• Tidak ada hasil yang ditemukan

Revitalisasi Civil Society sebagai Prakondisi Demokratisasi Berdasarkan diskusi di atas, jelas bahwa perjuangan untuk pemulihan

Dalam dokumen DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY pdf (Halaman 146-150)

dan revitalisasi civil society sebagai suatu prakondisi demokrasi di Indonesia merupakan suatu proses yang panjang dan tetap terbuka. Dalam hubungan dialektika antara negara dan masyarakat secara pasti menempati suatu posisi yang menentukan. Sejauh masyarakat tetap tidak mampu melampaui pengawasan dominasi negara dan menjadi lebih mandiri, maka prospek pemulihan civil society akan selalu suram, dan atas dasar itu, proyek demokratisasi akan sulit.

Dalam situasi historis saat ini, hubungan negara dan masyarakat di Indonesia cenderung menjadi asimetris. Mungkin dapat dikatakan bahwa merata dan berlanjutnya negara birokratis-otoriter akan membuka kemun- culan suatu struktur politik oligarkis. Sebagai akibatnya, inti dari suatu demokrasi partisipatoris, sebagaimana dicanangkan oleh satu dari bapak pendiri Republik, Mohammad Hatta, akan semakin jauh darinya.25

Sebaliknya, struktur politik oligarkis hanya akan melestarikan kecen- derungan antidemokrasi dan melenyapkan kesempatan masyarakat untuk mengontrol persoalan-persoalan politik mereka.

Ini bukan mengatakan bahwa jalan ke pemerintahan demokrasi di Indonesia telah seluruhnya tertutup. Sebagaimana negara-negara otoriter lainnya, sistem otoriter Indonesia akan selalu terikat dari waktu ke waktu untuk menghadapi krisis pengaturan di tingkat negara dan krisis legitimasi di tingkat masyarakat. Pada tingkat negara, upaya-upaya kelas penguasa politik untuk mempertahankan keterpaduannya akan selalu dirusak oleh

konflik yang terus-menerus antara faksi-faksi yang berbeda di dalamnya.

Ini pada gilirannya akan membuat negara tidak henti -hentinya di bawah ancaman desintegrasi dan krisis dalam sistem. Untuk mencegah hal ini

supaya tidak terjadi, akan lebih bergantung pada pengelolaan korporatis

negara dan cara-cara koersif daripada melalui pendekatan kelembagaan

dan proses demokrasi.

Sistem politik dan ekonomi global dapat juga mempengaruhi proses politik dalam negeri yang mungkin menyumbang terhadap peningkatan tuntutan atas demokratisasi.26 Lokasi pinggiran Indonesia di dalam

sistem ekonomi dunia telah membuat rentan dirinya dalam proses-proses perombakan dan perubahan siklis. Ini akan membawa akibat-akibat

yang mendalam pada formasi sosial dalam negeri, termasuk di dalamnya

pembagian kerja dan struktur kelas, yang mungkin mempengaruhi hubungan negara dan masyarakat serta gerakan-gerakan sosial dan politik di dalamnya.27

Di tingkat sosial, negara otoriter selalu menghadapi krisis legitimasi sebagai akibat dari kontrol yang luas terhadap masyarakat. Negara selalu mendapatkan kritikan untuk banyak masalah yang berhubungan dengan hak-hak asasi, pertisipasi masyarakat, perwakilan, keadilan, pemerataan ekonomi dan sebagainya. Semakin jauh negara mengabaikan masalah- masalah yang menekan tersebut, keabsahannya akan dipertanyakan dari waktu ke waktu. Proses demokratisasi mungkin dapat muncul dari cara khusus ini, yaitu melalui pencarian kemandirian yang lebih luas bagi masyarakat dan tekanan terhadap negara untuk lebih peka terhadap tuntutan-tuntutan dari masyarakat.

Melalui perluasan kemandirian sosial, pemberdayaan politik arus bawah harus diartikulasikan. Ini sangat krusial karena di bawah rezim otoriter, alienasi politik masyarakat membuat sukar untuk mensosial isasikan praktik dan kesadaran demokrasi. Sementara itu, melalui politik depolitisasi, negara telah berkembang tanpa terkontrol disebabkan ada nya alienasi mayoritas masyarakat dari proses politik. Yang paling ditakuti rezim otoriter adalah mobilisasi politik masyarakat arus bawah, mungkin akan mengarahkan pada gugatan atas legitimasi mereka.

26. I. Wallerstein, The Politics of the Capitalist World-System, Cambridge: Cambridge University Press, 1984

27. O. Tornquist, “Rent Capitalism State and Democracy” dalam A. Budiman (ed.) State and Civil Society in Indonesia. Clayton, Victoria: Monash University, 1991. Bandingkan dengan R. Robison, 1985.

