• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Penelitian ini memiliki keterkaitan dengan beberapa penelitian sebelumnya. Secara umum, persinggungan tersebut bisa dipetakan ke dalam tiga titik; 1) persinggungan dengan penelitian-penelitian yang mengangkat topik perkembangan kajian hadis di Nusantara, 2) persinggungan dengan penelitian-penelitian yang mengangkat topik tentang syarah hadis, baik dalam konteks Arab-Islam maupun konteks Nusantara dan 3) persinggungan dengan penelitian yang fokus pada kajian atas kitab Baḥr al-Mādhī Sharah Bagi Mukhtaṣar Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī karya Muhammad Idrīs al-Marbawī.

Titik singgung pertama. Ada banyak sekali sebenarnya penelitian yang sudah dilakukan terkait perkembangan kajian hadis di Indonesia. Azyumardi

14

Azra dalam karya monumentalnya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepualuan Abad XVII dan XVIII26 menjadi rujukan induk penelitian-penelitian terkait hal itu. Hanya saja, dalam buku ini, Azra hanya mengungkit soal perkembangan kajian hadis sebagai data sekunder untuk menunjukkan keterkaitan dan keterjalinan jaringan ulama Nusantara dengan para ulama di Timur Tengah. Jadi secara spesifik, tidak ada kajian mendalam terkait topik peta perkembangan kajian hadis maupun terkait satu naskah hadis tertentu.

Dalam penelitiannya, Azra tercatat hanya menyebut beberapa kitab hadis saja, antara lain: Hidāyah al-Habīb fi al-Targhīb wa al-Tarhīb karya Nūr Dīn Ranirī, Hadīth Arba’īn dan Mawā’iẓ Badī’ah karya ‘Abd Ra’ūf Sinkilī, dan Lubāb Ihyā’ ‘Ulūm Dīn karya ‘Abd Ṣamad al-Palimbānī. Penyebutan nama-nama kitab ini digunakan dalam konteks untuk menunjukkan eksistensi jaringan keilmuan tersebut. Jadi memang tidak ada ulasan spesifik mengenai kajian hadis di Nusantara, apalagi menyebut Baḥr al-Mādhī, karena memang lingkup penelitiannya tidak sampai abad 20 M.27

Oman Fathurrahman bisa dikatakan adalah salah satu pionir yang mulai fokus pada topik perkembangan kajian hadis di Nusantara. Dalam artikel yang ditulisnya untuk mengkaji kitab Hidāyat al-Ḥabīb karya Nūr al-Dīn al-Ranirī itu, Oman juga memberikan sub-bab khusus yang menyantumkan hampir 16 nama kitab hadis yang ditulis secara periodik sejak abad 17 M.28 Menurutnya, berdasarkan data fisik berupa keberadaan naskah-naskah hadis, akar kajian hadis di Nusantara sebenarnya sudah kuat dan mapan. Menurut Oman, kitab dan ulama hadis pionir yang memulai itu adalah Nūr al-Dīn al-Ranirī melalui kitabnya Hidāyah al-Ḥabīb.

Hidāyah al-Ḥabīb sendiri merupakan kitab al-Tarhīb wa al-Targhīb yang memuat beragam hadis yang diambil dari kitab-kitab induk hadis. Ada hampir 800 hadis yang dicantumkan oleh Nūr al-Dīn al-Ranirī untuk membahas banyak tema. Kitab kompilasi hadis semacam ini mirip dengan Riyāḍ al-Ṣālihīn karya al-Nawāwī, Lubāb al-Hadīth karya al-Suyūṭī atau kitab-kitab Arba’īnāt.

Agak sulit menentukan kadar perkembangan keilmuan hadis di Nusantara melalui kitab-kitab tersebut, karena: 1) yang ditekankan di dalamnya hanya penyantuman redaksi hadis tanpa menyebutkan kelengkapan rantai periwayatan dan 2) kurangnya data tekstual karena ia seringkali hanya menyantumkan hadis tanpa menjelaskan subtansi kandungannya.

Oleh karena itu, untuk tujuan memastikan akar kajian dan tradisi penulisan, Hidāyat al-Ḥabīb memang harus dijadikan obyek karena ia termasuk

26 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepualuan Abad XVII dan XVIII (Jakarta: Kencana Pustaka Prenada Media Group, 2013).

