• Tidak ada hasil yang ditemukan

Problem dan Prospek Demokratisasi di Indonesia*

Dalam dokumen DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY pdf (Halaman 70-73)

• Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam Monday Series Seminar, East West Center’s Institute of Culture and Communication, Honolulu-Hawaii, 27 April 1992.

1 Satu dari pernyataan politik yang paling akhir yang berkaitan dengan perlunya

reformasi politik datang dari Menteri Dalam Negeri, Jenderal (Pum.) Rudini yang secara

terbuka mengkritik “pendekatan keamanan” yang selama ini menjadi simbol politik Orde Baru. Pernyataannya dikutip ketika ia mengatakan bahwa “pemerintah tidak dapat lebih lama lagi menerapkan model pendekatan keamanan, yang meletakan doktrin stabilitas di atas semua persoalan.” Pendekatan ini, menurutnya, akan menghasilkan hambatan terhadap dinamika politik masyarakat, karena masyarakat yang ingin menjalankan kewajiban dan hak-hak politik mereka akan sewenang-wenang dituduh sebagai sumber dari instabilitas politik. Lihat Editor, No.14, 21 Desember 1991, hal. 12-13. Meskipun persoalan ini bukan hal yang baru dari sudut kritik terhadap rezim, namun tetap saja ini

menimbulkan kontroversi di antara para elite, karena persoalan ini menyentuh urat syaraf

yang dalam dari sistem politik yang sedang berjalan.

2 Saya di sini tidak akan membicarakan debat mengenai jenis demokrasi seperti apa yang kiranya sesuai untuk Indonesia. Cukup saja dikatakan bahwa prmlkiran Demokrasi Pancasila yang dipertahankan oleh rezim masihlah bisa diperdebatkan. Kritik yang tajam telah dibuat untuk memperlihatkan lemahnya lembaga-lembaga politik yang ada seperti Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR/DPRD) dan

jutnya, beberapa isu politik penting yang biasanya dikategorikan sebagai

“sensitif ” seperti suksesi kepresidenan telah dibicarakan secara luas di

masyarakat. Kenyataannya, isu suksesi telah mendominasi diskursus politik di negeri ini, sekurang-kurangnya, dalam lima tahun terakhir ini.3

Di tingkat masyarakat, kecenderungan atas kebangkitan demokrasi muncul ke permukaan setelah lama mereda sejak awal tahun 1970-an. Dengan demikian, pendirian Forum Demokrasi pada tanggal 3 April 1991, misalnya, diharapkan banyak orang, baik aktivis politik maupun kalangan analis sebagai jalan kembalinya kalangan intelektual ke dalam tahap dan

fungsi politik berupa katalis dari gerakan demokrasi di masa mendatang.4

Demikian juga, menjamurnya berbagai kelompok studi yang dibentuk oleh mahasiswa di berbagai universitas terkemuka di Indonesia, telah

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam menjalankan fungsi sebagai saluran aspirasi politik masyarakat dan cara efektif mengontrol lembaga eksekutif. Ada banyak berbagai tuntutan untuk perubahan yang fundamental dalam aturan main politik saat ini

seperti sistem kepartaian, prosedur pemilihan, dan struktur lembaga perwakilan, baik secara regional maupun nasional.

3 Isu ini semakin nyata ketika Presiden Soeharto telah berulang-ulang menyatakan keinginannya untuk berhenti (pensiun) dari jabatannya. Namun tidak jelas apakah ini dapat diterjemahkan secara tersirat. Kenyataannya dia tetap tidak memiliki saingan dan kelihatannya tidak ada indikasi yang jelas bahwa dia telah mempersiapkan penggantinya. Berlanjutnya Soeharto sebagai presiden untuk masa mendatang karenanya tidak dipertimbangkan oleh banyak orang sebagai suatu isu. Namun lebih pada kebutuhan akan suatu konsensus baru dan peraturan yang lebih transparan mengenai soal kepresidenan yang sejauh ini sangat kabur. Di sudut yang lain, juga terdapat suatu pandangan yang kuat bahwa konsensus dan peraturan seperti itu tidak diperlukan, karena Undang-Undang Dasar 1945 sudah jelas mengenai soal kepresidenan. Tetapi banyak ahli dalam soal hukum perundang-undangan menyatakan bahwa dua kali masa jabatan kepresidenan adalah yang paling cocok buat Indonesia.

