• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

H. Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan dimulai dari bab pertama yang menjelaskan latar belakang, permasalahan, perdebatan akademik yang meliputinya dan signifikansi penelitian, baik dalam tataran akademis maupun praksis. Berikut juga dipaparkan langkah-langkah penelitian yang dilakukan sekaligus teori-teori yang digunakan sebagai pisau analisa untuk mempermudah pembaca memahami alur logika penelitian ini.

Bab kedua adalah perbincangan format pewacanaan yang menjadi tirai tempat Baḥr al-Mādhī Sharah Bagi Mukhtaṣar Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī dan kitab hadis lainnya dibukukan. Dalam bab ini, pembahasan akan diarahkan untuk menjawab pertanyaan, “mengapa Baḥr al-Mādhī?” Dengan meletakkannya kembali ke dalam formasi diskursifnya, Baḥr al-Mādhī secara tidak langsung akan menggambarkan satu konstelasi sejarah, khususnya dalam upaya menentukan bentuk perkembangan kajian hadis di Indonesia di abad XX M.

Untuk memperjelas posisi historis dan diskursifnya, ada beberapa pembahasan yang juga harus diangkat. Selain membahas sejarah tradisi pensyarahan hadis dan konteks diskursus yang melahirkannya, dalam bab ini secara spesifik juga

47 Kuntowijoyo memberikan batasan tentang Sejarah Pemikiran dengan 3 tugas yang harus dilakukan oleh peneliti, yaitu: 1) membicarakan pemikiran-pemikiran besar yang berpengaruh pada kejadian sejarah; 2) membicarakan konteks sejarahnya;

3) pengaruh pemikiran pada masyarakat bawah. Baca: Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Edisi II (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), h. 191. Perlu dicatat di sini, bahwa biografi pemikiran yang penulis maksudkan bukan yang bersifat individual, melainkan dengan menempatkan tokoh sebagai lokus pemikiran komunitasnya.

48 Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi Program Magister dan Doktor (Ciputat: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2018).

23

akan dibahas bentuk interaksi orang Nusantara dengan segenap lokalitas dan subyektifitasnya dengan Islam yang datang dari luar. Maka, lebih spesifik lagi, bab ini juga akan menjabarkan peta diskursus keislaman secara umum, dan wacana hadis secara khusus yang terpola di abas XX M.

Bab ketiga adalah pengenalan objek kajian. Dalam bab ini akan diulas secara biografis sosok Muhammad Idris al-Marbawi; siapa, di mana beliau lahir dan tumbuh, dan konteks sosiologis semacam apa yang membentuk kediriannya. Selain itu, dalam bab ini juga akan dijelaskan posisi al-Marbawi dalam jejaring keilmuan ulama Nusantara yang terikat langsung dengan jaringan keilmuan ulama di Timur-Tengah. Selain itu, deskripsi mengenai kitab Baḥr al-Mādhī juga akan diulas, baik terkait informasi seputar fisik kitabnya, maupun hal-hal yang berada di sekitar kemunculan kitab tersebut. Dengan dua bekal ini, penelitian yang sedang dilakukan setidaknya telah memberikan ruang agar objek kajian berbicara mengenai dirinya sendiri; dengan tidak direbahi asumsi-asumsi terlebih dahulu.

Bab keempat adalah ruang untuk menyaksikan parodi vernakurisasi tekstual langsung dari teks yang ditulis al-Marbawi dalam kitab Baḥr al-Mādhī.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal, penelitian ini semaksimal mungkin akan menangkap proses dialogis dan peralihan paradigma yang dihasilkan dari sentuhan-sentuhan subyektifitas al-Marbawi sebagai orang Nusantara dengan segenap lokalitasnya, dengan teks hadis yang lahir dan terbentuk dari iklim wacana yang berbeda. Metode pensyarahan, corak, pendekatan, sistematika dan teknik penulisan adalah beberapa penampakan-penampakan yang akan tertampil dari proses vernakuralisasi tersebut. Untuk menangkap itu semua, maka model penulisan analisa wacana akan dominan digunakan dalam bab ini;

trik analisa yang seolah-olah memposisikan penelitian sebagai penysrah dari kitab Baḥr al-Mādhī dan al-Marbawi.

