• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agnosia taktil

Dalam dokumen PERDOSSI (Halaman 91-99)

Tipe yang utama untuk pengenalan objek secara taktil terpenting adalah pengenalan ruang atau persepsi bentuk.

Taktil agnosia adalah gangguan selektif dari pengenalan objek secara taktil dimana tidak terdapat gangguan fungsi somatosensorik primer.

Gangguan ini harus dibedakan dengan gangguan penamaan benda dari modalitas fungsi bahasa (anomia), dan objek yang belum pernah dikenal oleh subjek.

Gangguan ini unilateral (terganggu pada tangan kanan atau kiri) yang berasal dari lesi unilateral. Strategi eksplorasi secara taktil normal, episodic memori normal.

Mishkin mengajukan teorinya berdasarkan penelitian pada kera, posterior insula berperan pada proses belajar secara taktil dan rekognisi objek dan berhubungan dengan area sensorik sekunder dan struktur limbik mesial temporal. Dari perspektif ini, taktil agnosia adalah gangguan aliran informasi antara somatosensorik dengan sistim memori.

Agnosia taktil merupakan gangguan akibat lesi di korteks parietal inferior, kemungkinan termasuk area Brodmann 40 dan 39.

Astereognosis adalah gangguan persepsi spatial taktual disebabkan kerusakan otak pada banyak level dari sistim somatosensorik termasuk serabut saraf perifer, medulla spinalis, batang otak dan thalamus (ventral posterior lateral).

Proses informasi somestetik terbagi dua :

• Aliran ventral dgn gangguan sbb.: rekognisi objek, belajar secara tactual, dan memory.

• Aliran dorsal : intergrasi sensori motorik dan fungsi spatiotemporal somestetika. Sindrom Apraksia-astereognosis

Tipe astereognosis yang tidak umum sebagai hasil dari kerusakan korteks somatosensorik asosiatif dorsomedial

Fungsi memori

Gangguan pencarian kembali informasi baru yang telah dipelajari dan disimpan (defisit memori ‘retrieval’) sering terjadi pada stroke. Gangguan memori retrieval terjadi karena terganggunya sirkuit kortikal dan subkortikal, sirkuit ini meliputi kortex prefrontal dorsolateral, singulata anterior dengan subkortikal (nukleus kaudatus, globus palidus serta talamus media), dan gangguan tipe ini tidak mengganggu pengenalan kembali informasi yang baru dipelajari (‘recognition’). Lobus frontal dan sirkuit resiprokal dengan subkortikal sangat berperan pada memori retrieval.

Informasi fonologik (pendengaran) yang dipelajari melibatkan aktivitas otak hemisfer kiri khususnya temporal medial kiri, sedangkan informasi visual dan spatial mengatifkan temporal medial kanan.

Amnesia murni (gangguan mempelajari informasi baru) tanpa gangguan rana kognitif lainnya jarang terjadi. Amnesia berat yang menetap pernah dilaporkan pada lesi bilateral temporal medial meliputi hipokampus dan kortex girus parahipokampus. Lesi unilateral menimbulkan gangguan yang tidak berat dengan spesifik modalitas (contoh : lesi dihemisfer kiri menyebabkan gangguan mengingat nama, tetapi dapat mengenal muka). Lesi yang mengenai nukleus mediodorsal talamus, traktus mamilotalamik dilaporkan pada lesi bilateral menyebabkan amnesia berat. Amnesia dapat terjadi bila adanya lesi pada rangkaian sirkuit Papez yang terdiri dari hipokampus, forniks, badan mamilaris dari hipotalamus, traktus mamilotalamikus serta nukleus talamus medial. Lesi di hemisfer kiri menyebabkan amnesia verbal (auditorik) dan lesi di hemisfer kanan menyebabkan amnesia nonverbal (visual).

Pada amnesia juga terjadi gangguan pengenalan kembali informasi yang baru dipelajari (‘recognition’).

