• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.5. Analisis Sumberdaya Lokal Lahan Gambut

Sumberdaya lokal adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam, baik hayati maupun nonhayati dan sumber daya buatan sesuai dengan spesifik lokasi. Karakteristik sumberdaya lokal meliputi antara lain sifat fisik, kimia, biologi, hidrologi, interaksi antara komposisi vegetasi dengan keadaan tanah dan sosial ekonomi serta pengetahuan dan keterampilan masyarakat setempat.

Analisis sumberdaya lokal pada aspek biofisik lahan gambut di Kabupaten Bengkalis-Meranti telah diuraikan pada bagian awal dari disertasi ini. Pada bagian ini lebih menekankan (fokus) pada aspek sosial budaya pemanfaatan lahan gambut oleh masyarakat lokal. Pemanfaatan lahan gambut untuk usaha pertanian memerlukan pengetahuan dan teknologi khusus, karena sifat gambut yang mudah mengalami kerusakan. Kejadian kebakaran lahan gambut hampir terjadi setiap tahun, hal ini disebabkan oleh kondisi agrofisik, termasuk aspek hidrologi, sosial ekonomi yang terkait dengan kepemilikan lahan, kebijakan pemerintah dan norma-norma sosial yang berkembang, termasuk persepsi pekebun tentang lahan gambut tersebut.

Kearifan lokal adalah upaya masyarakat setempat berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi dalam memanfaatkan lahan untuk pengembangan pertanian. Menurut Adhi et al. (1998) diacu dalam Noorginayuwati et al. (2008) kebijakan pemanfaatan lahan gambut memerlukan banyak usaha dan dukungan dari berbagai sumber penelitian. Pola tradisonal yang telah lama dikembangkan pekebun perlu dipelajari untuk menghindari kegagalan dalam mengalihkan lahan gambut menjadi lahan pertanian. Upaya ini juga penting untuk memperbaiki sistem yang telah dikembangkan pekebun agar dapat memperoleh lahan pertanian yang produktif dan berkelanjutan.

Penggalian kearifan lokal pekebun dalam pengembangan lahan gambut diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai pedoman dalam perumusan arah

kebijakan pengembangan lahan gambut yang memberikan penekanan pada aspek sosial budaya pekebun.

5.6.1. Analisis Kearifan Lokal Pemanfaatan Lahan Gambut

Pemanfaatan lahan gambut oleh masyarakat untuk aktivitas pertanian tanaman pangan khususnya padi telah lama dilakukan (informasi masyarakat). Hal ini sesuai dengan keberadaan (bermukim) masyarakat di daerah Pantai Timur Sumatera (Provinsi Riau). Selanjutnya pola pertanian masyarakat mengalami perkembangan tidak hanya tanaman pangan, tetapi juga pada komoditas perkebunan. Komoditas utama yang diusahakan adalah karet dan pinang, hal ini disebabkan oleh permintaan yang tinggi akan komoditas tersebut yang berasal dari Semenanjung Malaka (Malaysia dan Singapura). Kondisi ini terjadi hingga dekade tahun 1970-1980, dimana perdagangan komoditas ini mengalami kemunduran dengan dilarangnya perdagangan lintas batas negara. Prosedur dan perizinan yang panjang dan rumit menyebabkan ketidakmampuan masyarakat untuk melanjutkan sistem perdagangan yang diterapkan oleh pemerintah.

Proses akulturasi budaya antar etnis yakni Melayu, Bugis, Jawa dan Banjar telah terjadi dalam rentang waktu yang lama. Hal ini dibuktikan oleh keberadaan makam “Laksamana Raja Dilaut” di Kecamatan Bukit Batu, yang berasal dari etnis Bugis dengan nama asli “Daeng Tuagek”. Pembukaan lahan untuk pertanian banyak dilakukan oleh etnis Jawa dan sebagian kecil etnis Banjar (lebih banyak bermigrasi ke Indragiri Hilir). Pemberian nama “Desa Sukajadi” disebabkan oleh banyaknya orang dari etnis Jawa yang membuka lahan pertanian di daerah tersebut (Informasi Tokoh Masyarakat).

Akulturasi budaya antar etnis tersebut memberi pengaruh pada teknologi pengolahan lahan gambut yang digunakan masyarakat pada saat itu. Sehingga dikenal beberapa istilah untuk saluran yang dibangun sesuai dengan fungsinya seperti tali air parit talang, tali air parit engka, tali air orang kaya dan tali alir sungai musuh. Pengembangan pertanian padi dan perkebunan karet pada lahan gambut di daerah Bukit Batu Bengkalis dilakukan masyarakat dengan cara membangun saluran yang disebut dengan “tali air”. Saluran dibangun dimulai dari sungai yang masih dipengaruhi pasang surut menuju daratan sepanjang 1-2 km. Fungsi saluran sebagai pengatur tata air dan sebagai sarana pengangkutan

bagi kegiatan pertanian yang dilakukan. Pada saat pengolahan tanah dan penanaman benih, maka permukaan air dalam saluran diatur dengan membuat penahan air (tanggul). Dengan demikian kondisi permukaan air dapat diatur sesuai dengan kebutuhan yang baik bagi pertumbuhan tanaman.

