• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II HISTORISITAS MENSYARAH HADIS DAN FORMASI

E. Vernakularitas Tekstual dan Relasi Subyek-Obyek: Tawaran

2. Agama Versus Budaya dan Silang Sengketa Perebutan

Untuk melihat ilustrasi pertarungan sederhana yang mengarus di sekitar problem Islam dan tradisi, pintu masuk yang paling mudah ya apalagi kalau bukan pertarungan simbol-simbol. Sunnah dan bidah adalah dua simbol yang hari ini mungkin mengakomodir perdebatan soal itu. Di satu sisi ada kelompok yang keras memperjuangkan dominasi Islamisme, di sisi yang lain juga muncul kelompok yang terlihat hendak menetralisir hal itu dengan menunjukkan signifikansi tradisi dalam proses pembentukan keberislaman itu sendiri. Dengan kata lain, melalui dua simbol dan terminologi ideologis ini kita bisa sedikit mengintip proses berikut jejak-jejak pertarungan wacana tersebut langsung dari struktur internalnya.

Problem pembengkakan makna memang fenomena yang tidak bisa dihindari. Ada satu momentum ketika faktor-faktor eksternal teks membentuk arus dan berdampak kepada kata atau kalimat tertentu. Selain kata sunnah dan bidah, kejadian yang sama juga bisa kita lihat dalam kata “marxisme” dan “sosialisme”.

Kandungan maknanya berubah sejak orde lama, orde baru hingga masa reformasi. Ketika dua kata tersebut diperdengarkan, sebagian besar masyarakat kita – terutama yang hidup dan mewarisi wacana orde baru – mungkin langsung menghadirkan realitas PKI sebagai referennya. Begitu juga yang terjadi dalam kata “perempuan”,

“pesantren” dan lain sebagainya.294

294 Trik mengurai terminologi simbolik semacam ini pernah diterapkan al-Jābirī. Dalam beberapa tulisannya, nampak bahwa “turath” adalah teks yang paling sering al-Jabiri otak-atik. Konsentrasinya pada persoalan tradisi adalah alasan yang mendorongnya untuk terus memproblematisir term turath bahkan sampai unit wacananya yang paling kecil. Salah satu upaya tersebut terlihat misalnya dalam sebuah artikel berjudul “mā al-turāth?... wa ayyu minhāj?” Dalam artikel tersebut, al-Jabiri melakukan pelacakan asal muasal derivasi kata turast dan konsekuensi maknanya.

Sesuai temuan al-Jabiri, kata waratha dalam bentuk derivasi turath tidak pernah muncul dalam al-Qur’an, hadis maupun korpus ulama-ulama salaf. Kata turath baru muncul dengan massif sejak genderang al-Nahdlah ditabuh oleh para intelektual Arab modern-kontemporer. Seketika, kata turath menjadi simbol, slogan, ikon dan mantra.

Dalam setiap literatur yang ditulis para intelektual Arab pasca Afghani-Abduh, bisa dipastikan turath muncul sebagai variabel utamanya. Genealogi munculnya kata turath yang dipaksa oleh kondisi wacana semacam itu lantas berimbas kepada perubahan pola dalam struktur makna dasar kata turunan dari “waratha” itu sendiri. Kata turast tidak hanya mengandung makna warisan harta yang diberikan seseorang kepada orang lain di generasi setelahnya, namun meluas dan mengakomodir seluruh bentuk warisan non fisik yang bahkan sangat abstrak seperti ideologi, ambisi bahkan peradaban. Tak hanya itu, kata turath pada akhirnya juga menjadi ruang pembekaman impian, mimpi,

119

Mengamati sirkulasi makna bidah, dengan demikian, sejatinya mengamati sirkulasi pertarungan wacana dan tarik ulur tafsir agama yang sedang berlangsung. Ketika irisan makna yang menggelembung berhasil dipetakan dan diurai, sejatinya kita juga tengah memetakan pertarungan model apa yang sedang terjadi.

Sedikit demi sedikit kita juga akan menyaksikan sampai ke batas mana kata sunnah dan bidah dibawa, ditarik dan diseret oleh medan wacana eksternalnya. Dengan kata lain, urgensitas mengurai dua terminologi ini sama halnya dengan urgensitas mengurai problematika wacana itu sendiri.