Penderita dengan lesi pada orbitofrontal anteriormedial menimbulkan gejala konfabulasi spontan dan secara cepat mengalami penyembuhan dibandingkan penderita dengan lesi pada orbitofrontal posterior dan ‘basal forebrain’, lesi ini mempunyai gejala konfabulasi spontan, konfusi terhadap realitas yang berlangsung sampai 3 bulan dan ada yang sampai 1 tahun, kemudian setelah mengalami perbaikan gejala sisanya amnesia berat.

Fungsi eksekutif.

Fungsi eksekutif adalah fungsi kortex prefrontal khususnya area dorsolateral yang merupakan kortex asosiasi multimodal yang berperan untuk kemampuan mengorganisasikan penampilan kognitif antara lain meliputi kesadaran akan keberadaan suatu masalah, memantau masalah, mengevaluasi, menganalisa serta memecahkan/mencari jalan keluar dari suatu persoalan, menyusun strategi dan merencanakan tindakan sesuai ketrampilan yang dikuasai. Fungsi eksekutif dikelompokan pada empat katagori yaitu: ‘Drive’, ‘programming’, ‘response control’, ‘synthesis’.

Fungsi eksekutif dimediasi oleh korteks prefrontal dorsolateral dan struktur kortikal sertasubkortikal yang berhubungan dengan daerah tersebut. Kerusakan pada korteks prefrontal dorsolateral dapat menimbulkan sindroma neurobehavioral dengan gejala-gejala seperti berkurangnya aktivitas motorik kompleks, proses berpikir yang tidak konkrit, gagal mengenal konsep-konsep, kurang fleksibilitas, serta terjadi perseverasi dan perilaku motorik yang stereotipik. Gejala yang hampir sama juga dapat ditemui pada lesi di parietal temporal dan area asosiasi oksipital dan nukleus kaudatus dorsalis. Hal ini dapat terjadi karena kortex prefrontal dorsolateral mempunyai hubungan resiprokal dengan daerah kortikal dan subkortikal,. Kortex prefrontal dorsolateral menerima informasi dari kortex orbitofrontal, kortex asosiasi parietal, kortex asosiasi auditorik, girus singulata, kortex retrosplenial, girus parahipokampus dan presubiculum melalui

fasikulus longitudinalis superior, fasikulus longitudinalis inferior dan jaras oksipitofrontal inferior. Kortex dorsofrontal juga mengatur aktivitas dari struktur-struktur tersebut dan membentuk hubungan yang akan menyalurkan informasi dari beberapa area kortex ke dorsalis kaudatus. Setelah masukan-masukan informasi ini diproses di dorsalis kaudatus, masukan tersebut diproyeksikan kembali ke kortex prefrontal dorsolateral, sehingga terbentuklah suatu sirkuit prefrontal dorsolateral-subkortikal.

Kortex dorsolateral prefrontal berhubungan erat resiprokal dengan kortex frontal medial dan orbitofrontal.

Selain lesi pada prefrontal dorsolateral dapat juga lesi terjadi pada frontal medial terutama menyebabkan gangguan motivasi dari sederhana sampai berat yaitu dari kurangnya minat sampai mutisme akinetik. Sindrom ini dapat terjadi pada lesi girus singulata anterior, striatum ventral, thalamus mediodorsal atau pada traktus yang menghubungkan struktur-struktur tersebut. Lesi dapat terjadi akibat oklusi arteri serebri anterior, atau reaksi spasme pembuluh darah sesudah terjadinya ruptura aneurisma pembuluh darah arteri komunikan anterior.

Lesi pada orbitofrontal (aspek inferior lobus frontal) yang sangat erat berhubungan dengan sistim limbik, dapat menimbulkan sindrom dengan gejala-gejala perubahan kepribadian. Disinhibisi dan agresi merupakan gejala yang umum, suasana hati iritabilitas, afek labil, impulsif dengan lelucon kekanak-kanakan, kurang berempati. Lesi dapat disebabkan ruptura aneurisma pembuluh darah arteri komunikan anterior. Kasus ini jarang terjadi.

Fungsi non kognitif (emosi).

Manifestasi gejala neurobehavior non kognitif pasca stroke dapat terjadi yaitu: depresi, ansietas, mania, labilitas, atau psikosis. Depresi mayor terjadi kira-kira l0-25 % dari pasien dan depresi minor sekitar l0-40%. Ansietas yg terjadi bersama-sama depresi 20% dari pasien pasca stroke yg depresi, dan tanpa depresi 7-l0%. Apatis terjadi pada 20% pasien (l0% dengan depresi, l0 % tanpa depresi). Anosognosia dengan denial of illness muncul 25%-45% dari pasien, terutama sekali dengan lesi posterior kanan. Reaksi katastropik kira-kira 20% dan emosi yg labil kira-kira 20%. Mania dan psikosis bisa dibedakan dengan baik pada kondisi pasca stroke tetapi hal ini relatif tidak lazim.

Depresi paska stroke berkaitan denga lokasi, tatalaksana, ukuran lesi dan gambaran klinis yang timbul. Pada periode post stroke ’immediate’ (7-10 hari) terdapat peningkatan frekwensi terjadinya depresi pada lesi di hemisfer kiri. Pada gangguan depresi yang disertai ansietas, letak lesi terdapat di kortikal yaitu frontal kiri, pada lesi subkortikal depresi terjadi jika nukleus caudatus kiri terlibat. Beberapa penelitian menyatakan hubungan antara ukuran lesi dan keparahan gangguan depresinya. Pada pasien depresi dan lesi stroke pada hemisfer kiri kejadian gangguan fungsi kognitif lebih besar.

Depresi pasca stroke sering terjadi pada pasien dengan pembesaran ventrikel, diduga adanya atrofi merupakan predisposisi terjadinya perubahan mood pasca stroke. Wanita lebih sering mengalami depresi pasca stroke. Gambaran gejala klinis depresi identik pada depresi pasca stroke dan depresi late onset idiopatik. Meskipun retardasi psikomotor lebih banyak terjadi pada gangguan pasca stroke.

Depresi berkaitan dengan gangguan aktifitas harian secara akut dan pada pantauan jangka panjang. Depresi pasca stroke dipengaruhi oleh mekanisme serotonergik dengan menurunnya avibilitas serotonin dan gangguan regulasi kembali reseptor serotonin pada temporal kiri. Depresi vaskular terjadi pada beberapa kasus depresi ’late onset’ yang berkaitan dengan stroke sebelumnya, ’silent’ infark pada iskemik substansia alba, ’Onset’ setelah usia 65 tahun atau adanya perubahan penyebab gangguan depresi dini. Secara klinis atau imaging adanya gangguan vaskular dan faktor resiko (terutama hipertensi) biasanya timbul disfungsi kognitif, terutama gangguan fungsi eksekutif. Untuk tatalaksana depresi vaskular cukup responsif dengan farmakoterapi atau ’electroconvulsive therapy’ (ECT).

Mania adalah gangguan jiwa (suasana hati) yang digambarkan sebagai suatu peningkatan atau meluapnya suasana hati (mood), peningkatan aktivitas fisik, pikiran dan bicara yang cepat dan perubahan neurovegetatif

Penyakit serebrovaskular juga sering menyebabkan mania sekunder. Lokasi yang sering menyebabkan mania sekunder adalah daerah peritalamik kanan. Hemibalismus, hemidistonia, tremor postural atau chorea sisi kiri sering disertai lesi talamik dan

subtalamik. Infark pontin dan malformasi arteriovenosus berhubungan denga mania sekunder. Demensia vaskuler jarang menyebabkan mania sekunder.

Demensia vaskuler (DV) merupakan sindroma demensia terbanyak (di negara Barat setelah demensia Alzheimer) sedangkan Cina dan Jepang (Ueda,1992) demensia vaskuler > 50 % dari semua demensia.

Sindroma demensia ini secara klinik terdiri dari gangguan intelektual (penurunan fungsi kognitif lebih dari dua rana kognitif) yang didapat dan gangguan fungsional (aktifitas hidup sehari-hari dan pekerjaan), disebabkan oleh iskemia pada jaringan otak, perdarahan atau hipoksik otak. Diagnosa demensia ditegakan setelah 3 bulan pasca stroke dengan gangguan kognitif menetap sesuai kriteria demensia. Demensia ini dapat bercampur dengan demensia Alzheimer dan disebut demensia tipe campuran.