Bab kelima adalah kesimpulan dan penutup. Sebagai karya yang lahir dari upaya alamiah seorang manusia, penelitian ini tentu tidak akan segan-segan membuka ruang dialog berupa kritik dan saran. Bab ini juga akan berisi uraian sederhana mengenai kemungkinan-kemungkinan dan beberapa ruang probabilitas yang mungkin bisa dibabat demi kesempurnaan penelitian dalam cakupan tema yang sama di kemudian hari.

24 BAB II

Historisitas Mensyarah Hadis Dan Formasi Diskursif Sosial-Keagamaan di Nusantara Abad 20 M

A. Dialektika Sejarah di Sekitar Perkembangan Syarah Hadis Arab-Islam

Teori mengenai sejarah perkembangan syarah hadis dalam Islam selama ini terbatas pada sejarah kronologis dan periodik. Hampir semua sepakat bahwa syarah hadis telah dimulai di masa Nabi dan mengalami masa puncak di abad 6 Hijriyah.49 Namun yang belum dijelaskan, bagaimana sebenarnya sejarah “epistemologi” syarah hadis itu sendiri? Dengan kata lain, pertanyaan-pertanyaan di sekitar proses terbentuknya sedimentasi ontologis, epistemologis dan aksiologis di balik kerja mensyarah hadis sebenarnya belum terajukan dan terjawab. Bab ini akan berusaha menjelaskan aspek tersebut guna memperjelas posisi dan diferensiasi yang muncul antara kerja mensyarah hadis dalam konteks Islam-Arab dan konteks Nusantara.

Mensyarah hadis sebagai sebuah kerja menjelaskan maksud hadis memang sudah muncul sejak kemunculan hadis itu sendiri.50 Dalam literatur hadis, banyak ditemukan riwayat yang menggambarkan bahwa kegiatan menjelaskan hadis sudah dilakukan oleh Nabi sendiri dan para sahabat. Di masa-masa awal, kerja mensyarah hadis memang murni untuk menjelaskan maksud hadis. tidak ada pretensi maupun tendensi di luar keinginan untuk menangkap maksud dan substansi pesan yang disampaikan Rasulullah SAW.

Di fase selanjutnya, karena situasi sosial dan politik yang berubah, mensyarah hadis mendapatkan beban kepentingan tambahan. Pecahnya kelompok Alī dan ‘Aishah menjelang peristiwa tahkim mungkin adalah satu fase yang sangat krusial dalam periode sejarah kegiatan mensyarah hadis.

Hadis-hadis yang tersimpan dan terdiamkan di fase sebelumnya seketika muncul ke permukaan untuk melegitimasi satu kondisi politik tertentu.

Kepentingan mensyarah hadis-hadis pun pada akhirnya juga bergerak di ruang perebutan klaim doktrinal atas sikap politik yang dipilih.51

49 Muhammad Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Indianapolis: American Trust Publication, 1977), h. 76; Muhammad ‘Ajjāj al-Khātib, Al-Sunnah Qablā al-Tadwīn (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1981), h. 34; Hasbi Al-Shiddiqie, Sejarah Perkembangan Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 133.

50 ‘Abd al-Naṣr Tawfīq al-Athār, Dustūr al-Lammah wa ‘Ulūm al-Sunnah (Kairo: Maktabah Wahhāb, t.t.), h. 71.

51 Ini misalnya yang terjadi kala ‘Aishah dengan rajin mengoreksi hadis-hadis yang berbicara soal kedudukan perempuan. ‘Aishah mungkin sadar, kemunculan hadis-hadis yang mayoritas diriwayatkan oleh Abū Bakrah dan Abū Hurayrah tersebut ditujukan untuk mengikis kedudukan politiknya kala bersitegang dengan Alī dan para

25

Namun yang patut dicatat, dinamika politik yang terjadi di masa Sahabat, meskipun tampak ketat, tidak pernah melibatkan hadis-hadis palsu.

Secara tekstual, hadis-hadis yang beredar, utamanya yang dilibatkan sebagai legitimator sikap politik, memang asli datang dari Rasulullah. Namun yang problematis adalah waktu dan momentum hadis-hadis tersebut dimunculkan ke permukaan. Dengan kata lain, hadis-hadis yang beredar asli secara teks, namun palsu secara konteks.

Di fase selanjutnya, peristiwa tahkim memegang peranan dalam mengubah format epistemologis di balik kegiatan mensyarah hadis-hadis Nabi.

