• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II HISTORISITAS MENSYARAH HADIS DAN FORMASI

C. Relasi Islam dan Kolonial: Dua Wacana Besar Konfrontasi

Membicarakan dialektika syarah hadis di Indonesia tentu tidak bisa terlepas dari problematika perkembangan Islam itu sendiri. Di abad 19, Islam Indonesia sebagai wacana keilmuan dianggap sudah matang. Nico Kaptein misalnya, mengatakan bahwa Islam Indonesia telah menemukan formulasinya dan stabil secara struktur pengetahuan di abad 19.78 Dan al-Marbawi sendiri, merupakan tokoh dengan karya yang muncul di abad setelahnya. Kalaupun

dalam syarah-syarah hadis lain. Tidak akan ditemukan misalnya narasi sapaan “ya akhi” dan lain sebagainya dalam proses pensyarahan, termasuk hadis. Sebagai contoh, lihat dalam: al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, hl. 3-10. Al-Marbawi selalu memberikan tanda kurung ketika menggunakan sapaan tersebut.

76 Meskipun para sejarawan cenderung sepakat, pasca Raniri dan al-Singkili, tradisi penulisan hadis mengalami kevakuman. Tradisi tersebut kemudian muncul kembali di akhir abad XIX melalui Mahfudh al-Termasi, Nawawi al-Bantani dan beberapa ulama Nusantara lain yang mulai menulis karya-karya di bidang hadis.

Namun yang perlu dicatat di sini, makna vakum diukur berdasarkan indikator karya yang muncul. Meski begitu, tradisi pengajian, periwayatan dan pensyarahan hadis secara oral kemungkinan besar masih ramai dilakukan di abad-abad kevakuman tersebut. Pertanyaan lain yang muncul, faktor apa yang menyebabkan kevakuman?

Setidaknya ada dua pendapat yang muncul; pertama, dominasi fikih dan syariat yang membuat diskursus hadis tenggelam. Kedua, kesibukan para ulama menginisiasi perlawanan terhadap kolonial.

77 Kemunculan varian ini disepakati oleh Agung Danarta dan peneliti peta perkembangan studi hadis Nusantara lainnya. Menurut Danarta, munculnya geliat diskursus hadis di akhir abad 19 dan awal abad 20, salah satunya dipengaruhi oleh faktor menguatnya gerakan purifikasi dan kampanye “kembali ke al-Quran dan Hadis”.

Fase ini juga menandai lahirnya pergeseran otoritas sosial-keagamaan yang awalnya diacu kepada madzhab fikih, lalu diacu kepada hadis langsung. Agung Danarta,

“Perkembangan Pemikiran Hadis di Indonesia: Sebuah Pemetaan”, dalam Jurnal Tarjih edisi 7 (Januari 2004), h. 74. Salah satu tokoh hadis yang menjadi kunci munculnya varian otoritas hadis semacam itu adalah Sayyid Usman.

78 Nico J.G. Kaptein, Islam, Kolonialisme dan Zaman Modern di Hindia-Belanda: Biografi Sayid Usman (1822-1914) (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2017), kata pengantar.

39

asumsi tersebut benar, al-Marbawi dan Baḥr al-Mādhī berarti lahir dalam situasi wacana yang sudah [di]stabil[kan].

Lalu pertanyaannya, penstabilan dan peresmian wacana semacam apa yang terjadi? Di sini pentingnya membahas setidaknya tiga hal, yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain; Pertama soal Islam Indonesia sebagai materi wacana [di]resmi[kan]. Kedua soal dialektika kolonialisme dan realitas keberagamaan di Indonesia, seperti tarekat, yang sedikit banyak menyumbang bentuk dan mengisi makna “Islam Indonesia” itu sendiri. Ketiga adalah soal peran kolaborator dari kalangan ulama dan posisinya dalam sengkarut relasi kolonial yang muncul.79

Hipotesa terbaru menyatakan bahwa Islam menyebar ke Indonesia melalui guru-guru sufi keturunan langsung Rasulullah SAW dari jalur ‘Alī bin Abī Ṭalib.80 Corak Islam yang datang pun tampak sufistik. Sebagaimana karakteristik sufisme, Islam di Nusantara dikenal luwes, adoptif dan moderat.

