan paradigma ilmu yang sesuai dengan kebutuhan sendiri. Studi pembangunan, misalnya, masih tetap dikuasai oleh pemahaman dua kutub paradigma dominan liberal-pluralis dan sosialis Marxis dengan segala percabangannya, seolah-olah di luar dua kutub paradigma-paradigma tadi, pemahaman menjadi tidak sah atau setidak- tidaknya kurang berbobot ilmiah.

Perlu segera kita sadari bahwa salah satu ciri pemahaman paradigma -paradigma dominan tersebut adalah kurangnya perhatian yang serius terhadap permasalahan yang ada di lapisan bawah. Bahkan di dalam

paradigma Marxian pun, yang konon memiliki klaim filosofi sebagai si

pembela kaum tertindas, kecenderungan elitisme tetap dominan. Contoh yang paling jelas adalah strukturalisme Marxis yang dipelopori antara lain oleh Althusser, Balibar, Poulantzas,1 dan yang kemudian berpengaruh

dalam pendekatan-pendekatan Marxian seperti tesis-tesis ketergan tungan,2

dan sebagainya. Strukturalis Marxis dalam perkembangannya cenderung menjadi pendekatan-pendekatan yang statis, mekanistik dan lebih-lebih, 1 Lihat L. Althusser, dan E. Balibar, Reading Capital, London: Verso, 1970. N. Poulantzas, Political Power and Social Classes, Paris: Maspero, 1968. Juga N. Poulantzas, State, Power, Socialism, London: Verso, 1978.

2 Untuk tesis ketergantungan, lihat A.G. Frank, “The Development of

Underdevelopment,” dalam A.G. Frank, (ed.), Latin America Underdevelopment or Revolution? New York: Monthly Press, 1969; A.G. Frank. Dependent Accumulation and Underdevelopment, New York: Monthly Press, 1978. Walau pun tesis ini telah mendapat kritik-kritik tajam dari banyak pihak, tetapi penga ruhnya masih cukup kuat, misalnya seperti yang dikembangkan oleh F.H. Cardoso dan E. Faletto dalam Dependendency and Development in Latin America,

Berkeley: University of California Press, 1979. Walaupun kedua orang ini meninggalkan

kecenderungan mekanistik tesis Frank, tetapi mereka tetap mempertahankan strukturalisme

ia kurang peka terhadap dinamika internal arus bawah. Demikian juga

strukturalisme-fungsional ala Parsons3 yang dikembangkan dari tesis-tesis

Max Weber, nasibnya pun tak berbeda. Dalam disiplin ilmu politik, hal ini tampak sekali. Paradigma dominan dalam ilmu politik Barat, yaitu liberalis- pluralis, yang nyaris diwarnai oleh sistem politik dan pakar-pakar ilmu politik AS (Huntington, Apter, Pye,4 untuk menyebut beberapa nama),

sering mengabaikan dinamika politik arus bawah dalam berbagai analisis mereka. Di Indonesia, hal ini lebih buruk lagi.5 Karena perkembangan

ilmu politik telah demikian dipengaruhi oleh paradigma liberal-pluralis dan modernisasi, maka sulit sekali dicari, untuk tidak mengatakan langka, kajian politik yang secara serius men coba melihat perkembangan politik

dari perspektif masyarakat di bawah. Itulah sebabnya, yang paling populer

dalam ilmu politik Indonesia adalah apa yang saya sebut sebagai “analisis politik istana”, yaitu analisis politik yang berawal dan berakhir pada elite- elite politik.6 Walaupun rintisan-rintisan untuk mengkaji dinamika sosial,

3 T. Parsons, The Structurs of Social Action. Glencoe, III “The Free Press, 1949.

Struktural-fungsional seterusnya menguasai discourse ilmu-ilmu sosial di AS sampai sekitar dasawarsa enam puluhan sebelum akhirnya mendapat kritik kritik tajam baik dari kubu liberal-pluralis maupun kubu Marxis. Lihat A. G’ddens, New Rules in Sociological Method: A Positive Critique of Interpretative Sociology, New York: Basic Books, 1976. Juga dari pengarang yang sama, Profiles and Critiques in Social Theory, Berkeley: University of California Press, 1982. Kritik yang terkenal terhadap Parsons dari kubu liberal-pluralis dilancarkan oleh A. Gouldner dalam The Coining Crisis of Western Sociology, New York: Basic Books, 1970.