Fenomena bidah, sama seperti problem anti-taklid dan bermadzhab, muncul dari pusaran wacana salafisme agama. Ketika kampanye anti taklid dan mazhab dimunculkan dalam konteks distorsifikasi masa lalu yang dianggap mundur dan berdampak di masa kini, maka term bidah muncul dalam konteks dualisasi agama dan budaya. Di balik muncul dan berkembangnya term bidah adalah konfigurasi perdebatan soal “Islam asli” dan “Islam tidak asli”. Apa yang disebut asli adalah doktrin yang sama sekali belum disentuh warna dan nuansa budaya, sedangkan yang tidak asli adalah doktrin yang sudah mengalami pengondisian dengan situasi kontekstual dari penganut agama. 295

keinginan sekaligus emosi, keluhan, mentalitas orang Arab yang mendambakan kebangkitan. Pada tahapan ini, kata turath mereprsentasikan sesuatu yang sama sekali tidak berkaitan dengan referen aslinya. Al-Jabiri menyebutnya ishbā’ (pembengkakan, penggemukan dan penggendutan [makna]). Ishba’ menurut al-Jabiri bukan hanya fenomena kegemukan, namun juga ketertindihan dan keterbelahan makna. Baca:

Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī, “Mā al-Turāth? Wa Ayyu Minhaj?” dalam Muḥammad

‘Ābid al-Jābirī, al-Turāth wal Hadāthah: Dirāsāt wa Munāqashāt (Bayrūt: Markaz Dirāsāt al-Wiḥdah al-Arabiyyah, 1991), h. 21-25.

295 Konstruksi budaya-agama yang menarik salafis-wahabisme tumbuh berkembang di Indonesia pertama kali bermula dari nasehat-nasehat Snouck Hugronje kepada Gubernur Jenderal Kolonial terkait masalah pemberontakan yang mayoritas diinisiasi oleh gerakan-gerakan tarekat di pedesaan. E. Gobee dan C. Adriaanse, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Seri Khusus INIS XI, terj. Sukarsi (Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation in Islamic Studies, 1995), h. 2142. Pada akhirnya ditempuhlah jalur doktrinal untuk meredam pemberontakan yang ada. Salah satu strateginya adalah menyusupkan paham “kemurnian” dan puritanisasi agama untuk menebang seluruh praktek keagamaan produk “tarekat” berupa jimat, tangkal dan lain sebagainya, yang selama ini menjadi basis pemberontakan rakyat terjajah. Dari sini kemudian muncul konstruksi bi’dah muncul. Ahmad Baso, Islam Pasca-Kolonial:

Perselingkuhan Reformisme Agama, Kolonialisme dan Liberalisme (Tangerang Selatan: Pustaka Afid, 2016), h. 270-280. Sayyid Usman misalnya, menulis beberapa kitab yang menjadi brosur resmi-ilmiah kampanye salafisme berkedok reformisme Islam, antara lain: an-Nashihah al-‘Aniqah lil Mutalabbisina bi-t-Thariqah,

ad-Dinu-120

Pertama-tama, hadis-hadis bidah yang selama ini digunakan untuk mendiversifikasi unsur keaslian doktrinal kaitannya dengan budaya dan tradisi sebenarnya adalah hadis yang diajukan untuk sesuatu yang menyimpang dari syariat.296 Yang dimaksud bidah – jika mengacu pada riwayat-riwayat yang secara tematik berbicara soal bidah – adalah penambahan atau pengurangan dalam konteks ibadah yang sudah rigid diatur oleh syari’.297

s-Salamah, at-Thariqah as-Shahihah dan lain sebagainya yang berisi tuntunan “cara beragama yang benar” dan sesuai dengan al-Qur’an-Hadis. Terkait rekomendasi Snouck mengenai kontrol dalam “bidang hukum dalam seluruh aspeknya”, Sayyid Usman juga menulis sebuah kitab berjudul Al-Qawanin as-Syar’iyyah li Ahli-l-Majalisi-l-Hukmiyyah wa-l-Ifta’iyyah yang menjadi rujukan resmi-utama bagi para penghulu, qadi dan hakim di masa itu.

296 Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī, “Qira’ah ‘Ashriyyah lit Turast: Manhaj wat Tahtbiq” dalam Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī, al-Turāth wal Hadāthah: Dirāsāt wa Munāqashāt, h. 50-54.

297 Baca analisa inter-riwayat terkait hadis bidah ini dalam; Hilmy Firdausy,

“Genealogi Semiotis Term Sunnah dan Bidah: Dari Syariat Hingga Ideo-Politis”, dalam Jurnal Living Hadis, vol. 3, no. 2 (2018). Menurut H. Firdausy, ada dua ruang pemaknaan yang dimiliki kata tersebut. Pertama adalah ruang makna bidah sebagai bid’ah shar’iyyah dan yang kedua adalah ruang makna bidah sebagai bid’ah lughāwiyah. Yang kedua lebih umum dibandingkan yang pertama. Yang pertama secara spesifik hanya diletakkan sebagai pagar pembatas sesuatu yang ushul, seperti keimanan, tauhid dan ibadah uṣul yang lain. Dalam konteks yang pertama ini, menyekutukan Allah adalah perkara bidah, tidak percaya terhadap kerasulan Nabi Muhammad adalah perkara bidah serta hal-hal dasar lainnya dalam kegiatan beragama.

