• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis dilakukan berdasarkan atas strategi rekomendasi yang disusun pada skenario I, II dan III. Pendekatan integratif faktor ekologi, ekonomi, sosial budaya, infrastruktur dan teknologi serta hukum dan kelembagaan menjadi pertimbangan dalam penentuan pengelolaan lahan gambut. Model pengelolaan lahan gambut dirancang dengan mempertimbangkan semua komponen sumberdaya lokal yang terdapat pada ekosistem tersebut. Sehingga program pengembangan agroekologi perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut dapat dilakukan secara berkelanjutan.

Agroekologi perkebunan kelapa sawit merupakan bagian dari usaha pertanian yang merupakan suatu sistem. Sistem pertanian merupakan usaha tani yang dikelola berdasarkan kemampuan lingkungan fisik, biologis dan sosioekonomis serta sesuai dengan tujuan, kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki.

Rekomendasi kebijakan di dasarkan atas pendekatan integraif terhadap seluruh faktor dominan yang berpengaruh terhadap pengelolaan lahan gambut. Model pengelolaan lahan gambut (G) pada perkebunan kelapa sawit dengan interaksi antara pengaturan tata air dan lahan (a), pemberdayaan masyarakat (p), kerjasama antar stakeholders (s), manajemen produksi tanaman sawit (t), industri pengolahan (i), struktur dan akses permodalan (m), dengan hubungan fungsi G = f (a, p, s, t, i, m).

Langkah-langkah operasional yang dapat dilakukan untuk memperoleh hasil pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit secara optimum antara lain sebagai berikut :

(b) Pengaturan tata air dan lahan

Alih fungsi hutan rawa gambut menjadi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis belum sepenuhnya menerapkan pengaturan tata lahan dan air. Hal ini terindikasi dari banyaknya areal perkebunan pada lahan gambut mengalami kebakaran pada saat musim kemarau. Pengendalian air dengan membangun saluran kanal (drainase) belum mampu mempertahankan muka air

tanah (water level). Pembukaan lahan juga terjadi pada daerah sekitar kubah gambut (peat dome) dengan kedalaman > 4 m, dimana kondisi ini akan mempermudah terjadinya kerusakan pada lahan tersebut.

Pengaturan tata lahan dan air (water table) merupakan faktor dominan dalam pengelolaan lahan gambut di perkebunan kelapa sawit. Produktivitas perkebunan kelapa sawit sangat dipengaruhi oleh kondisi muka air tanah. Muka air tanah yang terlalu dalam (> 80 cm) menyebabkan terjadinya laju subsidensi yang semakin cepat dan kejadian kering tidak balik (irreversible drying) serta potensi kebakaran lahan gambut semakin besar. Bila hal ini terjadi lahan gambut akan mengalami degradasi (kerusakan) dan produktivitas perkebunan akan semakin menurun. Oleh karena itu pembukaan lahan gambut dimasa yang akan datang harus diawasi secara lebih ketat dan tata kelola lahan dan air menjadi prioritas dalam pengelolaan. Pada perkebunan rakyat pengelolaan air pada skala mikro yang berada di tingkat petani yang meliputi pembuatan saluran keliling dan pengaturan pintu air (tabat).

(b) Pemberdayaan masyarakat

Pemberdayaan masyarakat petani perkebunan kelapa sawit merupakan faktor penting dalam menentukan keberhasilan pengelolaan lahan gambut. Karakteristik lahan gambut yang mudah mengalami degradasi dan tingkat kesuburan lahan rendah menjadi faktor pembatas bagi keberhasilan pembangunan perkebunan kelapa sawit. Faktor pembatas lainnya adalah penguasaan teknologi dan terbatasnya kemampuan petani dalam pengolahan lahan. Untuk itu diperlukan strategi pemberdayaan petani pekebun kelapa sawit untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Pengembangan perkebunan kelapa sawit dengan strategi pemberdayaan merupakan alternatif pendekatan pembangunan yang tidak hanya diarahkan untuk mencapai pertumbuhan semata. Selain itu juga dapat mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dengan azas kerakyatan. Pemberdayaan ekonomi rakyat harus menjadi perhatian utama dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan sebagian besar masyarakat masih mengandalkan sektor pertanian (perkebunan) dan sektor ini juga memberikan kontribusi yang besar pada

perekonomian negara. Pemberdayaan ekonomi rakyat berarti membangun ekonomi pertanian dengan lebih baik.

Pemberdayaan dapat dilakukan melalui kegiatan kemitraan antara perkebunan besar negara/swasta yang mempunyai kemampuan pengelolaan perkebunan yang baik. UU No.18 Tahun 2004 tentang perkebunan, pasal 22 menyebutkan bahwa perusahaan perkebunan melakukan kemitraan yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggungjawab, saling memperkuat dan saling ketergantungan dengan pekebun, karyawan dan masyarakat sekitar perkebunan. Kemitraan usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), polanya dapat berupa kerja sama penyediaan sarana produksi, kerja sama produksi, pengelolaan dan pemasaran, transportasi, kerja sama operasional, kepemilikan saham dan jasa pendukung lainnya.

