• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.8. Faktor Kunci Keberlanjutan Pengelolaan Lahan Gambut

Skenario dari strategi pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut diperoleh berdasarkan faktor kunci keberlanjutan hasil analisis dengan Rap-Insus-Landmag yang menggambar kondisi saat ini (eksisting) dan analisis kebutuhan stakeholders yang menggambarkan kondisi yang diharapkan pada masa yang akan datang. Faktor-faktor kunci tersebut diperoleh berdasarkan integrasi (penggabungan) antara analisis keberlanjutan dan analisis kebutuhan

stakeholders.

Hasil analisi gabungan berdasarkan tingkat kepentingan antara analisis keberlanjutan dan analisis kebutuhan diperoleh 13 faktor kunci yang mempunyai pengaruh tinggi terhadap kerja sistem yaitu 8 faktor kunci dari analisis keberlanjutan dan 5 faktor kunci hasil analisis kebutuhan stakeholders. Faktor

Kerjasama antar steakholder perkebunan sawit

Struktur dan akses permodalan

Konservasi tanah dan air

Pengadaan dan penyaluran saprodi Industri Pengolahan

Organisasi dan manajemen usaha tani

Kuantitas dan kualitas SDM. Ketersediaan lahan

Pengendalian hama

Pengelolaan sesuai peraturan

Penilaian RSPO/ISPO - 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 1.80 2.00 2.20 - 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 P e n g a ru h Ketergantungan

Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji

I

III

II IV

atau atribut dari kedua hasil analisis yang mempunyai kesamaan digabung, sehingga diperoleh 13 faktor kunci. Selanjutnya dilakukan analisis prospektif untuk memperoleh atau menentukan faktor yang paling dominan, seperti dipaparkan pada Tabel 31.

Tabel 31. Gabungan faktor-faktor kunci yang mempunyai pengaruh dominan.

No. Faktor Kunci

Analisis Keberlanjutan Analisis Kebutuhan Stakeholders

1. Pengaturan tata air dan lahan 2. Penggunaan

amelioran/pemupukan 3. Kebakaran lahan

4. Manajemen produksi tanaman sawit

5. Pemasaran TBS Sawit 6. Kredit usaha tani

7. Pemberdayaan Masyarakat 8. Peluang Kemitraan

9. Kerjasama antar stakeholders

10. Industri pengolahan

11. Struktur dan akses permodalan

12. Konservasi tanah dan air

13. Pengadaan dan penyaluran saprodi

Hasil analisis gabungan diperoleh 6 faktor dominan atau utama (Gambar 33) yaitu : (1) pengaturan tata lahan dan air; (2) pemberdayaan masyarakat; (3) kerjasama antar stakeholders; (4) produktivitas tanaman; (5) industri pengolahan; (6) struktur dan akses permodalan.

Gambar 33. Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit berdasarkan analisis gabungan MDS dan kebutuhan stakeholders.

Pengaturan tata air

Kerjasama antar steakholder

Pemberdayaan masyarakat

Produktifitas lahan

Industri Pengolahan

Kredit usaha tani Peluang Kem itraan Kebakaran lahan

Penggunaan amelioran/pemupukan Struktur dan akses permodalan

Ketersediaan lahan Pemasaran TBS Sawit - 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 1.80 2.00 2.20 - 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 P en ga ru h Ketergantungan

Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengar uh pada Sistem yang Dikaji

I

III

II IV

Ditemukan 6 faktor dominan yang mempengaruhi pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdayaa lokal pada perkebunan kelapa sawit. Model pengelolaan lahan gambut (G) pada perkebunan kelapa sawit merupakan interaksi antara pengaturan tata air dan lahan (a), pemberdayaan masyarakat (p), kerjasama antar stakeholders (s), manajemen produksi tanaman sawit (t), industri pengolahan (i), struktur dan akses permodalan (m), yang dapat digambarkan dalam hubungan fungsi sebagai berikut :

G = f (a, p, s, t, i, m)