Ketika ada praktek yang menyeleweng dari perkara-perkara yang uṣul itu, maka ia termasuk bidah dan dianggap keluar dari Islam. Ada orang yang menyatakan bahwa puasa Ramadhan bisa dilakukan di Bulan Muharram; ini bidah. Salat subuh yang awalnya dua rakaat, ditambah jadi empat rakaat; ini bidah. Dan seterusnya. Sedangkan yang kedua memiliki jangkauan makna yang lebih luas. Secara lughawi, ketika bidah dimaknai sebagai apa yang tidak ada di masa Nabi Muhammad SAW, maka perbincangannya akan meluas dan menyentuh soal tradisi, kebiasaan dan simpul-simpul sosial kemasyarakatan lainnya. Sebagaimana yang terlihat dalam perkataan Umar bin Khattab terkait salat tarawih berjamaah yang hanya ada di masanya; “ni’ma al-bid’ah hadhihi”. Dari konteks pemaknaan yang kedua ini kemudian muncul spesifikasi bidah; mana yang boleh dan mana yang tidak. Mana yang wajib, sunnah, makruh dan seterusnya. Artinya, untuk soal tradisi dan hal-hal di luar ibadah, terminologi bidah yang harusnya digunakan adalah versi bidah yang kedua, bukan yang pertama. Maka nanti pembahasannya akan berlanjut pada spesifikasi; apakah itu tradisi yang baik atau buruk, diperbolehkan atau tidak, melanggar norma atau tidak dan seterusnya. Namun faktanya, dalam banyak kasus pembidahan yang terjadi belakangan ini, peristiwa-peristiwa yang muncul dari konfigurasi bidah yang kedua, dijustifikasi dan dinilai dengan format bidah yang pertama. Maka yang lahir kemudian adalah kontradiksi-kontradiksi yang ahistoris dan tidak obyektif. Hilmy Firdausy, Ngaji Hadis Ngaji Tradisi (Tangerang Selatan: Maktabah Darus-Sunnah, 2020), h. 165-166.

121

Al-Marbawi terlebih dahulu mendefinisikan apa itu bidah;

53 – ڠيڠروا نكڠارنم ڠي ثيدح نكاتپم دف ىا ڠتاد هلتڠي باب هليوهتك( نهوت اكوس دايتڠي نتاسسك ةعدب ىڬابس نكا ةعدب تاوبرب

(وكارادوس اي ڽاريك ىهلاپم وراب تيبرتڠي اراكرف هلايا تيا ةعدب

ةغل دف ةعدب ىنعم ىفاتت ةللاض ةعدب نكناكدڠي هلايا كم .عرش هروس كم ولوهد ڽامفموا ادا قديت وراب ىئاكيرد ادا هلت ڠيڠراب هلايا تيا ،قوليا ڠي ةعدب ڽيترا ةنسح ةعدب ڽامترف ،ىڬاهب اود ستا ىڬاهبرت ةعدب ڽيترا ةئيس ةعدب ڽاودك ڠي ةعدب وتا ،قوسوي ناد ىجك

تفاد ناد ىدنكا نكاجركد هلاس تيا نتاسسك ڠي ةعدب كم .نتاسسك ...ةرخآد تهاج ڽسلاب

218

Dalam paragraf di atas, al-Marbawi mendefinisikan kalau bidah itu adalah “perkara yang terbit baru menyalahi suruh syara’. Maka iyalah yang dikenakan bidah dalalah tetapi makna bidah pada lughah itu iyalah barang yang telah ada direkai baru tidak umpamanya dahulu.” Dari uraian ini, al-Marbawi membedakan antara pengertian bidah secara umum dan bidah yang lebih spesifik dalam kategori dalalah atau sesat.