Namun demikian, strategi pemberdayaan politik masyarakat arus bawah harus kurang diarahkan kepada mobilisasi politik langsung yang mengikuti model revolusioner, tetapi lebih kearah revitalisasi kesadaran did dan pengembangan kemandirian politik masyarakat yang merupakan ciri dari model pendekatan civil society. Ini berdasarkan kasus belakangan ini di Eropa Timur, di mana penggerakkan dan pemberdayaan buruh dan tani tidak dapat dipisahkan dari konteks yang lebih luas bagi pemulihan civil society. Dalam kasus ini, politik arus bawah tidak lagi dipahami dari pandangan politik revolusioner yang mengikuti paradigma Marxisme, namun berdasarkan visi politik yang dalam dan evolusioner yang memberikan perhatian

pada soal-soal seperti agen, refleksi did, dan kemampuan komunikasi,

yang telosnya adalah untuk memperkuat kemandirian politik anggota masyarakat28. Pendekatan ini juga lebih mendalam dibandingkan pemahaman

politik liberal dalam penolakannya terhadap penyederhanaan politik hanya sebagai mempertahankan dan meningkatkan kekuasaan, serta hanya sebagai mekanisme prosedural. Sebaliknya, politik menjadi suatu cara agar manusia dapat mengaktual isasikan agen dan pengembangan dirinya sendiri. Dengan demikian, demokrasi sebagai proses politik tidak dapat dipisahkan dengan dimensi dimensi etik yang ada dalam dunia kehidupan masyarakat. Inti kekuasaan,

dalarn hal ini, tidak hanya bersifat instrumental, namun lebih penting lagi,

meliputi kemarnpuan emansipatoris dan praktik manusia untuk mengatasi lainnya dan lingkungan mereka.29

Dengan demikian, pemberdayaan politik arus bawah harus mendo-

rong transformasi sosial di mana agen diberikan peranan utama. Dengan

memberikan keunggulan pada agen, pemberdayaan dapat berakar secara kuat, karena ini mencakup pemahaman did para aktor atas realitas dan pengalaman-pengalaman mereka di dalamnya. Pada saat yang bersamaan,

ini membuka kemungkinan, baik dialog maupun refleksi kritis, yang

berkaitan dengan kapabilitas mereka dalam meluaskan pemahaman-diri mereka ke jangkauan politik yang lebih luas.30

28 C. Gould, Rethinking Democracy Freedom and Social Cooperation in Politics, Economy and Society. Cambridge: Cambridge University Press, 1990.

29 J. Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity: Twelve Lectures, Cambridge, Mass: MIT Press, 1987.

30 A. Giddens, The Constitution of Society, Standford, CA: Standford University

Kapasitas refleksi diri juga penting di dalam proses pemberdayaan.

Sejauh ini proses pemberdayaan tidak dapat menghasilkan kapasitas

refleksi-diri, gerakan-gerakan politik arus bawah akan berada di bawah

bayangan utopianisme, karena ini tidak dapat untuk mengatasi ke

eksklusifan dunia kehidupan dan tindakan-tindakan yang membatasi

diri mereka. Kecenderungan utopian akan mudah terperangkap dalam

ideologi-ideologi radikal dan fundamentalis yang kegiatan-kegiatannya

secara jelas bertentangan dengan demokratisasi.

Proses pemberdayaan politik membutuhkan apa yang disebut Habermas sebagai kemampuan komunikasi para aktor.31 Dengan ini,

keberadaan ruang publik yang bebas untuk menjamin kemungkinan diskursus yang tidak terdistorsi sangat diperlukan. Karenanya, kemam- puan ini secara tidak langsung menunjukkan hubungan sosial yang

nonrepresif yang memungkinkan para aktor untuk menjalankan diskursus politik bebas dari berbagai tekanan, baik psikologis maupun fisik. Dengan

demikian, pemberdayaan politik arus bawah dalam dirinya menyumbang terhadap keterbukaan dan perluasan ruang publik.32

Akhirnya, tujuan utama dari pemberdayaan politik arus bawah adalah untuk mencapai kemandirian politik sebagai prakondisi demokrasi dan pengembangan diri33. Dalam kaitan ini, kemandirian harus direflek-

sikan dalam seluruh ruang kehidupan politik, ekonomi dan budaya. Ini artinya bahwa hak-hak dasar masyarakat arus bawah, terutama hak untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi politik semacam partai, serikat buruh, asosiasi petani, harus mendapatkan jaminan. Melalui partisipasi, mereka dapat mempengaruhi proses pembuatan keputusan yang mungkin mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka. Dalam tingkat dunia

kehidupan, kemandirian direfleksikan dengan kemerdekaan mereka untuk terlibat secara kreatif di dalam kegiatan kultural, sementara melindungi

secara kritis dunia kehidupan mereka sendiri dari kolonisasi pihak lainnya.

31 J. Habermas, Communication and the Evolution of Society, New York: Beacon Press, 1979.

32 A. Melucci, “Social Movement and the Democratization of Every Day Life”,

dalam J. Keane, Civil Society and Democracy: New European Perspective, London: Verso, 1991. 33 R. Dahl, Democracy and Its Critics, New Heaven: Yale University Press, 1989. Hal senada juga diulas oleh C. Gould op. cit. 1989.

Dalam dokumen DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY pdf (Halaman 146-150)