Maka diskursus hadis, termasuk kegiatan mensyarah hadis, awalnya juga bercorak sufistik dan akhlaqi. Materi-materi yang muncul tak jauh dari persoalan iman, etika Islam, ibadah dan lain sebagainya. Tema-tema dalam nuansa al-Targhib wa al-Tadhhib mewarnai kitab-kitab syarah di abad 17.81

Menariknya, sufisme di Nusantara tidak lantas hanya berwujud praktek dzikir dan ritual. Ajaran-ajaran sufi berikut tata lakunya menginspirasi Muslim pribumi untuk menagah perlawanan anti-kolonial dan sedikit banyak menyuplai basis bagi kesadaran berbangsa. Puncaknya terjadi di masa Diponegoro.82

Meskipun kalah, Perang Jawa tetap mewarisi trauma bagi status quo kekuasaan kolonial. Belum lagi dengan aksi pemberontakan beruntun yang

79 Misalnya Sayyid Usman dan proyek syariahisasinya yang menjadi ventilasi untuk melihat bagaimana variabel-variabel tersebut bersentuhan. Selain Sayyid Usman, ada juga Haji Hasan Mustapa dan Raden Aboe Bakar. Ketiganya mewakili keragaman relasi antara kolonial dan intelektual pribumi kaitannya dengan Islam.

80 Asumsi ini didasarkan pada temuan S.Q. Fatimi sebelumnya. Soal ator-aktor ini adalah keturunan Rasul, bisa dibaca dalam: Ahmad Baso, Islamisasi Nusantara:

Dari Era Khalifah Usman bin Affan hingga Wali Songo [Studi tentang Asal-Usul Intelektual Islam Nusantara] (Tangerang Selatan: Pustaka Afid, 2018).

81 Ini sebagaimana yang terlihat dalam Hidāyah al-Ḥabīb.

82 Perang Diponegoro 1825-1830 adalah titik picu untuk mendapatkan gambar bagaimana sufisme mewujudkan dirinya dalam bentuk pembangkangan terhadap kuasa kolonial. Selama hampir lima tahun peperangan yang sengit, kolonial Belanda ternyata tak cukup kuat untuk mengimbangi dan menghabisi pasukan Diponegoro. Skema dan bentuk pertempuran yang sama sekali tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya hadir dengan rupa yang paling menakutkan sekaligus membingungkan. Kemenangan tak kunjung diraih meskipun 25 juta gulden (setara + 2,5 miliar US$) dan 15.000 serdadu sudah dikeluarkan pemerintah belanda. Peter Carey, Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) (Jakarta: Kompas, 2014), h. xxi.

40

terjadi di tahun-tahun setelahnya, yang ternyata juga diinisasi oleh para ulama dan kelompok tarekat.83 Secara tidak langsung, realitas tersebut membuka perspektif baru mengenai posisi dan fungsi agama di tengah masyarakat pribumi. Sekaligus, ia menyumbang format baru bagi praktek kolonialisasi di tahun-tahun berikutnya.

Dengan kata lain, kolonialisme berkesimpulan bahwa ada dua tantangan yang akan mengguncang status quo mereka. Pertama adalah konfigurasi agama dan budaya yang menjadi tata nilai normatif yang dianut untuk menjaga sumber daya alam. Kedua, konfigurasi agama dan budaya juga jadi pemicu lahirnya sikap antipasti dan gerakan pemberontakan. Maka, cara yang paling efektif untuk dilakukan guna mengurai problem tersebut adalah dengan mengkonfrontasi relasi agama-budaya melalui pendekatan puritanisme dan sekularisme.

Di sini posisi Snouck Hugronje menjadi sangat penting. Dalam sebuah surat yang ditulisnya tak lama dari tahun meletusnya peristiwa pemberontakan petani di Banten, Snouck menulis sebuah rekomendasi untuk Pemerintah Kolonial untuk menjalan program pengawasan:

“Pengawasan yang teratur dari pihak Pemerintah Daerah atas pengajaran agama Mohammadan. Ini tidak semata-mata dapat disebut pengajaran agama. Sebab bukan hanya bidang-bidang sastra termasuk di situ, melainkan juga bidang hukum dalam seluruh aspeknya.