Makna umum (‘am) dan spesifik (khas) dalam term bidah diperjelas oleh al-Marbawi,

55 – .عرش دف ڽانعم ادا ناد ةغل دف ڽانعم ادا تيا ةعدب : ةلئسم ستا ىئاكيرد ادا هلت ڠيڠراب هلايا تيا ةغل دف ةعدب ىنعم لومرب ڠيڠراب هلايا تيا عرش دف ةعدب ىنعم ناد .ڽولوهد ڽامفموا نأديتك ڽليلد كم .عرش هروس ىهلاپم ستا وراب تيبرت ناد وراب ىداج ادا ادا ناد صاخ ادا ىدنڠد نكڠتادد ڠيڠراي دف ةيا قحڠي نارك ،ماع

.تسس نكنيلم تيا قح دفرد نيدمك دايت كم ،عرش هلوا

211

Dalam paragraf masalah 53, al-Marbawi telah menjelaskan kalau bidah secara umum ada dua; bidah hasanah dan bidah sayyi’ah. Bidah hasanah adalah “bidah yang elok”, sedangkan

298 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 19, h. 56-57

299 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 19, h. 58-59

122

bidah sayyi’ah adalah “bidah yang keji dan busuk, atau bidah yang kesesatan”. Dua tipe bidah ini kemudian diperinci oleh al-Marbawi berdasarkan hukum-hukum pengerjaannya. Al-al-Marbawi menjelaskan,

ةعدب ىڬاهبرت ناد ڽلاثم ةبجاو ةعدب (ڽامترف( اميلڠي مكح دفك تيا

ڽاودك امفمؤس ناد فرص ناد وحن ملع توتننم نڠد ڠبميبرب ةرفس ةعدب تاوبرب ڠيڠروا نيلاكس بهذم ةرفس مارح ڠي ةعدب (ڽاودك(

نكاداڠم ةرفس ةنس ڠي ةعدب (ڽاڬيتك( ةنسلا لهأ ىڬاب ىهلاپم ڠي ةسردم ناد قودنوف 2

(ڽتفمأك( ،واروس ناد ةرفس هوركم ڠي ةعدب

اڠوب ناريكوا ةاوبرب 2

دجسم يڬاب 2

ىسايهم ناج ، 2

(ڽاميلك( نآرق

فدسڠي نناكم دف ساولرب ةرفس سراه ڠي ةعدب 2

نمونيم ناد

سولاه ڠي نياكف ناد ،تاذلڠي 2

ةباجرب ناد وجاب نڠات نكساولم ناد ،

.ڠيهبمس دفرد نيدمك نڠات

300

Menurut al-Marbawi ada lima jenis variasi hukum bidah.

Pertama, “bidah wajibah misalnya seperti berbimbing dengan menuntut ilmu Nahwu dan Sarraf dan seumpama keduanya”.

Kedua, “bidah yang haram seperti mazhab sekalian orang yang berbuat bidah yang menyalahi bagi ahlus sunnah”. Ketiga, “bidah yang sunnah seperti mengadakan pondok dan madrasah-madrasah dan surau”. Keempat, “bidah yang makruh seperti berbuat ukiran bunga-bunga bagi masjid-masjid, dan mehias-hiasi Quran.” Kelima, “bidah yang harus seperti berluas pada makanan yang sedap-sedap dan minuman yang lezat, dan pakaian yang halus-halus, dan meluaskan tangan baju dan berjabat tangan kemudian daripada sembahyang”.

Dari kelima hukum yang sudah dijelaskan di atas, yang menarik untuk diamati sebenarnya adalah makna bidah yang sesat atau haram dikerjakan. Menurut al-Marbawi, selama praktek-praktek bidah tidak melanggar syariat, maka praktek-praktek tersebut boleh dikerjakan. Dari definisi dan tipologi bidah yang diurai al-Marbawi, ada dua karakter yang sebenarnya mengisi makna bidah yang ḍalālah. Pertama adalah karakter bidah dalam bentuk penyelewengan dalam konteks ibadah yang sudah diatur rigid oleh

300 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 19, h. 59.

123

syariat, sedangkan yang kedua adalah bidah dalam bentuk penyelewengan dalam konteks akidah.

Karakter bidah yang sesat karena praktek penyelewengan dalam konteks ibadah dijelaskan al-Marbawi,

اهنإف روملأا تاثدحمو مكايا( ملسو هيلع هللا ىلص ىبن ادبس ...

رف لڬس دفرد وماك نيلاكس ىريد نكهواج ناد (ةللاض ماڬوا اراك

ڠروا هلوا نكرهاظد ورابڠي 2

...ةعدب

301

51 – ملسو هيلع هللا ىلص ىبن نلاج نڠد ڠڬفرب : هلئسم

ىبن نلاج نڠد ڠڬفرب كم ڽهوڬڠوسرب نڠد ىبن هروسد هلت تبا ڠي مكح لڬس دفرد ڽنكربخد ناد ڽنكيفمسدڠي نلاج ڠڬفرب تيأي تيا لمع اراچ ناد داقتعا اراچ 2

