• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perspektif Teoretis Model Negara Otoriter-Birokratik

Dalam dokumen DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY pdf (Halaman 31-41)

Gejala tumbuhnya negara OB adalah sebagai gejala sistem politik sebagai salah satu respon terhadap apa yang disebut sebagai promo

deepening (perluasan) dari industrialisasi dan pembangunan ekonomi di

negara-negara kapitalis pinggiran. Menurut O’Donnell,9 negara tampil sebagai sebuah kekuatan politik yang tidak hanya “relatif mandiri” berhadapan dengan faksi-faksi elite pendukungnya10 serta masyarakat

sipil (civil society), tetapi ia telah menjadi kekuatan dominan yang

6 G. O’Donnell, dapat dianggap sebagai salah satu pencetus awal model OB ini lewat studinya yang diterbitkan oleh UC Berkeley, Modernization and Bureucratic Authoritarianism: Studies in South American Politics. Berkeley, CA: IIS UC Berkeley, 1973. Tulisan O’Donnell

yang lain mengenai negara OB misalnya “Corporatism and the Question of the State.”

Dalam J. Malloy, (ed.), Authoritarianism and Corporatism in Latin America. Pittsburgh:

University of Pittsburgh Press, 1977; “Tensions in the Bureucratic Authoritarian State and the Question of Democracy.” Dalam D. Collier, The New Authoritarianism in Latin America Princeton, NJ: Princeton University Press, 1979; dan sebuah karya bersamaP. Schmitter dan L. Whitehead. Transition from Authoritarian Rule: Prospects for Democracy. Vol 3. Baltimore: Johns Hopkins Press, 1986.

7 D. Collier, “Overview on the Bureaucratic Authoritarian Model.” Dalam D.

Collier, (ed.), The New Authoritarian, op.cit. 8 Ibid.

9 G. O’Donnell, Modernization, op.cit., and Corporatism, op.cit.

10 Konsep kemandirian relatif (relative autonomy) ini dipopulerkan oleh N.Poulantzas.

Lihat N. Poulantzas, Political Power, op.cit. Untuk kritik terhadap konsep ini, lihat misalnya F. Block, Revising State Theory: Essays in Politics and Postindustrialism. Philadelphia: Temple University Press, 1987. Pandangan Block mirip dengan yang dimiliki O’Donnell, yaitu bahwa negara mengatasi masyarakat sipil.

mampu mengatasi keduanya. Ini disebabkan antara lain karena OB memang diciptakan terutama untuk melakukan pengawasan yang kuat terhadap masyarakat sipil (civil society), terutama dalam upaya mencegah

massa rakyat di bawah dari keterlibatan politik yang terlampau aktif agar

proses akselerasi industrialisasi tidak terganggu. Negara, dengan de mikian, tumbuh menjadi sebuah kekuatan politik raksasa yang terpadu, dinamis,

menyebar, represif, birokratis, dan teknokratis.

Negara OB muncul sebagai kekuatan yang terpadu karena ia melibatkan diri hampir di segala bidang kegiatan. Keterlibatan negara tidak

hanya di dalam politik formal, tetapi merasuk sampai kepada kegiatan-

kegiatan ekonomi, sosial-budaya (termasuk ideologi). Oleh sebab itu, negara juga jauh lebih dinamis ketimbang pertumbuhan civil society, dan pengaruhnya menyebar sampai ke wilayah-wilayah yang paling kecil seperti rumah tangga dan bahkan individu-individu. Hal ini selanjutnya berkaitan

erat dengan sifat represif negara OB, karena untuk mencegah keterlibatan

massa rakyat, ia perlu melakukan peng awasan yang ketat, termasuk dengan

menggunakan cara-cara kekerasan. Pada jenjang administratif, negara OB

amat tergantung pada struktur birokratik yang menjamin kemampuan negara untuk menanggulangi akibat-akibat yang ditimbulkan oleh proses

diferensiasi sebagai salah satu hasil modernisasi. Untuk itu, negara juga

tergantung pada ke mampuan-kemampuan teknokratik yang diperlukan oleh logika in dustrialisasi dan modernisasi. Seperti diketahui, yang terakhir ini memerlukan tumbuhnya suatu kelompok orang yang ahli dalam aplikasi

teknik-teknik efisiensi sebagai penjabaran dari rasionalitas formal. 11 Sifat

teknokratik ini pun ada kaitannya dengan hubungan yang kuat antara negara OB dengan kapital dan pembagian kerja internasional.