Kondisi saat ini saluran masih tersedia tetapi tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Hal ini terlihat dari produktivitas perkebunan karet rakyat sangat rendah dan tidak mempunyai nilai ekonomi. Kondisi ini disebabkan oleh masuknya air laut (air asin) yang menggenangi areal perkebunan. Pada akhirnya masyarakat tidak melakukan pengelolaan terhadap lahan dan tanaman karet menunjukkan gejala kematian. Akibatnya masyarakat membuka lahan perkebunan mengarah pada areal daratan yang lebih jauh ke dalam hutan (5 km dari laut).

Nilai-nilai kearifan lokal dalam pemanfaatan lahan gambut mengalami pergeseran dan cenderung mulai diabaikan oleh masyarakat. Perubahan faktor hidrologis aktivitas sektor kehutanan (logging) dan hutan tanaman industri (HTI) merubah keseimbangan hidrologi kawasan tersebut. Kondisi ini merubah pola musim atau tata air pada lahan rawa gambut yang menyebabkan perubahan pola tanam. Bercocok tanam padi yang sebelumnya dapat dilakukan 2 kali dalam setahun, saat ini hanya dapat dilakukan 1 kali setahun.

5.6.2 Teknologi Pertanian Masyarakat Lokal

Teknologi budidaya pertanian pada lahan gambut yang dilakukan oleh masyarakat lokal dapat menjadi masukan bagi aspek perencanaan. Pengetahuan dan keterampilan tradisional masyarakat mengandung sejumlah besar data empirik potensial yang berhubungan dengan fakta, proses dan fenomena perubahan lingkungan pada lahan gambut. Hal ini membawa implikasi bahwa pengetahuan tradisional dapat memberikan gambaran informasi yang berguna bagi perencanaan dan proses pembangunan perkebunan kelapa sawit.

Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis-Meranti dimulai pada 1980-1990. Proses akulturasi, asimilasi dan toleransi antar etnis yang beragam (Melayu, Jawa, Batak, Banjar dan Bugis) berlangsung dengan baik. Teknologi kearifan lokal yang dikembangkan oleh suatu komunitas pada umumnya akan berkembang secara luas dalam komunitas tersebut. Apabila komunitas tersebut cukup terbuka dengan komunitas lainnya maka teknologi

kearifan lokal itu juga dapat berkembang dengan cepat pada komunitas lainnya. Kearifan lokal yang mudah berkembang biasanya berupa teknologi yang dianggap berdaya guna dan berhasil guna tinggi (Noorginayuwati et al. 2008).

Pengembangan perkebunan oleh Pemerintah melalui pola PIR Trans atau lokal menjadi pemicu terjadinya proses transfer teknologi budidaya sawit antara pendatang dengan penduduk setempat. Penguasaan teknologi perkebunan kelapa sawit yang dimiliki oleh pendatang menjadi sarana interaksi antar kultur dalam masyarakat. Keberhasilan pendatang khususnya etnis Jawa dari Sumatera Utara dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit menjadi pemicu bagi penduduk lokal (Melayu) untuk mengembangan tanaman sawit. Nilai ekonomi yang tinggi dari perkebunan, menjadi daya tarik bagi penduduk lokal untuk beralih dari perkebunan karet ke perkebunan sawit.

Masyarakat pendatang umumnya menguasai teknologi budidaya kelapa sawit secara baik, mulai dari proses pembibitan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Sedangkan masyarakat tempatan (lokal) menguasai aspek pengolahan lahan gambut, terutama dalam pembukaan lahan rawa gambut. Hal ini menjadi proses belajar bersama antara masyarakat lokal dan pendatang dalam melakukan pengembangan perkebunan kelapa sawit.

Selama ini kelembagaan perekonomian pedesaan dinilai oleh banyak ahli sangat rapuh dan dipandang sebagai penyebab kegagalan pengembangan perekonomian di pedesaan. Kerapuhan tersebut ditunjukkan oleh tidak efektifnya pemberdayaan faktor kepemimpinan (sebagai penggerak kemajuan) di pedesaan, tidak terbangunnya tata nilai yang menggerakkan kemajuan ekonomi di pedesaan, struktur dan keorganisasian ekonomi pedesaan yang dibiarkan rapuh, otonomi yang tidak mengangkat kedaulatan (politik) masyarakat pedesaan dalam kegiatan ekonomi serta dibiarkannya faktor kompetensi sumberdaya manusia pedesaan terbengkalai (Pranadji, 2003 diacu dalam Hermanto, 2007).