Sementara itu, pengajaran mistik kepada beberapa orang saja memberikan kekuasaan atas orang lain sedemikian rupa, sehingga Pemerintah Pusat boleh dianggap perlu mengenal ‘penguasa-penguasa’

itu secara lebih dekat, yaitu sebelum mereka menyalahgunakan kekuasaan mereka.”84

Ini yang juga mendorong Snouck dan pemerintah kolonial membuat kategorisasi yang; Islam politik dan Islam kultural.85 Melalui agenda pengawasan dan politik terminologi tersebut, pemerintah kolonial berupaya untuk menghapus “ekses politis” dari agama.86 Tentu saja yang dimaksud

83 Pemberontakan Petani Banten atau Geger Cilegon di tahun 1888. Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Depok: Komunitas Bambu, 2015), h. 155.

84 E. Gobee dan C. Adriaanse, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Seri Khusus INIS XI, terj. Sukarsi (Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation in Islamic Studies, 1995), h. 2142.

85 Harry J. Benda, The Crescent and The Rising Sun (The Hague, 1958), h. 20.

86 Bagi Snouck, yang harus dibasmi adalah Islam politik. Sebaliknya, pemerintah kolonial harus memberikan ruang dan tidak ikut campur dalam

gerakan-41

politik oleh pemerintah kolonial sangat spesifik. Yaitu sikap pembangkangan dan gerakan pemberontakan terhadap kekuasaan kolonial. Dan untuk mendorong suksesnya sekularisasi tersebut, pemerintah kolonial mengadopsi ideologi Islam Puritan yang menganggap budaya dan hal-hal lain selain yang tergambar dalam teks agama, adalah penyimpangan.

Dalam program dan agenda inilah Sayyid Usman dan para kolaborator dari kalangan tokoh agama “ditemukan”. Mereka diproyeksikan sebagai aktor ganda; selain diposisikan aktor kunci yang diarahkan untuk mengambil peran sebagai pengendali proyek puritanisasi atau depolitisasi gerakan umat Islam yang berpijak dan bersandar kepada semangat tarekat-sufistik, para kolaborator juga diposisikan sebagai telik sandi yang melaporkan kabar-kabar terbaru mengenai kejadian yang terjadi di masyarakat.

1. Antara Wacana Puritanisasi dan Wacana Ambivalensi: Kasus Sayyid Usman dan Haji Hasan Mustapa

Para kolaborator yang diinvensi oleh kolonial memang tidak tunggal. Ada yang sesuai dengan proyeksi awal untuk menjadi juru bicara puritanisme agama dan actor kunci suksesnya sekularisasi Islam-Politik dan Islam-Budaya, ada juga yang diam-diam membelot, menemukan caranya sendiri untuk terus melawan dari dalam. Sayyid Usman adalah tokoh yang bisa dijadikan sampel untuk melihat realitas kolaborator sekaligus keberlangsungan wacana keagamaan Indonesia di bawah tekanan kolonial.

Kajian tentang Sayyid Usman sendiri terbelah pada dua sudut pandang umum. Ada yang memandangnya sebagai kolaborator kolonial, yang selalu berkaitan dengan agenda kolonialisasi, termasuk produksi gagasan dan karya-karyanya. Ini terlihat misalnya dalam Islam Pasca-Kolonial karya Ahmad Baso.87 Namun

gerakan Islam kultural. Oleh karena itu, Snouck tidak setuju dengan cara Belanda mengintervensi dan melarang umat Islam untuk bergerak dalam bidang-bidang kultural, seperti membangun madrasah, mengadakan pengajian serta ritual ibadah lainnya seperti pelaksanaan ibadah haji. Menurut Aqib Suminto, tidak selamanya kolonial netral dalam soal agama. Belanda masih memiliki keyakinan bahwasanya kristenisasi adalah cara ampuh untuk masuk dan mengubah kultur masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 162.