Berikutnya, munculnya negara OB dapat dilihat dari hubungan dialektis antara tiga aspek penting dalam proses modernisasi di wilayah- wilayah kapitalis pinggiran. Aspek-aspek tersebut mencakup indus-

trialisasi, pengaktifan massa di bawah, dan tumbuhnya peranan “kerja

teknokratik” dalam birokrasi-birokrasi publik maupun swasta.12 O’Donnell

misalnya mengatakan bahwa negara OB muncul pada suatu lokasi historis 11 Mengenai peran rasionalitas formal dalam proses modernisasi ini, lihat dalam

karya-karya Max Weber seperti Economy and Society, New York: Bedminter Press, 1968. 12 Ibid.

tertentu, yaitu pada fase industrialisasi, terutama setelah terjadi kejenuhan

pertumbuhan dan ekspansi ekonomi horizontal yang pernah dicapai lewat

strategi industri substitusi impor (ISI). Pada fase inilah kemudian negara

terpaksa beralih strategi untuk mengupayakan suatu integrasi vertikal melalui pendekatan industrialisasi yang berorientasi ekspor (OEI). Situasi peralihan inilah yang disebut O’Donnell sebagai tahap perluasan ( deepening)

industrialisasi. Pada tahap ini produk-produk domestik manufaktur barang-

barang modal dan perantara dicoba ditingkatkan dan untuk keperluan tersebut, maka kebijakan -kebijakan ekonomi ortodoks diperlukan.

Untuk menunjang proses perluasan ini maka diperlukan beberapa hal. Di antara yang penting adalah peningkatan keahlian dan kemampuan teknologi, bantuan modal yang lebih besar, serta adanya pasar di dalam maupun di luar negeri yang cukup besar untuk menampung produksi. Dalam kaitan inilah keterlibatan perusahaan-perusahaan besar asing (MNC) serta para investor dan dana asing menjadi penting sekali artinya bagi proses deepening ini. Dan ini pada gilirannya akan membawa dampak besar terhadap kebijakan -kebijakan ekonomi dan politik domestik. Ortodoksi dalam kebijakan ekonomi menjadi penting dalam rangka “menghadapi krisis ekonomi dan untuk menciptakan stabilitas ekonomi jangka panjang yang sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang acap kali ditentukan sendiri oleh perusahaan-perusahaan multinasional dan badan- badan pemberi dana internasional.”13

Walaupun demikian, perlu diketahui bahwa berkembangnya akti vitas politik massa tidak berkurang dalam tahap perluasan industrialisasi ini. Salah satu sebab dari berlanjutnya aktivitas politik massa tersebut adalah bahwa kecenderungan populis biasanya di dorong oleh negara sebelum proses deepening itu dimulai.14 Akibatnya aktivitas massa itu bisa menjadi

semacam ancaman terhadap ortodoksi kebijakan-kebijakan ekonomi yang akan dilancarkan. Hasilnya adalah tumbuhnya “jurang antara kebutuhan dan kemampuan, berkembangnya pemogokan-pemogokan, kemacetan- kemacetan dalam partai politik, dan krisis-krisis ekonomi serta politik

14 Karena untuk mendorong tumbuhnya industri pengganti barang impor diperlukan antara lain stimulasi politik berupa nasionalisme ekonomi. Ini pada gilirannya memberi kesempatan bagi populisme untuk berkembang.

yang berat.”15 Di situlah akhirnya negara OB muncul. Negara ini memiliki

kekhawatiran yang akut terhadap aktivitas politik massa rakyat, dan karenanya ia selalu mencoba memperlemah dan membungkamnya. Hal ini dilakukan dengan menggunakan berbagai cara, termasuk di antaranya adalah penggunaan kekerasan dan mekanisme korporatisasi negara. Bagi O’Donnell, pentingnya korpo-ratisasi negara terutama terletak pada adanya kontradiksi antara negara dan sektor massa rakyat dalam sistem negara OB tersebut.16