4 Forum Demokrasi (Fordem) adalah kelompok yang terorganisir secara longgar yang didirikan oleh beberapa intelektual terkemuka yang memiliki kepedulian terhadap demokratisasi di Indonesia. Dipimpin oleh seorang intelek tual Islam yang sangat terkemuka saat ini, Abdurrahman Wahid, telah menarik banyak kalangan intelektual dari berbagai latar belakang yang berbeda. Meskipun tetap dipertahankan posisi sebagai organisasi yang

longgar, namun Fordem terlibat secara aktif dalam praktik dan diskursus politik melalui

pernyataan -pernyataan mereka tentang demokrasi di Indonesia. Fordem menerima sedikit tekanan dari negara, meskipun terdapat beberapa “kejadian” yang menunjukkan bahwa negara tidak akan mengizinkan Fordem berkembang sebagai suatu gerakan politik yang kuat. Lihat Kompas, 6 Maret 1992, hal 1; dan Tempo, 24 April 1992; C. Brown, “Political Development 1990-1991”, dalam H. Hill, (ed.)., Indonesia Assessment. Canberra: ANU,1991, hal. 38-52.

mewakili perjuangan mahasiswa dalam mempertahan kan peran tradisional mereka sebagai suatu kekuatan sosial-politik utama di dalam masyarakat.5

Berbagai aktivitas dari kelompok-kelompok pembela (advocacy) hak- hak asasi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kepedulian utamanya berkaitan dengan program pembangunan berbasis masyarakat, dipandang oleh beberapa pengamat politik sebagai isyarat lain yang menjanjikan masa depan gerakan demokrasi di Indonesia.6 Meskipun

terdapat perkembangan yang menarik tersebut, kita tidak dapat langsung melompat ke suatu kesimpulan bahwa kecenderungan ini akan secara otomatis mengarah ke pemerintahan yang sepenuhnya demokratis dalam waktu dekat ini. Justru sebaliknya, masih terdapat beberapa alasan untuk

mempertanyakan fenomena politik di atas telah merefleksikan kenyataan

politik yang karena masih ada persoalan-persoalan mendasar yang berkaitan dengan demokratisasi di negeri ini yang belum terpecahkan. Gambaran yang menjanjikan di atas, bahkan dapat mengecoh mereka yang tidak paham dengan kerumitan situasi politik Orde Baru yang tidak selalu dapat diuraikan melalui pendekatan -pendekatan politik konvensional dalam ilmu politik.

Hemat saya, untuk memahami proses-proses politik kontemporer di negeri ini, termasuk gerakan demokrasi di dalamnya, seseorang tidak 5 Beberapa kelompok studi di berbagai universitas dibentuk setelah adanya “Normalisasi Kehidupan Kampus” (NKK) yang dicanangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengakhiri aktivitas politik mahasiswa pada 1978. Kelompok studi tersebut, yang selalu kritis terhadap pemerintah, telah dikontrol dan diawasi secara ketat karena mereka dilihat berpotensi untuk menciptakan instabilitas politik. Baru-barn ini, beberapa mahasiswa dari kelompok studi tersebut telah dipenjarakan dengan tuduhan

terlibat dalam aktivitas-aktivitas subversif.

6 Kelompok-kelompok pembela hak-hak asasi kurang ditekan, walaupun tidak berarti mereka terbebas dari pengawasan negara. Laporan-laporan dari kelompok- kelompok ini telah memperlihatkan bahwa para pengacara mereka menghadapi kesulitan dalam menemui klien mereka ketika kliennya di bawah tanggungjawab pemerintah. Dana yang terbatas juga merupakan suatu masalah utama bagi kelompok-kelompok seperti ini. Sementara itu, kalangan LSM kebanyakan bergantung kepada subsidi dan kontrak pemerintah, atau dukungan donor luar negeri seperti dari USAID, Bank Dunia, NOVIB, CIDA, dan lainnya. Meskipun kerja mereka sangat penting di dalam mendorong pembangunan dari bawah, tetapi banyak dari mereka juga memperoleh kritik karena menjadi kurang peka terhadap kebutuhan rakyat bawah dan cenderung bertingkah sebagai agen-agen pembangunan birokrasi. Kontrol terhadap kalangan LSM berada di bawah Kementerian Dalam Negeri, yang secara nyata banyak melakukan tekanan terhadap mereka melalui berbagai peraturan dan kebijakan.

demokrasi di Indonesia, adalah penting untuk menekankan peranan negara dalamnya. Ini benar, karena negara di bawah Orde Baru telah menjadi dominan dan intervensionis di dalam hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat.8 Jika demokratisasi memerlukan perkembangan suatu civil society

yang kuat dan mandiri, dan kemudian ini diikuti bahwa pemahaman akan dialektika yang berkaitan antara negara dan masyarakat adalah penting.9

Dengan demikian masalah-masalah politik di Indonesia dewasa ini akan dapat dipahami secara lebih baik dengan melampaui pendekatan kelembagaan yang umum. Dalam tulisan ini saya akan berusaha untuk

menguji proses demokratisasi dengan memfokuskan pada hubungan

dialektika antara negara dan masyarakat, peran kelas menengah dan gerakanintelektual, dan akhirnya dinamika politik arus bawah (grass roots)

di bawah Orde Baru. Akan diuraikan bahwa pelembagaan dan praktik- praktik politik yang ada tidak dapat diperlakukan sebagai suatu entitas tersendiri yang dapat memadai menjelaskan proses-proses politik yang ada, dan sebenarnya, kecenderungan demokrasi di masa depan. Lebih

baik, ini secara terus-menerus dikaitkan dengan faktor-faktor yang

memungkinkan kita berusaha mengatasi lintasan politik Indonesia melampauipenampakannya.

Dalam dokumen DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY pdf (Halaman 70-73)