Karakteristik demensia vaskuler terdiri dari gejala-gejala neurologi fokal, defisit neurobehavior (kognitif dan nonkognitif) dengan batasan yang luas sebagai refleksi heterogenitas dari lesi otak yang berperan.

Gejala neurobehavior untuk kognitif meliputi atensi, konsentrasi, fungsi memori, fungsi bahasa, fungsi visuospatial, gnosis, praksis, fungsi eksekutif, dan gejala non kognitif/fungsi emosi meliputi depresi, mania, anxietas, labilitas, agitatif dan psikosis. Faktor risiko potensial untuk terjadinya demensia vaskuler adalah: Hipertensi; ‘Coronary Arteriosclerosis Diseases’, diabetes mellitus, penyakit jantung, hiperlipidemia, merokok, faktor –faktor risiko ini memperberat arteriosklerosis yang sudah terbentuk sejak usia muda.

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN STROKE

Perawat, sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan, diharapkan mampu memberikan asuhan keperawatan kepada pasien stroke secara komprehensif dan terorganisir sejak fase hiperakut hingga fase pemulihan

PERAN PERAWAT PADA PENATALAKSANAAN PASIEN STROKE AKUT Perawatan Pra-Rumah Sakit (Ambulance)

Menurut Carrozella & Jauch (2002), kunci keberhasilan penatalaksanaan pasien stroke fase hiperakut dipengaruhi oleh efektifitas fungsi dari semua yang terlibat dalam rantai keselamatan & pemulihan stroke (stroke ”chain of survival and recovery”), yang meliputi:

Detection: pengenalan tentang tanda & gejala stroke oleh pasien atau orang di

sekelilingnya.

Dispatch: segera aktivasi petugas medik ambulans

Door: triage cepat di ruang gawat darurat

Data: pemeriksaan fisik terhadap status neurologi, pemeriksaan radiografi, dan

pemeriksaan laboratorium

Decision: pemilihan terapi

Drug: pemberian obat yang tepat dosis dan waktunya.

Di perjalanan menuju rumah sakit, perawat yang bertugas di mobil ambulans dapat mulai mencari informasi mengenai waktu timbulnya gejala atau terakhir kali pasien terlihat normal. Perawat juga harus mencatat adanya riwayat kejang, jatuh, serta riwayat kesehatan pasien dan obat yang dikonsumsi sebelumnya. Penatalaksanaan dimulai dengan airway, breathing, & circulation

(ABCs), yang dilanjutkan dengan pengkajian status neurologik, tanda vital, saturasi oksigen, dan

kadar gula darah. Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan selama di mobil ambulance adalah pemberian oksigen melalui kanal nasal sesuai indikasi, pemberian cairan melalui intra vena, pemeriksaan kadar gula darah, dan koreksi terhadap adanya hipoglikemi atau hiperglikemi sesuai indikasi medik.

Pada fase hiperakut, waktu adalah hal yang paling penting, terutama bila pasien akan diberikan obat trombolitik (recombinant Tissue Plasminogen Activator/ r-TPA). Peran perawat pada fase ini adalah sebagai fasilitator dari semua anggota tim kesehatan yang terlibat, baik dalam koordinasi, implementasi, maupun evaluasi terhadap perawatan pasien. Semua intervensi harus dilakukan secara cepat, tepat, dan efisien. Monitoring terhadap kadar saturasi oksigen dan kadar gula darah tetap harus dilakukan. Hipoglikemi dan hiperglikemi harus diidentifikasi dan diobati segera. Oleh karena sebagian besar pasien stroke iskemi mengalami dehidrasi (Carrozella & Jauchi, 2002), maka mempertahankan volume cairan dengan pemberian cairan garam fisiologis melalui intra vena (hindari pemberian cairan hipotonik), untuk mengoptimalkan perfusi otak. Posisi kepala tempat tidur ditinggikan 30 derajat, hindari pemberian makanan atau cairan per oral dalam beberapa jam pertama, sampai dipastikan bahwa pasien tidak mengalami gangguan menelan (disfagia).

Perawatan di Rumah Sakit

Fase akut stroke terhitung sejak pasien masuk rumah sakit sampai keadaan pasien stabil, biasanya dalam 48 – 72 jam pertama. Tetapi, pada beberapa kasus khusus waktunya dapat lebih panjang. Selama fase ini, tindakan keperawatan ditujukan untuk mempertahankan fungsi vital pasien dan memfasilitasi perbaikan neuron. Kualitas layanan yang diberikan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan dalam mencegah terjadinya komplikasi dan kecacatan.

Asuhan keperawatan pada pasien stroke fase akut dimulai dengan pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, menyusun rencana tindakan keperawatan, implementasi, dan evaluasi.

PENGKAJIAN

Riwayat perjalanan penyakit, untuk mengetahui kapan gejala awitan mulai timbul atau onset.

Riwayat penyakit atau status kesehatan yang sebelum sakit: apakah pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, TIA (Transient Ischemic Attack), dislipidemia, hiperagregasi trombosit, obesitas, atau penyakit lain sebagai faktor risiko stroke. Pola/kebiasaan/gaya hidup sebelum sakit: merokok, minum alkohol, stress, kurang aktifitas, kepribadian tipe A.

Pemeriksaan fisik:

Tanda-tanda vital: tekanan darah, nadi, respirasi, dan temperatur.

Tingkat kesadaran (Glasgow Coma Scale / GCS)

Pupil: ukuran, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya.

Fungsi serebral umum: orientasi, atensi, konsentrasi, memori, retensi, kalkulasi, similaritas, keputusan, dan berpikir abstrak.

Fungsi serebral khusus: kemampuan bicara dan berbahasa, kemampuan mengenal obyek secara visual, audio, dan perabaan, serta kemampuan melakukan suatu ide secara benar dan tepat.

Fungsi saraf kranial I – XII

Fungsi serebellum: tes keseimbangan dan koordinasi otot

Fungsi motorik: ukuran otot, tonus otot, kekuatan otot, gerakan involunter, dan gait.

Faktor psikososial: respon terhadap penyakit, tersedianya sistem pendukung atau support system, kebiasaan menyelesaikan masalah atau coping mechanism, pekerjaan, peran dan tanggung jawab dalam keluarga dan masyarakat, serta pengambil keputusan dalam keluarga.

Pemeriksaan penunjang: CT Scan kepala, MRI kepala, Thorax photo, EKG, laboratorium: gula darah, sistem hemostase, lipid analisa, ureum/ creatinin, elektrolit, analisa gas darah, protein C, protein S, AT III, dan pemeriksaan penunjang lain bila perlu sesuai kondisi pasien, misalnya: TCD (Trans Cranial

Doppler), DSA (Digital Substruction Angiography), EEG (Electro Encephalography), dan echo jantung.

DIAGNOSA KEPERAWATAN

Kemungkinan diagnosa keperawatan yang ada pada pasien stroke adalah:

Risiko/aktual: tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan penumpukan slym sekunder terhadap penurunan tingkat kesadaran, gangguan menelan atau disfagia.

Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan iskemik, edema, peningkatan tekanan intra kranial.

Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan penurunan intake cairan sekunder terhadap penurunan tingkat kesadaran, disfagia.

Perubahan pemasukan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran, disfagia.

Perubahan eliminasi urin: inkontinensia urin berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran, gangguan fungsi kognisi, immobilisasi.

Perubahan eliminasi bowel: konstipasi berhubungan dengan immobilisasi.

Perubahan sensori persepsi: audio, visual, sentuhan berhubungan dengan adanya penurunan fungsi serebral sekunder terhadap kerusakan struktur serebri.

Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran, hemiparese.

Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran, afasia.

Kurang mampu merawat diri/ ketergantungan dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran, hemiparese, afasia, gangguan sensori persepsi.

Respon emosi psikologis secara umum terhadap stroke, termasuk: takut, koping tidak efektif, cemas, isolasi sosial, perubahan konsep diri, dan ketidakberdayaan berhubungan dengan defisit neurologis.

Risiko injuri berhubungan dengan trauma jatuh, kejang.

Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi

PERENCANAAN

Beberapa contoh rencana tindakan keperawatan:

1.Diagnosa keperawatan: tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan

penumpukan lendir, lidah jatuh ke belakang sekunder terhadap penurunan tingkat kesadaran, disfagia.

Rasional:: Pasien dengan penurunan tingkat kesadaran yang disebabkan oleh peningkatan TIK baik karena edema maupun hidrosefalus dapat mengakibatkan hilangnya refleks batuk sehingga

menyebabkan penumpukan lendir dan kemungkinan lidah jatuh ke belakang. Disfagia adalah gangguan dalam menelan makanan dan atau cairan sehingga juga dapat menyebabkan penumpukan lendir yang dapat menyebakan jalan nafas tidak lancar.

Tujuan: jalan nafas pasien dapat dipertahankan tetap lancar atau paten. Rencana tindakan keperawatan:

Kaji dan monitor tanda-tanda vital dan status pernafasan

Kaji dan monitor tingkat kesadaran

Rubah posisi miring kiri dan kanan setiap 2 jam

Lakukan fisioterapi dada

Lakukan suction (jangan lebih dari 15 detik setiap kali suction)

Berikan cairan minimal 2000 ml/24 jam bila tidak ada kontra indikasi

Mobilisasi sedini mungkin bila kondisi pasien stabil

Kolaborasi dengan medis:

- berikan Oksigen sesuai kebutuhan - berikan terapi inhalasi

- berikan obat mukolitik

- lakukan pemeriksaan analisa gas darah

Kolaborasi dengan fisioterapis mengenai mobilisasi dini dan fisioterapi dada 2 Diagnosa keperawatan: Gangguan perfusi serebral berhubungan dengan

iskemik, edema, peningkatan tekanan intra kranial.

Rasional: Penurunan aliran darah ke otak dapat menyebabkan jaringan serebral mengalami iskemik, sehingga mengakibatkan edema atau juga dapat menyebabkan hidrocephalus yang pada akhirnya dapat menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial, yang

berpengaruh pada tekanan perfusi serebral.

Tujuan: Perfusi jaringan serebral dapat dipertahankan atau ditingkatkan

Rencana tindakan keperawatan:

Kaji dan monitor tanda-tanda vital

Kaji dan monitor tingkat kesadaran

Kaji dan monitor pupil dan kekuatan otot

Kaji dan monitor keseimbangan cairan dan elektrolit

Anjurkan pasien bed rest selama 24-72 jam pertama

Tinggikan posisi kepala tempat tidur 15-30 derajat

Kolaborasi dengan medis:

- berikan Oksigen sesuai kebutuhan - berikan terapi anti edema sesuai indikiasi - berikan terapi neuroprotektan

- pertahankan tekanan darah dalam batas normal - pertahankan gula darah dalam batas normal - pertahankan suhu tubuh normal

INTERVENSI KEPERAWATAN LAIN PADA STROKE FASE AKUT

Pertahankan jalan nafas, sirkulasi, tekanan darah, dan tekanan perfusi serebral.

Berikan oksigen, dan atur posisi kepala pasien neutral

Bersihkan lendir dari jalan nafas, lakukan suction bila perlu. Monitor fungsi nafas, cek analisa gas darah, observasi gerakan dada Kaji tanda vital secara periodic sesuai kondisi pasien

Kaji status neurologik secara periodic: GCS, pupil, fungsi motorik dan sensorik, fungsi saraf kranial, dan reflek.

Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.

Pertahankan nutrisi yang adekwat untuk mempertahankan fungsi tubuh. Pertahankan suhu tubuh normal.

Pertahankan pola eliminasi adekuat.

Pertahankan kadar gula darah kurang dari 150 mg/dl. Lakukan pencegahan kejang jika perlu

Kaji kemampuan menelan pasien

Dalam dokumen PERDOSSI (Halaman 91-99)