Proses industrialisasi secara logis diiringi pula oleh proses diferen- siasi peran-peran dan fungsi-fungsi dalam masyarakat. Proses tersebut

membawa akibat semakin besarnya peran yang diemban oleh para teknokrat dalam proses sosial. Mereka semakin diperlukan tenaga dan keahliannya dalam sektor-sektor birokrasi umum (baik sipil maupun militer) dan swasta. Ciri khas kaum teknokrat adalah bahwa mereka ini tidak tertarik dengan aktivitas politik dan umumnya kurang perhatian

terhadap keaktifan politik massa rakyat, yang bagi mereka hanya men jadi

“kendala-kendala bagi pertumbuhan ekonomi.” Ideologi kaum teknokrat

adalah profesionalisme yang, menurut Alfred Stepan,17 lebih condong

mendukung intervensi militer dalam kegiatan-kegiatan politik, ekonomi, dan sosial. Para teknokrat tersebut dengan demikian amat mudah menjalin suatu hubungan koalisi dengan militer dan atau ke lompok borjuis nasional yang pada akhirnya merupakan tulang pung gung sistem negara OB.

Negara OB secara alamiah, dengan demikian, amat peka terhadap krisis-krisis internal yang diakibatkan oleh ketidakstabilan politik dan ekonomi. Negara-negara seperti Brazil pada 1964, Argentina pada 1966, dan 1976, Chile setelah Allende, dan Uruguay pada 1973, kesemuanya merupakan kasus-kasus yang menunjukkan bahwa krisis-krisis ekonomi dan politik dapat mengantarkan militer ke puncak kekuasaan. Meskipun

demikian, fenomena negara OB tidak berarti homogen. Sebaliknya, negara-

negara OB berbeda-beda menurut waktu dan tempatnya. Ke kuatan dan

15 O’Donnell, Corporatism, op.cit. 16 Ibid.

17 A. Stepan, The State and Society Peru in Comparative Perspective. Princeton: Princeton University Press, 1978.

kelemahan suatu negara OB juga tergantung pada ketegangan-ketegangan

yang sifatnya internal yang tumbuh sebagai akibat dari kondisi-kondisi

politik dan ekonomi yang diciptakan untuk mem beri keleluasaan investasi- investasi oleh modal dari dalam negeri dan asing.

Dalam hubungan ini, peran yang dimainkan oleh kelompok borjuis nasional sebagai penengah antara negara dan investor asing menjadi penting. Kelompok tersebut mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam memelihara stabilitas ekonomi dan politik dalam negara OB. Kenyataan ini muncul karena hanya kelompok inilah yang mampu bermain dan mengatasi

konflik kepentingan antara negara dan pemilik kapital internasional. Dalam konflik semacam ini, negara mempunyai dua kepentingan: di suatu pihak ia

memerlukan dukungan modal dari kapital internasional untuk memelihara kesinambungan pertumbuhan ,dalam jangka panjang, tetapi di pihak lain

ia senantiasa menghadapi keharusan untuk memperkecil pengaruh modal asing agar stabilitas dalam masyarakat tetap terjaga seiring dengan proses pertumbuhan kapitalisme domestik.

Tak diragukan lagi bahwa kelompok borjuis nasional ini memiliki kekuatan tawar menawar yang cukup besar dalam sementara negara OB. Kelompok ini, umpamanya, sering berhasil mencari peluang-peluang kekuasaan dan lewat kekuasaan tersebut ia dapat melakukan tawar-menawar dengan pihak kapital internasional. Bahkan, denganbantuannegara, pada suatu waktu ia mampu mengalahkan kapital internasional dalam beberapa bidang eksploitasi bisnis yang menguntungkan. Negara dalam kasus seperti ini merasa berkepentingan untuk membantu kelompok borjuis nasional berhubung ia juga harus memelihara integrasi nasional dan stabilitas di dalam negeri. Menurut O’Donnel,18 hal ini dimungkinkan karena:

Negara memiliki produk-produk dan jasa-jasa strategis yang sama dengan mereka (kelompok borjuis nasional, penulis) dan yang hanya bisa dieksploitasi oleh mereka berdua; wilayah-wilayah di mana kapital internasional hanya bisa diikutsertakan bila bekerja sama dengan partner nasional, baik umum maupun swasta; bermacam-macam “kontrol” terhadap penanaman modal asing dan bentuk-bentuk asosiasi di mana kapital internasional harus menerimanya karena kontrol-kontrol tersebut justru akan memberikan jaminan terhadap risiko-risiko politik yang (bila tidak) mungkin bisa diciptakan oleh sekutu- sekutunya itu.