Kegiatan memalsukan hadis marak terjadi di masa Umawiyah. Kebijakan dan strategi politik yang dipilih menjadi faktor utama mengapa kekhalifahan harus didukung penuh secara teologis melalui hadis-hadis Nabi. Kekhalifahan memanfaatkan fanatisme akidah untuk menciptakan status quo kekuasaan, termasuk ketika produk pemahaman teologi Jabariyah muncul sebagai pedoman.

Di fase dalam rentang abad pertama hijriyah ini, hadis direproduksi menjadi bulir-bulir konsep teologis sekaligus direformulasi agar sesuai dengan kepentingan teo-politik yang dicanangkan. Ketika hadis-hadis sahih tidak menyediakan bahan untuk itu, maka pilihannya adalah membuat hadis-hadis palsu. Fakta sejarah bahwa produksi hadis-hadis palsu dimulai sejak rezim Umawiyah adalah sesuatu yang tak perlu diulang lagi di sini.

Salah satu dampak yang kelak memiliki efek bagi cara pandang terhadap teks adalah munculnya garis diferensiasi epistemik berdasarkan faktor geografi dan demografi. Irak sebagai kota politik dan metropolitan, yang mengedepankan karakteristik rasional dan kontekstual, dinilai sebagai basis pemalsuan hadis dan beredarnya hadis-hadis daif. Sampai-sampai al-Zuhrī berkata, “semua yang kalian dengar dari Aḥl al-Irak, tinggalkan!” Sedangkan Jazirah justru menciptakan satu iklim kebudayaan yang berupaya merawat model berpikir tekstual dan tradisionis. Dari sini terbentuklah Madrasah Aḥl al-Ra’y yang berbasis di Irak dan Madrasah Aḥl al-Hadīth yang memiliki basis di Jazirah. Mālik bin Anas dan Abū Ḥanīfah mungkin adalah dua tokoh yang representatif untuk melihat bagaimana kontrasnya gaya berpikir Aḥl al-Ra’y dan Aḥl al-Hadīth, utamanya dalam memahami hadis-hadis hukum.52

pengikutnya. Seperti misalnya riwayat Abū Hurayrah mengenai persamaan perempuan, keledai dan anjing hitam.

52 Konfrontasi epistemologis yang terjadi antara kedua kubu ini masyhur dan hampir diinformasikan oleh seluruh kitab sejarah. Ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Ahmad bin Hanbal misalnya, “bahwa ulama-ulama mutaqaddimin dari Ahl al-Hijaz sama sekali tidak memperdulikan riwayat Ahl al-Irak dan tidak mengambil hal-hal yang diriwayatkan oleh kalangan mereka [Ahl al-Irak]” Abū al-Qāsim Ibn ‘Asākir al-Shafi’ī, Tārīkh Madīnah Dimashq (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1997), jil. 57, h. 386.

Sebaliknya, Aḥl ‘Irāq juga tidak memperdulikan keilmuan ulama-ulama Aḥl

al-26

Di akhir abad 2 H, muncul al-Shafi’ī sebagai penengahnya.53 Selain menghatamkan al-Muwaṭṭā’ dan epistemologi Malikian langsung kepada Mālik bin Anas, al-Shafi’ī juga mendalami epistemologi Hanafian meskipun tak langsung kepada Abū Ḥanīfah. Di sini, al-Shafi’ī mungkin sadar bahwa ada dua persoalan yang diwariskan oleh situasi wacana di abad sebelumnya dan harus dia selesaikan; pertama soal otentifikasi periwayatan dan yang kedua soal otoritas teks dalam menjawab persoalan zaman, utamanya soal hukum.54

Selain mengumpulkan berbagai riwayat dalam Musnad-nya, al-Shafi’ī juga menggagas Ilmu Mukhtalif al-Hadīth. Di fase inilah, yang kurang lebih terjadi di abad-abad menjelang abad kodifikasi dan al-Shafi’ī sebagai pionirnya, prosesi pensyarahan hadis bergerak di ruang-ruang fikhi. Proses kelahiran ilmu hadis sebagai satu taksonomi keislaman yang independen pun dibidani oleh para fuqahā’. Di ruang-ruang fikhi inilah beberapa cabang ilmu hadis lahir sebagai sebuah keniscayaan proses ijtihad hukum yang diupayakan oleh para fuqahā’. Selain Ilmu Mukhtalif Hadīth, Ilmu Asbāb Wurūd al-Hadīth, Gharīb al-Hadīth dan lain sebagainya lahir sebagai alat pendukung bagi ulama fikih untuk memahami proses terbentuknya situasi hukum dalam teks hadis, yang pada tahap selanjutnya berguna untuk menyimpulkan satu hukum baru berdasarkan problematika yang ada.

