• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bocornya radikal bebas

Dalam dokumen PERDOSSI (Halaman 34-41)

PROSEDUR PEMERIKSAAN TCD / CDS

PATOFISIOLOGI STROKE

1. Bocornya radikal bebas

Jenis radikal bebas ini dalam tubuh kita terdiri atas :

• Radikal bebas oksida nitrit

Radikal bebas dalam keadaan normal, diproduksi tubuh dalam jumlah yang sangat sedikit sebagai bagian produk dari metabolisme oksidatif terutama dalam mitokondria.Pada keadaan iskemia fokal, peranan peroksidase-lipid sangat penting karena merupakan bagian dari patofisiologi iskemia fokal maupun global. Superoksida, radikal bebas oksigen telah ditemukan pada iskemia terutama pada periode referfusi jaringan, yang berasal dari proses alamiah maupun sebagai tindakan pengobatan. Radikal bebas oksigen dihasilkan dari proses lipolisis kaskade arakhidonat dalam sel-sel di daerah penumbra. Sumber lain dari superoksida ialah aktivitas enzimatik (monoaminoksidase) dalam otooksidase dari biologiamin (efinefrin, serotonin dan sebagainya).

Pada iskemia fokal, peroksidase lipid ini meningkat aktifitasnya karena:

1) Timbulnya edema otak vasogenik/seluler, telah diketahui bahwa endothelium memproduksi aksida nitrit (NO) dan pada keadaan patologi menghasilkan radikal bebas yang akan memperburuk timbulnya edema.

2) Pada proses disintegrasi pompa kalsium dan natrium kalium akibat kerusakan membrane sel yang berkaitan dengan pompa ion. Gangguan ini mempercepat masuknya kalsium dan natrium ke dalam sel.

3) Peroksida lipid juga terlihat pada mekanisme eksitatorik neurotransmitter glutamat. Meningkatnya aktifitas superoksida mempercepat dan memperbesar pengeluaran neurotransmitter eksitatorik glutamat dan aspartat. Usaha pengobatan dilakukan untuk menghambat akibat dari ekses superoksida dengan pemberian anti oksidan seperti glutation,vitamin E, dan L arginin. Meskipun secara eksperimental telah dibuktikan manfaat dari antioksidan dalam memperkecil daerah iskemik, tetapi dalam praktek sehari-hari evaluasi hasil terapi anti oksidan pada penderita stroke masih terus diteliti. 2.Eksitatorik neurotransmitter

Neurontransmitter glutamat banyak diimplikasikan dalam patofisiologi iskemik. Dalam keadaan normal, neurotransmitter glutamate terkonsentrasi dalam terminal saraf dan di dalam proses transisi neuronal yang bersifat eksitatorik. Glutamat diekspresikan di dalam ruangan ekstra seluler dengan cepat akan di ambil kembali (reuptake) ke dalam oleh sel. Pada keadaan patologis, dapat terjadi gangguan akibat disfungsi sel berupa ekses dari glutamat ini baik karena ambilan kembali, atau kerusakan karena sel neuron yang berisi glutamat juga mengalami gangguan. Selain itu dapat terjadi kebocoran glutamat akibat kerusakan dinding sel (sitolisis) dan nekrosis, serta apoptosis yang menimbulkan masuknya ion kalsium ke dalam sel. Penumpukan neurotransmiter di dalam ruangan ekstraseluler menyebabkan proses eksitotoksisitas glutamat.

Seluruh keadaan ini mempengaruhi sel-sel neuron SSP yang berbeda sensitifitasnya. Sebetulnya yang terkena secara mudah adalah neuron hipokampus CA 3 sel-sel piramida. Selanjutnya akibat dari eksitotoksisitas terhadap neuron adalah timbilnya edema selular, degenerasi organel intraseluler serta degenerasi piknotik inti sel yang diikuti kematian sel. Usaha terapi pengobatan akibat stroke adalah menghambat stimulasi glutamate terhadap reseptor NMDA (N-Metil D Aspartate), AMPA (d amino

3-hidroksi-5-metil-4-isokasolopropionik acid) dan kainat yang berperan penting dalam pengaturan masuknya ion kalsium. Obat-obat tersebut mempunyai peranan untuk mencegah proses disintegrasi sel-sel.