Jelaslah bahwa di dalam perspektif teoretis negara OB ini, negara

bukan hanya instrumen dari kelas yang dominan seperti kelompok nasional walaupun mungkin yang terakhir ini memiliki posisi tawar -menawar yang cukup kuat. Begitu juga negara tidak selalu tunduk kepada kemauan kapital

internasional. Negara OB tidak hanya mandiri secara relatif terhadap

masyarakat sipil, tetapi ia malahan mengatasinya. Hubungan antara keduanya cenderung seperti hubungan antara penjajah dengan si terjajah di mana yang pertama terus-menerus meningkatkan pengawasannya

secara efektif. Lebih khusus lagi, negara menyingkirkan sektor massa dari

partisipasi. Tetapi pada saat yang sama ia pun mampu memberi beberapa peluang kepada kelompok borjuis nasional untuk mengembangkan kegiatannya demi kesinambungan per tumbuhan ekonomi dan ia memberi keleluasaan terhadap para penanam modal asing. Singkat kata, posisi negara adalah amat kuat, walaupun tidak berarti ia tak pernah diganggu

oleh konflik-konflik kepentingan antara kelompok borjuis nasional, modal

asing, dan sektor massa.

Di dalam upaya mengorganisasikan konflik-konflik kepentingan

tersebut, maka penggunaan jaringan-jaringan korporatis merupakan hal yang sentral dalam negara OB. Terutama dalam upaya untuk meng- konsolidasi kekuatan yang mampu menyingkirkan pengaruh massa, maka apa yang disebut sebagai mekanisme korporatisasi negara19 ber-

peran penting. Korporatisasi negara adalah suatu sistem penyingkiran sektor massa lewat pengawasan-pengawasan, depolitisasi, serta tekanan- tekanan yang memungkinkan terciptanya stabilitas jangka pendek dan kemungkinan stabilitas jangka panjang yang bisa diperkirakan dalam hubungan-hubungan sosial yang diperlukan oleh pola-pola baru untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Ada pun mekanisme pengawasan dan pencegahan yang biasanya diakui dalam korporasitasi negara ter sebut antara lain, adalah:

Represi terhadap pemimpin-pemimpin massa yang muncul “dari bawah”; kooptasi terhadap mereka yang bagaimanapun juga perlu “disaring”;

19 Korporatisasi negara dibedakan dengan korporatisasi masyarakat, di mana yang

terakhir ini lebih bersifat sukarela sehubungan dengan proses-proses diferensiasi dalam masyarakat karena semakin canggihnya peran-peran dan fungsi-fungsi dalam masyarakat.

kemampuan untuk membubarkan dan menekan organisasi-organisasi yang mudah dipengaruhi oleh para pemimpin “pembangkang”; dan juga kemampuan mengatasi reaksi-reaksi yang sudah dapat diperkirakan dengan cara memberikan hukuman-hukuman berat bagi siapa saja yang mencoba melanggar keharusan-keharusan untuk tunduk.20

Lebih jauh, jaringan korporatisasi negara tersebut tidak hanya di- lancarkan terbatas terhadap sektor massa, namun tak terkecuali juga terhadap kelompok elite. Ini menjelaskan mengapa, walaupun kelom pok ini telah memiliki kelebihan posisi tawar-menawar, namun pada instansi terakhir ia masih tetap harus tunduk kepada dominasi kekuatan negara. Korporasi negara terhadap kelompok elite borjuasi nasional ini dilakukan demi menjaga mereka agar tetap dalam posisi tergantung

Kepada proteksi negara, misalnya dalam masalah dukungan finansial

dan politik. Itulah sebabnya di berbagai negara OB, kepatuhan baik kelas bawah maupun kelompok elite tetap sama-sama dipelihara dan dipertahankan sekuat mungkin oleh negara.

Di dalam kerangka korporasi demikian, dapatlah diperkirakan bahwa peranan militer, birokrasi, dan para teknokrat amat menonjol. Kelompok militer jelas akan mampu memberikan jaminan keamanan bagi negara karena monopolinya terhadap alat-alat pemaksa, sementara birokrasi yang

meluas akan menopang kemampuan administratif dan organisatoris bagi

kepentingan pengawasan oleh negara. Sementara itu parateknokrat siap memberikan jasa-jasa keahlian mereka dalam bidang-bidang teknologi dan manajemen yang amat diperlukan bukan saja dalam mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dalam rangka pengendalian dan pengawasan proses-proses sosial. Tak pelak lagi, munculnya aliansi segi tiga antara militer, birokrasi, dan teknokrat menjadi salah satu ciri yang kurang-lebih merata di dalam negara OB, ciri lain yang telah disebutkan di muka yaitu dukungan dari borjuasi nasional dan kapital internasional.