87 Ahmad Baso, Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Reformisme Agama, Kolonialisme dan Liberalisme (Tangerang Selatan: Pustaka Afid, 2016). Dalam buku ini Sayyid Usman banyak disebut; h. 267-283 dan 341-372. Namun Ahmad Baso juga mengakui bahwa ada semacam ambivalensi dalam posisi Sayyid Usman di hadapan kolonialisme. Penggambaran A. Baso tentang sosok Sayyid Usman dalam bukunya itu juga tidak mengarah pada satu bentuk relasi yang tunggal. Tapi memang, faktor kolonialisme harus diperhitungkan karena Sayyid Usman memang memiliki relasi

42

beberapa peneliti seperti Azyumardi Azra, Aqib Suminto, Nico Kaptein dan Ahmad Athoillah memilah posisi Sayyid Usman secara lebih spesifik. Azra misalnya, memposisikan kritik Sayyid Usman terhadap jihad sebagai kritik terhadap substansi ritualnya saja, bukan pada impuls politik yang mendorongnya lahir.88 Ahmad Athoillah dalam tesisnya juga memperkuat hal itu dengan menyajikan data-data empirik-historis yang memperlihatkan retakan relasi antara Sayyid Usman sebagai ulama “Arab” dan petugas pemerintah kolonial.89 Perbedaan cara pandang mengenai Sayyid Usman merupakan indikasi betapa rumitnya dan kompleksnya relasi yang terbentuk dalam konteks kolonialisme.

Dalam perbincangan soal nalar atau al-aql, posisi Sayyid Usman sebagai Hadrami-Alawi, ulama hadis, penasehat kehormatan kolonial, bagian dari masyarakat terjajah dan subyek yang ada dalam konteks wacana sosial-ekopol seluruhnya akan dipandang berkaitan dan berjalin kelindan layaknya montase dalam satu dramaturgi kesejarahan.90 Maka untuk menangkap apa yang sebenarnya terjadi, data-data sarat kronologi akan disisir guna menemukan jaringan mekanisme kerja yang menyambungkan satu kejadian dengan kejadian lainnya.

Politik pecah belah Snouck dengan mendikotomi Islam politik dan Islam kultural langsung digarap oleh Sayyid Usman melalui beberapa kitab yang berisi kritik terhadap praktek tarekat saat itu.

Kitab-kitab varian ini juga yang awalnya menarik perhatian Snouck atas sosok Sayyid Usman. Terlepas dari asumsi-asumsi bahwa Sayyid Usman melakukan kritik tersebut dalam tataran ritual dan syariat bukan impuls politiknya91, bagi saya apa yang terlihat sama

colonial encounter dengan kolonial. Di sinilah pembacaan lanjutan harus dilakukan.

Satu-satunya cara yang bisa memperjelas posisi dan nalar Sayyid Usman adalah dengan membaca seluruh karya-karya yang muncul.

88 Azyumardi Azra, “Hadhrami Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora:

A Preliminary Study of Sayyid Uthman” dalam Indonesian Journal for Islamic Studies STUDI ISLAMIKA, vol. 2 no. 2 (1995), h. 18.

89 Ahmad Athoillah, Pandangan Sayyid Usman bin Yahya al-Alawi Penasihat Kehormatan Bangsa Arab Terhadap Kehidupan Masyarakat Arab di Jakarta 1870-1914-an (Tesis: Universitas Gajah Mada, 2015).

90 Al-Aql bagi al-Jābirī adalah distingsi yang mendorong bukan hanya bagi munculnya pemikiran, pendapat, gagasan dan identitas primordial (Arab-an atau ke-Indonesia-an), tapi juga bagi lahirnya metode berpikir yang menghubungkan dan melampaui batas periode maupun tema. Lihat: Muhammad ‘Ābid Jābirī, Takwīn

al-‘Aql al-‘Arabī (Bayrūt: Markaz al-Thaqāfī al-‘Arabī, 1991), h. 12.

91 Sebagaimana asumsi yang dikemukakan oleh Azra dalam “Hadhrami Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora” serta diperkuat oleh Noupal dalam:

Muhammad Noupal, Pemikiran Keagamaan Sayyid Usman bin Yahya (1822-1914):

43

sekali tidak bisa dilepaskan dari jaringan orientalisme kolonial yang kebetulan memiliki niat yang sama.

Beberapa kitab Sayyid Usman sontak memantik ruang perdebatan. Al-Naṣīḥah al-Anīqah lil Mutalabbisīna bi al-Ṭarīqah, al-Dīn al-Salāmah dan beberapa buklet kitab yang disusun memang untuk meluruskan amalan kelompok tarekat ditebar dan disponsori oleh kolonial. Dari sini, strategi divide et impera melahirkan sub politik pecah belah lainnya berwujud Islam Murni dan Islam Tradisi. Yang pertama harus ditegakkan, yang kedua harus disingkirkan karena sesat dan bidah.

Dalam konstruksi wacana semacam ini, muncul untuk pertama kalinya penggunaan term “bidah” guna mempertegas kontradiksi Islam Murni dan Islam Tradisi tersebut.92 Hadis “kullu bid’ah ḍalālah, wa kullu ḍalālah fiī al-nār” pun diperkenalkan dan dalam waktu singkat menjadi slogan. Secara otomatis, gerakan-gerakan anti-kolonialisme yang dirawat di langgar-langgar dan cangkruk tarekat juga terlibas secara ontologis dan terlumpuhkan. Islam politik versus Islam kultural mengarah pada pembelahan antara Islam bidah versus Islam ‘alā manhaj Qur’ān wa ṭarīqah al-nubuwwah.

Ada sekitar dua puluh dua amalan dan tradisi yang dikritik melalui terminologi bid’ah oleh Sayyid Usman, yang menurutnya sudah menyimpang dari ajaran Islam.93 Seiring dengan itu, upaya untuk mengembalikan wujud Islam kepada bentuknya yang paling puritan dilakukan oleh Sayyid Usman melalui media yang sama:

penulisan dan penyebaran kitab-kitab serta fatwa. Ini di satu sisi.

Di sisi yang lain, posisi Sayyid Usman sebagai seorang mufti pribumi juga bermanfaat bagi pemerintahan kolonial untuk merekonstruksi ruh hukum Islam agar sejalan dengan hukum dan agenda kolonial. Sayyid Usman kembali mendapatkan peran keduanya sebagai arsitektur wacana dalam agenda konfrontasi lanjutan dari puritanisme Islam, yakni Hukum Islam vis a vis Hukum Adat. Bagi Sayyid Usman – dan Kolonial –, hukum Islam

Respons dan Kritik Terhadap Kondisi Sosial Keagamaan di Indonesia (Disertasi SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008) dan Ahmad Athoillah dalam: Ahmad Athoillah,

“Kritik Sayyid Utsman bin Yahya terhadap Ideologi Jihad dalam Gerakan Sosial Islam pada Abad 19 dan 20” dalam Jurnal Refleksi vol. 12, no, 5 (Oktober 2013), h. 582.

92 Azyumardi Azra, “Hadhrami Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora”, h. 20-23.

93 Azyumardi Azra, “Hadhrami Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora”, h. 22.

44

memiliki otoritas yang lebih besar dan berposisi jauh di atas hukum adat.94

Dalam konteks kolonialisme, Sayyid Usman adalah komparador atau subyek yang tidak sepenuhnya berada dalam ruang subyektifitasnya sebagai orang Indonesia, tidak pula sepenuhnya berada dalam ruang subyektifitas kolonial sebagai The Other-nya.

Kompleksitas posisi inilah yang membuat Sayyid Usman meniscayakan kontroversi dan sulit untuk diidentifikasi. Namun sebaliknya, peran Sayyid Usman juga mampu menjelaskan dan menggambarkan satu situasi keterbelahan subyek.