Dukungan lembaga keuangan (bank) dalam pemberian kredit usaha tani (KUT) akan memperkuat struktur dan akses permodalan petani sawit. Dengan demikian diperoleh keterpaduan (integrated) program pengembangan perkebunan kelapa sawit. Strategi yang mengkombinasikan mengikutsertakan petani pekebun dan mendorong pengembangan kemitraan merupakan prioritas untuk mewujudkan pemberdayaan masyarakat.

Pengembangan agroindustri kelapa sawit dengan strategi pemberdayaan dilakukan dengan membentuk kelembagaan kerjasama jangka panjang antara investor dengan petani pekebun yang berhimpun dalam koperasi. Pola ini mengimplementasikan strategi pemberdayaan petani pekebun agar dapat ikut memiliki PKS, sehingga petani dapat menikmati keuntungan dari kegiatan off farm yang berlokasi di sekitar kebun.

(c) Kerjasama antar stakeholders

Keberhasilan pengelolaan perkebunan kelapa sawit sangat ditentukan oleh kerjasama antar stakeholders, hal ini disebabkan oleh karakteristik perkebunan yang bersifat lintas sektoral. Pola pengelolaan lahan akan mempengaruhi kerjasama antar stakeholders tersebut. Pengelolaan perkebunan kelapa sawit dapat dikelompokkan dalam 3 aspek antara lain : (1) aspek kelembagaan; (2) aspek produksi; (3) aspek pengolahan hasil panen.

Kelembagaan menyangkut aspek hubungan kerja, sumber dana, sistem pembayaran, alokasi lahan dan keagrarian, keorganisasian. Pihak terkait yang berkepentingan dengan pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut di Kabupaten Bengkalis antara lain : Dinas Perkebunan, Bapan Pertanahan Nasional, Badan Lingkungan Hidup, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Perbankan, Perusahaan Besar Swasta/Negara, Badan Litbang, Lembaga Swadaya Masyarakat, Koperasi Sawit dan Gapoktan. Pada masa yang akan datang kemungkinan yang dapat dilakukan adalah kerjasama antar stakeholders berjalan dengan koordinasi yang baik dan didukung oleh adanya tugas pokok dan fungsi yang jelas dari masing-masing institusi.

Pembentukan kelembagaan lintas sektoral untuk mendukung kerjasama antar steakholders dapat dilakukan dengan membentuk “kelompok kerja bersama” yang difasilitasi oleh Dinas Perkebunan. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa Dinas Perkebunan mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagai institusi sektoral yang bertanggung jawab terhadap keberhasilan program perkebunan kelapa sawit.

Dalam kerangka pembentukan kerjasama antar stakeholders melalui program kemitraan usaha pola agroindustri skala kecil (5 ton TBS jam-1) kelapa sawit dibentuk kelembagaan dengan pelaku utama adalah (1) investor yang membangun pabrik dan kebun; (2) koperasi pekebun yang akan menerima alih usaha dari investor; (3) manajemen unit usaha yang mengadakan kontrak manajemen dengan koperasi pekebun untuk mengelola usaha perkebunan; (4) lembaga pembiayaan usaha (bank); (5) pemerintah sebagai fasilitator.

(d) Manajemen produksi tanaman sawit

Produktivitas tanaman sawit pada lahan gambut dipengaruhi oleh penerapan teknologi pengelolaan lahan yang sesuai dengan sifat dan karakteristik sumberdaya lokal. Pengaturan tata air dengan pembuatan drainase dilakukan untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan tanaman kelapa sawit dapat tumbuh, berkembang dan berproduksi baik di lahan gambut. Kondisi ini yang menyebabkan produktivitas tanaman kelapa sawit menjadi rendah pada lahan gambut.

Penerapan teknologi pengelolaan lahan dan air menjadi suatu keharusan untuk meningkatkan produktivitas tanaman kelapa sawit. Produktivitas perkebunan kelapa sawit rakyat lebih rendah (12-18 ton TBS ha-1th-1) dibandingkan dengan pola perkebunan inti rakyat (PIR) atau perkebunan besar negara/swasta (18-26 ton TBS ha-1 th-1). Kondisi ini disebabkan oleh pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut yang dilakukan masyarakat belum menerapkan teknologi pengelolaan lahan yang tepat seperti pengaturan tata air, pemupukan, pemeliharaan dan pemanenan.

Produktivitas tanaman yang tinggi dilakukan dengan pengelolaan tanaman meliputi pembibitan kelapa sawit, pengawetan tanah, penaman kacang kacangan, penanaman kelapa sawit dan pembuatan prasarana. Selanjutnya pemeliharaan TBM (1-3 tahun) meliputi pembuatan piringan & gawangan, pengendalian gulma, pemupukan tanaman, pengendalian hama dan penyakit, tunas pokok, kastrasi dan sanitasi, penyisipan dan konsolidasi pokok doyong, perawatan parit dan konservasi tanah dan perawatan prasarana.