Walaupun demikian, kemungkinan adanya krisis dalam negara OB tetap ada. Hal ini disebabkan antara lain oleh adanya kontradiksi yang

menyatu dalam aliansi segi tiga tadi, di samping konflik yang terpendam

antara negara dan sektor massa di bawah. Menurut pendapat O’Donnell,

ketegangan-ketegangan bisa timbul di dalam negara OB yang secara potensial bisa membawanya ke arah krisis. Dia menggarisbawahi kasus ketegangan antara militer dan kelompok elite borjuis nasional, padahal keduanya merupakan basis kelas dari sebuah negara OB. Misalnya saja, ketegangan tersebut bisa timbul karena kecenderungan militer yang

amat berkonsentrasi terhadap integrasi nasional, sementara faksi elite

borjuis lebih menyukai denasionalisasi civil society yang terjadi karena proses akumulasi kapital yang terutama dilakukan oleh partnernya, yaitu kapitalinternasional. Hasil dari ketegangan tersebut adalah kemungkinan meluasnya aktivitas negara serta aparaturnya, sebagai salah satu cara untuk mengatasi pengaruh-pengaruh penetrasi kapital internasional tersebut. Namun demikian, pihak yang terakhir ini pun secara logis tak akan tinggal diam. Ia akan berusaha dengan bermacam-macam cara memaksakan kehendaknya, misalnya menciptakan persyaratan-persyaratan tertentu sebelum menanamkan modalnya. Dengan demikian, ambivalensi elemen- elemen nasionalis dalam kelompok militer dan elite nasional berhadapan dengan kapital internasional akan terus-menerus menciptakan ketegangan di dalam negara OB.

Itulah sebabnya, maka kontradiksi dan ketegangan internal membuat negara OB amat peka terhadap kemungkinan erosi yang diaki batkan oleh

faksi-faksi, kelas pendukungnya. Dan ini menjelaskan pula mengapa dalam

negara OB ada kecenderungan kuat terjadinya aliansi militer-teknokrat- birokrat yang sengaja dibuat untuk melakukan koor dinasi sistem kelembagaan dan menciptakan susunan lembaga-lembaga baru yang diperkuat dengan kemampuan pengambilan keputusan. Lembaga-lembaga baru ini biasanya dipisahkan dari induknya yang semula telah dianggap terlalu dipengaruhi oleh pihak-pihak luar. Upaya- upaya yang cenderung

“Sisyphean”21 macam ini bisa diperkirakan kerap kali gagal dalam praktik,

dan karenanya kontradiksi dan ketegangan internal dalam negara makin mendorong negara OB menjadi sistem yang monolitik, tetapi amat rawan.

21 Sebuah ungkapan yang diambil dari salah satu mitologi Yunani (Sisyphus) yang menggambarkan sebuah upaya yang sia-sia. Dalam negara OB, upaya untuk menciptakan lembaga-lembaga baru yang tidak akan dicemari oleh pengaruh-pengaruh dari luar, seperti kapital asing, senantiasa tidak berhasil dengan baik. Lihat G. O’Donnell, Tensions, op.cit., hal. 311.

Dilihat dari kaca mata massa di bawah, maka tumbuhnya negara OB jelas merupakan kekalahan yang berat baginya. Dengan berbagai mekanisme penyingkiran yang sistematis, negara, sampai pada tingkat tertentu, memang berhasil menegakkan keteraturan (order) dalam masyarakat sipil. Ini memang dikehendaki agar supaya proses aku mulasi, kapital tetap lestari. Tetapi dalam praktik, di beberapa negara OB sektor massa di bawah ternyata tidak disingkirkan secara total. Ada beberapa kasus di mana negara mengizinkan berdirinya partai politik yang mendapat dukungan luas dari masyarakat, tetapi yang tetap dekat dengan negara, PRI di Meksiko, misalnya merupakan partai politik yang ditopang oleh negara dalam rangka membentuk kuasi perwakilan bagi sektor massa di bawah. PRI sebagai partai yang berkuasa di sini dapat dianggap sebagai partai yang didukung negara yang digunakan untuk memonopoli dukungan masyarakat dari bawah.

Karena penyempitan partisipasi dari bawah dalam kebanyakan negara OB, maka pada umumnya negara tersebut sering dilanda oleh krisis legitimasi dari rakyat. Krisis legitimasi ini umumnya berkisar pada isu-isu sentral seperti mengenai hak asasi manusia, nasionalisme eko nomi, dan tuntutan terhadap keadilan yang lebih bermakna. Jadi,

kecemasan yang dirasakan oleh sebuah sistem dominasi yang secara ber- samaan dernikian menekan tetapi tidak aman itu berasal dari kekhawatiran bahwa lawan-lawan (yang walaupun tampaknya diam, tetapi toh ada) pada suatu waktu bersatu dalam isu-isu tersebut dan berubah menjadi sebuah ledakan dahsyat, yang bukan saja akan menghancurkan negara OB tetapi juga sistem sosial yang telah membantu menegakkannya.... Kegagalan-kegagalan usaha untuk menciptakan kembali suatu bangsa yang harmonis dan terpadu, kelanggengan civil society yang diam, dan keganasan dominasi yang ditopang oleh negara OB, kesemuanya adalah basis ketidakamanan dominasi ini.22

Dampak dari ancaman yang muncul dari krisis legitimasi tersebut antara lain adalah bahwa negara OB makin lama akan makin condong menggantungkan diri pada penggunaan kekerasan dan pemaksaan untuk mempertahankan dominasinya. Dengan demikian, secara langsung maupun tidak, isu yang berkaitan dengan demokratisasi akan selalu menjadi tema sentral yang senantiasa menghantui negara OB sebagai

sebuah tuntutan yang sah dari civil society. Dalam kata-kata O’Donnell, maka masalah demokratisasi bukan saja merupakan “titik kelemahan sistem dominasi ini,” namun lebih-lebih lagi, ia “berisi sebuah dinamika yang mungkin dapat menjadi unsur pemersatu dalam suatu upaya jangka panjang untuk mendirikan sebuah masyarakat yang lebih sesuai dengan

nilai-nilai kemanusiaan yang fundamental.”23

Secara ringkas, perspektif teori negara OB ini memandang munculnya

negara yang dominan di wilayah-wilayah pinggiran bersamaan dengan proses industrialisasi dan ekspansi kapitalis dari pusat. Karena itulah, negara OB dapat disebut sebagai negara kapitalis dalam pengertian bahwa ia dibangun di atas kerangka ideologi pembangunan kapitalistik. Negara OB muncul setelah terjadinya suatu proses industrialisasi yang berhasil mencapai hasil yang cukup berarti, yang sebenarnya juga merupakan salah satu hasil peran serta sektor massa di bawah. Meskipun demikian setelah strategi industrialisasi yang mengandalkan substitusi impor itu jenuh, maka negara mulai mengubah strategimenjadi industri yang berorientasi ekspor, dalam mana negara yangmengambil kebijakan ekonomi dengan strategi integrasi vertikal. Ini dilakukan agar negara memperoleh dukungan dari modal asing, mampu untukmenciptakan pasaran di dalam dan luar negeri, serta menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Untuk itu, negara menyingkirkan sektor massa rakyat dan melenyapkan aktivitas politik yang pernah dinikmati sebelumnya. Upaya ini dimung- kinkan keberhasilannya dengan penghapusan atau penyempitan saluran dan akses politik, serta pengawasan yang ketat terhadap basis organisatoris

dari keaktifan massa tersebut. Mekanisme seperti korporasi negara

memainkan peranan penting dalam proses yang terakhir ini. Karenanya hubungan dialektis antarnegara kelompok borjuis nasional. Kapital asing, dan sektor massa rakyat, maka mungkin saja negara OB terancam krisis yang muncul dari dalam. Krisis jenis ini biasa muncul karena beberapa sebab: karena kontradiksi dalam kelas dominan pendukung negara OB; karena ketegangan-ketegangan antara negara dan kapital asing; dan karena ketegangan antara negara OB sendiri dengan sektor massa rakyat. Krisis tersebut pada akhirnya akan menampakkan diri dalam berbagai bentuknya, misalnya keresahan- keresahan politik, ekonomi, dan sosial. Tentu saja

terjadinya krisis-krisis itu nanti akan amat tergantung pada kondisi-kondisi

spesifik dari negara itu sendiri, pada seberapa jauh keterlibatan kapital

Dalam dokumen DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY pdf (Halaman 31-41)