اد ةنس ناد بجاو ڠي ناد ،سراه ن

ڠيڠراب تيأي ،لوتب ڠي نلاج هلايا تيا ةنس ىنعم دفرد فتت ڠيڠراب توتنتد ڠيڠراب نڠد ڽناوتنتك لومرب ناد .عرش ناد ةغل ڽادف ةقفاوم دصق :وراب حلاطصا تيأي مزج نأديتكڠي توتنت ىڬابس نكا ىدنكا نمحرلا دبع تاكرب هلت .ضرف اراتنا ناد ڽاراتنا نكازيبمم تيئكيرم با ىكلا ڠرؤس نكا دوعسم نبا افموجرب هلت ديز ن 2

نڠد مارحا ڠي

كم .نيا وماك نياكف نكلڬڠت ڽادفك ىا تاكرب كم ،ڽنياكف ىكامم يكلا باوج 2

نياكف ىكامم وكا ڠرلام وماك دوعسم نبا ىه : تيا

وتاس نكا نيا نڠد وكستا ومهلوا چاب ،ڽليلد نكا وام وكا تيا ملادد با باوج ،نآرق دفرد ةيآ مكاتآ امو( ڽنكچابد كم .هلكيأي دوعسم ن

...(اوهتناف هنع مكاهن امو هوذخف لوسرلا

302

Dalam paragraf di atas, al-Marbawi menyertakan contoh sebuah praktek bidah (muhdathat al-umur) dengan sebuah kisah Ibn Mas’ud yang menegur seseorang yang berihram dengan masih mengenakan pakaiannya. Padahal dalam aturan syara, mereka yang berihram diwajibkan untuk melepas seluruh pernak-pernik keduniawiannya, termasuk pakaian. Hal-hal yang menyeleweng dari aturan syariat, menurut al-Marbawi, adalah hakikat bidah yang dilarang dalam konteks hadis Nabi.

301 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 19, h. 52.

302 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 19, h. 53.

124

Tidak hanya dalam konteks ibadah, bidah sebagai praktek kebaharuan yang dilarang dalam Islam juga dipahami al-Marbawi dalam konteks akidah. Al-Marbawi menjelaskan panjang lebar seputar kelompok-kelompok pelaku bidah dalam konteks akidah.

56

Ada setidaknya tujuh kelompok yang ditengarai oleh al-Marbawi sebagai pelaku bidah yang menerapkan ajaran yang bidah pula. Muktazilah, Shi’ah, Khawarij, Murji’ah, al-Bukhariyah, Jabariyah dan al-Mushabbihah. Terlepas dari kelompok-kelompok tersebut, secara umum praktek bidah menurut al-Marbawi juga terjadi dalam konteks akidah. Dan ini

303 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 19, h. 59.

125

juga termasuk bidah yang sesat, yang dilarang oleh syara’ dan dianjurkan untuk dijauhi.

Dengan kata lain, bidah menurut al-Marbawi sama sekali tidak memiliki kaitannya dengan persoalan tradisi atau unsur-unsur muamalah. Al-Marbawi juga menegaskan bahwa tidak seluruh bidah itu sesat dan dimaknai sebagai penyelewengan dari ajaran agama. Membangun pondok, surau, madrasah, menyajikan makanan yang enak, berjabat tangan setelah salat dan tradisi baik lainnya adalah tipe bidah yang baik, boleh dilakukan dan mengandung pahala yang besar.

Dalam uraian yang lain, al-Marbawi justru mengapresiasi mereka yang sudah mewariskan sebuah kebiasaan baik meskipun itu baru dan tidak ada di zaman Nabi.

...ڽولوهد ادا مولبڠي نكيجيبك نلاج وتاس نكاداڠم فايسڠراب ...

كم تيا نكاداد وتا نكيلابمكدڠي نلاج ستا ڠروا تروتد نيدمك ترونم ڠي ڠروا لاهف لڬس امفموأس ناد ڽلاهف تيا ڠروا ىڬاب نڠد ىدنكا .وتاوس تيئكيرم لاهف دفرد ڠروك نأديتك

309

Itulah dua simpul problematika yang muncul dalam konteks siklus wacana sosial-keagamaan di Nusantara abad XX, yang melibatkan al-Marbawi dan Baḥr al-Mādhī dalam lintas perbincangannya. Apa yang ditampilkan dalam Baḥr al-Mādhī terkait dua problematika tersebut merupakan tekukan vernakular di level wacana, yang untuk kesekian kalinya menunjukkan vernakularitas dalam pensyarahan hadis dalam Baḥr al-Mādhī.

304 Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 19, h. 48

126

E. Vernakularitas Baḥr al-Mādhī; Momentum Keterputusan