Keberhasilan pengobatan NMDA reseptor antagonis saat ini sedang diteliti pada penderita stroke misalnya: serestat (abtiganel) yang hasilnya sampai saat ini belum meyakinkan.

Reperfusi

Meskipun aliran darah otak merupakan faktor penentu utama pada infark otak, pengalaman klinis serta penelitian pada hewan percobaan menunjukkan bahwa pada infark otak, pulihnya aliran darah otak ke taraf normal tidak selalu memberikan manfaat yang diharapkan, yaitu hilangnya gejala klinis secara total. Selain faktor lamanya iskemia, ada hal-hal mendasar lain yang harus diperhitungkan dalam proses pengobatan infark otak.

Dari percobaan pada hewan terbukti bahwa resusitasi atau reperfusi pada penutupan /penghentian aliran darah ke otak mencetuskan beberapa reaksi kompleks di tingkat mikrosirkulasi, iskemia berupa edema jaringan,vasospasme kapiler/arteriol, penggumpalan sel-sel darah merah, asidosis jaringan, aliran kalsium masuk ke dalam sel, dan dilepaskannya radikal bebas. Perubahan ini dapat demikian hebat sehingga disebut sebagai reperfusion injury yang berakibat munculnya gejala neurologik yang relatif menetap.

Pada dasarnya terjadi 2 perubahan sekunder pada periode reperfusi jaringan iskemia otak, yaitu:

a. Hiperemia pasca iskemik atau heperemia reaktif yang disebabkan oleh melebarnya pembuluh darah di daerah iskemia. Keadaan ini terjadi pada +20 menit pertama setelah penyumbatan pembuluh darah otak terutama pada iskemia global otak.

b. Hipoperfusi pasca-iskemik yang berlangsung antara 6-24 jam berikutnya. Keadaan ini ditandai dengan vasokonstriksi (akibat asidosis jaringan), naiknya produksi tromboksan A2 dan edema jaringan. Diduga proses ini yang akhirnya menghasilkan nekrosis dan kerusakan sel yang diikuti oleh munculnya gejala neurologik.

Ternyata secara eksperimental kerusakan sel-sel saraf dan jaringan otak tidak sesederhana yang dibayangkan, karena terdapat beberapa rantai proses yang memang hasil akhirnya adalah kematian sel.

Jadi, pada infark otak terjadi proses sekunder yang jauh lebih kompleks, bukan hanya terhentinya aliran darah otak. Sebagai konsekuensinya, pengetahuan mutakhir mengenai perubahan patologik mempunyai dampak pencegahan gejala sisa dan lanjutan pengobatan.

Patofisiologi Emboli Kardiak

Penelitian stroke yang berdasarkan populasi (population-based study) belum ada di Indonesia. Penelitian stroke di negara – negara ASEAN, yaitu ASNA Stroke Epidemiological Study 1996, yang merupakan penelitian prospektif berbasis rumah sakit

menunjukkan bahwa pada 3.723 kasus yang diteliti, pemeriksaan CT scan dilakukan pada 2.801 kasus (74%), stroke iskemik ditemukan pada 51% kasus, sedangkan perdarahan 26%, sisanya 8% didapat gambaran CT Scan normal

Dari seluruh penderita yang diteliti, faktor risiko untuk stroke terbanyak adalah hipertensi pada 71%, riwayat stroke terdahulu/TIA. pada 25% kasus, merokok 19%, dan diabetes mellitus pada 22% kasus. Sedangkan penyakit jantung sebagai risiko adalah atrial fibrilasi pada 6% kasus; penyakit jantung iskemik 19% kasus; penyakit jantung katup mitral 3%, katup aorta 0,6% keduanya (mitral aorta) pada 0,2%, sedang penyakit jantung kongestif terjadi pada 4% kasus. Secara keseluruhan total kelainan jantung yang ditemukan pada penelitian ASNA ini adalah 32,8% atau hampir sepertiga dari total penelitian.