Kelembagaan pekebun pada perkebunan kelapa sawit rakyat menunjukkan kondisi yang belum mampu mendukung kegiatan perkebunan tersebut. Umumnya tidak tersedia kelembagaan yang mampu menunjang pengelolaan kebun kelapa sawit. Kelembagan yang ada hanya untuk kepentingan sosial keagaman seperti gotong royong dan pengajian terutama untuk ibu-ibu

pekebun. Pekebun hanya mengandalkan kemampuan berkomunikasi secara individual dengan pihak-pihak lainnya. Pengelolaan perkebunan kelapa sawit dilakukan secara “apa adanya” tergantung kemampuan yang dimiliki pekebun.

Persepsi masyarakat di daerah Bukit Batu dan Siak Kecil relatif baik terhadap prospek lahan gambut sebagai lahan pengembangan pertanian dan perkebunan. Persepsi dipengaruhi oleh faktor personal dan situasional, dimana suatu inovasi akan diadopsi bila pekebun mempunyai persepsi yang baik terhadap inovasi tersebut. Menurut Littlejohn (1987) diacu dalam Rina et al. (2008) menyebutkan bahwa persepsi yang keliru dapat terjadi karena kurang tepatnya pengetahuan atau pengertian terhadap objek persepsi. Secara teoritis persepsi pekebun tentang lahan dan degradasi yang mungkin terjadi mempengaruhi perilaku mereka dalam mengusahakan lahan.

Pemanfaatan lahan gambut telah dilakukan sejak lama oleh masyarakat terutama untuk tanaman pangan dan perkebunan. Teknologi pengelolaan lahan secara tradisional dengan menggunakan peralatan sederhana telah dikuasai dengan baik. Pengetahuan kondisi lahan terutama tingkat kematangan gambut menjadi pertimbangan utama dalam pembukaan lahan. Masyarakat dapat mengatahui keadaan lahan dengan pengamatan sederhana yakni dengan cara memperhatikan warna dan meremas tanah gambut. Bila dirasakan mudah hancur dan warna coklat tua kemerahan berarti tanah gambut telah matang. Istilah masyarakat untuk kondisi tanah gambut disebut dengan “kilang manis” atau secara ilmiah gambut pada tingkat kematangan saprik. Pada tingkat kematangan saprik paling baik untuk dimanfaatkan sebagai areal pertanian.

Kepemilikan lahan menjadi faktor penting dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis-Meranti. Proses jual beli lahan perkebunan antara pendatang dan masyarakat lokal dapat menjadi isu yang sensitif di tengah masyarakat. Terjadi perbedaan persepsi antar anggota masyarakat tentang jual beli lahan yang dilakukan oleh sebahagian masyarakat. Umumnya pendatang menggunakan penduduk setempat (lokal) menjadi pembeli lahan. Hal ini memberi kesan (persepsi) yang membeli masih dalam kelompok masyarakat itu sendiri. Pada kenyataannya pemilik sesungguhnya adalah pendatang, kondisi ini yang dikuatirkan oleh sebagian tokoh masyarakat dapat

menimbulkan konflik sosial. Ketiadaan aturan setempat dan kondisi ekonomi masyarakat yang rendah menyebabkan sebagian masyarakat menjual lahan yang dimilikinya. Sebaliknya sebahagian masyarakat juga tidak mempersoalkan karena pendatang akan membawa perubahan pada pengetahuan masyarakat setempat. Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat (key informan) setempat yang mengatakan sebagai berikut :

Jual beli lahan yang dilakukan masyarakat lokal dan pendatang pada dasarnya tidak menjadi persoalan bagi masyarakat, sejauh mengikuti aturan yang berlaku dan dilakukan secara suka sama suka.

Penduduk lokal (melayu) relatif tertinggal dalam pengusaan teknologi perkebunan kelapa sawit. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan diperlukan modal awal yang besar serta waktu produksi yang cukup lama (4-5 tahun) baru mulai menghasilkan. Sehingga pada beberapa daerah banyak pendatang yang menguasai lahan, sedangkan penduduk lokal menjadi terpinggirkan karena banyak yang menjual lahan kebun yang dimilikinya. Hal ini yang semakin disadari oleh penduduk lokal untuk mengolah lahan kebun yang dimilikinya.

Keberhasilan pendatang menjadi pemicu bagi penduduk lokal untuk mencontoh sistem perkebunan yang dikembangkan oleh pendatang. Kondisi ini memunculkan proses akulturasi dan asimilasi serta toleransi antar etnis. Mereka sangat menyadari tentang keterbatasan yang dimiliki oleh masing-masing etnis dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut.