• Tidak ada hasil yang ditemukan

Telaah terhadap Demokrasi di Indonesia

Dalam dokumen DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY pdf (Halaman 137-146)

1. Di sini istilah politik arus bawah (grass-roots politics) dipakai untuk menunjukkan praktek dan diskursus politik masyarakat kelas bawah mulai dari para petani dan buruh di wilayah pedesaan sampai buruh industri, pedagang kecil, dan mereka yang bekerja di

tempat yang disebut sektor informal di perkotaan. Menurut kamus Webster, arus bawah,

antara lain berarti “masyarakat biasa khususnya dikontraskan dengan pimpinan atau elite...”, Ran dom House Websters College Dictionary, New York: Random House Inc, 1991, hal. 583.

2. S. Kartodirdjo, The Peasant’s Revolt of a Banten in 1818, Its Conditions, Course, and sequel: A Case Study of Social Movement in Indonesia. The Hague: s’Gravenhage, 1966, lihat juga Onghokham, 1975; Elson, 1985; Scott, 1976, 1985.

3. J. Ingelson, In Search of Justice: Workers and Union in Colonial Java, Kuala Lumpur:

Oxford University Press, 1986. Agama seperti Islam memainkan peranan yang penting

di awal perkembangan nasionalisme, sementara budaya tradisional dan sistem nilai (Ratu Adil, Gotong Royong dan sebagainya) adalah memadai untuk menjadi counter-hegemoni terhadap praktik dan ideologi kolonial.

pribumi di wilayah urban4. Yang belakangan ini menyumbangkan suatu ciri baru terhadap gerakan politik arus bawah, yang bersifat lokal dan

berorientasi nonkelas, dan berubah menjadi gerakan nasional dan memili- ki kesadaran kelas dalam dirinya5. Di samping itu, mereka menjadi lebih

terorganisir dan berhubungan dengan gerakan dan ideologi politik modern lainnya yang memiliki tujuan akhir untuk meruntuhkan rezim kolonial dan menciptakan suatu sistem politik baru di negara yang merdeka.6

Selama masa demokrasi liberal (1949-1957), politik arus bawah di Indonesia sangat terakomodasi dan terartikulasi secara baik dalam praktik dan diskursus politik di negeri ini, terutama karena tahap politisasi yang tinggi pada masyarakat pascarevolusi. Proses politisasi ini dimungkinkan karena adanya dua saluran penting, yakni partai politik dan serikat buruh

independen. Partai politik secara aktif bergerak di wilayah urban dan rural

dalam rangka untuk menarik anggota dari buruh, petani, pedagang kecil, dan pengrajin. Di samping itu, pembentukkan serikat buruh-independen dan asosiasi berorientasi politik lainnya, selama masa liberal ini, secara umum tidak dibatasi. Meskipun serikat buruh semacam itu umumnya

berafiliasi dengan partai-partai politik tertentu, namun bukan berarti

kemerdekaan mereka terhalangi. Melalui serikat buruh semacam ini yang menyebabkan aspirasi politik dari bawah sebagian besar terartikulasi .7

Namun demikian, sampai dengan akhir masa itu, politik arus bawah tetap tidak dapat memberikan pengaruh yang berarti atau akhirnya muncul sebagai suatu kekuatan yang menentukan dalam politik Indo nesia. Tentu saja, ini tidak hanya dalam kasus serikat buruh dan organisasi politik arus 4. R. Van Niel, The Emergence of Indonesian Elite, The Hague & Bandung: W. van Hoeve, 1960.

5. Ingelson op. cit.

6. Dengan demikian, ideologi nasionalis modern dan sosialis dan juga berbagai organisasi yang mendasarinya berjalan baik di antara kelompok kelompok gerakan nasionalis terkemuka seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, Indische Party, Muhammadiyah, NU, PNI, PKI dan sebagainya.

7. I. Tejasukmana, Political Character of the Indonesian Trade Union Movement, Ithaca: Cornell Modem Indonesia Project, 1959. Sebagai contoh, sampai tahun 1955 jumlah

keseluruhan serikat nasional dan regional yang berafiliasi dan nonafiliasi dengan federasi

berjumlah 1.105. Sampai akhir tahun 1958, ada 161 serikat independen dilaporkan dan

100 serikat yang berafiliasi didaftarkan. Bandingkan dengan E. Hawkins, “Labor in

Developing Countries: Indonesia” dalam B. Glassburner, (ed.) The Economy of Indonesia, Selected Reading , Ithaca: Cornell University Press, 1971, hal.., 2-11.

bawah lainnya, bahkan partai politik yang utama pun umumnya gagal untuk mencapai tujuannya. Pelajaran yang penting dari pengalaman ini adalah kegagalan dari sistem politik yang ada untuk menciptakan suatu negara kuat yang ditopang oleh program ekonomi yang kuat dan memungkinkan republik muda ini dapat menghindari krisis politik dan desintegrasi sosial.

Krisis permanen yang menganggu pemerintahan pusat dan konflik sosial

yang memperburuk kerusuhan sosial selama masa itu terutama akibat dari runtuhnya pengaruh politik arus bawah.8

Pada saat bersamaan, masa ini juga menyaksikan munculnya civil

society yang modern9 di Indonesia pascakolonial. Ini terutama ber-

kembang melalui tumbuh suburnya aktivis-aktivis intelektual dan gerakan kebudayaan di masyarakat dan juga pelaksanaan ide-ide demokrasi dalam proses politik di pemerintahan pusat. Dan juga, lingkungan masyarakat umumnya bebas dan memperoleh dukungan yang luas khususnya dari tokoh-tokoh elite politik yang kebanyakan berasal dari kalangan intelektual. Mereka umumnya dididik dalam lembaga-lembaga pendidikan modern atau memiliki pengetahuan dan pengalaman dengan gerakan demokrasi sebelum kemerdekaan.10

Sayangnya, munculnya civil society semacam itu hampir tidak berkembang dengan baik dan sebaliknya hanya terbatas pada sedikit kelas elite di wilayah perkotaan. Upaya-upaya untuk meluaskannya, mencakup masyarakat arus

bawah terhalang oleh berbagai faktor. Yang menonjol di antaranya adalah

krisis politik yang lebih besar di tingkat pusat, kegagalan pembangunan

ekonomi, dan tingkat konflik sosial dan budaya yang tinggi yang berasal 8 G. McTuman Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press, 1952. Lihat juga Anthoni Reid 1962, dan Anderson,

1972.

9 Konsep civil society dipahamidalam konteks ruang publik. Ini terutama menunjuk pada inti dari “ruang publik” di mana “warga negara membicarakan politik dan membentuk pendapat umum, yang bertindak sebagai pengontrol terhadap struktur kekuasaan yang terorganisir dalam bentuk negara’. Lihat juga D. Ost, Solidarity and the Politics of Anti Politics: Opposition and Reform in Poland Since 1968, Philadelphia: Temple University Press, 1991.

10 Para pemimpin politik semacam Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Natsir, untuk menyebutkan beberapa, adalah golongan intelektual sebelum mereka menjadi politisi.

Hatta masih terlibat secara aktif dalam aktivitas intelektual bahkan selama jabatannya

dari pertentangan sosial yang ada dalam masyarakat pascakolonial.11 Tidak hanya faktor-faktor ini yang menghambat perkembangan civil society yang baru tumbuh, namun ini juga yang membuka jalan terhadap keburukan- keburukannya.

Ini mencapai puncaknya kemudian di bawah apa yang disebut rezim Demokrasi Terpimpin (1959-1968) yang diciptakan oleh Soekarno. Melalui pemerintahannya, Soekarno, sebagai pemimipin politik yang tak tersaingi, melancarkan perombakan politik besar-besaran dengan tujuan untuk mengakhiri orientasi pluralis dari demokrasi liberal dan kemudian menggantikannya dengan suatu pemerintahan otoriter.

Perkembangan politik arus bawah selama periode itu mengambil bentuk yang agak berbeda. Memang benar bahwa politisasi masyarakat masih memungkinkan kelas pekerja dan petani untuk terlibat dalam praktik dan diskursus politik melalui serikat buruh dan partai politik. Meskipun demikian aktivitas politik ini terjadi dalam nuansa yang sama sekali berbeda, karena ini berlangsung dalam aura politik otoriter. Lagi pula, di bawah Soekarno, partai poltitik diturunkan peranannya menjadi tidak lebih dari persaingan politik yang tujuannya tidak lagi diarahkan untuk membangun suatu pemerintahan demokratis, namun untuk melayani kepentingan pribadi para pemimpinnya. Sebagai akibatnya, partai politik berada dalam perebutan kekuasaan dan ideologi yang tidak habis-habisnya di dalam dan di antara mereka sendiri, sementara mereka mengabaikan masalah-masalah sosial-politik dan ekonomi yang nyata. Dalam situasi ini, masyarakat arus bawah akhirnya terjebak dalam pertarungan kekuasaan dan ideologi semacam itu. Pada akhirnya, ini menghasilkan suatu situasi yang paradoks, yakni di satu sisi, terjadi tingkat aktivitas politik yang tinggi, namun di sisi lain, ini hanya akan membawa pada situasi politik yang mudah berubah yang mengancam kehidupan mereka sendiri.

Civil society Indonesia selama masa itu tidak diragukan lagi berada di pinggir kehancuran karena pemerintahan otoriter Soekarno. Ruang publik hampir terhapuskan melalui pengawasan negara atas pembicaraan

11 Ini terefleksikan pada pemerintahan yang tidak stabil di tingkat nasional,

perlawanan regional terhadap pemerintah pusat, kemiskinan yang parah di wilayah

pedesaan dan perkotaan, dan konflik ideologi yang mengancam rentannya integrasi

-pembicaraan publik. Media massa secara penuh mendedikasikan diri mereka untuk mendukung proyek-proyek politik dari partainya atau hanya menjadi corong Soekarno. Kalangan intelektual sendiri juga berada dalam situasi genting, terutama mereka yang menantang dan mengkritik Soekarno dan kebijakan-kebijakan btoriternya. Ekspresi kebudayaan dikontrol secara ketat dengan dalih antikapitalisme dan nasionalisme.12

Kemunculan Orde Baru yang didukung militer, intelektual, dan unsur-unsur anti-Soekarno di antara partai politik karenanya bukanlah suatu kejadian yang tiba-tiba. Sekurang-kurangnya pada akhir tahun 1950- an, beberapa pimpinan sipil dan militer telah mulai untuk mem bangun suatu basis kekuasaan, yang artinya mereka dapat melakukan kontrol politik ketika waktunya sudah cukup matang. Ketidaksabaran kalangan

militer terhadap ketidakefisienan dan ketidakefektifan politisi sipil sudah

dikenal secara luas dan muncul dari waktu ke waktu13. Faksionalisrne

yang mendalam di bawah rezim Soekarno dan lemahnya civil society telah memberikan kesempatan emas bagi militer untuk menciptakan suatu aliansi yang kuat dengan kelompok-kelompok tertentu untuk rnenghadapi aliansi politik antara Soekarno dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam perkembangannya, aliansi ini berhasil membujuk beberapa orang intelektual anti-Soekarno yang kemudian menjadi unsur terpenting dalam merencanakan dan melaksanakan strategi ekonomi dan politik di bawah sistem politik yang baru.14

Pada masa awal rezim Orde Baru (1968-1970): harapan-harapan terhadap redemokratisasi sangatlah tinggi. Terdapat suatu kesempatan

12 Sebagai contoh penekanan terhadap kalangan aktivis intelektual semacam

Manikebu (Manifes Kebudayaan), boikot terhadap produksi film-film Amerika,

penahanan terhadap banyak kalangan intelektual, seniman, aktivis sosial, dan tokoh-tokoh utama lainnya, dan juga pelarangan partai politik semacam PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), karena keterlibatan mereka dalam pemberontakkan daerah.

13 H. Crouch, The Army and Politic in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press, 1978.

14 Beberapa anggota yang berasal dari kelompok intelektual keluar dari aliansi dan menjadi pengkritik rezim Orde Baru setelah yang belakangan ini berada di kekuasaan dan dilihat tidak konsisten dengan konsensus awalnya. Beberapa dari mereka menjadi anggota dari Petisi 50 dan Forum Demokrasi yang sampai saat ini menjadi pengkritik vokal terhadap rezim Orde Baru.

yang besar bagi rezim yang baru untuk membangun pemerintahan demokrasi yang telah diabaikan oleh rezim Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno. Pertama-tama, terdapat dukungan kuat yang jelas dari kalangan

intelektual yang secara aktif terlibat dalam gerakan anti -Soekarno. Partai-

partai politik masih tetap padu untuk berpartisipasi dalam arus baru

demokratisasi setelah melakukan beberapa reformasi internal. Lagi pula,

kembalinya ruang publik yang bebas ternyata saat itu cukup menjanjikan yang ditandai dengan terbukanya surat kabar dan mass media yang lain dan juga kemuculan kembali diskusi-diskusi politik yang terbuka di dalam masyarakat. Akhirnya, serikat buruh yang masih berjumlah lebih dari 100 setelah kudeta 1965 akan memainkan suatu peran yang penting di dalam proses pemberdayaan politik, beriringan dengan kekuatan-kekuatan lain dalam masyarakat.

Berlawanan dengan harapan-harapan yang ada, semenjak pemilihan umum pertama di tahun 1971, politik Indonesia telah bergerak menuju arah yang berlainan. Hasil dari pemilu memperlihatkan bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia pascakolonial, muncul suatu rezim yang ditopang oleh suatu partai berkuasa yang kuat dan mampu untuk memperoleh dukungan politik yang luas.15 Ini pada gilirannya

memungkinkan rezim untuk menjalankan program ekonomi dan politik mereka dengan tingkat stabilitas dan percaya diri yang tinggi. Lagipula, dukungan internasional juga diperoleh rezim, dalam bentuk bantuan ekonomi dan opini politik yang baik, dan memungkinkan pelaksanaan program pembangunan ekonomi dan pembaruan politik.16

Bicara mengenai politik, rezim yang barn menekankan pentingnya stabilitas, keamanan dan rasa persatuan di antara anggota masyarakat. Secara kelembagaan, rezim ini telah membangun sistem dan tertib politik yang sejauh ini telah mampu melanjutkan cita-cita semacam ini. Dengan demikian, berjalannya pemilu secara teratur, birokrasi negara dan sistem

15 Golkar adalah pengelompokan politik yang didirikan untuk mewakili individu dan organisasi yang berada di luar partai politik. Dalam kenyataan, Golkar telah berkembang menjadi partai yang berkuasa di era Orde Baru dengan dukungan militer,

birokrasi sipil, teknokrat, dan beberapa kelompok fungsional. Lihat juga karya J. Boileau,

Golkar: Functional Group In Indonesia Politic, Jakarta: CSIS, Jakarta 1983, lihat Juga Nashihara 1970.

kepartaian yang dapat berjalan (meskipun dibatasi), ketiadaan kekacauan

politik internal secara relatiff,17 dan posisi yang baik di dunia internasional,

semuanya adalah tema-tema dari cerita keberhasilan yang diulang-ulang yang dapat diklaim secara layak oleh Orde Baru.

Rezim juga berhasil dalam menanamkan dan menginternalisasikan ideologi persatuan di seluruh negeri, yang pada gilirannya mendapatkan kesepakatan dari masyarakat untuk memperkuat otoritasnya dan mem- pertahankan keabsahannya.18 Lebih jauh, melalui penggunaan cara-cara korporatis negara yang efektif, pemerintah dapat mengawasi secara hati hati

partisipasi politik dari berbagai kelompok kepentingan dalam masyarakat dan pada saat bersamaan menindas elemen-elemen yang tidak dikehendaki di dalamnya.19

Sejauh berkaitan dengan kebijakan negara terhadap masyarakat arus bawah, ini langsung diarahkan untuk mencegah masyarakat arus bawah

terpolitisasi secara aktif sebagaimana di masa lalu. Ini dijalankan melalui

kebijakan kooptasi dan domestikasi.20 Satu kebijakan domestikasi yang paling efektif disebut sebagai kebijaksanaan “masa mengambang” yang

intinya melarang partai-partai politik yang ada untuk memasuki masyarakat pedesaan21. Di samping itu, pemerintah juga melarang didirikannya serikat 17 Ini tentu saja isu yang dapat diperdebatkan jika kita memasukkan berbagai kerusuhan politik yang telah terjadi semenjak awal tahun 1970-an sampai kejadian baru- baru ini seperti di Aceh (1991), Lampung (1990), Irian Jaya dan Timor Timur (1991). Meskipun demikian, dengan kejadian-kejadian tersebut dapat dikatakan bahwa sejauh ini kerusuhan-kerusuhan tersebut belum dapat untuk membawa dukungan yang kuat atau untuk memobilisir kekuatan dalam rangka menantang kekuatan negara.

18 M. Langenberg, The New Order State: Language, Ideology, Hegemony.” dalam A. Budiman, (ed.) State and Civil Society in Indonesia, Clay ton, Victoria: Monash University,

1991, hal., 121-149. Ini terutama melalui penanaman dan sosialisasi formulasi ideologi.

Yang terutama di antaranya adalah demokrasi Pancasila, modernisasi, kestabilan dan ketertiban, dan konstitusionalisme.

19 M. Tanter, “The Totalitarian Ambition: Intelligence and Security Agencies in Indonesia,” dalam A. Budiman, (ed). State and Civil Society in Indonesia, Clyton Victoria: Monash University 1991.

20 Strategi kooptasi terutama diarahkan kepada para pemimpin di masyarakat pedesaan yang umumnya memiliki pengaruh yang karismatik di masyarakat, seperti Kiai,

pendeta, guru atau kepala desa. Ini terbukti sangat efektif untuk menyebarkan kampanye

politik dan program pemerintah untuk mendukung Golkar.

21 A. Moertopo, The Ecceleration and Modernization of 25 Years Development, Jakarta: CSIS, 1973.

buruh independen, dan sebaliknya memasukkan buruh ke dalam serikat buruh tunggal yang dikontrol negara, SPSI22. Untuk mencegah buruh terlibat secara aktif di dalam aksi-aksi politik di luar jaringan politik yang

dikontrol negara, beberapa peraturan dibuat yang ujungnya membatasi buruh meluaskan hak-hak politik mereka seperti pemogokan, unjuk rasa, dan protes-protes terbuka lainnya yang menentang perusahaan di mana mereka bekerja23

Di wilayah pedesaan, artikulasi dan kepentingan politik secara hati-

hati dikelola dalam konteks jaringan administratif, struktur komando

militer, dan organisasi-organisasi sosial yang hadir di tingkat desa.24

Lembaga-lembaga Desa seperti Lembaga Masyarakat Desa (LMD), Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), dan baik Rukun Tetangga ( RT) maupun Rukun Kampung (RW), yang diharapkan mengakomodasi dan mangartikulasi kepentingan masyarakat dan menentukan proses pembuatan keputusan dari bawah ke atas (bottom-up) di tingkat desa, dalam praktiknya ternyata dikontrol pegawai negara, yakni pengawasan kepala desa juga terdapat pengawasan militer di tingkat desa, yaitu Badan Pembina Desa (Babinsa), yang memiliki tugas untuk mengawasi dan memberikan arahan dalam kaitannya dengan kegiatan-kegiatan desa, termasuk soal politik. Lebih dari itu, jaringan desa ini di bawah pengawasan lembaga birokrasi, Kecamatan, Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika), yang terdiri dari Camat, Koramil dan Kosek ( Komando Sektor). Jaringan

administratif dan militer ini, tidak diragukan lagi, telah memungkinkan

negara untuk mempertahankan stabilitas dan kontrol politik ke dalam tingkat masyarakat yang paling rendah. Meskipun, pada saat bersamaan, ini juga menjadi salah satu kendala bagi masyarakat desa untuk membangun kemandirian politik mereka sendiri melalui keterlibatan yang bebas di dalam lembaga-lembaga politik yang ada.

Sebagai tambahan, sudah rahasia umum bahwa organisasi-organisasi sosial pedesaan yang diharapkan untuk mengakomodasi kegiatan- kegiatan nonpolitik di masyarakat pedesaan sangat mudah dimanipulasi

22 Mody N., Indonesia Under Soeharto, New Delhi: Sterling Publisher, 1987.

23 H. Goderbauer, “New Order Industrial Relations: Managing The Workers” Inside Indonesia” 1987, hal.

untuk tujuan-tujuan politis. Organisasi-organisasi semacam ini seperti Karang Taruna, Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa (Kelompencapir) memainkan peranan yang penting dalam memobilisasi dukungan politik dan membentuk opini politik di seluruh desa. Mereka digunankan untuk mengkader orang- orang bagi kepemimpinag politik di masyarakat pedesaan dan untuk

menginformasikan pendidikan politik bagi masyarakat pedesaan.

Pada beberapa tahun terakhir ini, terdapat beberapa aktivitas dari kalangan LSM bekerja sama dengan masyarakat desa dalam kegiatan- kegiatan pembangunan seperti perawatan anak, perbaikan pertanian, keluarga berencana, penyebaran teknologi tepat guna, koperasi, dan program-program swadaya ekonomi. Untuk mencegah kalangan LSM ini terlibat di dalam kegiatan-kegiatan politik pedesaan, negara secara hati- hati memberikan izin terhadap kalangan LSM tersebut di masyarakat pedesaan. Berdasarkan izin harus didapat dari Kementerian Dalam Negeri dan instansi yang terkait sebelum mereka dapat beroperasi di masyarakat pedesaan, dan sebagai syaratnya, mereka selalu di bawah pengawasan pemerintah selama kegiatan mereka di sana.

Kebijakan Orde Baru terhadap lingkungan publik yang bebas dapat

dilihat sebagai restriktif (membatasi), meskipun dibandingkan dengan

rezim terdahulu di bawah Soekarno terdapat perbaikan-perbaikan yang penting. Beberapa diskursus publik yang kritis berkaitan dengan soal- soal politik, ekonomi dan sosial-budaya secara nyata dibatasi, dan suara-

suara yang bersifat oposisi hanya terdengar di antara sejumlah kecil elite

intelektual dan aktivis politik, termasuk mahasiswa. Perdebatan yang berkaitan dengan kebijakan publik secara umum jarang, dan kalaupun ada, perdebatan tersebut selau di bawah bayang-bayang pengawasan dan sensor negara. Dalam kaitan ini, negara secara konsisten percaya bahwa debat-debat publik harus dibatasi untuk mempertahankan tertib politik dan kestabilan.

Dengan demikian, benar bahwa terdapat perbaikan dalam lingkungan publik, namun terlalu awal untuk mengharapkan perubahan yang berarti dalam pemberdayaan civil society. Untuk satu hal, tidak hanya perubahan- perubahan tersebut semu secara alamiah, tetapi negara juga secara jauh menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dibicarakan dalam media massa, kaum intelektual, dan pertemuan publik. Banyak peraturan yang

membatasi lingkungan masyarakat tidak dicabut, mes kipun banyak kecaman dari para pembela hak-hak asasi. Ini meliputi sensor terhadap berbagai penerbitan yang dianggap melawan kebijakan negara atau menganggu ketertiban dan ketenangan sosial dan politik.

Revitalisasi Civil Society sebagai Prakondisi Demokratisasi

Dalam dokumen DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY pdf (Halaman 137-146)