• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Agroekologi Perkebunan Kelapa Sawit Pada Lahan Gambut

Agroekologi merupakan studi agroekosistem yang holistik, termasuk semua elemen lingkungan dan manusia. Fokusnya adalah pada bentuk, dinamika dan fungsi hubungan timbal balik antar unsur-unsur tersebut serta proses dimana seluruh elemen terlibat (Reijntjes et al. 1992). Perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut sebagai suatu agroekosistem mempunyai ciri khas yang ditentukan oleh kondisi biofisik, sosioekonomi, budaya dan politik serta kondisi kerumahtanggaan petani.

Agroekologi perkebunan kelapa sawit merupakan bagian dari usaha pertanian yang merupakan suatu sistem. Sistem dapat dikatakan sebagai kumpulan beberapa komponen atau unsur yang mempunyai keterkaitan dan mempunyai tujuan

tertentu (Pramudya, 2006). Reijntjes et al. (1992) menyebutkan bahwa sistem

pertanian merupakan usaha tani yang dikelola berdasarkan kemampuan ligkungan fisik, biologis dan sosioekonomis serta sesuai dengan tujuan, kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki oleh petani.

Pada hakekatnya lahan adalah sumberdaya alam yang harus dialokasikan untuk berbagai kegiatan kehidupan. Sifat sumberdaya lahan berdasar pada kenyataan bahwa lahan mempunyai tiga jenis nilai yaitu ricardiant rent

(mencakup sifat kualitas dari tanah), locational rent (mencakup lokasi relatif dari tanah) dan environmental rent (mencakup sifat tanah sebagai suatu komponen utama dari ekosistem) (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

Reijntjes et al. (1992) menyebutkan beberapa prinsip ekologi dalam sistem pertanian berkelanjutan adalah : (1) menjamin kondisi tanah yang mendukung pertumbuhan tanaman, khsususnya dalam mengelola bahan organik dan meningkatkan kehidupan dalam tanah; (2) mengoptimalkan ketersediaan unsur hara dan menyeimbangkan arus unsur hara; (3) meminimalkan kerugian sebagai akibat radiasi matahari, udara dan air dengan cara pengelolaan iklim mikro, pengelolaan air dan pengendalian erosi; (4) meminimalkan serangan hama dan penyakit tanaman melalui pencegahan dan perlakukan yang aman; (5) saling

melengkapi dan sinergi dalam menggunakan sumberdaya genetik yang mencakup penggabungan dalam sistem pertanian terpadu dengan tingkat keanekaragaman fungsional yang tinggi.

Konsep pembangunan pertanian berkelanjutan mencakup 3 komponen utama yakni : (1) integritas lingkungan; (2) efisiensi ekonomi; (3) keadilan kesejahteraan (Kay dan Alder, 1999). Sistem Pertanian Berkelanjutan (SPB) terdiri atas praktek-praktek ekologi (kebutuhan lingkungan dan didasarkan atas prinsip-prinsip ekologi), tanggung jawab sosial (pemberdayaan masyarakat, kesamaan sosial dan kesehatan, kesejahteraan penduduk) dan semangat ekonomi (ketahanan pangan, kelayakan ekonomi dan bernuansa teknologi). Pengertian dan pendekatan tersebut menunjukkan bahwa sistem pertanian berkelanjutan harus dapat memenuhi indikator dari berbagai aspek (Trupp, 1996). Indikator sistem pertanian berkelanjutan adalah pendapatan masyarakat petani yang cukup tinggi, tidak menimbulkan kerusakan dan dapat dikembangkan dengan sumberdaya yang dimiliki petani. Wosten et al. (2006) menyebutkan bahwa keberhasilan pengelolaan gambut trofis dilakukan dengan pengaturan tata air (hidrologi) yang dipadukan dengan peningkatan ekonomi rumah penduduk lokal dan penegakan hukum.

Keberlanjutan sistem usaha tani bergantung pada 3 karakteristik utama, yaitu kemampuan untuk mengendalikan kehilangan tanah, efektifitas dalam meningkatkan pendapatan petani dan secara sosial agroteknologi yang digunakan harus dapat diterima dan dapat diterapkan (acceptable dan replicable) dengan sumberdaya yang ada, termasuk pengetahuan, keterampilan dan persepsi petani (Sinukaban, 2007). Selanjutnya Sabiham (2007) menyebutkan bahwa ciri utama penggunaan lahan berkelanjutan adalah berorientasi jangka panjang, dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan potensi untuk masa datang, pendapatan per kapita meningkat, kualitas lingkungan dapat dipertahankan atau bahkan dapat ditingkatkan, mempertahankan produktivitas dan kemampuan lahan serta mempertahankan lingkungan dari ancaman degradasi.