Di abad kodifikasi, proses sistematisasi ilmu hadis semakin matang.

Lahirnya tipologi baru “muhaddith”, lahirnya kitab-kitab matan hadis dan kodifikasi metode otentifikasi riwayat adalah beberapa indikator yang menunjukkan hal itu. Fokus yang dominan muncul di fase ini adalah upaya untuk memilah hadis-hadis sesuai dengan tingkat keabsahannya. Standart yang digunakan pun juga berbeda-beda. Setidaknya, ada lima hal yang secara ijmak diacu oleh para ulama dalam menyitir hadis-hadis yang beredar untuk didokumentasi ke dalam sebuah kitab; soal ketersambungan transmisi periwayatan, soal keadilan dan keḍābitan perawi, soal ‘illah beserta shadz.

Hijāz. Ibn Farhūn Mālikī, Al-Dībāj Madhhab fī Ma’rifah ‘Ulamā’ A’yān al-Madhhab (Dār al-Turāth li al-Tab’i wa al-Nashr, 2011), jil. 1, h. 72.

53 Al-Shafi’ī memulai satu era yang sedikit demi sedikit meringkus di antara dua geo-epistemologis tersebut. Ketersalingan ini terjadi kala al-Shafi’ī mengambil riwayat sahih dari Aḥl al-‘Irāq sebagaimana ia juga mengambil riwayat sahih dari Aḥl al-Hijāz. Masyhur perkataan al-Shafi’ī, “idhā ṣaḥḥa ‘indakum al-hadīth faqūlū lanā ḥattā nadhhaba ilayhi”. Ibn ‘Asākir al-Shafi’ī, Tārīkh Madīnah Dimashq, jil. 57, h. 385.

54 Kedua persoalan tersebut sebenarnya sudah diamati oleh ulama generasi pra al-Shafi’ī. Mālik bin Anas, dengan al-Muwaṭṭā’ nya menjadi dokumentasi riwayat-riwayat sahih yang beredar di kalangan Aḥl al-Madīnah. Abū Ḥanīfah juga mendokumentasikan hal serupa dalam Musnad. Dua-duanya masih diformat sebagaimana layaknya pembahasan fikih. Namun yang penting dicatat, keduanya masih terpola dalam diferensiasi yang muncul.

27

Kelahiran ilmu hadis tidak serta merta menghilangkan warna-warna fikih sebagai taksonomi induknya. Diferensiasi Aḥl al-‘Irāq atau Aḥl al-Ra’y dan Aḥl al-Hijāz mungkin saja sudah terlebur, namun lahir diferensiasi baru yang menggambarkan corak dan karakteristik ilmu hadis yang dikembangkan, yaitu antara Aḥl al-Hadīth dan Aḥl al-Fiqh. Keduanya sama-sama bergerak dan menyumbang peran dalam terbentuknya ilmu hadis.

Lalu di mana posisi kerja pensyarahan hadis? Di abad kodifikasi, kerja mensyarah hadis setidaknya terejawantah dalam dua wujud; pertama dalam produk-produk fiqh al-hadīth yang dihasilkan oleh para muhaddith, yang secara eksplisit tertampil dalam kitab-kitab hadis yang mereka tulis.55 Kedua dalam produk pensyarahan konvensional ketika seorang ulama mensyarah sebuah kitab hadis atau berupa kitab-kitab fikih.