Untuk mewujudkan fungsi tersebut dilakukan dengan cara memperbaiki dan meningkatkan pengelolaan lahan gambut pada perkebunan kelapa sawit. Perbaikan dan peningkatan pengelolaan dari masing-masing faktor dominan dilakukan dengan strategi sebagai berikut :

(a) Pengaturan tata air dan lahan

Pengaturan tata air (water table) merupakan faktor kunci dalam pengelolaan lahan gambut di perkebunan kelapa sawit. Produktivitas perkebunan kelapa sawit sangat dipengaruhi oleh kondisi muka air tanah. Kondisi ideal muka air tanah pada lahan gambut harus dipertahankan pada kisaran 30 – 80 cm. Muka air tanah yang terlalu dangkal < 30 cm atau > 80 cm akan menyebabkan pertumbuhan kelapa sawit akan terganggu. Muka air tanah yang terlalu dalam menyebabkan terjadinya laju subsidensi yang semakin cepat dan kejadian kering tidak balik (irreversible drying) serta potensi kebakaran lahan gambut semakin besar. Bila hal ini terjadi lahan gambut akan mengalami degradasi (kerusakan) dan produktivitas perkebunan akan semakin menurun.

Tata lahan dilakukan dengan memperhatikan karakteristik biofisik lahan gambut sesuai dengan lokasi. Pengaturan tata lahan dilakukan berdasarkan kedalaman gambut, lapisan sub stratum bukan pasir kuarsa, tingkat dekomposisi, bukan daerah kubah gambut (peatdome). Selain itu juga memperhatikan pengetahuan dan keterampilan masyarakat lokal (local wisdom) dan lahan gambut dengan nilai konservasi tinggi.

Untuk mengurangi risiko dan dampak lingkungan, pemanfaatan lahan gambut harus dilakukan secara sangat hati-hati dan selektif dengan

memperhatikan beberapa persyaratan sebagai berikut: (1) tidak berada dekat kubah gambut dan hulu sungai; (2) sistem drainase dilakukan secara tepat dan hati-hati, sesuai dengan dinamika permukaan air tanah; (3) memperhatikan rambu-rambu dampak lingkungan. Faktor utama keberhasilan pengembangan pertanian berkelanjutan pada lahan gambut adalah pengaturan tata lahan dan air (soil and water management) yang sesuai dengan karakteristik air di daerah tersebut, baik tata air makro maupun tata air mikro, karena sangat mempengaruhi laju subsiden, kering tak balik dan kebakaran lahan. Sedangkan Ritzema et al.

(1998) menyatakan bahwa desain pengelolaan lahan gambut dilakukan dengan mengkombinasikan pengaturan drainase dengan aspek konservasi.

Saluran drainase sebaiknya tidak terlalu dalam dan lebar, tetapi disesuaikan dengan kondisi dan dinamika air atau tipe luapan agar tidak terjadi drainase yang berlebihan. Pada tipe luapan A dan B, saluran tersier bisa dibuat lebih lebar dan dalam dengan pemasangan pintu ayun otomatis (flatgate), baik di bagian inlet maupun outlet. Pada lahan dengan tipe luapan C atau D harus digunakan pintu tabat yang dapat mengatur secara otomatis ketinggian air di lahan sesuai kebutuhan.

Desain blok kebun dan saluran drainase harus mempertahankan permukaan air sekitar 60 cm dari permukaan tanah. Berdasarkan ukuran saluran dibedakan antara lain : (1) saluran primer, dengan ukuran bagian atas 4,8 meter, bawah 2,4 meter dan kedalaman 1,8 meter, (2) saluran sekunder dengan ukuran bagian atas 2,4 meter, bawah 1,8 meter dan kedalaman 1,2 meter, (3) saluran tersier dengan ukuran bagian atas 1,2 meter, bawah 0,9 meter dan kedalaman 0,6 meter (Sunarko, 2009).