Keberadaan tokoh-tokoh dari kalangan intelektual yang merawat kekaburan biner seperti Sayyid Usman memang lumrah ditemukan dalam banyak kasus kolonialisme. Fanon menyatakan bahwa proses tarik ulur relasi antara subyek kolonial dan subyek jajahan ditentukan oleh posisi kaum intelektual bangsa jajahan.95 Kekaburan relasi ini bisa melahirkan dua konsekuensi yang bertolak belakang sekaligus; apropriasi subyek terjajah ke dalam subyek penjajah (disciplinary gaze) atau hibriditas yang mengandaikan proses dekolonisasi (displacing gaze).96

Dalam ruang pembelahan inilah kajian hadis yang dibawa Sayyid Usman digulirkan. Kalaupun Sayyid Usman diposisikan sebagai tokoh kajian hadis di abad 19, bagi saya perannya bukan semata melanjutkan jalinan epistemologis wacana hadis Nusantara sebagaimana yang telah dibangun di abad-abad sebelumnya. Sayyid Usman muncul dengan pretensi diskursus yang lebih politis sehingga kajian hadis yang dihadirkan sama sekali berbeda. Dengan kata lain, kehadiran Sayyid Usman justru memutus pertalian epistemologis dengan tradisi kajian hadis sebelumnya.

Kalaupun Nico Kaptein berulang kali menyatakan bahwa Sayyid Usman adala aktor utama yang membentuk “Islam

94 Lihat misalnya dalam: Sayyid Usman bin Yahya, al-Qawānīn al-Shar’iyyah li Aḥl al-Majālis al-Hukmiyyah bi Taḥqīq al-Masā’il li Yatamayyaza Lahum al-Ḥaq wa al-Bāṭil (Jumadil Akhir 1298/ Mei 1881). Lihat juga: Nico Kaptein, Islam, Kolonialisme dan Zaman Modern di Hindia-Belanda, h. 137-138.

95 “Colonized intellectual. In its narcissistic monologue the colonialist bourgeois, by way of its academics, had implanted in te minds of the colonized that the essential values – meaning Wstern values – remain eternal despite all errors attributable to man”. Frantz Fanon, The Wretched of The Earth (New York: Grove Press, 2004 [1963]), h. 10-11.

96 Babha dengan bagus menjelaskan proses pembalikan gaze (tatapan) dalam relasi kolonial, “unsettles the mimetic and narcissistic demands of colonial power but reimplicates its identifications in strategies of subversion that turn the gaze of the discriminated back upon the eye of power”. Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London & New York: Routledge, 1994), h. 159.

45

Indonesia”97, berdasarkan ulasan sebelumnya saya juga harus bertanya, “Islam Indonesia seperti apa yang dibentuk? Atmosfer kesarjanaan muslim seperti apa yang dikatakan mapan? Dan model reformasi Islam seperti apa yang muncul?” Jawabannya adalah Islam yang muncul dan keterbelahan antara politik dan kultural, antara yang asli dan yang bidah, antara yang murni dan yang adat dan dikotomi-dikotomi orientalistik lainnya. Dengan bahasa yang lebih mudah, kodifikasi Islam Indonesia yang terbentuk di abad 19 adalah kodifikasi Islam yang praktis, mengaku paling syar’i dan berbasis al-Quran plus Hadis.

Dari kondisi wacana semacam ini, hadis-hadis ibadah, tibb al-nabawi dan amaliyah sekunder lain yang sebenarnya tidak begitu fundamental muncul dan bertebaran. Intinya, yang laku kemudian adalah hadis-hadis yang menawarkan satu model keberagamaan yang terlihat syar’i, mudah dan sederhana sekaligus praktis. Hadis-hadis yang digunakan mendobrak amaliyah keagamaan yang sosialis dan mengakar dalam tradisi Islam di Nusantara sejak lama.