Mereka yang berada dalam kategori Aḥl al-Hadīth, mayoritas tidak terlalu memfokuskan diri pada unsur-unsur fikih dari hadis-hadis yang dikompilasi. Apa yang mereka pentingkan adalah standar keabsahan sebuah riwayat, meskipun pada kenyataannya sebuah hadis tidak masyhur sebagai sebuah praktek fikhi.56 Tapi pada kenyataannya, konsekuensi fikhi yang terkandung dalam hadis yang terkompilasi secara tidak sadar ikut tampil dalam sistematika penyusunan kitab atau pembaban tema-temanya. Ini menunjukkan bahwa kombinasi sanad-matan selalu bergerak beriringan dalam sejarah perkembangan hadis, termasuk di abad kodifikasi.57 Begitu juga, bisa

55 Selain menyuguhkan hadis dengan tingkat otentisitas di bawah Quran, al-Bukhārī juga merupakan seorang mustanbiṭ bahkan mujtahid yang mampu mengeluarkan hukum dari hadis-hadis yang dicantumkannya. Hal ini, meskipun tidak kentara dalam al-Ṣaḥīḥ, merupakan totalitas beliau sebagai muḥaddith. Baca kebiasaan al-Bukhārī, termasuk kaitannya dengan istinbaṭ hukum dalam: ‘Abd al-Hāq bin ‘Abd Wāhid Hāshimī, ‘Ādāt Imām Bukhārī fī Ṣaḥīḥihi (Kuwayt: Maktāb al-Shu’ūn al-Fanniyyah, 1428/ 2007), h. 71-110.

56 Meskipun asumsi ini nampaknya masih melahirkan cabang pendapat. Misal, oleh Rifqi Muhammad Fatkhi yang mengandaikan orientasi fikhi tetap tagah dalam tradisi ulama hadis meski hadis sudah independen. Lihat: Rifqi Muhammad Fatkhi, Sahih Ibn Hibban dalam al-Kutub al-Sittah: Sebuah Tawaran Alternatif (Tesis, SPs UIn Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008). Perdebatan soal dominasi fikih dalam tradisi muhaddis secara spesifik tertuang dalam: Rifqi Muhammad Fatkhi, “Dominasi Paradigma Fikih dalam Periwayatan dan Kodifikasi Hadis”, dalam Jurnal Ahkam, Vol.

XII, No. 2, 2012 dan “Hadith dalam Hegemoni Fiqh: Membandingkan Sahih Ibn Hibban dan Sunan Ibn Majah” dalam Journal of Qur’an and Hadith Studies, Vol, 1, No. 1, 2012.

57 Kenyataan ini berbeda dengan sebagian asumsi yang dipegang oleh para sarjana Barat, yang menyatakan bahwa pada mulanya ulama hadis hanya fokus pada sanad dan tidak membahas matan. Ibrāhīm Amīn Jāf Shahrāwarzī, Manāhīj al-Muḥaddithīn; fī Naqd al-Riwāyah al-Tārikhiyyah li al-Qurūn al-Hijriyah al-Thalāthah al-Ūlā (Dubay: Dār al-Qalam, 2014), jil. 1, h. 111. Selain itu, beberapa sarjana Muslim juga memandang sejarah perkembangan hadis secara parsial seperti itu. Baca: Aḥmad

28

dipastikan bahwa para muhaddith sejatinya juga memiliki kompetensi di bidang fikih, begitu juga sebaliknya.58

Sebaliknya, mereka yang berada dalam golongan Aḥl al-Fiqh, mayoritas menyantumkan hadis untuk tujuan istinbat hukum. Kalaupun ada kepentingan untuk menjelaskan asal-muasal dan kualitas hadisnya, Aḥl al-Fiqh tidak terlalu fokus sebagaimana Aḥl al-Hadīth. maka produk karya yang biasanya lahir adalah kitab-kitab kompilasi hadis hukum, kitab syarah atau justru kitab fikih yang hanya meletakkan hadis sebagai sumber pendasaran kesimpulan hukum.

Ketika ilmu hadis semakin matang, kitab-kitab rijāl al-hadīth mulai dibukukan dan mayoritas riwayat sudah terkompilasi, orientasi ulama hadis juga bergeser kepada kerja-kerja peninjauan hadis (takhrīj hadīth) dan mensyarah hadis.59 Di fase inilah syarah hadis sampai pada momentum puncaknya sebagai sebuah bidang keilmuan dan cabang tersendiri dalam kerja-kerja keilmuan hadis. Dengan kata lain, mensyarah hadis adalah puncak perkembangan keilmuan hadis dalam konteks Arab-Islam. Selain karena pekerjaan mengurai sanad telah rampung, para ulama hadis dihadapkan pada persoalan baru yakni bagaimana cara menjelaskan kandungan hadis demi kepentingan kontekstualisasi dan reaktualisasi hadis-hadis Nabi dalam menyelesaikan problem-problem baru.