(e) Industri pengolahan

Keberadaan industri pengolahan sangat penting dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Karakteristik buah sawit yang mudah mengalami kerusakan membutuhkan teknologi penanganan yang baik. Kualitas TBS sawit akan semakin menurun bila tidak dilakukan pengolahan setelah panen dilakukan. Kadar rendemen dan kualitas minyak sawit yang dihasilkan akan semakin menurun, sehingga harus diupayakan untuk melakukan proses pengolahan menjadi Crude Palm Oil (CPO). Kualitas TBS dipengaruhi oleh tingkat kematangan dan kebersihan dan sangat mempengaruhi perolehan minyak sawit yang dapat diekstraksi yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat pendapatan.

Keberadaan pabrik kelapa sawit (PKS) disekitar perkebunan kelapa sawit akan mempengaruhi harga TBS. Jaminan ketersediaan bahan baku secara kualitas, kuantitas maupun kontinuitas merupakan suatu keharusan untuk mencapai suatu agroindustri minyak kelapa sawit. Pembangunan perkebunan kelapa sawit hendaknya diikuti oleh pembangunan industri pengolahan. Kondisi ini akan menciptakan keterkaitan kebelakang (backward linkage) dengan sektor

perkebunan atau sektor primer. Sedangkan keterkaitan kedepan (forward lingkage) harus memperhatikan pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah dan pemasaran yang baik sehingga produk yang dihasilkan mempunyai nilai tambah yang besar. Sehingga pada masa yang akan datang kemungkinan yang dapat dilakukan pembangunan industri pengolahan sawit bekerjasama dengan masyarakat melalui penerapan pola kemitraan dan kepemilikan bersama.

Integrasi struktur pabrik dan pekebun dalam usaha perkebunan kelapa sawit rakyat melalui kemitraan usaha pola agroindustri kelapa sawit skala kecil. Hal ini dilakukan dengan membangun koperasi pekebun yang anggotanya secara kolektif mempunyai luas kebun 800 ha dengan pendirian PKS skala 5 ton TBS jam-1.

(f) Struktur dan akses permodalan

Lemahnya struktur permodalan dan akses terhadap sumber permodalan merupakan penyebab terhambatnya pengembangan agribisnis dan agroindustri kelapa sawit. Sebagai tanaman industri kelapa sawit memerlukan input produksi yang cukup besar. Kondisi ini harus di dukung oleh akses terhadap modal yang besar, sehingga mampu menjaga faktor produksi tersebut. Permodalan berhubungan langsung dengan ketersediaan lahan, tingkat kesuburan tanah, pengadaan dan penyaluran sarana produksi. Selain itu, terbatasnya kemampuan dalam penguasaan teknologi, lemahnya organisasi dan manajemen usaha tani, dan kurangnya kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia menjadi faktor pembatas pengembangan perkebunan kelapa sawit.

Lemahnya akses permodalan petani pola perkebunan kelapa sawit rakyat kepada lembaga keuangan (bank) disebabkan oleh belum tersedianya kelembagaan petani. Walaupun tersedia kelembagaan petani kelapa sawit umumnya masih lemah. Dimana institusi kelompok tani dan gabungan kelompok tani (gapoktan) serta koperasi yang diharapkan menjadi fasilitator belum berfungsi sebagaimana mestinya.

Pada masa yang akan datang kemungkinan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki struktur dan akses permodalan petani pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut yaitu memperkuat akses petani terhadap permodalan pada lembaga keuangan.

Kepemilikan PKS oleh investor dan petani dimungkinkan dengan adanya pembiayaan yang bersumber dari dana pembiayaan usaha yang dapat terjangkau dan murah melalui adanya mekanisme subsidi bunga oleh pemerintah daerah (APBD) atau pemerintah pusat (APBN). Hal ini didukung oleh ketersedian lembaga keuangan pada skala mikro (koperasi) kerjasama investor, pekebun, bank dan pemerintah.

Strategi pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis-Riau, dipaparkan pada Gambar 36.

Gambar 36. Strategi pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis-Meranti Provinsi Riau.

Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Pada Lahan

Gambut (G) Sumberdaya Lokal : Biofisik Gambut Sosial ekonomi Masyarakat Lokal Pengetahuan dan Keterampilan Masyarakat Lokal Struktur dan Akses Permodalan (m) Pengaturan

Tata Air dan Lahan (a) Kebijakan (peraturan perundang-undangan) Manajemen Produksi Tanaman (t)

Perkebunan Kelapa Sawit pada Lahan Gambut Berbasis Sumberdaya Lokal

Pemberdayaan Masyarakat (p) Industri Pengolahan (i) Kerjasama Stakeholders (s) Pembuatan Tata Air Mikro Pintu Air Tata Lahan Kelembagaan Pekebun (Poktan) Koperasi Kemitraan Perencanaan Penanaman Pemeliharaan Panen Kelembaga an Lintas Sektoral (Pokja) Model G = f (a, p, s, t, i, m) Strategi Pengelolaan Lahan Gambut Agroindustri skala kecil (5 ton TBS jam-1) KUD Pemerintah Investor Bank Lahan Gambut

VII. KESIMPULAN DAN SARAN