Pengelolaan air di tingkat lahan usaha tani dengan pengatutan tata air mikro (TAM) merupakan faktor kunci dalam menentukan keberhasilan pengembangan lahan rawa gambut. Tujuannya mencakup pelayanan pemenuhan kebutuhan air tanaman maupun drainase dan kebutuhan pencucian tanah. Termasuk pula diantaranya adalah untuk memacu proses pematangan tanah, perbaikan atau pelindian (leaching) terhadap asam dan bahan-bahan beracun serta untuk pengembangan lahan dalam jangka panjang.

Pertumbuhan tanaman yang kurang berhasil sering diakibatkan oleh pengaruh yang ditimbulkan dari air yang tergenang di lahan dalam waktu yang lama akibat kurang memadainya sarana untuk proses pelindian maupun tidak adanya penyegaran air secara periodik. Bagi tanah yang kaya akan kandungan bahan organik kondisi yang demikian itu akan mengarah kepada kondisi anaerobik, keracunan tanah dan rendahnya kualitas kandungan bahan organik sehingga kurang sesuai untuk pertumbuhan tanaman yang produktif (Noor, 2011).

Pada masa yang akan datang strategi yang dapat dilakukan untuk memperbaiki faktor dominan pengaturan tata air (water management) dan lahan gambut di perkebunan kelapa sawit sebagai berikut : (a) pembuatan saluran tata air mikro di areal perkebunan; (b) pembuatan saluran tata air mikro di areal perkebunan dan pembuatan pintu air; (c) pembuatan saluran tata air mikro di areal perkebunan dan pembuatan pintu air dengan mempertahankan kedalaman muka air tanah 50 -80 cm.

(b) Pemberdayaan masyarakat

Pemberdayaan masyarakat di perkebunan kelapa sawit merupakan faktor penting dalam menentukan keberhasilan pengelolaan lahan gambut. Karakteristik lahan gambut yang mudah mengalami degradasi dan tingkat kesuburan lahan rendah menjadi faktor pembatas bagi keberhasilan pembangunan perkebunan kelapa sawit rakyat. Faktor pembatas lainnya adalah penguasaan teknologi dan terbatasnya kemampuan pekebun dalam pengolahan lahan. Untuk itu diperlukan strategi pemberdayaan pekebun kelapa sawit untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Pemberdayaan masyarakat merupakan prasyarat yang harus dilakukan agar pembangunan bidang ekonomi dapat dilaksanakan dengan baik. Pembangunan dengan strategi pemberdayaan merupakan alternatif pendekatan pembangunan yang tidak hanya diarahkan untuk mencapai pertumbuhan semata. Selain itu juga dapat mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dengan azas kerakyatan (Kartasasmita, 1996; Hikmat, 2004 diacu dalam Jatmika, 2007).

Pemberdayaan ekonomi rakyat harus menjadi perhatian utama dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan sebagian besar masyarakat masih mengandalkan sektor pertanian (perkebunan) dan sektor ini juga

memberikan kontribusi yang besar pada perekonomian negara. Pemberdayaan ekonomi rakyat berarti membangun ekonomi pertanian dengan lebih baik.

Pemberdayaan dapat dilakukan melalui kegiatan kemitraan antara perkebunan besar negara/swasta yang mempunyai kemampuan pengelolaan perkebunan yang baik. Strategi yang mengkombinasikan mengikutsertakan pekebun dan mendorong pengembangan kemitraan merupakan prioritas untuk mewujudkan pemberdayaan masyarakat. Mekanisme pemberdayaan dapat dilakukan dengan cara pelatihan dan pendampingan masyarakat pekebun.

Pelatihan untuk pekebun dalam rangka pengembangan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut dapat dilakukan dengan beberapa tahapan antara lain : (1) pelatihan pekebun dalam rangka untuk penumbuhan kebersamaan; (2) pelatihan pekebun dalam rangka untuk penguatan kelembagaan; (3) pelatihan pekebun dalam rangka untuk pengembangan kelembagaan dan usaha. Sasaran pelatihan yang dilakukan dapat seluruh pekebun, anggota kelompok tani, pengurus kelompok tani atau gabungan kelompok tani (Jatmika, 2007).

Pada masa yang akan datang strategi yang dapat dilakukan untuk memperbaiki faktor dominan pemberdayaan perkebunan rakyat pada lahan gambut sebagai berikut : (a) membentuk kelembagaan kelompok tani; (b) membentuk kelembagaan kelompok tani dan wadah koperasi; (c) membentuk kelembagaan kelompok tani dan wadah koperasi dengan membangun kemitraan dengan investor.

(c) Kerjasama antar stakeholders

Keberhasilan pengelolaan perkebunan kelapa sawit sangat ditentukan oleh kerjasama antar stakeholders, hal ini disebabkan oleh karakteristik perkebunan yang bersifat lintas sektoral. Pola pengelolaan lahan akan mempengaruhi kerjasama antar stakeholders tersebut. Pengelolaan perkebunan kelapa sawit dapat dikelompokkan dalam 3 aspek antara lain : (1) aspek kelembagaan; (2) aspek produksi; (3) aspek pengolahan hasil panen. Pola pengembangan yang dilakukan dapat dikelompokkan dalam 2 bentuk yakni berbentuk kerjasama dan swadaya.

Kelembagaan menyangkut aspek hubungan kerja, sumber dana, sistem pembayaran, alokasi lahan dan keagrarian, keorganisasian. Lembaga primer yang terlibat yaitu perusahaan dan pekebun yang dapat berupa individu, kelompok atau

koperasi. Pihak terkait yang berkepentingan dengan pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut di Kabupaten Bengkalis-Meranti antara lain : Dinas Perkebunan, Bapan Pertanahan Nasional, Badan Lingkungan Hidup, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Perbankan, Perusahaan Besar Swasta/Negara (investor), Badan Litbang, Perguruan Tinggi, Lembaga Adat, Lembaga Swadaya Masyarakat, Koperasi Sawit dan Kelompok/Gabungan Kelompok (Gapoktan) pekebun sawit.

Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan produksi dan pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan pemberian kredit skim Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA). Kredit ini difokuskan untuk membiayai kegiatan yang produktif dari anggota koperasi primer dalam rangka menunjang peningkatan usaha dan pendapatan pekebun. Selain itu, juga dikembangkan pada perkebunan rakyat, dimana aspek kelembagaan, produksi dan pengolahan hasil dilakukan oleh masyarakat berdasarkan kemampuan sumberdaya yang dimiliki oleh pekebun dan didukung oleh pemerintah.

Program pembangunan perkebunan kelapa sawit selama ini hanya terbatas untuk perkebunan rakyat (plasma) dan perkebunan perusahaan (inti). Kepemilikan pekebun hanya sebatas lahan yang telah ditentukan dalam program plasma, sementara pabrik pengolah tandan buah segar (TBS) hanya dimiliki oleh perusahaan inti. Pengembangan kemitraan kegiatan pembangunan perkebunan kelapa sawit dapat dilakukan dengan model dimana pekebun memiliki kebun kelapa sawit dan pemilikan saham pada pabrik kelapa sawit (PKS). Pekebun membeli paket melalui koperasi yang terdiri dari kebun kelapa sawit dan saham PKS (Syahza, 2010).

Pada masa yang akan datang strategi yang dapat dilakukan untuk memperbaiki faktor dominan kerjasama antar stakeholders di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut sebagai berikut : (a) pengelolaan perkebunan sawit rakyat dilakukan dengan kerjasama antara pekebun (poktan) dengan pemerintah; (b) pengelolaan perkebunan sawit rakyat dilakukan kerjasama antara pekebun (poktan), pemerintah dan investor; (c) pengelolaan perkebunan sawit rakyat dilakukan kerjasama antara pekebun (poktan), pemerintah, investor dan bank.

