• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANAJEMEN KEDARURATAN MEDIK STROKE PADA KONDISI KHUSUS

Dalam dokumen PERDOSSI (Halaman 73-76)

A. PENATALAKSANAAN HIPERTENSI atau HIPOTENSI PADA STROKE

1. Penatalaksanaan pada tekanan darah yang tinggi

Pada penderita dengan tekanan darah diastolik > 140 mmHg (atau >110 mmHg bila akan dilakukan terapi trombolisis) diperlakukan sebagai penderita hipertensi

emergensi berupa drip kontinyu nikardipin, diltiazem, nimodipin dan lain-lain.

Jika tekanan darah sistolik > 220 mmHg dan /atau tekanan darah diastolik >120 mmHg, berikan labetalol i.v. selama 1 – 2 menit. Dosis labetalol dapat diulang atau digandakan setiap 10 – 20 menit sampai penurunan tekanan darah yang memuaskan dapat dicapai atau sampai dosis kumulatif 300 mg yang diberikan melalui teknik bolus mini. Setelah dosis awal, labetalol dapat diberikan setiap 6 – 8 jam bila diperlukan. Masih ada pilihan obat lain sesuai dengan guidelines.

Jika tekanan darah sistolik < 220 mmHg dan/ atau tekanan darah diastolik < 120 mmHg, terapi darurat harus ditunda kecuali adanya bukti perdarahan

intraserebral, gagal ventrikel jantung kiri, infark miokard akut, gagal ginjal akut, edema paru, diseksi aorta, ensefalopati hipertensi dan sebagainya. Jika peninggian tekanan darah tersebut menetap pada dua kali pengukuran selang waktu 60 menit, maka diberikan 200-300 mg labetalol 2-3 kali sehari sesuai kebutuhan. Pengobatan alternatif yang memuaskan selain labetalol adalah nifedipin oral 10 mg setiap 6 jam atau 6,25 – 25 mg kaptopril setiap 8 jam. Jika monoterapi oral tidak berhasil atau jika obat tidak dapat diberikan per oral, maka diberikan labetalol i.v. seperti cara diatas atau obat pilihan lainnya (urgensi).

Batas penurunan tekanan darah sebanyak banyaknya sampai 20% - 25% dari tekanan darah arterial rerata pada jam pertama, dan tindakan selanjutnya ditentukan kasus per kasus.

2. Penatalaksanaan pada tekanan darah yang rendah

Pastikan tekanan darah penderita rendah yaitu dibawah 120 sistolik (pada pengukuran tekanan darah brakhial kanan dan kiri yang digunakan sebagai pedoman adalah tekanan darah yang tinggi).

Penggunaan obat obat vasoaktif dapat diberikan dalam bentuk infuse dan disesuaikan dengan effek samping yang akan ditimbulkan seperti tahikardia

Pemberian dopamine drip diawali dengan dosis kecil dan dipertahankan pada tekanan darah optimal yaitu berkisar 140 sistolik pada kondisi akut stroke.

B. MANAJEMEN STROKE PERDARAHAN Pedoman penatalaksanaan

Hilangkan faktor faktor yang berisiko meningkatkan tekanan darah seperti retensi urine, nyeri, febris, peningkatan tekanan intrakranial, emosional stress dan sebagainya

Bila tekanan darah tinggi berikan dosis dan cara pemberian sesuai dengan tabel jenis-jenis obat untuk terapi emergensi

Pada fase akut tekanan darah tak boleh diturunkan lebih dari 20% - 25% dari tekanan darah arteri rerata dalam 1 jam pertama

Bila tekanan darah rendah, harus diberikan obat menaikkan tekanan darah (vasopresor).

Perhatian :

1. Peningkatan tekanan darah dapat disebabkan oleh stress akibat stroke, kandung kencing yang penuh, nyeri, respon fisiologi dari hipoksia atau peningkatan tekanan intra-kranial.

2. Dengan memperhatikan dan melakukan penanganan pada keadaan tersebut di atas akan banyak berpengaruh pada tekanan darah sistemik pada fase menunggu 5 - 20 menit pengukuran berikutnya.

3. Untuk perdarahan subarakhnoid diberikan Nimodipine dengan dosis 60 mg tiap 4 jam sampai 3 minggu.

PENATALAKSANAAN KHUSUS STROKE AKUT

(Guidelines Nasional

Stroke, 2007)

PENATALAKSANAAN STROKE ISKEMIK

Pemberian obat yang dapat menyebabkan hipertensi tidak direkomendasikan diberikan pada kebanyakan pasien stroke iskemik (Tingkat Evidensi A)

2. Pengobatan terhadap hipoglikemia atau hiperglikemia

3. Strategi untuk memperbaiki aliran darah dengan mengubah reologik darah secara

karakteristik dengan meningkatkan tekanan perfusi tidak direkomendasi.(Tingkat Evidensi A) 4. Pemberian antikoagulan :

a. Pemberian antikoagulan (heparin,LMWH atau heparinoid) secara parenteral meningkatkan komplikasi perdarahan yang serius (Kelas III, Tingkat Evidensi A) Data menunjukkan bahwa pemberian dini antikoagulan tidak menurun resiko stroke ulang dini, termasuk stroke emboli (Kelas I) dan tidak mengurangi resiko memburuknya keadaan neurologik. Pada keadaan tertentu dapat diberikan, namun waspadai

kemungkinan komplikasi perdarahan. (Kelas I)

b. Pemberian antikoagulan rutin terhadap pasien stroke iskemik akut dengan tujuan untuk memperbaiki outcome neurologik atau sebagai pencegahan dini terjadinya stroke ulang tidak direkomendasi. (Kelas III Tingkat Evidensi A)

c. Pengobatan antikoagulan dalam 24 jam terhadap pasien yang mendapat rt-Pa intravena tidak direkomendasi Kelas III, Tingkat Evidensi B)

d. Secara umum, pemberian heparin, LMWH atau heparinoid setelah stroke iskemik tidak direkomendasi. (Kelas I)

e. Pada beberapa penelitian menunjukkan dosis tertentu unfractioned heparin subkutan menurunkan stroke iskemik ulang secara dini, tetapi dapat meningkatkan terjadinya perdarahan. Karena itu penggunaan unfractioned heparin subkutan tidak

direkomendasikan untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas atau pencegahan dini stroke ulang.(Tingkat Evidensi A)