4 S. Huntington, Political Order in Changing Societies, New Haven: Yale University Press, 1968; S. Huntington, dan M. Weiner (eds.)., Understanding Political Development, Boston: Little, Brown, 1988; D.E. Apter, Comparatives Politics: A. Reader, Glencoe, III: The Free Press, 1963; L.W. Pye, Communications and Political Development, Princeton: Princeton University Press, 1963.

5 Di Indonesia, pengaruh paradigma liberal-pluralis sangat kelihatan dalam kecenderungan untuk mengkaji proses-proses politik dari pandangan elite. Lihat kritik Dick Robinson mengenai hal ini, misalnya, “Culture, Politics, and Economy in the

Political History of the New Order,” Indonesia 31,1981. Kecenderungan lain adalah penerapan analisis kultural yang istana sentris, seperti dalam D. Emerson, Indonesia’s Elite: Political Culture and Cultural Politics, Ithaca: Cornell University Press, 1976. Demikian pula umpamanya kebiasaan dalam analisis politik Islam di Indonesia yang dikotomis antara apa

yang disebut Islam tradisional dan modern, adalah refleksi dari paradigma modernisasi.

6 D. Emerson, op.cit. Yang menarik adalah juga banyaknya kajian politik mengenai hubungan sipil-militer, yang menurut hemat saya juga terlalu elitis. Lihat misalnya analisis- analisis H. Crouch, The Army and Politics in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press, 1978; D. Jenkins, Suharto and His Generals, Ithaca: Cornell University Press, 1986. Proses politik seolah-

budaya, dan politik arus bawah sudah lama dilakukan (Sartono dan Onghokham7 merupakan contoh-contoh klasik), tetapi kesinambungan

pengkajian mereka untuk masa kini boleh dikatakan masih terabaikan. Tentu saja banyak alasan yang bisa dikemukakan untuk menjelaskan keganjilan ini, tetapi apa pun alasannya yang jelas adalah bahwa kita perlu prihatin terhadap proses kemandekan tersebut.

Tidaklah berarti bahwa lalu kajian yang lebih berorientasi bottom-up

telah berhenti sama sekali atau berkurang. Sebaliknya, kepustakaan dan hasil-hasil penelitian mengenai topik tersebut tetap rajin muncul dan bahkan akhir-akhir ini semakin subur. Di Indonesia pun, karya-karya terjemahan mengenai topik tersebut (walau agak jarang) masih bisa dijumpai. Di Amerika Serikat sendiri, kajian yang menitikberatkan pada dinamika politik arus bawah tetap menarik perhatian mahasiswa dan pakar- pakar ilmu sosial. Ditambah lagi, akhir-akhir ini terobosan- terobosan epistemologis dan teoretis yang dilakukan oleh ilmuwan- ilmuwan seperti olah hanya ditentu kan oleh sekelompok elite militer dan teknokrat yang sedang berkuasa. Discourse ilmu politik di Indonesia memang ditandai dengan bungkamnya massa dibawah.

7 Lihat karya-karya monumental Sartono Kartodirdjo tentang gerakan petani seperti The Peasants’ Revolt of Banten in 1888, Its Conditions, Course, and Sequel: A Case Study of Social Movements in Indonesia, The Hague s’Gravenhage, 1966; Protest Movements in Rural Java: A Study of Agrarian Unrest in the Nineteenth and Early Twentieth Centuries, Singapore: Oxford University Press, 1973. Juga Onghokham, Residency of Madiun: Priyayi and Peasant in the Nineteenth Century, Ph.D thesis, Yale University. Ann Arbor,

University Microfilm, 1978.

Harus diakui bahwa kajian para sejarawan mengenai gerakan sosial di negeri ini jauh lebih banyak dan para ilmuwan politik amat beruntung dalam hal ini. Lihat misalnya karya-karya J. Ingleson, In Search of Justice: Workers and Union in Colonial Java, Kualalumpur:

Oxford University Press, 1986,; “Bound Hand and Foot: Railway Workers and the 1923

Strike in Java,” Indonesia, 31, 1981; “Worker Consciousness and Labor Unions in Colonial Java,” Pacific Affairs, 54, 3, 1981; “Life and Work in Colonial Cities: Harbour Workers in Java in the 1910s and 1920s,” Modern Asian Studies, 17, 3, 1983, karya D. Elson seperti Javanese Peasant and the Colonial Sugar Industry: Impact and Change in an East Java Residency,