Angka – angka Indonesia merupakan bagian dari penelitian ASNA, penyakit jantung keseluruhan ditemukan pada 550 kasus dari total 2.065 pasien yang diteliti (27,5%). Temuan dari 20% penyakit jantung iskemik, didapat 4,5% penyakit katup jantung dan 4% penyakit jantung kongestif. Stroke iskemik ditemukan pada 42,5% kasus berdasarkan pemeriksaan CT scan otak. Untuk menentukan secara pasti apakah suatu stroke iskemik disebabkan akibat emboli kardiak diperlukan pemeriksaan khusus yang lebih mendalam, yaitu memastikan ada sumber emboli di jantung dan emboli tersebut menjalar ke otak secara sistemik.

Caplan (1993) meneliti susunan dari trombus yang terdapat pada otopsi jantung penderita stroke. Ditemukan bahwa susunannya bervariasi, terdiri dari red-fibrin dependent thrombi, white platelet fibrin particles, combined red and white plateled-fibrin particles, combined red and white thrombi, fragmen dari non-infected valve vegetation, elemen kalsifikasi dari calcified valves serta kalsifikasi annulus mitral, material fibromyzoma dari degenerasi mitral dengan prolaps dan sel-sel tumor dari tumor kardiak seperti myzoma.

Penyebab stroke embolik terbanyak adalah fibrilasi atrial. Yang dapat disebabkan oleh penyakit reumatik. Mural trombus pada dinding jantung kiri sering ditemukan pada otopsi penderita MCI (20 – 60%) dengan 3 – 10% diantaranya terjadi emboli sistemik (Castillo dan Bougousslausky,1997).

Protesis mekanik katup jantung merupakan penyebab tersering dari stroke embolik pasca operatif. Sedangkan prolaps mitrai jarang menyebabkan stroke emboli serebral, tetapi frekuensinya masih belum jelas (kontroversial) terutama pada katup yang redunden dan menebal. Pada endokarditis bakterial, 3% terjadi emboli serebral disebabkan karena lepasnya elemen vegetasi septic katup jantung (Castillo dan Bougousslausky,1997). Penyebab lain dari emboli serebral adalah adanya trombosis arteri ke arteri, yaitu terjadi pelepasan elemen embolik dari pembuluh-pembuluh ekstra/intra kranial aterosklerotik yang lepas ke distal menutupi pembuluh distal yang lebih kecil. Lepasnya elemen yang berbentuk mural thrombus dari dinding pembuluh darah arterio-sklerotik di arteri karotis interna, bifurkasio karotis dan percabangan-percabangan arteri intrakranial.

Ulcerated plaque arteriosclerotic merupakan sumber emboli dan isinya juga bervariasi, yaitu red fibrin-dependent thrombi, white plateled-fibrin particles, kombinasi trombus merah dan putih, debris kristal kolesterol, plak atheroma, partikel kalsifikasi dari dinding

arteri yang terkalsifikasi, dan zat-zat lain sperti lemak, udara dan tumor. Selama itu yang dapat menjadi sumber emboli adalah arkus aorta, yaitu atheroma yang menonjol dan bergerak (mobile) karena aliran darah yang cepat. Frekuensinya mulai sering ditemukan dan frekuensi ini meningkat dengan usia dan beratnya jantung (heart-weight).

Patogenesis Perdarahan Otak

Pendarahan otak merupakan penyebab stroke kedua terbanyak setelah infark otak, yaitu 20 – 30 % dari semua stroke di Jepang dan Cina. Sedangkan di Asia Tenggara (ASEAN), pada penelitian stroke oleh Misbach,1997 menunjukkan stroke perdarahan 26 %, terdiri dari lobus 10 %, ganglionik 9 %, serebellar 1 %, batang otak 2 % dan perdarahan sub arakhnoid 4 %.

Pecahnya pembuluh darah di otak dibedakan menurut anatominya atas perdarahan intraserebral dan perdarahan subarakhnoid. Sedangkan berdasarkan penyebab, perdarahan intraserebral dibagi atas perdarahan intra serebral primer dan sekunder.

Perdarahan intraserebral primer (perdarahan intraserebral hipertensif) disebabkan oleh hipertensif kronik yang menyebabkan vaskulopati serebral dengan akibat pecahnya pembuluh darah otak. Sedangkan perdarahan sekunder (bukan hipertensif) terjadi antara lain akibat anomali vaskuler kongenital, koagulopati, tumor otak, vaskulopati non hipertensif (amiloid serebral), vaskulitis, moya-moya, post stroke iskemik, obat anti koagulan (fibrinolitik atau simpatomimetik). Diperkirakan hampir 50 % penyebab perdarahan intraserebral adalah hipertensif kronik, 25 % karena anomali kongenital dan sisanya penyebab lain (Kaufman,1991).