(d) Manajemen produktsi tanaman kelapa sawit

Produktivitas perkebunan kelapa sawit perkebunan rakyat lebih rendah (12-16 ton TBS ha-1 th-1) dibandingkan dengan pola perkebunan inti rakyat (PIR) atau perkebunan besar negara/swasta (18-24 ton TBS ha-1 th-1). Kondisi ini disebabkan oleh pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut yang dilakukan masyarakat belum menerapkan teknologi pengelolaan lahan yang tepat seperti pengaturan tata air, pemupukan, pemeliharaan dan pemanenan. Sunarko (2009) menyatakan bahwa potensi produksi tanaman sawit ditentukan oleh jenis tanaman kelapa sawit dan faktor pemeliharaan.

Produktivitas dipengaruhi oleh umur tanaman kelapa sawit, dimana tanaman > 15 tahun memiliki tandan yang lebih berat dibandingkan dengan tanaman yang lebih muda. Tingkat kesuburan lahan, curah hujan dan gangguan hama dan penyakit juga mempengaruhi produktivitas. Pengusahaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut dihadapkan pada karakteristik gambut yang secara fisik mempunyai kandungan air tinggi (>50%), kapasitas serat dan porositas lahan gambut tinggi (20 kali berat kering) dengan drainase buruk. Karakteristik kimia ditandai oleh kandungan hara P, K, Cu, B dan Zn rendah serta pH rendah (3,5) dengan C/N tinggi. Dengan demikian diperlukan pengelolaan lahan gambut yang baik untuk mengatasi berbagai faktor pembatas tersebut. Sehingga produktivitas perkebunan kelapa sawit yang dihasilkan menjadi tinggi.

Manajemen produksi menjadi faktor kunci peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit. Hal ini dilakukan dengan melakukan pembuatan drainase dan tata lahan yang baik, penanaman, pemeliharaan dan panen sesuai dengan teknologi yang diperlukan untuk peningkatan produktivitas perkebunan sawit.

Pada masa yang akan datang strategi yang dapat dilakukan untuk memperbaiki faktor dominan produktivitas di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut sebagai berikut : (a) manajemen produksi tanaman kelapa sawit dilakukan secara minimal; (b) manajemen produksi tanaman kelapa sawit dilakukan secara optimal (c) manajemen produksi tanaman kelapa sawit dilakukan secara optimal.

(e) Industri pengolahan

Keberadaan industri pengolahan sangat penting dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Karakteristik buah sawit yang mudah mengalami kerusakan membutuhkan teknologi penanganan yang baik. Kualitas Tandan Buah Segar (TBS) sawit akan semakin menurun bila tidak dilakukan pengolahan setelah panen dilakukan. Kadar rendemen dan kualitas minyak sawit yang dihasilkan akan semakin menurun, sehingga harus diupayakan untuk melakukan proses pengolahan menjadi Crude Palm Oil (CPO). Counter et al. (1997) diacu dalam Jatmika (2007) menyebutkan bahwa mutu TBS dipengaruhi oleh tingkat kematangan dan kebersihan. Kedua aspek sangat mempengaruhi perolehan minyak sawit yang dapat diekstraksi yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat pendapatan.

Terdapat perbedaan kepentingan antara pekebun yang menghasilkan TBS dengan pihak Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang akan mengolah TBS menjadi CPO dan inti sawit (carnel). Harga TBS merupakan faktor utama yang menjadi perbedaan, dimana pekebun menghendaki harga yang tinggi dari TBS yang dihasilkan. Sedangkan pihak PKS menginginkan harga TBS yang murah untuk memperoleh keuntungan yang maksimal.

Keberadaan PKS disekitar perkebunan kelapa sawit akan mempengaruhi harga TBS. Jaminan ketersediaan bahan baku secara kualitas, kuantitas maupun kontinuitas merupakan suatu keharusan untuk mencapai suatu agroindustri kelapa sawit. Keterkaitan antara sumber penghasil bahan baku dan agroindustri kelapa sawit harus diintegrasikan ke dalam suatu kepemilikan. Konsep kemitraan ini menekankan kepada azas kepemilikan bersama oleh pekebun baik usahatani maupun pabrik pengolahan, dimana pengelolaannya dilakukan oleh koperasi pekebun dan investor yang difasilitasi oleh pemerintah.