Pendapatan yang diperoleh petani harus dapat memenuhi kebutuhan hidup petani secara layak. Pendapatan yang tinggi dapat diperoleh jika produksi yang diperoleh dari usaha tani juga tinggi dan sangat bergantung pada sistem

pengelolahan lahan. Produksi tanaman akan optimal jika ditanam pada lahan yang sesuai dengan persyaratan tumbuh tanaman. Selain itu komoditi yang dipilih juga harus mempunyai nilai ekonomi tinggi dan sesuai dengan keinginan ataupun kebiasaan petani.

Pertanian berkelanjutan harus pula di indikasikan dengan tidak terjadinya kerusakan lingkungan. Kondisi ini memerlukan teknologi tepat guna, kebijakan dan pengelolaan sumberdaya yang sesuai dengan keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah (Adnyana, 2006; Suryanto, 1991).

Keberhasilan budidaya suatu jenis komoditas tanaman sangat tergantung kepada kultivar tanaman yang ditanam, agroekologis/lingkungan tempat tumbuh tempat melakukan budidaya tanaman dan pengelolaan yang dilakukan oleh petani/pengusaha tani. Khusus mengenai lingkungan tempat tumbuh (agroekologis), walaupun pada dasarnya untuk memenuhi persyaratan tumbuh suatu tanaman dapat direkayasa oleh manusia, namun memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dalam rangka pengembangan suatu komoditas tanaman, pertama kali yang harus dilakukan mengetahui persyaratan tumbuh dari komoditas yang akan dikembangkan kemudian mencari wilayah yang mempunyai kondisi agroekologis yang relatif sesuai.

Kartasasmita (2005) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor kunci yang mempengaruhi perkembangan dan keberhasilan perkebunan kelapa sawit antara lain : (1) kemauan politik pemerintah (pusat dan daerah); (2) koordinasi dan sinkronisasi antar instansi pemerintah; (3) profesionalitas para pelaku di lapangan; (4) komitmen dari perbankan dalam pendanaan pengembangan perkebunan kelapa sawit. Sehingga pengembangan sistem perkebunan kelapa sawit agar memperhatikan pendidikan petani, dukungan empat faktor kunci tersebut dan memanfaatkan otonomi daerah. Hasibuan (2005) menyebutkan bahwa paradigma pengembangan perkebunan kelapa sawit adalah pembangunan kemandirian lokal dengan ciri-ciri : (1) pembangunan berorientasi terhadap pemenuhan kebutuhan nyata masyarakat setempat (community oriented); (2) pembangunan yang didasarkan pada sumberdaya masyarakat setempat (community based); (3) pengelolaan pembangunan oleh masyarakat setempat (community managed); (4) pendekatan pembangunan manusia : pemberdayaan

(empower), keadilan (equity), produktivitas (productivity) dan berkesinambungan (sustainable).

Proses pembukaan lahan rawa gambut pada perusahaan perkebunan skala industri (6.000 ha) dilakukan dengan tahapan antara lain sebagai berikut : (1) pembukaan lahan adalah proses pembukaan hutan, umumnya areal perkebunan sebelumnya merupakan bekas hutan dan sebagian semak belukar. Sebelum dimulai proses pembukaan lahan terlebih dahulu dibuat peta orientasi untuk perencanaan tata ruang dan tata letak meliputi pembuatan jalan untuk pengukuran, sekaligus memeriksa keadaan topografi, sumber air dan contoh tanah; (2) pembuatan rintisan dengan membagi blok-blok seluas 50 ha. Pembagian tersebut sangat berguna untuk menentukan pancang penebangan dan pengawasan pekerjaan. Pembukaan lahan untuk lokasi penanaman kelapa sawit dilakukan dengan cara penebangan pohon dan pembabatan semak belukar. Bekas tebangan tersebut diletakan dan disusun sesuai jalur yang telah direncanakan; (3) agar areal dapat dijangkau terlebih dahulu dibuat jalan rintis sekaligus dikaitkan dengan mengimas.

Perkebunan kelapa sawit umumnya memerlukan kedalaman drainase (muka air tanah) setidaknya 50-80 cm, sebagai syarat penanaman kelapa sawit (Agus dan Subiksa, 2008). Untuk itu, dibangun saluran (drainase) untuk menurunkan muka air gambut di seluruh areal perkebunan. Turunnya permukaan air tanah akan menyebabkan gambut kering, proses ini akan menyebabkan oksidasi gambut dan melepaskan karbon dioksida ke atmosfir. Berdasarkan data hasil penelitian menunjukkan bahwa jika permukaan air tanah gambut turun sebesar 80 cm menghasilkan emisi 20 ton C ha -1 th -1 (Hooijer et al. 2006).