Lain halnya dengan Haji Hasan Mustapa.98 Dalam surat-suratnya dengan Snouck Hugronje, tampak sekali bahwa Hasan Mustapa memiliki karakteristik subyektifitas yang berbeda. Visi keagamaan dan caranya bergerak dalam relasi kolonial pun berbeda dengan Sayyid Usman.99

Dalam surat-suratnya dengan Snouck Hugronje, Haji Hasan Mustapa tidak begitu mempermasalahkan kegiatan-kegiatan tarekat sebagaimana yang dipermasalahkan oleh Sayyid Usman. Dalam satu surat, ketika Snouck menanyakan sebuah kasus yang menyangkut kelompok tarekat, Haji Hasan Mustapa dengan tenang dan hibrid menjelaskan kalau itu adalah gambar dari keragaman sikap keberagamaan orang Indonesia.100 Tidak ada yang perlu

97 Nico J.G. Kaptein, Islam, Kolonialisme dan Zaman Modern di Hindia-Belanda: Biografi Sayid Usman (1822-1914).

98 Haji Hasan Mustapa lahir di Cikajang, Garut Selatan, 3 Juni 1852 M./ 15 Sha’ban 1268 H. Sejak usia 8 tahun, Hasan Mustapa sudah dikenalkan pada model pendidikan Barat oleh K.F. Holle. Ia pun dikenal sebagai sahabat dekat Snouck, yang banyak membantu Snouck membuat laporan mengenai Aceh. Sampai akhir hayatnya, Hasan Mustapa dan Snouck tetap saling berkirim surat. Edi S. Ekajati dkk, Empat Sastrawan Sunda Lama (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995), h. 25-30.

99 Ini nampaknya juga disadari Martin Van Bruinessen. Dia mengelompokkan komparador Snouck menjad dua; Kelompok Sayid Usman dan Hoesein Hadjajadiningrat. Martin Van Bruinessen, “Foreward”, dalam Julian Millie (ed.), Hasan Mustapa: Ethnicity and Islam in Indonesia (Australia: Monash University, 2017), h. vii.

100 Kedekatan Haji Hasan Mustapa dengan Snouck pun melahirkan banyak persepsi dan stigma konspiratif. Salah satunya dari Sayyid Usman. Dalam sebuah

46

dikhawatirkan, apalagi sampai menganggapnya sebagai lembaga pemberontakan.101

Penghargaan Haji Hasan Mustapa dan kesadarannya mengenai lokalitas benar-benar terbentuk. Selain itu, Hasan Mustapa adalah seorang sufi dan penganut waḥdat al-wujūd.102 Kesadaran mengenai budaya dan sufisme yang dianutnya kemudian mendorong Hasan Mustapa untuk menulis karya-karya sastra sufistik berbentuk danding dan lain sebagainya.103

Dengan kata lain, ada wacana keagamaan dan kesadaran tandingan yang sebenarnya terpolakan di abad 19 dan 20 M. Selain wacana purifikasi dan fundamentalisasi agama model Sayyid Usman, muncul juga wacana sufistik dan ambivalensi sebagaimana yang diperlihatkan oleh Haji Hasan Mustapa.104 Sebagai

tulisannya yang diterbitkan di sebuah surat kabar berbahasa Arab di Timur Tengah, Usman benar-benar “membantai” Mustafa dan menuduhnya sebagai “setan dari Bandung”. Tulisan Sayyid Usman ini jelas memiliki dampak yang luas, apalagi ia adalah tokoh yang sangat berpengaruh. Jajang Jahroni, The Life and Mystical Thought of Haji Hasan Mustafa (1852-1930) (MA Thesis. Leiden University, 1999). Dinukil lagi dalam; Jajang Jahroni, “Menemukan Haji Hasan Mustafa (1852-1930)” dalam Studia Islamika, vol. 25, No. 12 (2018), h. 413.

101 Jajang Jahroni, Informan Sunda Masa Kolonial: Surat-Surat Haji Hasan Mustapa untuk C. Snouck Hurgronje dalam Kurun 1894-1923 (Yogyakarta: Octopus Publishing, 2018), h. 254.

102 Jajang Jahroni, “Menemukan Haji Hasan Mustafa (1852-1930)”, h. 417.

Meskipun berlatar Sunda, Menurut Nancy Florida, Hasan Mustapa juga dipengaruhi

Meskipun berlatar Sunda, Menurut Nancy Florida, Hasan Mustapa juga dipengaruhi