Pengembangan sektor pertanian (perkebunan) harus diarahkan dalam rangka menerapkan konsep agribisnis. Pembangunan perkebunan kelapa sawit hendaknya diikuti oleh pembangunan industri pengolahan. Kondisi ini akan menciptakan keterkaitan kebelakang (backward linkage) dengan sektor perkebunan atau sektor primer sedangkan keterkaitan kedepan (forward lingkage) harus memperhatikan pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah dan

pemasaran yang baik sehingga produk yang dihasilkan mempunyai nilai tambah yang besar.

Pengembangan pola agroindustri kelapa sawit secara finansial layak untuk diusahakan. Integrasi struktural pabrik dan kebun kelapa sawit rakyat dapat meningkatkan pendapatan masyarakat (Hasbi, 2001). Integrasi struktur pabrik dan pekebun dalam usaha perkebunan kelapa sawit rakyat melalui kemitraan usaha pola agroindustri kelapa sawit skala kecil. Hal ini dilakukan dengan membangun koperasi pekebun yang anggotanya secara kolektif mempunyai luas kebun 800 ha dengan pendirian PKS skala 5 ton TBS jam-1.

Pada masa yang akan datang strategi yang dapat dilakukan untuk memperbaiki faktor dominan industri pengolahan kelapa sawit (PKS) pada perkebunan di lahan gambut sebagai berikut : (a) PKS tersedia disekitar perkebunan dengan akses yang terbatas (melalui pedagang pengumpul); (b) PKS tersedia disekitar perkebunan dengan akses langsung melalui KUD; (c) PKS dengan kepemilikan bersama melalui pola kemitraan KUD, investor, bank dan pemerintah.

(f) Struktur dan akses permodalan

Pola perkebunan rakyat mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, hal ini tidak terlepas dari keunggulan tanaman kelapa sawit sebagai tanaman industri. Dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat ditemukan beberapa kendala, terutama dalam pengembangan sistem perkebunan berbasis agribisnis dan agroindustri. Syahza (2010) menyebutkan beberapa kendala yang dihadapi dalam pengembangan perkebunan khususnya perkebunan rakyat adalah lemahnya struktur permodalan dan akses terhadap sumber permodalan. Fakor lain dapat disebabkan oleh ketersediaan lahan, tingkat kesuburan tanah, pengadaan dan penyaluran sarana produksi, terbatasnya kemampuan dalam penguasaan teknologi, lemahnya organisasi dan manajemen usaha tani dan kurangnya kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia untuk sektor agribisnis.

Lemahnya akses permodalan pada pekebun pola perkebunan rakyat kepada lembaga keuangan (bank) disebabkan oleh belum tersedianya kelembagaan pekebun. Walaupun tersedia kelembagaan pekebun kelapa sawit umumnya masih sangat lemah. Institusi kelompok tani dan gabungan kelompok

tani (gapoktan) serta koperasi yang diharapkan menjadi fasilitator belum berfungsi sebagaimana mestinya.

Kepemilikan PKS oleh investor dan pekebun dimungkinkan dengan adanya pembiayaan yang bersumber dari dana pembiayaan usaha yang dapat terjangkau dan murah melalui adanya mekanisme subsidi bunga oleh pemerintah daerah (APBD) atau pemerintah pusat (APBN). Hal ini didukung oleh ketersedian lembaga keuangan pada skala mikro (koperasi) kerjasama investor, pekebun, bank dan pemerintah

Pada masa yang akan datang strategi yang dapat dilakukan untuk memperbaiki faktor dominan struktur dan akses permodalan pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut sebagai berikut : (a) pembiayaan melalui KUD yang difasilitasi pemerintah; (b) pembiayaan melalui KUD yang difasilitasi pemerintah dan perbankan; (c) pembiayaan melalui KUD yang difasilitasi pemerintah, perbankan dan investor.