Āmīn, Ḍuhā al-Islām (Lajnah al-Talīf, 1933), h. 130-132 dan Mahmūd Abū Rayyah, Aḍwā’ ‘alā al-Sunnah al-Nabawiyyah, cet. I (Dār al-Ta’līf, 1377/1958), h. 300. Ahmad Amin juga berkata, “kita lihat sendiri, bahkan Imam al-Bukhārī dengan reputasi ilmiahnya yang begitu tinggi dan kecermatan penelitiannya, beliau masih menyantumkan hadis-hadis yang tidak sahih ditinjau dari segi perkembangan zaman dan penemuan ilmiah. Hal ini disebabkan karena penelitian beliau hanya terbatas pada kritik sanad saja.” Lihat: Aḥmad Āmīn, Fajr al-Islām (Singapore: Sulaymān Mar’i, 1965), h. 217-218.

58 Sufyān Thawrī berkata, “law kāna ahadunā qāḍiyan laḍarabnā bi al-jarīd faqīhan la yata’allam al-hadīth wa muhaddithan lā yata’allam al-fiqh”. Perkataan ini masyhur dan bukan hanya berasal dari Sufyān al-Thawrī, tapi juga Sufyān Ibn

‘Uyaynah dan ‘Abdullah bin Sinān. Lihat: Abū ‘Abdillah Muḥammad bin Ja’far Kattānī, Naẓm Mutanāthir min Hadīth Mutawātir (Mesir: Dār Kutub al-Salafiyyah, t.t.), h. 6.

59 Ini sebagaimana yang diakui oleh ‘Alī al-Qārī terkait tugas para ulama mutaakhirīn yang memang punya tanggung jawab melanjutkan estafet keilmuan dengan cara mengkaji kembali, menguatkan dan menjelaskan. Alī bin Sulṭān Muhammad Qārī, Mirqāt Mafātīh Sharh Mishkāt Maṣābīh (Bayrūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1422 H./ 2001 M.), juz 5, h. 647.

29

Skema Sharah Istidlali

Skema Sharah Istintaji

Hadis

Hukum

Problem

Diagram 2.1: Perbedaan skema syarah istidlali dan istintaji

Perkembangan sharah istintājī kemudian dilanjutkan oleh al-Nawawī (w. 676 H) ketika menulis al-Minhāj Sharh Saḥīḥ Muslim bin al-Hajjāj.

Menurut Qāsim Ḥaddād, salah satu pembaharuan yang dibawa oleh al-Nawawī adalah, selain ia menyajikan kaul-kaul ulama terkait hal-hal yang berkaitan dengan sebuah hadis sebagaimana format yang muncul dalam syarah-syarah hadis sejak al-Khaṭṭābī, al-Nawawī juga menunjukkan sikap di hadapan berbagai macam pendapat dan pandangan tersebut. Al-Nawawī melakukan penyaringan, menelaah argumentasi pendapat yang ada dan melakukan tarjih pendapat.60 Dengan kata lain, al-Nawawī mulai memperkenalkan cara pensyarahan yang melibatkan subyektifitas si pensyarah hadis dalam upayanya menjelaskan kandungan hadis.

Keterlibatan si pensyarah ini tampak misal dalam cara al-Nawawī menjelaskan hadis;

ع هللا ىلص يبنلا جوز ةشئاع ىلع تلخد لاق دادش ىلوم ملاس نع ي ملس و هيل

مو

اي تلاقف اهدنع أضوتف ركب يبأ نب نمحرلادبع لخدف صاقو يبأ نب دعس يفوت

60 ‘Abd 'Azīz Qāsim Ḥaddād, Imām Nawawī wa Athāruhu fī al-Hadīth wa 'Ulūmuh (Bayrūt: Dār al-Bashā'ir al-Islāmiyyah, 1992), h. 569.

