• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paradigma Transendental

Dalam dokumen DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY pdf (Halaman 100-105)

Sebelum kita lebih jauh mendiskusikan apa yang telah dan sedang berlangsung di dalam wacana dan praksis politik di Indonesia, kita seyogianya melakukan semacam detour kritis mengenai dasar filosofis kita

dalam rangka membentuk bangunan teoretis dan konstruk analisis yang

adequate (memadai) mengenai kondisi-kondisi sosial dan politik kita. Hal ini amat penting dilakukan, sebab masih terdapat kecende rungan kuat dalam pemahaman epistemologi dan teori-teori ilmu sosial kita untuk hanya bertumpu pada paradigma-paradigma yang oleh Eric Voegelin disebut sebagai stop history model.3Paradigma-paradigma semacam ini, secara historis

muncul sebagai produk dari abad Pencerahan (Enlightenment) dan telah menjadi dasar-dasar epistemologi yang berkecenderungan memandang

proses sejarah secara tertutup dan menafikan perlunya elemen-elemen di

luar rasionalitas, termasuk di sini elemen-elernen transendental sebagai landasan wujud dan keteraturan (the ground of being and order) di dalamnya. Objektivitas dan kepastian empiris jadinya merupakan ukuran satu- satunya bagi setiap upaya pe mahaman gerak kesejarahan yang mengimbas pada cara penyelidikan dan pengkajian ilmiah modern. Metoda-metoda

pencarian ataupun perspektif-perspektif kesejarahan yang melibatkan

elemen-elemen di luar rasionalitas instrumental serta merta dianggap tak relevan. Hal ini pada gilirannya, masih mengikuti Voegelin, telah

menghasilkan suatu ironi di dalam filsafat-filsafat sosial modern, yakni

pada satu sisi, mereka memiliki kegandrungan (drive) amat kuat untuk

3 Lihat E. Voegelin, From Enlightenment to Revolution. Ed. J. Hallowell. Durham: Duke University Press., 1975; Science, Politics and Gnosticism: Two Essays. Washington: Gateway. 1968

mencari dan memahami apa yang tak terpikirkan (the unthought), tetapi di pihak lain ia juga enggan, dan bahkan menolak untuk menjawab beberapa jenis per tanyaan yang dianggap tak terpikirkan (the unthought others).4

Kecenderungan sepihak itulah yang kemudian menjelma dalam bentuk proyek-proyek utopis yang berusaha memberikan harapan baru bagi manusia di dunia sebagai ganti dari harapan dan cita-cita yang ditawarkan oleh paradigma-paradigma transenden yang telah dihilangkannya (overcome). Mereka tampil dalam berbagai manifestasinya ,

seperti cita the end of history Hegel (yang lewat Kojeve telah diapropriasi Fukuyama), gagasan “masyarakat tanpa kelas” Marx, cita “masyarakat rasional” Comte, dan seterusnya, yang hakikatnya berusaha memberikan

alternatif bagi tawaran-tawaran dan gagasan-gagasan yang berasal dari

sumber-sumber transendental, terutama tradisi dan agama. Dalam per- kembangannya sampai saat ini, ketika mereka telah menjadi dasar-dasar sistem epistemologi modern, terutama dalam ilmu sosial, mereka telah menyebabkan kajian-kajian sosial, termasuk politik, berwawasan sangat sepihak (one-sided) dan karenanya gagal untuk melihat sisi pandang lain yang bertentangan dengan proyek-proyek historis mereka. Berbagal kritik tajam terhadap mereka telah muncul, baik dari luar maupun dari dalam, yang pada hakikatnya ingin bergerak lebih jauh dari pandangan monolitik yang dihasilkan oleh anak-anak zaman Pencerahan itu.

Apa yang kini populer dengan faham dan gerakan pascamodernisme,

misalnya, merupakan reaksi keras terhadap bias-bias etnosentris Barat dan kesepihakan yang inheren dalam wacana dan praksis modernisasi sebagai hasil utama proyek Pencerahan.5 Demikian pula, bermunculan-

nya gagasan-gagasan epistemologi berikut program-program praksis yang bersumber dari tradisi dan agama juga merupakan kritik atas, dan sekaligus

upaya alternatif bagi modernisme dan ideologi scientisme Barat.6 Dalam locus ketegangan filosofis dan epistemologis demikian inilah kajian politik 4 Ini tampak misalnya baik dalam filsafat Comte dan Karl Marx. Pada yang pertama, maka kepercayaan akan eksistensi transendental dianggap se bagai elemen penyebab dekadensi. Sementara yang kedua, menolak untuk menjawab pertanyaan mengenai asal usul wujud (being). E. Voegelin, Science., op.cit, hal. 3-5; From Enlightenment, op. cit., hal.139

5 Ciri khas gagasan dan gerakan pascamodern yang utama adalah penolakan tegas terhadap proyek-proyek yang mengatasnamakan humanisme serta kritik mereka terhadap klaim kebenaran (truth claim) dari sains sebagai dasar dunia modern.