27 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama…, h. 235, 260-261, 118.

28 Oman Fathurrahman, “The Roots of The Writing Tradition of Hadith Works in Nusantara: Hidayat al-Habib by Nur al-Din al-Raniri” dalam Studia Islamika, vol.

19, no. 1, 2012.

15

yang paling tua di antara naskah-naskah hadis yang ada. Namun untuk menangkap volume keilmuan hadis, kitab-kitab syarah lebih bisa dimanfaatkan.

Pertama karena ia lahir dari kematangan diskursus kajian hadis, kedua karena ia cenderung menyediakan ruang yang lebih untuk pensyarah dalam mengeksplor pengetahuannya di bidang hadis. Di sinilah letak kesenjangan antara kajian yang diangkat Oman dengan penelitian ini.

Howard Federspiel juga melakukan penelitian terkait literatur-literatur hadis di Indonesia abad 20 M.29 Menurutnya, abad 20 adalah satu momentum ketika lokalitas mengambil peran sebagai media bahasa dan paradigma untuk memahami hadis secara khusus, dan memahami Islam dalam konteks kenusantaraan secara umum. Vernakularitas semacam ini yang ditengarai Federspiel menjadi pemicu bagi peralihan model penulisan literatur hadis di Indonesia hingga abad 21 M.

Namun sayangnya, untuk menunjukkan fenomena vernakularitas literatur tersebut, Federspiel hanya mengukurnya dari fenomena kemunculan terjemahan kitab hadis yang mulai marak di abad 20. Menurutnya, buku-buku terjemahan adalah dokumen yang secara implisit merekam peralihan dimensi dalam pemaknaan hadis. Federspiel memahami tubrukan dimensional hanya sebatas peralihan bahasa dari Arab ke Indonesia saja. Padahal kalau mau diperluas, naskah-naskah hadis Nusantara, baik yang ditulis dengan bahasa Arab ataupun Melayu, baik yang disajikan dengan aksara Arab, Pegon maupun Jawi, sama-sama memiliki unsur lokalitas yang menjadi distingsi dari kitab-kitab serupa yang ditulis dalam konteks Arab maupun Timur-Tengah. Maka bisa dimaklumi kemudian ketika tidak ditemukan Baḥr al-Mādhī dalam penelitian Federspiel, atau kitab-kitab hadis beraksara pegon lainnya.

Penelitian ini memiliki jangkauan yang lebih luas dalam melihat fenomena vernakularitas literatur tersebut dan menarik makna subyektifitas maupun lokalitas ke dalam ruang diskursus yang lebih abstrak. Mungkin saja sebuah kitab syarah hadis Nusantara ditulis dengan Bahasa Arab, tapi tak bisa dipungkiri bahwasanya akan banyak ditemukan tanaman nilai-nilai lokalitas dari penjelasannya terhadap sebuah hadis. Pekerjaan dalam tesis ini dipermudah mengingat Baḥr al-Mādhī menggunakan Bahasa Melayu dan Aksara Pegon sebagai medianya. Aroma lokalitas akan lebih terpampang dan terlihat lebih konkret.

Selain itu ada juga Daud Rasyid Harun yang menulis disertasi tahun 1996 berjudul Juhūd ‘Ulamā Indūnīsiyya fī al-Sunnah”.30 Disertasi doktoral

29 Howard Federspiel, “Hadith Literature In Twentieth Centurty Indonesia”

dalam Oriente Moderno, Nouva Serie, Anno 21 (82), Nr. 1, Hadith in Modern Islam (2002).

30 Dawūd Rāshid Hārūn, Juhūd ‘Ulamā Indūnīsiyya fī al-Sunnah, Risālah Muqaddimah li-Nayli Darajah Duktūrah fī Sharī’ah Islāmiyyah (Jāmi’ah al-Qāhirah, 1996).

16

yang berhasil dipertahankan di Jami’ah al-Qahirah ini meyajikan banyak hal terkait usaha dan upaya ulama Indonesia dalam perkembangan kajian hadis secara khusus, dan menghidupkan sunnah secara umum. Keluasan tema dan ruang lingkup pembahasan dalam disertasi ini justru menjadi kekurangan karena ia tidak memberikan ruang yang lebih luas untuk melakukan eksplorasi terkait perkembangan kajian hadis di Indonesia secara spesifik.

Titik singgung kedua. Sementara, buku yang secara kompeherensif membahas seluk beluk mengenai syarah hadis mungkin adalah Metodologi Syarah Hadis Era Klasik hingga Kontemporer yang ditulis oleh M. Alfatih Suryadilaga.31 Namun, sebagaimana namanya, buku terseb membahas seluruh syarah-syarah hadis dari periode klasik sampai kontemporer dan tidak terfokus pada kitab-kitab syarah hadis Nusantara.

Selain buku tersebut, karya akademik yang termasuk paling awal memulai babatan kajian syarah hadis dalam konteks keindonesiaan adalah tesis yang ditulis oleh Muhammad Tasrif tahun 2002. Meskipun tak implisit menyantumkan kalimat syarah hadis di judul tesisnya, penelitian berjudul Pemikiran Hadis di Indonesia; Wacana Tentang Kedudukan Hadis dan Pendekatan Pemahaman Terhadapnya32 ini sejatinya memiliki obyek penelitian layaknya syarah hadis. Dalam Tesisnya, Tasrif fokus untuk menentukan kedudukan hadis dan pembentukan hukum Islam di Indonesia.

Tasrif juga menjelaskan metode dan pendekatan pemahaman hadis yang selama ini teraplikasi dalam beberapa karya. Sayangnya, tesis yang ditulisnya di Yogyakarta ini hanya membatasi diri pada karya-karya yang terbit pasca kemerdekaan.

Beberapa tahun kemudian, tepatnya di tahun 2007, Muhammad Mustaqim M. Zarif menulis kajian yang lebih terfokus pada syarah hadis.33 Disertasi yang ditulisnya itu mengangkat dua syarah hadis yang ditulis oleh ulama Nusantara atas kitab Lubāb al-Hadīth karya al-Suyūṭī. Kedua naskah tersebut adalah kitab Tanqīh al-Qawl al-Hathīth karya Nawāwī al-Bantānī dan Kitab Jawhar Mawhūb karya Wan ‘Alī ibn ‘Abd Raḥman Kutan Kelantanī. Zarif melakukan perbadingan terhadap dua kitab syarah Lubāb al-Hadīth tersebut dan mencari distingsi di antara keduanya.

31 M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis Era Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Suka-Press UIN Sunan Kalijaga, 2012).

32 Muhammad Tasrif, Pemikiran Hadis di Indonesia; Wacana Tentang Kedudukan Hadis dan Pendekatan Pemahaman Terhadapnya (Tesis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2002).

33 Muhammad Mustaqim M. Zarif, Jawah Hadis Scholarship in The Nineteenth Centur: A Comparative Study of The Adaptions of Lubab al-Hadis Composed by Nawawi Banten (d. 1314/1897) and Wan ‘Ali of Kelantan (d. 1331/1913) (Edinburgh: University of Edinburgh, 2007).

17

Menapaki tahun 2010 ke belakang, kajian seputar kitab hadis nusantara mulai marak. Semisal tesis yang ditulis oleh Munirah di tahun 2015, yang berjudul Metodologi Syarah Hadis Indonesia Awal Abad ke-20. Dalam tesisnya ini, Munirah melakukan studi terhadap dua kitab, yaitu: al-Khil’ah al-Fikriyyah Sharh al-Minḥah al-Khayriyyah karya Muhammad Mahfūẓ al-Tarmasī dan Tabyīn al-Rāwī Sharh Arba’īn Nawāwī karya Kashf al-Anwār al-Banjarī.34 Yang hendak dilacak oleh Munirah dari kedua kitab tersebut adalah metodologi syarah apa yang digunakan oleh para ulama hadis nusantara di awal abad 20.

Sedangkan di tahun 2017, Shofiatun Nikmah juga melakukan penelitian serupa dengan mengangkat studi terhadap kitab Miṣbāh Ẓalām Sharh Bulūgh al-Marām karya KH. Muhajirin Amsar al-Dary. Kitab yang ditulis pada akhir abad 20 M ini digunakan sebagai obyek kajian untuk mengetahui peta perkembangan syarah hadis di Indonesia pada akhir abad 20 M.35

Dari seluruh penelitian tersebut, distingsi yang paling jelas, yang membedakannya dengan penelitian kali ini adalah soal obyek penelitian, materil kitabnya dan format analisisnya. Kalau diperhatikan, hampir seluruh kajian terdahulu hanya fokus pada usaha mengukur metodologi pensyarahan di dalam kitab-kitab hadis Nusantara yang ditelitinya. Dan hampir seluruhnya akan terjebak dalam kategorisasi terminologis antara taḥlīlī, ijmālī, mawḍū’ī dan muqārin.

Cara menganalisa semacam ini sebenarnya sudah harus direvisi, karena tidak bisa seluruh kitab digeneralisir ke dalam beberapa bentuk metodologi yang sudah terkonsep sebelum obyeknya betul-betul diperas. Al-Jabiri mengkritik keras praktek mendahulukan metode sebelum benar-benar mengkaji obyeknya (naw’iyah al-manhaj tuhaddidu ṭabī’ah al-mawdū’).

Sebaliknya, yang harus dilakukan adalah “inna ṭabī’ah al-mawdū’ tuhaddidu naw’iyah al-manhaj” (karakteristik obyek yang menentukan jenis metode dan hipotesis).36 Ketika seluruh kitab syarah hadis digeneralisir ke dalam kategorisasi tersebut, maka sejatinya seorang peneliti telah mengabaikan karakteristik dan kekhasan lain dari kitab tersebut; remah-remah data yang

34 Munirah, Metodologi Syarah Hadis Indonesia Awal Abad ke-20: Studi Kitab al-Khil’ah al-Fikriyyah Syarh al-Minhah al-Khairiyyah karya Muhammad Mahfudz al-Tirmasi dan Kitab al-Tabyin al-Rawi Syarh Arba’in Nawawi karya Kasyf al-Anwar al-Banjari (Tesis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarya 2015).

35 Shofiatun Nikmah, Sejarah Perkembangan Syarah Hadis di Indonesia Akhir Abad XX: Studi Kitab Misbah al-Zolam Sharh Bulugh al-Maram karya KH.

Muhajirin Amsar al-Dary (Tesis UIN Sunan Ampel Surabaya, 2017).

36 Model relasi subyek-obyek ini kemudian dirinci lagi oleh al-Jābirī.

Menurutnya, metodologi, apapun itu, memiliki tiga irisan; al-ṭarīqah, al-mabādi’ dan al-mafāḥim. Bagi al-Jābirī, yang harus terus menerus disesuaikan dengan karakter obyek adalah irisan mafāḥim. Baca: Muhammad ‘Ābid Jābirī, Aql Siyāsi Arabī: Muhaddidātuhu wa Tajliyātuhu, cet. III (Bayrūt: Markaz Dirāsāt Wiḥdah

al-‘Arabiyyah, 1995), h. 8.

18

sebenarnya dicari dan bisa menjadi data penting untuk menunjukkan distingsi kajian. Karena itu, dalam penelitian ini, data-data yang tampak minor tetap akan didaku sebagai indikator bagi kekhasan dan keunikan vernakular.

Titik singgung ketiga. Sebelumnya sudah diungkap, bahwa ada beberapa artikel yang sudah terbit yang mengkaji Baḥr al-Mādhī. Mayoritas peneliti Baḥr al-Mādhī sementara ini dilakukan oleh peneliti Malaysia. Hal ini lumrah mengingat Muhammad Idris al-Marbawi adalah salah seorang ulama besar Malaysia. Al-Marbawi lahir, menghabiskan masa remaja dan meninggal di Lubuk Merbau, Kuala Langsar, Perak, Malaysia.37 Beberapa penelitian tentang Baḥr al-Mādhī yang sudah dilakukan antara lain:

Sebuah artikel berjudul Bahr al-Madhi: Significant Hadith Text Sciences for Malay Muslims as a Tool for Political Teaching during Twentith Centuryyang ditulis oleh Latifah Abdul Majid dan Nurullah Kurt terbit tahun 2014.38 Meskipun tidak mengakomodir seluruh kekhasan dalam Baḥr al-Mādhī, artikel ini minimal menambah khazanah penelitian yang mengkaji Baḥr al-Mādhī. Di dalam artikel tersebut, Latifah dan Nurullah hanya mengandaikan nilai fungsional dari Baḥr al-Mādhī yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih praksis. Amatan terhadap unsur aksiologi yang dikandung Baḥr al-Mādhī sah-sah saja, namun ia akan menjadi lompatan reduktif besar jika tidak didasarkan pada kajian mendalam terhadap isi dan seluk-beluk mengenai segala hal yang ada di dalam Baḥr al-Mādhī.

Ada juga dua artikel yang ditulis oleh Faisal bin Ahmad Shah, yang berjudul Syaikh Mohamed Idris Marbawi: Kontribusinya dalam Fiqh al-Hadis dan Sumbangan Syeikh Mohamed Idris al-Marbawi dalam Penentuan Identiti Perawi: Tumpuan Kepada Kitab Bahr al-Madhi. Kedua artikel tersebut masing-masing terbit tahun 2010. 39 Dua artikel yang ditulis Faisal secara parsial tersebut, sedikit banyak telah membuka lahan penelitian yang fokus pada isi dan data tekstual dalam Baḥr al-Mādhī. Dalam kedua artikel itu, Faisal

37 Beberapa artikel yang menulis biografi al-Marbawi, semuanya hampir menyatakan bahwa Lubuk Merbau adalah salah satu lokasi di Kuala Langsar, Perak.

Namun berdasarkan penelurusan, al-Marbawi yang dinisbatkan kepada kecamatan Merbau ini juga berlokasi di Kepulauan Meranti, Riau. Namun ini tidak menjadi masalah besar, karena kedua lokasi tersebut masuk dalam wilayah kepulauan Nusantara.

38 Latifah Abdul Majid and Nurullah Kurt, “Bahr al-Madhi: Significant Hadith Text Sciences for Malay Muslims as a Tool for Political Teaching during Twentith Century” dalam Mediterranean Journal of Social Sciences, vol. 05, no. 20 (Rome:

MCSER Publishing, September 2014).

39 Faisal bin Ahmad Shah, “Syaikh Mohamed Idris al-Marbawi:

dalam Fiqh al-Hadis”, dalam MIQOT vol. XXXIV, no. 1, Januari-Juni 2010 dan Faisal bin Ahmad Shah, “Sumbangan Syeikh Mohamed Idris al-Marbawi dalam Penentuan Identiti Perawi: Tumpuan Kepada Kitab Bahr al-Madhi” dalam HADIS, vol. 1, no. 1 (Malaysia, Juli 2010).

19

merujuk dan langsung menyajikan data teks dari Baḥr al-Mādhī untuk membuktikan argumentasinya mengenai satu hal. Dia menunjukkan cara al-Marbawi melakukan identifikasi dan kajian atas perawi hadis dengan menyertakan tulisan langsung al-Marbawi dalam Baḥr al-Mādhī, begitu juga soal Fiqh al-Hadith. Namun sayangnya Faisal belum menyentuh problem yang lebih epistemologis; ia belum mengungkit soal lokalitas, tindihan subyektifitas yang membentuk konstruksi pensyarahan itu sendiri atau hal-hal lainnya yang berada di luar teks, namun memiliki peranan besar dalam membentuk teks.

Selain itu ada juga artikel yang ditulis secara berkelompok, yang terbit tahun 2018 dengan judul Mahattat fi Hayat al-Muhaddis al-Malizi al-Syaikh Muhammad Idris al-Marbawi wa Atharuhu al-‘Ilmiyyah.40 Dari judulnya, kita sebenarnya sudah bisa menebak kalau artikel tersebut ditulis dengan keumuman topik dan tema pembahasan. Artikel tersebut seakan-akan ditulis hanya untuk mereka yang ingin tahu siapa al-Marbawi, apa itu Baḥr al-Mādhī dan bagaimana al-Marbawi meninggalkan pengaruh ilmiah dalam iklim pengetahuan di Malaysia. Sebatas itu. Alih-alih mengangkat kajian-kajian yang hendak menangkap sesuatu yang lebih kognitif dan epistemologis, serta ulasan analitik soal teks syarah Baḥr al-Mādhī, penelitian tersebut nampak hanya sebagai pengantar dan ulasan yang hendak memperkenalkan al-Marbawi.

F. Metode dan Pendekatan