30

ليو لوقي ملس و هيلع هللا ىلص هللا لوسر تعمس ينإف ءوضولا غبسأ نمحرلادبع .رانلا نم باقعلأل

61

Dalam syarahnya, al-Nawawī menjelaskan banyak hal. Dari aspek sanad, al-Nawawī menjelaskan Sālim bin Shidād. Menurutnya, yang benar adalah tanpa “bin”, dan hanya menggunakan “mawlā”. Menurut al-Nawawī, tidak pernah ditemukan anak Shidād bernama Sālim, justru yang ada adalah nama budaknya.62

Dari aspek matan, al-Nawawī menjelaskan kandungan kalimat hadis tersebut. apa yang dimaksud “waylun li al-a’qābi min al-nār”. Al-Nawawī juga menjelaskan konsekuensi hukum perihal kewajiban membasuh kaki sampai tumit. Ia juga menyitir kesepakata para ulama mengenai ha itu.63

Jauh setelah al-Nawawī menulis al-Minhāj, Ibn Ḥajar al-Athqalānī (w.

852 H) kemudian muncul dan mensyarah Saḥīḥ Bukhārī. Kemunculan al-Athqalānī dan karyanya Fatḥ al-Bārī dianggap sebagai puncak perkembangan sharah istintājī berikut ilmu syarah hadis itu sendiri. Bahkan al-Shawkānī mengatakan, “la hijrata ba’da al-Fatḥ…(Fatḥ al-Bārī)”64 untuk menggambarkan kompeherensitas standar pensyarahan hadis yang telah diletakkan oleh al-Athqalānī.

Dalam menjelaskan sebuah hadis, al-Athqalānī hampir menggunakan seluruh model pendekatan secara analitik-komparatif (tahlīlī-muqāran). Tak hanya dari aspek matan, al-Athqalānī juga menjelaskan seluk beluk persoalan di aspek sanad. Tak hanya itu, al-Athqalānī juga menjelaskan persoalan gharīb al-hadīth, asbāb al-wurūd, ikhtilāf al-hadīth dan hampir seluruh cabang keilmuan hadis dalam setiap hadis yang disyarahkannya. Al-Athqalānī juga dengan jeli mengurutkan secara intertekstual pemaknaan hadis dengan hadis yang lain.

61 Muslim bin al-Hajjāj, Saḥīḥ Muslim (Bayrūt: Dār Ihyā’ al-Turāth, tt.), jil. 1, h. 213. No hadis 240.

62 Abū Zakariyā Yaḥyā bin Sharaf al-Nawawī, al-Minhāj Sharh Saḥīḥ Muslim bin al-Hajjāj (Bayrūt: Dār Ihyā’ al-Turāth, 1392 H.), jil. 3, h. 129.

63 al-Nawawī, al-Minhāj Sharh Saḥīḥ Muslim bin al-Hajjāj, jil. 3, h. 129.

64 Muḥammad bin Maṭhar al-Zahrānī, Tadwīn al-Sunnah al-Nabawiyyah:

Nash'atuhu wa Taṭawwuru min al-Qarn al-Awwal ilā Nihāyah al-Qarn al-Tāsi' al-Hijrī (Riyāḍ: Dār al-Hijrah li al-Nashr wa al-Tawzī', 1996), h. 122.

31

Diagram 2.2: Fase-fase epistemologis dalam perkembangan Syarah Hadis Kesimpulannya, ketiga fase transformasi epistemologis dalam syarah hadis ditentukan oleh setidaknya enam momentum. Dimulai oleh Nabi dan para sahabat di abad 1 hingga 2 H, dilanjutkan oleh al-Shāfi’ī di abad 3 H, dikembangkan oleh al-Ṭabarī dan al-Ṭaḥāwī di abad 4 H, kemudian dilanjutkan lagi oleh al-Khaṭṭābī di akhir abad 4 H, dilengkapi oleh al-Nawawī di abad 7 H dan disempurnakan oleh Ibn Ḥajar al-Athqalānī di abad 9 H. Di abad-abad

Diagram 2.2: Fase-fase epistemologis dalam perkembangan Syarah Hadis Kesimpulannya, ketiga fase transformasi epistemologis dalam syarah hadis ditentukan oleh setidaknya enam momentum. Dimulai oleh Nabi dan para sahabat di abad 1 hingga 2 H, dilanjutkan oleh al-Shāfi’ī di abad 3 H, dikembangkan oleh al-Ṭabarī dan al-Ṭaḥāwī di abad 4 H, kemudian dilanjutkan lagi oleh al-Khaṭṭābī di akhir abad 4 H, dilengkapi oleh al-Nawawī di abad 7 H dan disempurnakan oleh Ibn Ḥajar al-Athqalānī di abad 9 H. Di abad-abad