Dosis tinggi LMWH / heparinoids tidak bermanfaat menurunkan morbiditas, mortalitas atau stroke ulang dini pada pasien stroke akut. (Tingkat Evidensi A)

f. Pemberian antikoagulan tidak dilakukan sampai ada hasil pemeriksaan imaging

memastikan tidak ada perdarahan intrakranial primer. Terhadap penderita yang mendapat pengobatan antikoagulan perlu dilakukan monitor kadar antikoagulan.

g. Tidak ditemukan manfaat pemberian heparin pada pasien stroke akut dengan atrial fibrilasi, walaupun masih dapat diberikan pada pasien yang selektif. Aspirin dan dilanjutkan dengan pemberian walfarin untuk prevensi jangka panjang dapat diberikan. Warfarin merupakan pengobatan lini pertama pada kebanyakan kasus stroke kardio-emboli.Penggunaan warfarin harus hati-hati, karena dapat meningkatkan resiko perdarahan. Oleh karena itu perlu monitor INR paling sedikit 1 bulan sekali.

Warfarin dapat mencegah terjadinya stroke emboli kardiogenik dan mencegah emboli ulang pada keadaan major risk.

h. Pemberian antikoagulan sesuai dengan pedoman antikoagulan pada stroke iskemik. 5. Pemberian antiplatelet aggregasi :

a. Pemberian Aspirin dengan dosis awal 325 mg dalam 24-48 jam setelah onset stroke dianjurkan untuk setiap stroke iskemik akut (Kelas I, Tingkat Evidensi A)

b. Aspirin tidak boleh digunakan sebagai pengganti tindakan intervensi akut pada stroke (seperti pemberian rtPA intravena) (Kelas III, Tingkat Evidensi B)

c. Jika direncanakan pemberian trombolitik, Aspirin jangan diberikan.

d. Penggunaan Aspirin sebagai adjunctive therapy dalam 24 jam setelah pemberian obat trombolitik tidak direkomendasi (Kelas III, Tingkat Evidensi A).

e. Pemberian klopidogrel saja, atau kombinasi dengan aspirin, pada stroke iskemik akut, tidak dianjurkan (Kelas III, Tingkat Evidensi C).

f. Pemberian antiplatelets intravena yang menghambat reseptor glikoprotein Iib/IIIa tidak dianjurkan (Kelas III, Tingkat Evidensi B).

g. Pemberian antiplatelet/Aspirin dan antikoagulan ditujukan untuk mencegah dan menurunkan resiko stroke kardio-emboli.

h. Terapi gabungan antiplatelet Aspirin dengan Clopidogrel pada pasien yang terdeteksi mikroemboli lebih baik dalam menurunkan kejadian mikroemboli berulang dibanding Aspirin saja (CARESS STUDY).

6. Hemodilusi dengan atau tanpa venaseksi dan ekspansi volume tidak dianjurkan dalam terapi stroke iskemik akut (Kelas III, Tingkat Evidensi A)

7. Pemakaian vasodilator seperti pentoksifilin tidak dianjurkan dalam terapi stroke iskemik akut (Kelas III, Tingkat Evidensi A)

8. Dalam keadaan tertentu terkadang digunakan vasopresor untuk memperbaiki aliran darah ke otak (cerebral blood flow). Pada keadaan tersebut harus dilakukan pantauan kondisi neurologik dan jantung secara ketat (Kelas III, Tingkat Evidensi B)

9. Tindakan endarterektomi karotid pada stroke iskemik akut dapat mengakibatkan risiko serius dan luaran yang tidak menyenangkan. Tindakan endovaskular belum menunjukkan hasil yang bermanfaat, sehingga tidak dianjurkan (Kelas Iib, Tingkat Evidensi C).

10. Pemakaian obat-obatan neuroprotektan belum menunjukkan hasil yang efektif, sehingga sampai saat ini belum dianjurkan (Kelas III, Tingkat Evidensi A)

11. Konsultasi Dokter Spesialis Jantung untuk mencari kemungkinan sumber emboli dari jantung serta menanggulangi gangguan jantung terutama gangguan irama jantung (fibrilasi atrial) TTE (trans thoracal echocardiography) dan TEE (trans esophageal echocardiography).

12. Osmoterapi dan hiperventilasi direkomendasikan untuk pasien yang mengalami kemunduran akibat tekanan tinggi intrakranial, termasuk sindroma herniasi. (Tingkat Evidensi B)

13. Tindakan bedah termasuk drainase cairan serebro spinal dapat dilakukan untuk mengatasi tekanan tinggi intrakranial akibat hidrosefalus. (Tingkat Evidensi C).

Dekompresi bedah dan evakuasi infark besar pada serebellum yang menimbulkan penekanan batang otak dan hidrosefalus (Tingkat Evidensi C)

Dekompresi bedah dan evakuasi infark besar pada hemisfer cerebri dapat dilakukan sebagai tindakan life-saving, tetapi dengan resiko gejala sisa gangguan neurologik yang berat

(Tingkat EvidensiC)

Dalam dokumen PERDOSSI (Halaman 73-76)