Pada perdarahan intraserebral, pembuluh yang pecah terdapat di dalam otak atau pada massa otak, sedangkan pada perdarahan subarakhnoid, pembuluh yang pecah terdapat di ruang subarakhnoid, di sekitar sirkulus arteriosus willisi. Pecahnya pembuluh darah disebabkan oleh kerusakan dindingnya (arteriosklerosis), atau karena kelainan kongenital misalnya malformasi arteri-vena, infeksi (sifilis), dan trauma.

Perdarahan intraserebral

Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya mikroaneurisma (Berry aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering terjadi di daerah subkortikal, serebelum, pons dan batang otak. Perdarahan di daerah korteks lebih sering disebabkan oleh sebab lain misalnya tumor otak yang berdarah, malformasi pembuluh darah otak yang pecah, atau penyakit pada dinding pembuluh darah otak primer misalnya Congophilic angiopathy, tetapi dapat juga akibat hipertensi maligna dengan frekuensi lebih kecil dari pada perdarahan subkortikal.

Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100 – 400 mikrometer mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah tersebut berupa hipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Arteriol-arteriol dari cabang-cabang lentikulostriata, cabang tembus arteriotalamus (thalamo perforate arteries) dan cabang-cabang paramedian arteria vertebro-basilar mengalami perubahan-perubahan degeneratif yang sama. Kenaikan tekanan darah yang mendadak (abrupt) atau kenaikan dalam jumlah yang sangat mencolok dapat menginduksi pecahnya pembuluh darah terutama pada pagi hari dan sore hari (early afternoon). (Batytr, 1992 dikutip Falker & Kaufman,1997).

Jika pembuluh darah tersebut pecah, maka perdarahan dapat berlanjut sampai dengan 6 jam (Broderick et al,1990) dan jika volumenya besar akan merusak struktur anatomi otak dan menimbulkan gejala klinik.

Jika perdarahan yang timbul kecil ukurannya, maka massa darah hanya dapat merasuk dan menyela di antara selaput akson massa putih “dissecan spilitting” tanpa merusaknya. Pada keadaan ini absorpsi darah akan diikuti oleh pulihnya fungsi-fungsi neurologi. Sedangkan pada perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peninggian tekanan intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan hermiasi otak pada falks serebri atau lewat foramen magnum.

Kematian dapat disebabkan karena kompresi batang otak, hemisfer otak, dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada 1/3 kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus, thalamus dan pons. Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif banyak akan mengakibatkan peninggian tekanan intrakranial yang menyebabkan menurunnya tekanan perfusi otak serta terganggunya drainase otak.

Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Apabila volume darah lebih dari 60 cc maka resiko kematian sebesar 93 % pada perdarahan dalam dan 71 % pada perdarahan lobar. Sedangkan bila terjadi perdarahan serebellar dengan volume antara 30 – 60 cc diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75 %, tetapi volume darah 5 cc dan terdapat di pons sudah berakibat fatal (Fayad dan Awad, 1998). Gejala neurologik timbul karena ekstravasasi darah ke jaringan otak yang menyebabkan nekrosis. Akhir-akhir ini para ahli bedah otak di Jepang berpendapat bahwa pada fase awal perdarahan otak ekstravasasi tidak langsung menyebabkan nekrosis. Pada saat-saat pertama, mungkin darah hanya akan mendesak jaringan otak tanpa merusaknya, karena saat itu difusi darah ke jaringan belum terjadi. Pada keadaan ini harus dipertimbangkan tindakan pembedahan untuk mengeluarkan darah agar dapat dicegah gejala sisa yang lebih parah. Absorpsi darah terjadi dalam waktu 3-4 minggu. Gejala klinik perdarahan di korteks mirip dengan gejala infark otak, tetapi mungkin lebih gawat apabila perdarahan sangat luas.