sekitar upaya demokratisasi telah dan sedang dilakukan. Bagi mereka yang mengikuti paradigma Pencerahan secara total, terdapat dua kemungkinan pemahaman utama: atau melihat proses demokratisasi dalam kerangka kapitalisme dan demokrasi liberal, sebagaimana yang dikembangkan oleh teori-teori modernisasi; atau melakukan pencarian dari sisi paradigma Marxian yang melihat proses demokratisasi dalam kerangka gerak sosial menuju masyarakat sosialistis- komunistis. Meskipun pada kenyataannya pemisahan tersebut tidak seketat dikotomi ini, karena terdapat berbagai konvergensi dan eks perimen lainnya seperti yang terlihat dalam konsep

komunitarianisme,7tetapi tampaknya dua kerangka epistemologi itulah yang

sampai saat ini masih tetap dominan dalam wacana dan praksis politik dunia.

Tuntutan akan sebuah alternatif epistemologi yang mampu mene-

robos kesepihakan proyek Pencerahan menyebabkan munculnya berba gai epistemologi tandingan yang mencoba melibatkan elemen-elemen di luar rasionalitas instrumental.8 Di Barat, ia tampil dalam beberapa manifes-

tasinya dan salah satu di antaranya adalah kerangka epistemologi (dalam

ilmu politik) yang berusaha melakukan rekonstruksi filsafat politik Yunani

kuno, terutama pada pandangan Sokratik dan Platonis, dengan melibatkan 7 Kritik atas demokrasi liberal dan sosialisme Marxian telah banyak dilakukan yang salah satu hasilnya adalah upaya menciptakan sistem politik komunitarian yang dasar- dasarnya telah terdapat dalam pemikiran-pemikiran tokoh Pencerahan sendiri seperti Rousseau. Beberapa karya mutakhir antara lain dari CB. Macpherson, Democratic Theory: Essays in Retrieval, 6th edition. Oxford: Clarendon Press, 1990; D. Held, Models of Democracy.

Stanford: Stanford University Press, 1986; Gould, CC. Rethinking Democracy: Freedom and Social Cooperation in Politics, Economy, and Society. Cambridge: Cambridge University Press, 1988.

8 Sebagai catatan, perlu dikemukakan di sini bahwa dalam hal ini mereka bukanlah anti Pencerahan seperti misalnya dalam pascamodernisme. Mereka mengakui beberapa pencapaian penting dari Pencerahan, namun sejauh mengenai pandangan tentang posisi dan peran elemen transendental dalam sejarah, maka mereka berbeda pendapat. Elemen transendental tetap dianggap sebagai the ground of being, dan karenanya proses sejarah dilihat sebagai ketegangan “antara (in-between tension) yang terus menerus antara pengalaman dan kesadaran transenden dengan kesadaran dan pengalaman duniawi. Pandangan yang berasal dari konsep “metaxy” Plato ini dikembangkan secara rinci oleh Eric Voegelin. Lihat karya magnum opus-nya Order and History, 5 vols. Baton Rogue: Lousiana State University, 1956-

1987. Untuk sebuah paparan tentang filsafat sejarah Voegelin, lihat J. Gebhardt, “Toward the Process of Universal Mankind: The Formation of Voegelin’s Philosophy of History.”

Dalam E. Sandoz, (ed.). Eric Voegelin’s Thought: A Critical Appraisal. Durham, NC: Duke University Press, 1982, hal. 67-86.

elemen-elemen transendental yang terdapat di dalamnya.9 Dasar filsafat inilah

yang akhir-akhir ini mendasari pendekatan pemulihan dan penguatan civil society di Eropa Timur di bawah para cendekiawan semacam Adam Michnik, Vaclav Benda, Jacek Kuron, dan terutama Vaclav Havel. 10 Di belahan bumi lain, seperti di Indonesia, sebenarnya pencarian alternatif non-Pencerahan

ini telah lama diupayakan dan bahkan oleh para pendiri negara kita sendiri. Dengan melakukan penemuan kembali (recovery) dan penyusunan kembali

(reconstruction) warisan asli, seperti dalam tradisi dan agama, dan secara kreatif

melakukan dialog dengan hasil-hasil filsafat Pencerahan, mereka mencoba

melakukan sintesa dan eksperimen baru yang kemudian diterapkan dalam proses pembentukan sistem sosial, politik, dan ekonomi bagi bangsa yang baru. Kreativitas tokoh tokoh seperti Soekarno, Hatta, Natsir, dan seterusnya tak diragukan lagi menjadi contoh bagi kemampuan melakukan penemuan

dan penyusunan alternatif bagi bangsa tanpa harus melakukan pengingkaran

total (total overcoming) terhadap tradisi dan produk-produk budaya yang telah ada dan sepenuhnya tergantung pada produk Pencerahan. 11

Harus diakui bahwa dalam perkembangannya sampai saat ini, alter-

natif-alternatif pemikiran dan eksperimen-eksperimen sosial, ekonomi,

politik dan kebudayaan yang muncul dari luar Pencerahan tampaknya masih lebih banyak, menggunakan istilah Michel Foucault, tenggelam