Kualalumpur: Oxford University Press, 1984; “Canburning in the Pasuruan Area” An Espression of Social Discontent,” dalam F van Anrooji, et.al. (eds.), Between People and Statistics: Essays on Modern Indonesian History. The Hague: Martinus Nijhoff, 1979, karya K. Pelzer, Planter and Peasant: Colonial Policy and The Agrarian Struggle in East Sumatera 1963- 1942, KITLV, 1978; Planters Against Peasants: The Agrarian Struggle in East Sumatera 1947- 1958, KITLV, 1978, karya A. Reid, The Blood of the Rule in Nothern Sumatera. Kualalumpur:

Oxford University Press, 1979, dan juga A. Lucas, “Social Revolution in Pemalang, Central

Geertz, Giddens, Scott, Gadamer, Bordieu, Habermas, dan sebagainya,8

memungkinkan para pengkaji ilmu sosial semakin meninggalkan atau setidaknya meninjau kembali asumsi-asumsi paradigma-paradigma tradisional di atas. Ini pada gilirannya semakin mem pertinggi daya tarik pengkajian dinamika arus bawah ini. Demikian pula penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Moore, Hobsbawm, E.P. Thompson, Scott, Popkin, Adas, Geertz, Gaventa, Genovese, Stoler, Kerkcliet,9 dan sebagainya semakin menunjukkan kompleksitas feno mena sosial di tingkat bawah,

yang karenanya memerlukan pendekatan dan pemahaman tersendiri. Apa yang umpamanya kini populer dengan sebutan kajian Everyday Politics

(politik dalam kehidupan sehari-hari) merupakan salah satu manifestasi

dari kepedulian intelektual untuk memahami berbagai peristiwa sosial dari

bawah, yang tak selamanya terekam oleh kajian-kajian formal dalam ilmu

politik.

8 Tulisan-tulisan Geertz yang bergulat dengan permasalahan epistemo logi bisa dilihat misalnya dalam The Interpretation of Cultures, New York: Basic Books, 1973; Local Knowledge: Further Essays in Interpretative Anthropology, New York: Basic Books, 1983; Works and Lives Anthropologist as Author, Stanford: Stanford ;University Press, 1988; “From

the Native’s Point of View On the Nature of Anthropological Understanding,” dalam

Gibbon M. (ed.), The Politics of Interpretation, New York: New York University Press, 1987. Untuk Giddens, lihat misalnya Social Theory and Modern Sociology, Stanford: Stanford University Press, 1987; The Constitution of Society, Cambridge: Polity Press, 1984; dan tentu saja Central Problems in Social Theory, London: Macmillan, 1979. Karya H.G. Gadamer yang paling populer adalah master piece-nya mengenai hermeneutik, Truth and Method, New York: Crossroad, 1975. P. Bordieu mengembangkan analisis bahasa dalam Outline of a Theory and Practice, Cambridge: Cambridge University Press, 1977. Karya J. Habermas yang paling menonjol mengenai epistemologi antara lain adalah Knowledge and Human Interest, Boston: Beacon Press, 1971; Theory and Practice, Boston, Mass: Beacon Press, 1973; The Theory of Communicative Action, Vol. I & II, Boston: Beacon Press, 1981, 1987; The Philosophical Discourse of Modernity Cambridge, MA: MIT Press, 1987, dan kumpulan esainya, Communication and the Evolution of Society, Boston: Beacon Press, 1979,

9 Lihat misalnya B. Moore, Injustice: Social Bases of Obedience and Revolt, New York: ME. Sharpe, 1978; Social Origins of Dictatorship and Democracy: Lord and Peasant in the Making of the Modern World, Boston: Beacon Press, 1966. Untuk E. Hobsbawm, lihat Primitive Rebels: Studies in Archaic Forms of Social Movements in the 19th and 20th Centuries, New York: Norton & Co., 1959; Bandits, New York: Pantheon Books, 1969. Karya E.P.. Thompson yang terkenal mengenai topik ini antara lain The Making of the English Working Class,

London: Vintage, 1963; “The Moral Economy of the English Crowd in the Eighteenth

Century,” Past and Present, 50, 1971; “Eighteenth Century English Society: Class Struggle without Class,” Social History, 4, 1978.

Beberapa Persoalan Dasar dalam Kajian Politik Arus Bawah

Dalam dokumen DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY pdf (Halaman 122-127)