Perdarahan subarakhnoid

Perdarahan subarakhnoid (SAH) relatif kecil jumlahnya (< 0,01 % dari populasi di USA) sedangkan di ASEAN 4 % (hospital based) dan di Indonesia 4,2 % (hospital based, Misbach 1996). Meskipun demikian angka mortalitas dan disabilitas sangat tinggi, yaitu hingga 80 % (USA).

Perdarahan subarakhnoid terjadi karena pecahnya aneurisme sakuler pada 80 % kasus non traumatik. Aneurisma sakuler ini merupakan proses degenerasi vaskuler yang didapat (acquired) akibat proses hemodinamika pada bifurkasio pembuluh arteri otak. Terutama di daerah sirkulus Willisi (Meir B. 1987 ; Ratcheson and Wirth, 1994. Lokasi aneurisma intraserebral tersering adalah: di a.komunikans anterior (30%), di pertemuan antara a.komunikans posterior dengan a.karotis interna (25%), di bifurkasio dari a.karotis

interna dan a.serebri media (20-25%). Anerisma ini adalah multipel pada sekitar 25% dari pasien. Sekitar 3% aneurisma berhubungan dengan adanya polikistik ginjal.

Penyebab lain adalah aneurisma fusiforra/aterosklerosis pembuluh arteri basilaris, aneurisme mikotik dan traumatik selain AVM. Perdarahan ini dapat juga disebabkan oleh trauma (tanpa aneurisma), arteritis, neoplasma dan penggunaan kokain / amfetamin berlebihan, hipertensi, perokok dan peminum alkohol.

Gejala yang karakteristik dari perdarahan subarakhnoid ini, adalah tiba-tiba sakit kepala hebat dan muntah muntah yang biasanya digambarkan sebagai ’sakit kepala terburuk yang pernah saya alami sepanjang hidup saya’. Dengan atau tanpa defisit neurologi dan sering disertai dengan perubahan mental status. Perdarahan subarakhnoid aneurisma, kadang ditandai dengan sakit kepala sedang berat bila disebabkan oleh ’sentinel bleed’ . Perburukan klinis dapat disebabkan karena perdarahan ulang akibat dari tidak terdiagnosa dini dan terlambat diterapi.

Dari CT Scan non kontras, terlihat gambaran adanya darah di cistern, fisura Sylvii atau sulci yang meliputi konveksitas. Terkadang terlihat juga darah di intraparenkimal. Bila secara klinis kuat duagaan kearah perdarahan subarakhnoid tetapi pada CT Scan tidak terlihat adanya darah, maka pemeriksaan selanjutnya adalah melakukan Lumbal Punksi. Darah yang masuk ke ruang subarakhnoid dapat menyebabkan komplikasi hidrosefalus karena gangguan absorpsi cairan otak di granulation Pacchioni. Komplikasi lain yang bisa terjadi adalah intraparenchymal extention yang menyebabkan edema otak, seizure, vasospasme.

Perdarahan subarakhnoid sering bersifat residif selama 24-72 jam pertama, dan dapat menimbulkan vasospasme serebral hebat disertai infark otak.

Pasien dengan perdarahan subarakhnoid dapat diklasifikasi dengan skala klinis I-IV berdasarkan tingkat kesadaran dan gejala fokal defisit neurologi yang berguna untuk menentukan prognosisnya.

Skala klinis tersebut adalah :

Grade I Sadar, tanpa gejala atau dengan sakit kepala ringan dan/atau ada kaku kuduk

Grade II Sadar, dengan sakit kepala sedang sampai berat dan ada kaku Kuduk

Grade III Mengantuk atau Bingung, dengan atau tanpa defisit fokal neurologi Grade IV Stupor dengan hemiparesis sedang sampai berat dan ada tanda dari peningkatan tekanan intra kranial

Grade V Koma dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial berat

Klasifikasi dengan skala klinis ini menunjukkan bahwa bila pasien berada di Grade I atau II, maka pasien mempunyai prognosis baik dan dapat segera dilakukan angiografi serta tindakan intervensi sesuai dengan indikasinya. Bila pasien berada di grade IV dan V, maka pasien mempunyai prognosis buruk dan memerlukan terapi medikamentosa dulu

sampai kondisi stabil dan baik, baru direncanakan dilakukan angiografi untuk menentukan tindakan terapi lanjutan sesuai kebutuhan pasien

Dalam dokumen PERDOSSI (Halaman 34-41)