(submerged) dan belum mampu bergerak menjadi wacana dan praksis yang

mampu berdiri sejajar dengan wacana dan praksis dominan (dominant discourse and practices). Dominasi proyek Pencerahan, terutama dalam bentuk-bentuk lahirnya seperti kapitalisme (sistem ekonomi) dan sistem demokrasi liberal 9 Rekonstruksi sejarah pemikiran politik demikian tampak sekali dalam karya- karya Voegelin dan Hannah Arendt dan juga Cornelius Castoriadis. Namun, pada yang

terakhir ini kecenderungan transendental pada filsafat Yunani kuno mendapat kritik tajam. 10 Lihat J. Goldfarb, Beyond Glasnost: The Post Totalitarian Mind. Chicago: University

of Chicago Press, 1989; M. Henningsen, Democracy or the Promise of Civil Society. Makalah

pada “the Eleventh World Conference of the World Futures Studies Federation.”

Budapest, Hungary. 27-31 Mei 1990; Civil Society vs. Socialism. Mss. Departemen Ilmu Politik, Universitas Hawaii at Manoa, Honolulu, 1991

11 Demikianlah misalnya, ide-ide besar seperti Pancasila yang dirumuskan Soekarno, Demokrasi yang dirumuskan Hatta, pemikiran pembaruan Islam yang dipelopori Natsir dan sebagainya dapat dilihat sebagai proyek-proyek modern yang dihasilkan di luar Pencerahan, meskipun bukan berarti anti-Pencerahan. Sayang sekali olah-pemikiran demikian tampak mengalami keterputusan, terutama semenjak akhir dasawarsa 50-an. Wacana pemikiran sosial, kebudayaan dan politik di Indonesia kemudian terdesak oleh kecenderungan-kecenderungan pragmatik yang melanda negeri ini.

(sistem politik dan ideologi) serta rasionalitas instrumental (epistemologi) tampaknya masih belum ada tanda-tanda untuk memudar. Kebangkrutan salah satu proyek Pencerahan yang lain yaitu sosialisme, baik sebagai kerangka ideologi, ekonomi dan politik, bahkan telah dipandang sebagai kemenangan paripurna yang membuktikan kebenar annya. Hal ini lebih diperburuk lagi dengan munculnya gerakan-gerakan radikal antimodernisasi, baik di Barat maupun di Dunia Ketiga, seperti gerakan berbasis ideologi

rasialisme dan fundamentalis agama. Mereka yang belakangan ini, mau tak

mau telah dianggap sebagai produk dari kelompok di luar Pencerahan oleh lawan-lawannya, yang tentu saja mengaburkanpencapaian-pencapaian yang

telah dihasilkan oleh kelompok alternatif lain, semisal gerakan-gerakan lingkungan, gerakan- gerakan feminis, dan bahkan juga gerakan sosial

baru yang berciri keagamaan seperti Sarvodaya, Teologi Pembebasan, dan seterusnya.

Apabila kita membicarakan masalah demokratisasi di Indonesia pun, tampaknya kita harus juga menghadapi pengaruh proyek Pencerahan dalam bentuk-bentuk sistem ekonomi kapitalis (pinggiran) dan sistem politik

otoriter sebagai pasangannya. Pemikiran dan praksis alternatif yang hendak

kita bangun, oleh karenanya tak bisa lain kecuali melibatkan dan memperkuat kembali paradigma-paradigma dari luar Pencerahan yang ditarik dari

pemikiran-pemikiran filosofis dan teoretis, baik dari luar maupun dari tanah

air sendiri. Oleh karenanya dalam wacana dan praksis demokratisasi lewat penguatan civil society yang dianggap memiliki relevansi yang tinggi untuk

dipakai sebagai salah satu alternatif di Indonesia, seyogianya dimengerti

dan dipahami dalam konteks upaya penemuan dan pencarian paradigma pernyataan di atas.12

12 Di luar Indonesia, upaya demokratisasi lewat penguatan civil society telah dikembangkan oleh pakar-pakar seperti O’Donnell, Cardoso, dan Arato. Kesemuanya

melibatkan refleksi kritis terhadap konsep-konsep, teori-teori dan dasar-dasar filosofis yang selama ini dipakai. Untuk paparan mengenai paradigma alternatif civil society di Amerika Latin dan Eropa, lihat G. O’Donnell, et. al., Transition from Authoritarian Rule: Prospect for Democracy. Baltimore: John Hopkins University, 1986; A. Arato, dan J. Cohen. Civil Society and Political Theory. Cambridge: MIT Press, 1993; “Civil Society vs. the State.” Telos. 47, 1981, hal. 23-47; “Empire vs. Civil Society.” Telos. 48, 1981-1982. hal. 19-48; Mizstal, B. Poland After Solidarity: Social Movements vs. the State. New Bumswick: Transaction Book, 1985; D. Ost, Solidarity and the Politics of Anti-politics: Opposition and Reform in Poland since 1968. Philadelphia: Temple University Press, 1990

Dalam dokumen DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY pdf (Halaman 100-105)